Tag Archives: asia tenggara

Menyamar Jadi Muslim, Snouck Hurgronje Nekat Masuk Makkah demi Belajar Islam


Jakarta

Sejak berabad-abad silam, Makkah dikenal sebagai kota suci yang hanya boleh dimasuki oleh umat Islam. Larangan ini membuatnya nyaris mustahil dijelajahi oleh orang non-Muslim. Namun, di penghujung abad ke-19, seorang orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, berhasil melanggar batas itu. Ia masuk ke Makkah dengan cara menyamar sebagai seorang Muslim.

Harda Armayanto, dkk dari Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Universitas Darussalam Gontor dalam artikel ilmiahnya berjudul Snouck Hurgronje dan Tradisi Orientalisme di Indonesia mengungkap bahwa tidak seperti kebanyakan orientalis yang hanya mempelajari Islam dari literatur, Snouck Hurgronje terjun langsung ke tengah komunitas Muslim. Bahkan, ia berpura-pura memeluk Islam demi bisa menyelami kehidupan umat Islam lebih dalam, termasuk berbaur dengan para ulama dan cendekiawan di Makkah.

Pada tahun 1884, Snouck tiba di Jeddah. Untuk bisa masuk Makkah, ia pun mengucapkan syahadat di hadapan Qadhi Jeddah pada 16 Januari 1885 dan mengambil nama Abdul Ghaffar. Dengan identitas barunya sebagai Muslim asal Surabaya, ia berhasil memperoleh kepercayaan masyarakat sekitar. Ia pun tinggal di Makkah selama beberapa bulan, mempelajari kehidupan sosial, budaya, hingga politik umat Islam di sana.


Menguasai Ilmu Islam dan Dihormati Ulama

Penyamaran Snouck Hurgronje tidak sekadar basa-basi. Ia benar-benar menguasai ilmu-ilmu Islam, menghadiri majelis-majelis ilmu, dan belajar langsung kepada para ulama terkemuka di Makkah. Karena kemampuan dan pengetahuannya, banyak ulama Arab menganggapnya sungguh-sungguh seorang Muslim. Bahkan ada yang mengira ia seorang ulama Jawi, yaitu sebutan bagi kaum Muslimin asal Asia Tenggara.

Selama di Makkah, Snouck Hurgronje mengumpulkan berbagai data penting yang kemudian ia tuangkan ke dalam karya-karya ilmiah, termasuk bukunya yang terkenal berjudul Mekka (1888-1889). Ia juga menulis ratusan artikel ilmiah tentang hukum Islam, masyarakat Muslim, dan politik.

Ilmu Snouck Hurgronje Jadi Senjata Kolonial

Masih mengutip sumber sebelumnya, pengetahuan Snouck Hurgronje soal Islam tidak hanya berhenti sebagai studi ilmiah. Ketika pulang ke Hindia Belanda, Snouck justru menjadi penasihat penting Pemerintah Kolonial Belanda, khususnya dalam merumuskan strategi menghadapi perlawanan rakyat Aceh.

Ia menganjurkan pemutusan hubungan agama dan politik (sekularisasi) demi melemahkan semangat perlawanan rakyat, karena baginya Islam yang bersatu dengan politik akan meningkatkan perlawanan rakyat terhadap Belanda

Agama yang Dianut Snouck Hurgronje

Mengutip sumber sebelumnya, Christiaan Snouck Hurgronje lahir pada 1857 di Oosterhout, Belanda. Ia merupakan anak seorang pendeta Protestan. Sejak muda, ia tumbuh dalam tradisi Gereja Hervormde Belanda.

Berbagai rumor menyebut Snouck Hurgronje pernah masuk Islam sebab ia pernah bersyahadat di Makkah. Namun hal itu ia lakukan demi menjaga penyamarannya. Oleh sebab itu, para peneliti modern secara umum berpendapat bahwa ia tidak pernah benar-benar memeluk agama Islam, ia tetap tercatat sebagai Protestan hingga akhir hidupnya.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Menag Mau Saingi Minimarket, 800 Ribu Masjid Akan Disulap jadi Pusat Ekonomi Umat



Jakarta

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar akan menyulap 800 ribu masjid yang ada di Indonesia menjadi pusat ekonomi umat. Ia melihat ada potensi hal ini bisa terwujud.

