Tag Archives: azhar

Aset Wakaf RI Tembus Rp 2.050 Triliun, tapi Mayoritas Tidak Produktif



Jakarta

Dalam catatan aset wakaf di Indonesia saat ini cukup besar. Angkanya diperkirakan mencapai Rp 2.050 triliunan. Akan tetapi aset wakaf mayoritas berupa aset fisik dan kurang produktif.

Data tersebut disampaikan Direktur DEKS Bank Indonesia (BI) Rifki Ismal dalam forum Simposium Keuangan dan Ekonomi Syariah yang diselenggarakan Forum Jurnalis Wakaf dan Zakat Indonesia (Forjukafi) di Jakarta pada Kamis (26/9).

Rifki menyebut BI sebagai otoritas moneter memiliki kepentingan terhadap ekonomi syariah, termasuk keuangan syariah dan keuangan sosial.


“Kalau kita bicara wakaf, masyarakat pahamnya masjid, makam, atau pesantren,” ujar Rifki dalam keterangannya.

Rifki menilai pandangan tersebut tidaklah salah, tapi sejatinya paradigma terhadap wakaf sangat luas. Ia mencontohkan kampus Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir yang merupakan lembaga pendidikan yang berdiri di atas aset wakaf.

Rifki juga menyampaikan angka literasi atau melek ekonomi syariah masih 28 persen. Artinya dari 100 orang, ada 28 orang yang paham ekonomi syariah.

Kemudian dari sisi profesi, pemahaman soal ekonomi dan keuangan syariah adalah dosen dan PNS. Rifki berharap dengan keterlibatan masyarakat, khususnya dari kalangan jurnalis, literasi keuangan syariah di masyarakat bisa meningkat.

Berkenaan dengan hal ini, Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Kamaruddin Amin beberapa waktu lalu dalam acara Puncak Harlah ke-17 BWI pada (30/08/2024), menyebutkan ada potensi wakaf di Indonesia yang cukup besar.

Direktur Jenderal pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) ini mengatakan upaya BWI selanjutnya untuk meningkatkan angka wakaf nasional tersebut tengah menuju pada langkah teknis. Termasuk, menggandeng kementerian hingga masyarakat untuk menyebarluaskan gerakan berwakaf.

Kamaruddin menambahkan, “Kita akan mengajak seluruh kementerian, seluruh civil society, ormas-ormas keagamaan, masjid-masjid, calon-calon pengantin, calon-calon jemaah, haji, umrah begitu. Dan mengajak teman-teman pers juga bisa bersama-sama menyebarluaskan.”

Selain itu, BWI juga melakukan pemanfaatan instrumen digital untuk menjangkau lebih banyak masyarakat terutama anak-anak muda. Pihaknya menyiapkan aplikasi Satu Wakaf Indonesia yang bisa diakses dengan mudah. Selain itu BWI juga menyiapkan QRIS yang bisa digunakan masyarakat agar berwakaf lebih mudah.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Merumuskan Ulang Posisi Islam Indonesia dalam Kancah Global



Jakarta

Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar Dr. Ahmed Muhammad Ahmed El-Tayeb untuk ketiga kalinya ke Indonesia, pada 8 hingga 11 Juli 2024, yang merupakan bagian dari lawatannya ke Asia Tenggara, patut mendapat sambutan istimewa karena beberapa alasan. Kunjungan ini bertujuan untuk menggaungkan Piagam Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia, yang ditandatangani oleh pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada tahun 2019, sebagaimana dijelaskan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (balitbangdiklat.kemenag.go.id 26/6/2024).

Lebih dari itu, kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar kali ini memiliki arti penting bukan saja bagi penguatan hubungan historis yang mendalam antara Indonesia dan Mesir, tetapi juga bagi upaya Indonesia untuk memperkuat posisi strategisnya dalam kancah global. Indonesia dan Mesir dapat bergandengan tangan berdiri di depan untuk menyuarakan perdamaian dan persaudaraan sambil melawan segala bentuk ekstremisme, radikalisme dan kekerasan. Ditopang Al-Azhar, Mesir dikenal sebagai benteng nilai-nilai moderasi dan toleransi. Begitu juga Indonesia. Dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar, Indonesia masyhur dengan model keislaman yang inklusif dan damai.

