Tag Archives: aus

Nabi Muhammad Dakwah di Makkah dan Madinah 23 Tahun, Terapkan Banyak Strategi


Jakarta

Dakwah Nabi Muhammad SAW adalah perjalanan penuh makna yang mengubah sejarah umat manusia. Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah dan Madinah, totalnya selama 23 tahun. Ini dibagi dalam dua waktu berbeda.

Perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW bukanlah hal yang singkat dan mudah. Banyak peristiwa penting terjadi selama periode tersebut, yang menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam hingga hari ini.

Periode dakwah Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua, periode Makkah dan Madinah. Berikut penjelasan lengkapnya.


Periode Dakwah Nabi Muhammad di Makkah

Periode ini menjadi tahap awal dalam perjalanan dakwah yang penuh dengan tantangan dan ujian. Dijelaskan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam karya H. Fida’ Abdilah, Yusak Burhanudin, periode dakwah di Makkah dimulai setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang kedua, yaitu surah Al-Muddassir ayat 1-7:

يٰٓاَيُّهَا الْمُدَّثِّرُۙ ١ قُمْ فَاَنْذِرْۖ ٢ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْۖ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْۖ ٤ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْۖ ٥ وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُۖ ٦ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْۗ ٧

Artinya: “Wahai orang yang berselimut (Nabi Muhammad), bangunlah, lalu berilah peringatan! Tuhanmu, agungkanlah! Pakaianmu, bersihkanlah! Segala (perbuatan) yang keji, tinggalkanlah! Janganlah memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak! Karena Tuhanmu, bersabarlah!”

Ayat ini menandai dimulainya tugas Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Islam, mengingatkan seluruh umat manusia untuk menyembah dan mengesakan Allah SWT. Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya di Makkah yang berlangsung selama 13 tahun.

Menurut riwayat Ibnu Abbas RA sebagaimana terdapat dalam Ringkasan Shahih Muslim yang disusun Al-Albani, Nabi Muhammad SAW dakwah di Makkah selama 13 tahun. Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah tinggal di Makkah selama 13 tahun sejak beliau menerima wahyu, dan tinggal di Madinah selama 10 tahun. Beliau wafat dalam usia 63 tahun.” (HR Muslim)

Strategi Dakwah Nabi Muhammad di Makkah

Dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah bukanlah perjalanan yang mudah. Berbagai rintangan dan tantangan dari kaum Quraisy menjadi bagian dari perjuangan tersebut. Namun, di balik segala kesulitan itu, Nabi Muhammad SAW memiliki strategi dakwah yang luar biasa. Seperti apa strategi yang beliau terapkan selama berdakwah di Makkah?

Dakwah Nabi Muhammad secara Sembunyi-sembunyi

Dikutip dari sumber sebelumnya, pada masa-masa awal dakwahnya, Nabi Muhammad SAW menyebarkan ajaran Islam secara diam-diam dan beribadah di lokasi-lokasi tersembunyi agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy.

Periode dakwah tersebut berlangsung selama tiga tahun. Hal ini dilakukan karena jumlah pengikut Islam saat itu masih sedikit. Selain itu, beliau belum memiliki kekuatan yang cukup besar untuk tampil di tengah masyarakat yang mayoritasnya adalah penyembah berhala dan penganut tradisi nenek moyang yang jauh dari konsep ketauhidan.

Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya dengan menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang terdekatnya, seperti keluarga dan sahabat. Istri beliau, Khadijah, menjadi orang pertama yang menerima ajakan tersebut. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW menyebarkan dakwahnya kepada kerabat dekat, para pemuda yang merasa resah dengan situasi masyarakat Makkah, serta mereka yang miskin dan tertindas.

Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi dengan tujuan mencari sosok-sosok yang mau mendukung perjuangannya. Mereka inilah yang dipersiapkan untuk menjadi penyebar ajaran Islam bersama Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, mereka menjadi pendukung setia dalam misi dakwah beliau.

Dakwah Nabi Muhammad secara Terang-terangan

Langkah awal Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah secara terang-terangan dimulai dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga besarnya, yaitu keturunan Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Sebanyak 45 orang hadir memenuhi undangan tersebut, namun mereka meninggalkan tempat sebelum Nabi Muhammad SAW sempat berbicara.

Dalam pertemuan selanjutnya, Nabi Muhammad SAW berhasil menyampaikan ajaran Islam, namun seluruh paman dan saudara yang hadir menolak. Hanya Abu Thalib yang menunjukkan dukungan terhadap upaya dakwah Nabi Muhammad SAW, meskipun ia tetap teguh pada keyakinan nenek moyangnya.