“Kami juga menawarkan, salah satu yang belum tergarap secara potensial sekarang ini adalah masjid, 800 ribu masjid,” ujar Nasaruddin dalam Peluncuran SGIE Report 2024/2025 di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025), dikutip dari CNN Indonesia.

Contohnya seperti Masjid Istiqlal, Jakarta. Banyak masyarakat yang membeli kebutuhan pokoknya di masjid terbesar Asia Tenggara itu.


“Dan masa depannya kalau sistem ini bagus, maka ada kemungkinan minimarket itu akan tergulung oleh sistem yang dikembangkan di masjid-masjid,” imbuh Nasaruddin Umar.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Nasaruddin Umar meminta bantuan sejumlah pihak. Tak hanya masjid, musala dan langgara pun bisa diberdayakan.

“Kami mohon bantuan kepada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), rekan-rekan para pemikir, bagaimana menggarap potensi ekonomi masjid seperti masjidnya Rasulullah SAW,” tuturnya.

“Itu kalau digarap semuanya menjadi potensi ekonomi, itu amat dahsyat. Karena masjid itu mendiami perkampungan di tengah-tengah masyarakat,” lanjut Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

Sebagaimana diketahui, masjid di era Nabi Muhammad SAW, kata Nasaruddin Umat, benar-benar memberdayakan umat. Menara yang ada di masjid pun tak hanya untuk mengumandangkan azan oleh Bilal bin Rabah, melainkan untuk memantau rumah-rumah warga yang ada disekitar.

“Menara masjidnya Nabi itu bukan hanya dipakai Bilal azan, tapi dari ketinggian untuk mengontrol rumah-rumah mana yang tidak pernah berasap dapurnya. Itulah fungsi menara masjid, jadi kesejahteraan sosial,” tukas Nasaruddin Umar.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Arab Saudi Luncurkan Ala Khutah, Ajak Umat Islam Telusuri Jejak Hijrah Nabi


Jakarta

Kabar gembira bagi umat Muslim seluruh dunia, khususnya Indonesia! Pemerintah Arab Saudi resmi meluncurkan program spiritual bertajuk Ala Khutah atau Dalam Jejak Nabi.

Program ini mengajak umat Islam untuk secara langsung menapaki rute bersejarah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Meski baru akan dimulai pada November 2025 dan berlangsung selama enam bulan, antusiasme sudah meledak.

Lebih dari satu juta orang telah mendaftar. Dan yang paling mencengangkan, mayoritas pendaftar berasal dari Indonesia.


“Respons dari masyarakat Indonesia sangat luar biasa. Ini menunjukkan betapa kisah Hijrah begitu hidup di hati mereka,” ujar Ketua Otoritas Umum Hiburan Arab Saudi, Turki Alalshikh, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Antara, Rabu (30/7/2025).

Program Ala Khutah ini merupakan bagian dari proyek raksasa Hijrah Trail. Peserta akan diajak menyusuri perjalanan sepanjang 470 kilometer yang dulu ditempuh Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya, Abu Bakar As-Siddiq.

Sepanjang rute ini, mereka akan melewati 41 situs sejarah dan 5 lokasi utama yang menjadi saksi bisu perjalanan agung tersebut.

Alalshikh menjelaskan, untuk tahap awal, Arab Saudi akan menerima 300.000 peserta secara langsung pada tahun ini. Namun, targetnya tak main-main. Pada 2030, jumlah peserta diharapkan bisa mencapai 5 juta orang per tahun!

Bukan Sekadar Jalan-Jalan, tapi Pengalaman Sejarah yang Hidup

Program Ala Khutah ini jauh dari sekadar perjalanan spiritual biasa. Peserta akan diajak berinteraksi langsung dengan jejak sejarah melalui berbagai kegiatan imersif.

Bayangkan, Anda bisa menunggang unta layaknya para kafilah di masa lalu, mengunjungi Gua Tsur dengan mobil 4×4, hingga menyaksikan teater sejarah yang digelar langsung di lokasi aslinya.