Dalam lanskap dunia kontemporer, interaksi antara agama, politik, dan identitas menjadi semakin kompleks. Di antara dinamika ini, konsep “decentring Islam” (mendesentrisasi Islam) muncul sebagai paradigma signifikan. Decentring Islam berupaya untuk mengalihkan dari perspektif tradisional yang berpusat pada Arab mengenai identitas dan praktik Islam, ke arah keragaman dan pluralitas dalam dunia Muslim. Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbanyak dan satu negeri Asia besar, menawarkan sudut pandang unik untuk mengeksplorasi konsep ini dan implikasinya terhadap geopolitik global, wacana keagamaan, dan pertukaran budaya.


Secara historis, pemikiran dan praktik Islam sangat dipengaruhi oleh budaya Arab, mengingat asal-usul agama ini di Jazirah Arab. Pandangan yang berpusat pada Arab ini sering kali menutupi kekayaan keragaman tradisi Islam di berbagai wilayah, termasuk Indonesia yang sering masih dipandang pinggiran (peripheral). Decentring Islam bertujuan memperluas pemahaman tentang identitas Islam dengan mengakui dan menghargai berbagai ekspresi Islam yang dipraktikkan oleh Muslim non-Arab. Pendekatan ini menekankan pentingnya konteks lokal, kekhasan budaya, dan perkembangan historis yang membentuk praktik keagamaan Muslim di berbagai belahan dunia.

Decentring Islam bukan berarti mengurangi pentingnya kontribusi Arab terhadap peradaban Islam, tetapi mengakui bahwa Islam adalah agama global dengan berbagai macam ekspresi dan perubahan budaya. Ini bertujuan membongkar representasi Islam yang monolitik, dengan mendorong pemahaman yang lebih inklusif dan representatif yang mencerminkan realitas kehidupan Muslim di seluruh dunia.

Indonesia: Model Pluralisme Islam

Indonesia, rumah bagi lebih dari 270 juta Muslim, mewujudkan prinsip-prinsip decentring Islam melalui perpaduan khas antara iman Islam dan budaya lokal. Sejarah kepulauan ini ditandai oleh sintesis berbagai pengaruh budaya dan agama, termasuk Hindu, Buddha, dan kepercayaan adat, yang telah berjalin dengan tradisi Islam. Mosaik budaya ini melahirkan Islam khas Indonesia yang berakar kuat pada konteks lokal yang melahirkan berbagai keragaman di dalam Islam Indonesia itu sendiri. Kecuali Islam di Jawa yang terepresentasi dengan baik dalam berbagai kajian kesarjanaan, sebenarnya mosaik keragaman di berbagai kepulauan lain, termasuk wilayah Indonesia Timur, masih sangat menarik dieksplorasi untuk mendapatkan gambaran lebih utuh tentang Islam Indonesia.

Islam Indonesia ditandai oleh sifatnya yang moderat dan pluralistik. Falsafah dasar bangsa, Pancasila, yang mempromosikan toleransi dan inklusivitas beragama, memastikan bahwa semua komunitas agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Pancasila menjadi falsafah antarbudaya (intercultural philosophy) yang sangat relevan dengan kemajemukan. NU dan Muhammadiyah mendukung interpretasi Islam yang kontekstual dan progresif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, demokrasi dan hak asasi manusia. Model pluralistik dan inklusif ini menawarkan narasi alternatif tentang Islam, dengan menunjukkan bahwa agama ini dapat berkembang dalam lingkungan budaya dan politik yang beragam.