Untuk ketiga kalinya, Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara terbuka. Kali ini, beliau memilih Bukit Shafa sebagai tempatnya. Di hadapan penduduk Makkah yang berkumpul, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa dirinya adalah utusan Allah SWT, yang diberi tugas untuk memberikan peringatan kepada seluruh umat manusia. Beliau mengajak mereka meninggalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah Allah SWT, serta menjelaskan tentang kehidupan akhirat, surga, dan neraka.

Dakwah yang dilakukan secara terang-terangan oleh Nabi Muhammad SAW membuat ajaran Islam mulai dikenal luas dan menjadi bahan pembicaraan di seluruh penjuru Makkah, terutama di kalangan suku Quraisy yang banyak menentang. Para penentang ini menggunakan berbagai cara untuk menghentikan penyebaran dakwah tersebut. Keberanian kaum muslimin untuk menyebarkan ajaran Islam secara terang-terangan semakin bertambah kuat setelah Umar bin Khattab memeluk Islam.

Sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai salah satu penentang utama dakwah Nabi Muhammad SAW. Meski menghadapi berbagai ancaman, Nabi Muhammad SAW dan para pengikut setianya tidak gentar. Perlahan namun pasti, dakwah Islam terus berlanjut.

Periode Dakwah Nabi Muhammad di Madinah

Setelah menghadapi berbagai tantangan di Makkah, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Perpindahan ini bukan sekadar perubahan lokasi, tetapi juga awal dari fase baru dalam dakwah beliau. Lantas, bagaimana periode dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah dan apa saja perubahan yang terjadi?

Perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan dakwah di Madinah bukanlah hal yang mudah. Selama masa hijrah di tempat baru ini, berbagai fitnah dan tantangan kerap menghadang upaya beliau dalam menyebarkan ajaran Islam.

Mengacu sumber yang sama, sikap antipati dari kaum Yahudi, kebencian kaum munafik, serta permusuhan dari kaum Quraisy sering kali memicu konflik yang kemudian berkembang menjadi peperangan di tengah masyarakat Madinah.

Rasulullah SAW berhasil mengatasi berbagai tantangan selama menyebarkan dakwah di kota yang dahulu dikenal sebagai Yatsrib itu. Akhirnya, beliau sukses menaklukkan Madinah dan memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaan Islam.

Sebagian besar penduduk Madinah adalah para pendatang yang menetap di wilayah tersebut. Mereka terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni Arab dan Yahudi. Bangsa Arab berasal dari wilayah selatan, sementara kaum Yahudi datang dari arah utara.

Penduduk Arab mendominasi wilayah Madinah dan terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu bani Aus dan bani Khazraj. Meski berasal dari etnis yang sama, kedua kelompok ini kerap berselisih dan berperang demi memperebutkan kekuasaan di Madinah. Di sisi lain, kaum Yahudi dikenal karena sifat mereka yang arogan, menganggap diri mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan.

Dua kelompok yang tinggal di Madinah ini terus bersaing demi pengaruh dan kekuasaan. Mereka bahkan kerap saling mengancam akan berperang dan berusaha mengusir satu sama lain dari wilayah Madinah.

Kehadiran Rasulullah SAW di Madinah pada 12 Rabiul Awwal tahun pertama Hijriah menandai permulaan penyebaran dakwah Islam di Kota Madinah. Berdasarkan hadits sebelumnya juga dijelaskan, Rasulullah SAW berdakwah selama 10 tahun sepanjang masa kenabiannya hingga akhir hayatnya di Madinah.

Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah

Hijrah ke Madinah menjadi titik balik bagi perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Situasi dan kondisi yang berbeda membuat Nabi Muhammad SAW perlu menerapkan pendekatan baru dalam menyebarkan ajaran Islam. Lalu, strategi apa saja yang digunakan Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya di Madinah?

Menurut buku Pendidikan Agama Islam susunan Bachrul Ilmy, Rasulullah SAW memiliki empat substansi dakwah selama periode dakwah beliau di Madinah, di antaranya:

  1. Penguatan akidah, ibadah, dan muamalah bagi kaum muslim melalui masjid sebagai pusat kegiatan.
  2. Membangun ukhuwah (persaudaraan) antara kaum Muhajirin dan Anshar untuk menyatukan umat Islam.
  3. Melatih kader-kader perjuangan guna mempertahankan wilayah dan mendukung para juru dakwah.
  4. Merumuskan aturan pertahanan dan sosial untuk menjaga stabilitas di Madinah.