“Akses ke Gua Tsur, tempat persembunyian Nabi sebelum Hijrah, kini hanya perlu 3 menit dengan kendaraan khusus, dari yang sebelumnya membutuhkan waktu 2 jam berjalan kaki,” kata Alalshikh, menggambarkan kemudahan akses yang telah disiapkan.

Tak hanya itu, program ini juga dilengkapi delapan tempat peristirahatan yang nyaman, lebih dari 50 titik edukasi, serta fasilitas transportasi modern yang dirancang dengan standar keamanan tinggi.

“Semua dirancang berdasarkan sumber sejarah yang valid. Kami ingin pengalaman ini benar-benar menyentuh sisi spiritual dan emosional para peserta,” tegas Alalshikh.

Inisiatif luar biasa ini mendapat dukungan langsung dari Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS). Program Ala Khutah menjadi bagian integral dari Saudi Vision 2030 yang berambisi memajukan sektor budaya dan sejarah Islam di Kerajaan.

Ke depannya, program ini juga akan diperluas ke berbagai negara, termasuk di Asia Selatan dan Asia Tenggara, membuka peluang lebih besar bagi umat Islam Indonesia untuk merasakan perjalanan Hijrah secara nyata.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Merumuskan Ulang Posisi Islam Indonesia dalam Kancah Global



Jakarta

Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar Dr. Ahmed Muhammad Ahmed El-Tayeb untuk ketiga kalinya ke Indonesia, pada 8 hingga 11 Juli 2024, yang merupakan bagian dari lawatannya ke Asia Tenggara, patut mendapat sambutan istimewa karena beberapa alasan. Kunjungan ini bertujuan untuk menggaungkan Piagam Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia, yang ditandatangani oleh pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada tahun 2019, sebagaimana dijelaskan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (balitbangdiklat.kemenag.go.id 26/6/2024).

Lebih dari itu, kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar kali ini memiliki arti penting bukan saja bagi penguatan hubungan historis yang mendalam antara Indonesia dan Mesir, tetapi juga bagi upaya Indonesia untuk memperkuat posisi strategisnya dalam kancah global. Indonesia dan Mesir dapat bergandengan tangan berdiri di depan untuk menyuarakan perdamaian dan persaudaraan sambil melawan segala bentuk ekstremisme, radikalisme dan kekerasan. Ditopang Al-Azhar, Mesir dikenal sebagai benteng nilai-nilai moderasi dan toleransi. Begitu juga Indonesia. Dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar, Indonesia masyhur dengan model keislaman yang inklusif dan damai.

Dalam lanskap dunia kontemporer, interaksi antara agama, politik, dan identitas menjadi semakin kompleks. Di antara dinamika ini, konsep “decentring Islam” (mendesentrisasi Islam) muncul sebagai paradigma signifikan. Decentring Islam berupaya untuk mengalihkan dari perspektif tradisional yang berpusat pada Arab mengenai identitas dan praktik Islam, ke arah keragaman dan pluralitas dalam dunia Muslim. Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbanyak dan satu negeri Asia besar, menawarkan sudut pandang unik untuk mengeksplorasi konsep ini dan implikasinya terhadap geopolitik global, wacana keagamaan, dan pertukaran budaya.


Secara historis, pemikiran dan praktik Islam sangat dipengaruhi oleh budaya Arab, mengingat asal-usul agama ini di Jazirah Arab. Pandangan yang berpusat pada Arab ini sering kali menutupi kekayaan keragaman tradisi Islam di berbagai wilayah, termasuk Indonesia yang sering masih dipandang pinggiran (peripheral). Decentring Islam bertujuan memperluas pemahaman tentang identitas Islam dengan mengakui dan menghargai berbagai ekspresi Islam yang dipraktikkan oleh Muslim non-Arab. Pendekatan ini menekankan pentingnya konteks lokal, kekhasan budaya, dan perkembangan historis yang membentuk praktik keagamaan Muslim di berbagai belahan dunia.

Decentring Islam bukan berarti mengurangi pentingnya kontribusi Arab terhadap peradaban Islam, tetapi mengakui bahwa Islam adalah agama global dengan berbagai macam ekspresi dan perubahan budaya. Ini bertujuan membongkar representasi Islam yang monolitik, dengan mendorong pemahaman yang lebih inklusif dan representatif yang mencerminkan realitas kehidupan Muslim di seluruh dunia.