Peran NU dan Muhammadiyah sangat penting dan tidak tergantikan dalam memosisikan Islam Indonesia dalam kancah global. Terutama melalui inisiatif pendidikan, sosial, dan politik mereka, NU dan Muhammadiyah berkontribusi pada pemahaman Islam yang lebih pluralistik dan inklusif, baik di Indonesia maupun di dunia Muslim yang lebih luas. Konsistensi mereka dalam inisiatif-inisiatif fundamental ini akan menentukan trayektori masa depan mereka dalam decentring Islam.

NU mengoperasikan jaringan luas pendidikan keagamaan (pesantren) di seluruh Indonesia, dari tingkat dasar sampai universitas, yang mendorong pendekatan holistik terhadap pembelajaran. Kurikulum sering kali mencakup pengajaran tentang toleransi beragama, demokrasi, dan hak asasi manusia. Demikian pula, Muhammadiyah telah membangun jaringan pendidikan yang komprehensif, yang menekankan pemikiran ilmiah dan rasional di samping pendidikan agama, mendorong pemikiran kritis dan inovasi. Lembaga-lembaga pendidikan yang mereka kelola perlu didorong tampil di kancah global, melalui pembukaan cabang-cabangnya di berbagai kawasan dunia Islam.

Reformulasi di Kancah Global

Posisi strategis Indonesia dalam kancah global bersifat multifaset, mencakup dimensi politik, ekonomi, dan budaya. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia memainkan peran krusial dalam urusan ekonomi regional dan global. Model pemerintahan demokratisnya dan identitas Islam moderatnya memberikan narasi alternatif terhadap persepsi Islam yang sering terpolarisasi dalam politik global.

Di panggung internasional, Indonesia aktif mempromosikan dialog dan kerja sama antaragama melalui kebijakan luar negerinya. Upaya diplomatik negara ini dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah konflik, terutama di dunia Muslim, menunjukkan komitmennya terhadap tatanan global yang didasarkan pada saling menghormati dan pengertian. Kepemimpinan Indonesia dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan partisipasinya dalam misi perdamaian PBB semakin menegaskan perannya sebagai mediator dan advokat perdamaian.
Secara budaya, Indonesia berkontribusi terhadap pemahaman global tentang Islam melalui warisan seni, sastra, dan praktik keagamaannya yang kaya. Peringatan tahunan hari raya Islam, perayaan musik dan tarian tradisional Islam, serta lembaga pendidikan Islam yang berkembang pesat semuanya mencerminkan budaya Islam Indonesia yang dinamis. Dengan membagikan aset budaya ini di panggung global, Indonesia membantu mendesentrisasi narasi yang berpusat pada Arab dan menyoroti keragaman dalam dunia Muslim.

Singkatnya, decentring Islam adalah kerangka kerja yang krusial untuk memahami sifat multifaset dari dunia Islam, dan posisi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim utama mencerminkan keragaman ini. Perpaduan unik antara iman Islam dan praktik budaya lokal, komitmennya terhadap pluralisme dan demokrasi, serta peran aktifnya dalam diplomasi global, semuanya berkontribusi pada pemahaman yang lebih bernuansa dan inklusif tentang Islam.

Seiring dunia terus bergumul dengan isu-isu identitas keagamaan dan koeksistensi, contoh Indonesia menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana Islam dapat dipraktikkan dan dipahami dalam cara yang beragam dan dinamis. Dengan merangkul prinsip-prinsip decentring Islam, komunitas global dapat bergerak menuju apresiasi yang lebih komprehensif dan adil terhadap keragaman dunia Muslim yang sangat kaya. Dalam lingkup praktisnya, dengan memberdayakan segenap kemampuan ekonomi-politik dan modal kultural keislaman di kawasan, di Asia khususnya, dan global melalui prinsip co-production of peace, pemerintah dan warga Indonesia bisa lebih berperan untuk ikut menawarkan secercah harapan baru.