Sedangkan strategi dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah memiliki 5 strategi dakwah, berikut adalah strategi dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam yang ditulis oleh Elfa Tsuroyya:

1. Mendirikan Masjid

Langkah awal yang diambil oleh Rasulullah SAW adalah membangun sebuah masjid yang kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Di tempat inilah beliau mulai menyebarkan dakwah dengan mengadakan sholat berjamaah, mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai ibadah mahdhah, muamalah, serta berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Akibatnya, area sekitar masjid pun menjadi semakin hidup dan ramai.

2. Menyatukan Suku Aus dan Khazraj

Dua suku yang sebelumnya sering berselisih ini akhirnya dipersatukan dan kemudian dikenal sebagai kaum Anshar, yang membantu Rasulullah SAW saat hijrah. Langkah ini diambil untuk memperkuat persatuan di antara mereka serta dengan suku-suku lainnya yang tinggal di Madinah.

3. Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar

Rasulullah SAW menjalin ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, dengan landasan agama yang menggantikan persaudaraan berdasarkan garis keturunan. Langkah ini menciptakan suasana yang lebih damai dan aman. Dengan menyatukan keduanya melalui keimanan, persatuan di antara mereka pun semakin kuat dan kokoh.

4. Mengajarkan Nilai-nilai Moral

Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada masyarakat tentang tata krama dalam mencintai sesama, menjalin persaudaraan, menjunjung tinggi keagungan, kemuliaan, serta pentingnya ibadah dan ketaatan.

5. Membuat Tatanan Sosial Masyarakat

Rasulullah SAW menyatukan kaum Yahudi yang terdiri dari bani Qainuqa, bani Nadhir, dan bani Quraizhah. Beliau kemudian merumuskan sebuah perjanjian yang melindungi hak-hak asasi manusia di Madinah, yang dikenal sebagai Piagam Madinah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abbad ibn Bisyr, Sahabat Rasulullah SAW Pemilik Tongkat Bercahaya



Jakarta

Abbad ibn Bisyr ibn Waqasy adalah sahabat Rasulullah SAW dari kalangan Anshar. Ia berasal dari suku Aus keturunan Bani Asyahli.

Merangkum buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hassan Kunnas dijelaskan Abbad memiliki dua nama panggilan, yaitu Abu Bisyr dan Abu al-Rabi.

Abbad termasuk sahabat setia Rasulullah SAW. Ia berada di barisan pertama dalam membela ajaran Islam. Abbad turut serta dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan peperangan lainnya bersama Rasulullah SAW.


Abbad termasuk sahabat yang dicintai Rasulullah SAW.

Aisyah RA, pernah berkata tentang Abbad, “Ada tiga orang Anshar yang keutamaan mereka sebanding. Mereka semua dari Bani Abdul Asyhal, yaitu Sa’d ibn Muaz, Usaid ibn Hudhair, dan Abbad ibn Bisyr.” Itulah kesaksian Ummul Mukminin.

Peran Abbad dalam Perang Dzaturriqa

Diriwayatkan dari sahabatnya, Ibn Yasar dari Uqail ibn Jabir bahwa Jabir ibn Abdullah al-Anshari berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah dari tempat perlindungan kami di kebun kurma dalam Perang Dzaturriqa. Dalam perang itu, seorang wanita musyrik terkena lemparan anak panah dari pasukan muslim.”

Usai peperangan, dan setelah Rasulullah pulang ke markas, suami wanita musyrik itu datang dan melihat apa yang terjadi pada istrinya. Ia marah dan bersumpah akan membalas dendam hingga salah seorang sahabat Nabi SAW bersimbah darah. Diam-diam, ia mencari tahu di mana Nabi SAW menginap malam itu.

Saat Nabi SAW hendak masuk rumah, beliau bersabda, “Siapakah yang mau berjaga malam ini?”

Amar ibn Yasar dan Abbad ibn Bisyr bangkit dan berkata, “Kami (siap berjaga), wahai Rasulullah.”

Keduanya kemudian berjaga dekat gerbang Syi’ib. Saat itu Nabi SAW dan para sahabat menginap di Syi’ib, di sebuah lembah.

Ketika berjaga, Abbad bertanya kepada Amar, “Kau ingin aku berjaga di awal atau di akhir malam?”

Amar menjawab, “Kau berjaga di awal malam, dan aku di akhir malam.” Kemudian Amar berbaring dan tertidur pulas. Sementara Abbad mendirikan salat sunnah sambil berjaga.

Ketika itulah suami wanita musyrik itu datang. Ketika melihat Abbad yang sedang salat, lelaki itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung melepaskan panah ke arah Abbad dan tepat mengenai tubuhnya.