Indonesia: Model Pluralisme Islam

Indonesia, rumah bagi lebih dari 270 juta Muslim, mewujudkan prinsip-prinsip decentring Islam melalui perpaduan khas antara iman Islam dan budaya lokal. Sejarah kepulauan ini ditandai oleh sintesis berbagai pengaruh budaya dan agama, termasuk Hindu, Buddha, dan kepercayaan adat, yang telah berjalin dengan tradisi Islam. Mosaik budaya ini melahirkan Islam khas Indonesia yang berakar kuat pada konteks lokal yang melahirkan berbagai keragaman di dalam Islam Indonesia itu sendiri. Kecuali Islam di Jawa yang terepresentasi dengan baik dalam berbagai kajian kesarjanaan, sebenarnya mosaik keragaman di berbagai kepulauan lain, termasuk wilayah Indonesia Timur, masih sangat menarik dieksplorasi untuk mendapatkan gambaran lebih utuh tentang Islam Indonesia.

Islam Indonesia ditandai oleh sifatnya yang moderat dan pluralistik. Falsafah dasar bangsa, Pancasila, yang mempromosikan toleransi dan inklusivitas beragama, memastikan bahwa semua komunitas agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Pancasila menjadi falsafah antarbudaya (intercultural philosophy) yang sangat relevan dengan kemajemukan. NU dan Muhammadiyah mendukung interpretasi Islam yang kontekstual dan progresif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, demokrasi dan hak asasi manusia. Model pluralistik dan inklusif ini menawarkan narasi alternatif tentang Islam, dengan menunjukkan bahwa agama ini dapat berkembang dalam lingkungan budaya dan politik yang beragam.

Peran NU dan Muhammadiyah sangat penting dan tidak tergantikan dalam memosisikan Islam Indonesia dalam kancah global. Terutama melalui inisiatif pendidikan, sosial, dan politik mereka, NU dan Muhammadiyah berkontribusi pada pemahaman Islam yang lebih pluralistik dan inklusif, baik di Indonesia maupun di dunia Muslim yang lebih luas. Konsistensi mereka dalam inisiatif-inisiatif fundamental ini akan menentukan trayektori masa depan mereka dalam decentring Islam.

NU mengoperasikan jaringan luas pendidikan keagamaan (pesantren) di seluruh Indonesia, dari tingkat dasar sampai universitas, yang mendorong pendekatan holistik terhadap pembelajaran. Kurikulum sering kali mencakup pengajaran tentang toleransi beragama, demokrasi, dan hak asasi manusia. Demikian pula, Muhammadiyah telah membangun jaringan pendidikan yang komprehensif, yang menekankan pemikiran ilmiah dan rasional di samping pendidikan agama, mendorong pemikiran kritis dan inovasi. Lembaga-lembaga pendidikan yang mereka kelola perlu didorong tampil di kancah global, melalui pembukaan cabang-cabangnya di berbagai kawasan dunia Islam.

Reformulasi di Kancah Global

Posisi strategis Indonesia dalam kancah global bersifat multifaset, mencakup dimensi politik, ekonomi, dan budaya. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia memainkan peran krusial dalam urusan ekonomi regional dan global. Model pemerintahan demokratisnya dan identitas Islam moderatnya memberikan narasi alternatif terhadap persepsi Islam yang sering terpolarisasi dalam politik global.

Di panggung internasional, Indonesia aktif mempromosikan dialog dan kerja sama antaragama melalui kebijakan luar negerinya. Upaya diplomatik negara ini dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah konflik, terutama di dunia Muslim, menunjukkan komitmennya terhadap tatanan global yang didasarkan pada saling menghormati dan pengertian. Kepemimpinan Indonesia dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan partisipasinya dalam misi perdamaian PBB semakin menegaskan perannya sebagai mediator dan advokat perdamaian.
Secara budaya, Indonesia berkontribusi terhadap pemahaman global tentang Islam melalui warisan seni, sastra, dan praktik keagamaannya yang kaya. Peringatan tahunan hari raya Islam, perayaan musik dan tarian tradisional Islam, serta lembaga pendidikan Islam yang berkembang pesat semuanya mencerminkan budaya Islam Indonesia yang dinamis. Dengan membagikan aset budaya ini di panggung global, Indonesia membantu mendesentrisasi narasi yang berpusat pada Arab dan menyoroti keragaman dalam dunia Muslim.