Noorhaidi Hasan
Guru Besar Islam dan Politik, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Memaknai Kunjungan Grand Syekh Al-Azhar di Indonesia



Jakarta

Untuk ketiga kalinya sejak ditabalkan sebagai Pimpinan tertinggi institusi Al-Azhar, Mesir pada 2010, Grand Syekh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Mohammad Ahmed Al-Thayeb, menyambangi Indonesia pada 8 hingga 12 Juli 2024.

Kehadirannya di negeri yang amat sangat majemuk dan sekaligus relijius ini selalu bermakna penting, mengingat reputasi dan komitmen Syekh Al-Thayeb di tingkat global dalam mendakwahkan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Kita mungkin masih ingat, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Grand Syekh Ahmed Al-Thayeb mengadakan pertemuan bersejarah dengan Pemimpin Gereja Katolik Vatikan, Paus Fransiskus, dan bersama-sama menandatangani dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document), yang menegaskan keberpihakan untuk menciptakan perdamaian.
Pertemuan dua tokoh agama besar di dunia saat itu mengirim pesan kepada khalayak bahwa musuh bersama kita yang perlu diwaspadai sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.


Pesan moral keagamaan dan kemanusiaan lima tahun lalu itu masih sangat relevan hingga saat ini, ketika di belahan dunia, perang Rusia-Ukrania dan konflik Israel-Palestina yang mengakibatkan ribuan korban kemanusiaan tak kunjung mereda, dan ketika di Negeri sendiri gesekan antarumat beragama sesekali masih mengemuka.

Marwah Indonesia

Mengapa kehadiran Grand Syekh Ahmed Al-Thayeb ketiga kalinya ini menjadi penting bagi kita, bangsa Indonesia?
Pertama, saya meyakini bahwa Syekh Al-Thayeb memahami betul bahwa Indonesia mewarisi tradisi, peradaban, dan marwah (wibawa) keilmuan Islam adiluhung yang telah berusia lebih dari 500 tahun. Syekh Al-Thayeb nyaman berkunjung ke Indonesia.

Sebagai seorang akademisi, Syekh Al-Tayeb niscaya sangat mengapresiasi para ahl al-‘ilmi yang dilahirkan dari rahim bumi Nusantara, yakni para ulama masa silam yang telah mendakwahkan Islam secara damai melalui penyebaran ilmu pengetahuan, menulis manuskrip-manuskrip keagamaan, seraya menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, beragam dari segi suku, etnis, bahasa, aksara, dan agamanya.

Bagi seorang ilmuwan seperti Grand Syekh Ahmed Al-Thayeb, mengenal tradisi keilmuan seperti yang kita miliki itu jelas teramat penting, karena dapat menjadi pintu masuk untuk memahami karakter keberagamaan masyarakat Indonesia secara lebih empatik.

Terlebih, corak keilmuan sufistik yang sangat kental mewarnai karakter Islam awal Indonesia, juga sangat sejalan dengan pandangan keagamaan Syekh Al-Thayeb yang pernah mengatakan bahwa:

“Keberterimaan pendekatan pendidikan dan dakwah Al-Azhar di dunia Islam dan luar Islam itu karena spirit yang menggabungkan antara pemikiran ilmiah dan tasawuf dan semangat berpegang pada batas-batas moderat dalam hal akidah dan amal yang mencerminkan jiwa Islam sejati” (kuliah umum Grand Syekh Al-Azhar di kampus UIN Malang, Februari 2016).
Kedua, saya ingin memaknai kunjungan Grand Syekh Al-Azhar ini sebagai isyarat pentingnya Indonesia dalam konteks perjuangan menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perdamaian dunia.

Indonesia ini negara yang unik. Masyarakatnya amat majemuk dan sekaligus relijius. Hampir tidak ada aktivitas warga masyarakat Indonesia, termasuk dalam bidang sosial-politik, yang tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran agama. Namun begitu, Indonesia bukan negara agama, masyarakat yang majemuk tadi memiliki ruang leluasa dalam mengekspresikan keragaman dan sikap keberagamaannya.