Meskipun tubuhnya dihantam anak panah, ia tetap mendirikan salat dan berusaha menyelesaikannya.

Lelaki itu kemudian kembali melemparkan panah. Dan Abbad tetap berdiri dalam salatnya. Untuk ketiga kalinya lelaki itu meluncurkan panah, dan Abbad mencabut panah yang tertancap di tubuhnya, lalu ia rukuk, lantas sujud. Baru setelah selesai salat Abbad membangunkan Ammar dan berkata, “Bangunlah, ada orang yang datang.”

Ammar terkejut ketika melihat suami wanita musyrik itu berada di dekat mereka. Ketika melihat mereka berdua, lelaki itu tahu, mereka menjadi benteng hidup bagi Muhammad dan menjadikan diri mereka sebagai penebus sumpahnya.

Amar kaget melihat sahabatnya Abbad berlumuran darah, “Subhanallah! Kenapa kau tidak membangunkanku saat pertama kali kau terkena panah?”

Abbad menjawab, “Aku sedang membaca salah satu surat dan aku tak mau memutuskan bacaanku sampai selesai. Saat beberapa anak panah menancap di tubuhku, aku pun menyelesaikan salat membangunkanmu. Demi Allah, jika tidak karena tugas berjaga yang diperintahkan Rasulullah, niscaya jiwaku sudah lepas dari raga sebelum aku memutuskan atau menyelesaikan bacaanku.”

Abbad tak pernah absen mengikuti peperangan bersama Rasulullah SAW sampai beliau wafat. Ia pernah mendengar beliau bersabda di depan kaum Anshar, “Wahai Anshar, kalian (bagaikan) pakaian dalam dan manusia bagaikan pakaian luar. Maka, jangan mengikuti orang-orang sebelum kalian.”

Pada saat itu, kaum Anshar ingin agar tidak ada lagi orang yang lari dari medan perang seperti yang terjadi saat Perang Uhud dan Hunain. Ucapan Rasulullah SAW itu menegaskan bahwa mereka adalah para penolong agama Allah dan RasulNya.

Janji setia yang pernah mereka ucapkan di Aqabah benar-benar mereka tunaikan. Sedikit pun tak terlintas dalam benak mereka keinginan meninggalkan Rasulullah sampai beliau wafat menghadap Allah SWT. Mereka teguh memegang janji yang pernah diucapkan meskipun beliau telah tiada.

Ketakwaan Abbad ibn Bisyr

Abbad membagi kehidupannya menjadi dua bagian, waktu malam ia gunakan untuk ibadah dan membaca Al-Quran, sedangkan siang harinya ia manfaatkan untuk berjihad melawan kaum kafir.

Kebiasaan Abbad membaca kalam Allah SWT setiap malam sangat menarik hati setiap orang yang mendengarnya. Pada suatu malam, saat ia menunaikan tahajud di Masjid Nabawi, suara bacaannya yang lembut terdengar hingga kamar Ummul Mukminin Aisyah RA. Saat itu Rasulullah SAW berada di sana.

Beliau bersabda kepada istrinya, “Ini suara Abbad ibn Bisyar.”

Aisyah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!” (menurut Ibn al-Atsir, “Ya Allah, kasihilah Abbad”).

Abbad ibn Bisyr Pemilik Tongkat Bercahaya

Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Bahz ibn Asad dari Hamad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa Usaid ibn Hudhair dan Abbad ibn Bisyr menemani Rasulullah SAW pada suatu malam. Kemudian mereka keluar meninggalkan beliau.

Tiba-tiba tongkat salah seorang dari mereka memancarkan cahaya terang sehingga mereka dapat berjalan diterangi cahaya itu. Saat keduanya berpisah, tongkat mereka masing-masing mengeluarkan cahaya.

Suatu malam menjelang Perang Yamamah, Abbad bermimpi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Abbad ibn Bisyr berkata, “Hai Abu Said, aku bermimpi langit terbuka untukku, kemudian tertutup lagi. Aku menafsirkannya, insya Allah, sebagai kesyahidan.”

Abu Said berkata, “Demi Allah, sungguh baik mimpimu itu.”

Keesokan harinya Abbad bersama beberapa sahabat bergabung dalam pasukan Khalid ibn Walid untuk memerangi Musailamah al-Kazzab. Mimpi dan harapan Abbad menjadi kenyataan. Ia terbunuh sebagai syahid dalam peperangan itu. Sungguh mimpi orang bertakwa adalah kebenaran.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Abdullah ibn Jubair, Komandan Pasukan Pemanah yang Syahid Tepati Janji ke Nabi


Jakarta

Abdullah ibn Jubair adalah salah satu sahabat nabi yang berasal dari kalangan Anshar keturunan suku Aus. Sebelum meletusnya Perang Uhud, Rasulullah SAW memilih 50 pemanah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Jubair.