Singkatnya, decentring Islam adalah kerangka kerja yang krusial untuk memahami sifat multifaset dari dunia Islam, dan posisi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim utama mencerminkan keragaman ini. Perpaduan unik antara iman Islam dan praktik budaya lokal, komitmennya terhadap pluralisme dan demokrasi, serta peran aktifnya dalam diplomasi global, semuanya berkontribusi pada pemahaman yang lebih bernuansa dan inklusif tentang Islam.

Seiring dunia terus bergumul dengan isu-isu identitas keagamaan dan koeksistensi, contoh Indonesia menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana Islam dapat dipraktikkan dan dipahami dalam cara yang beragam dan dinamis. Dengan merangkul prinsip-prinsip decentring Islam, komunitas global dapat bergerak menuju apresiasi yang lebih komprehensif dan adil terhadap keragaman dunia Muslim yang sangat kaya. Dalam lingkup praktisnya, dengan memberdayakan segenap kemampuan ekonomi-politik dan modal kultural keislaman di kawasan, di Asia khususnya, dan global melalui prinsip co-production of peace, pemerintah dan warga Indonesia bisa lebih berperan untuk ikut menawarkan secercah harapan baru.

Noorhaidi Hasan
Guru Besar Islam dan Politik, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Memaknai Kunjungan Grand Syekh Al-Azhar di Indonesia



Jakarta

Untuk ketiga kalinya sejak ditabalkan sebagai Pimpinan tertinggi institusi Al-Azhar, Mesir pada 2010, Grand Syekh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Mohammad Ahmed Al-Thayeb, menyambangi Indonesia pada 8 hingga 12 Juli 2024.

Kehadirannya di negeri yang amat sangat majemuk dan sekaligus relijius ini selalu bermakna penting, mengingat reputasi dan komitmen Syekh Al-Thayeb di tingkat global dalam mendakwahkan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Kita mungkin masih ingat, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Grand Syekh Ahmed Al-Thayeb mengadakan pertemuan bersejarah dengan Pemimpin Gereja Katolik Vatikan, Paus Fransiskus, dan bersama-sama menandatangani dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document), yang menegaskan keberpihakan untuk menciptakan perdamaian.
Pertemuan dua tokoh agama besar di dunia saat itu mengirim pesan kepada khalayak bahwa musuh bersama kita yang perlu diwaspadai sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.


Pesan moral keagamaan dan kemanusiaan lima tahun lalu itu masih sangat relevan hingga saat ini, ketika di belahan dunia, perang Rusia-Ukrania dan konflik Israel-Palestina yang mengakibatkan ribuan korban kemanusiaan tak kunjung mereda, dan ketika di Negeri sendiri gesekan antarumat beragama sesekali masih mengemuka.

Marwah Indonesia

Mengapa kehadiran Grand Syekh Ahmed Al-Thayeb ketiga kalinya ini menjadi penting bagi kita, bangsa Indonesia?
Pertama, saya meyakini bahwa Syekh Al-Thayeb memahami betul bahwa Indonesia mewarisi tradisi, peradaban, dan marwah (wibawa) keilmuan Islam adiluhung yang telah berusia lebih dari 500 tahun. Syekh Al-Thayeb nyaman berkunjung ke Indonesia.

Sebagai seorang akademisi, Syekh Al-Tayeb niscaya sangat mengapresiasi para ahl al-‘ilmi yang dilahirkan dari rahim bumi Nusantara, yakni para ulama masa silam yang telah mendakwahkan Islam secara damai melalui penyebaran ilmu pengetahuan, menulis manuskrip-manuskrip keagamaan, seraya menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, beragam dari segi suku, etnis, bahasa, aksara, dan agamanya.

Bagi seorang ilmuwan seperti Grand Syekh Ahmed Al-Thayeb, mengenal tradisi keilmuan seperti yang kita miliki itu jelas teramat penting, karena dapat menjadi pintu masuk untuk memahami karakter keberagamaan masyarakat Indonesia secara lebih empatik.

Terlebih, corak keilmuan sufistik yang sangat kental mewarnai karakter Islam awal Indonesia, juga sangat sejalan dengan pandangan keagamaan Syekh Al-Thayeb yang pernah mengatakan bahwa:

“Keberterimaan pendekatan pendidikan dan dakwah Al-Azhar di dunia Islam dan luar Islam itu karena spirit yang menggabungkan antara pemikiran ilmiah dan tasawuf dan semangat berpegang pada batas-batas moderat dalam hal akidah dan amal yang mencerminkan jiwa Islam sejati” (kuliah umum Grand Syekh Al-Azhar di kampus UIN Malang, Februari 2016).
Kedua, saya ingin memaknai kunjungan Grand Syekh Al-Azhar ini sebagai isyarat pentingnya Indonesia dalam konteks perjuangan menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perdamaian dunia.

Indonesia ini negara yang unik. Masyarakatnya amat majemuk dan sekaligus relijius. Hampir tidak ada aktivitas warga masyarakat Indonesia, termasuk dalam bidang sosial-politik, yang tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran agama. Namun begitu, Indonesia bukan negara agama, masyarakat yang majemuk tadi memiliki ruang leluasa dalam mengekspresikan keragaman dan sikap keberagamaannya.

Dalam konteks bernegara, tidak mudah mengelola kemajemukan dan relijiusitas warga yang sangat majemuk itu. Negara harus senantiasa menjaga keseimbangan antara melindungi hak beragama setiap warga yang beragam cara pandang, sikap, dan praktik beragamanya di satu sisi, dengan keharusan menegakkan komitmen kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

Syukurlah sejauh ini kita berhasil mengelola keragaman dan keberagamaan masyarakat Indonesia itu dengan baik, antara lain melalui ijtihad merumuskan konsep Moderasi Beragama.
Moderasi Beragama adalah salah satu tawaran solusi untuk mengarusutamakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Ketiga, kehadiran (lagi) Grand Syekh Al-Azhar di Indonesia dapat kita maknai sebagai pesan bahwa upaya untuk merawat kerukunan, toleransi, perdamaian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan di Indonesia masih perlu terus-menerus dilakukan.

Agama harus menjadi inspirasi sejati agar kita bisa bersama-sama menjaga hak kodrati setiap manusia, memenuhi hajat hidup orang banyak, memberikan perlindungan kaum lemah, serta mengatur dengan baik tata kehidupan masyarakat yang beragam.

Berharap Langkah Konkrit

Mungkin, hal berikutnya yang penting dipikirkan bersama adalah apa langkah-langkah konkrit yang bisa Indonesia lakukan bersama Grand Syekh Al-Azhar?
Pesan kemanusiaan dan perdamaian tidak cukup berhenti di atas mimbar atau di forum diskusi. Gaungnya akan terasa hambar kalau prinsip kemanusiaan belum bisa tegak diatas sikap keberagamaan, sebagaimana sering disampaikan oleh ulama ahli tafsir kita, Prof. Dr. Quraish Shihab.

Saya tentu tidak dalam kapasitas menawarkan solusi. Namun, kita bersyukur bahwa Indonesia dipercaya menjadi salah satu pusat aktivitas Majelis Hukama Muslimin (MHM) tingkat Asia Tenggara, lembaga yang dipimpin langsung oleh Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmed Mohammad Ahmed Al-Thayeb, pemegang otoritas tertinggi keagamaan di Mesir.
Karenanya, sambutan hangat dan terbaik sepatutnya kita berikan menyambut kedatangan Syekh Al-Thayeb di Indonesia, ahlan wa sahlan wa marhaban bi-ziyaratikum…

Kita patut berharap bahwa para ulama, tokoh agama, dan kaum cerdik-cendikia di Indonesia, khususnya yang tergabung dalam Majelis Hukama Muslimin itu, dapat melanjutkan membangun marwah peradaban keagamaan dan kemanusiaan yang kita warisi, sehingga kita, bangsa Indonesia, bisa menegakkan kepala berkontribusi bagi dunia. Semoga.

Ciputat, 6 Juli 2024

Oman Fathurahman
Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com