Melansir buku Fikih Sirah yang ditulis Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Perang uhud terjadi karena beberapa tokoh Quraisy yang tidak terbunuh dalam perang Badar Kurba sepakat menuntut balas atas kematian teman-teman mereka. Untuk memerangi Rasulullah SAW mereka menggalang kekuatan dengan barang-barang berharga yang dulu dibawa kafilah pimpinan Abu Sufyan.

Abdullah Ibn Jubair Selalu Menjaga Janji

Abdullah ibn Jubair telah berjanji untuk selalu taat kepada Nabi Muhammad SAW, karena taat kepada Rasulullah SAW berarti taat kepada Allah.


Sedikit pun tidak ada keraguan dalam hatinya, apalagi niat untuk menggantikan rasa cintanya kepada beliau. Ia selalu mendahulukan kepentingan Nabi SAW dalam segala urusan dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hasan Kinas menjelaskan bahwa sebelum perang berkecamuk, Rasulullah SAW telah berpesan kepada pasukan pemanah, “Jangan pernah meninggalkan posisi kalian ketika kalian melihat kami terdesak oleh serangan musuh!”

Perintah Nabi SAW itu sangat jelas dan mudah dipahami. Terlebih lagi, perintah itu keluar dari lisan seorang nabi yang tidak akan berbicara kecuali dengan petunjuk Allah.

Saat perang mulai berkecamuk, pasukan muslim berada di atas angin. Mereka dapat mendesak dan menghancurkan barisan musuh.

Saat itu, semua muslim merasa yakin, mereka akan segera meraih kemenangan besar seperti yang didapatkan di Badar. Tak sedikit pasukan musyrik lari menjauhi medan perang, meninggalkan berbagai perlengkapan dan perbekalan mereka.

Menyaksikan keadaan itu, kaum muslim menyangka bahwa perang telah usai dan mereka meraih kemenangan. Maka, nyaris semua orang berlari ke sana kemari memperebutkan harta rampasan dengan wajah yang ceria seraya meneriakkan pekik kemenangan.

Saat yang sama, pasukan pemanah memperhatikan dari atas apa yang terjadi di bawah. Mereka mengira, perang telah usai ketika melihat kawan-kawan mereka berlarian mengambil rampasan perang.

Mereka khawatir tidak kebagian barang yang ditinggalkan pasukan musyrik atau dari korban yang tewas. Semakin lama semakin gelisah. Sementara, mereka tak juga menerima perintah baru dari Rasulullah SAW tidak mau menunggu lebih lama, mereka membubarkan diri dan berlari menuruni bukit.

Mereka tak menghiraukan komandan mereka, Abdullah ibn Jubair, yang berteriak mengingatkan mereka agar bertahan di atas bukit. Mereka tak peduli meskipun Ibn Jubair mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah SAW. Mereka seolah-olah tuli karena pikiran mereka dipenuhi keinginan untuk mendapatkan rampasan perang. Mereka lupa, sesungguhnya harta dunia pasti akan sirna dan akhirat merupakan pilihan yang terbaik dan abadi.

Tak semua pemanah beranjak meninggalkan posisi mereka. Ada sepuluh orang yang bertahan di puncak bukit, termasuk komandan mereka, Abdullah ibn Jubair. Mereka berdiri kukuh, mematuhi perintah Nabi SAW, panglima perang tertinggi. Sedikit pun tak terlintas di hati mereka untuk menukar ketaatan kepada Rasulullah SAW dengan harta dunia.

Ketidaktaatan pasukan pemanah harus dibayar mahal. Divisi kavaleri Quraisy, di bawah komando Khalid ibn al-Walid, wira perang yang sangat cakap, menantikan saat-saat itu di balik bukit. Mereka menunggu kaum muslim lengah.

Saat menyaksikan bukit tak lagi terjaga dengan baik, Khalid menyerbu dari balik bukit, lalu menyerang tangkas pasukan pemanah yang tersisa dan menumbangkan mereka semua.

Kavaleri Quraisy itu kemudian berderap menuruni bukit, menebas kaum muslim yang berlari serabutan karena tak menduga musuh berbalik menyerang. Abdullah ibn Jubair, komandan pasukan pemanah, yang setia pada perintah, gugur sebagai syahid.

Semoga Allah merahmatinya

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com