Dalam konteks bernegara, tidak mudah mengelola kemajemukan dan relijiusitas warga yang sangat majemuk itu. Negara harus senantiasa menjaga keseimbangan antara melindungi hak beragama setiap warga yang beragam cara pandang, sikap, dan praktik beragamanya di satu sisi, dengan keharusan menegakkan komitmen kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

Syukurlah sejauh ini kita berhasil mengelola keragaman dan keberagamaan masyarakat Indonesia itu dengan baik, antara lain melalui ijtihad merumuskan konsep Moderasi Beragama.
Moderasi Beragama adalah salah satu tawaran solusi untuk mengarusutamakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Ketiga, kehadiran (lagi) Grand Syekh Al-Azhar di Indonesia dapat kita maknai sebagai pesan bahwa upaya untuk merawat kerukunan, toleransi, perdamaian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan di Indonesia masih perlu terus-menerus dilakukan.

Agama harus menjadi inspirasi sejati agar kita bisa bersama-sama menjaga hak kodrati setiap manusia, memenuhi hajat hidup orang banyak, memberikan perlindungan kaum lemah, serta mengatur dengan baik tata kehidupan masyarakat yang beragam.

Berharap Langkah Konkrit

Mungkin, hal berikutnya yang penting dipikirkan bersama adalah apa langkah-langkah konkrit yang bisa Indonesia lakukan bersama Grand Syekh Al-Azhar?
Pesan kemanusiaan dan perdamaian tidak cukup berhenti di atas mimbar atau di forum diskusi. Gaungnya akan terasa hambar kalau prinsip kemanusiaan belum bisa tegak diatas sikap keberagamaan, sebagaimana sering disampaikan oleh ulama ahli tafsir kita, Prof. Dr. Quraish Shihab.

Saya tentu tidak dalam kapasitas menawarkan solusi. Namun, kita bersyukur bahwa Indonesia dipercaya menjadi salah satu pusat aktivitas Majelis Hukama Muslimin (MHM) tingkat Asia Tenggara, lembaga yang dipimpin langsung oleh Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmed Mohammad Ahmed Al-Thayeb, pemegang otoritas tertinggi keagamaan di Mesir.
Karenanya, sambutan hangat dan terbaik sepatutnya kita berikan menyambut kedatangan Syekh Al-Thayeb di Indonesia, ahlan wa sahlan wa marhaban bi-ziyaratikum…

Kita patut berharap bahwa para ulama, tokoh agama, dan kaum cerdik-cendikia di Indonesia, khususnya yang tergabung dalam Majelis Hukama Muslimin itu, dapat melanjutkan membangun marwah peradaban keagamaan dan kemanusiaan yang kita warisi, sehingga kita, bangsa Indonesia, bisa menegakkan kepala berkontribusi bagi dunia. Semoga.

Ciputat, 6 Juli 2024

Oman Fathurahman
Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Doa Penutup Majelis dan Adabnya yang Harus Diperhatikan


Jakarta

Doa penutup majelis dapat diamalkan muslim saat acara selesai. Biasanya, bacaan ini juga disebut sebagai doa kafaratul majelis.

Doa penutup majelis dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Bacaan ini tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi.

Sebagaimana diketahui, majelis ilmu dalam Islam memiliki kedudukan yang penting. Disebutkan pada buku Adab dalam Majelis susunan Hafidz Muftisany, majelis ilmu memiliki kedudukan yang penting dalam Islam.


Lantas, seperti apa doa penutup majelis yang bisa dilafalkan muslim? Berikut bacaannya.

Kumpulan Doa Penutup Majelis

1. Doa Penutup Majelis Versi Pertama

Menukil dari buku Doa Harian Pengetuk Pintu Langit karya H Hamdan Hamedan MA, doa penutup majelis versi pertama ini cukup panjang. Doa berasal dari Ibnu Umar RA riwayat Tirmidzi, dikatakan Rasulullah SAW jarang meninggalkan majelis ilmu sebelum membaca doa tersebut untuk para sahabatnya.

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

Arab latin: Allahummaqsim lana min khasy-yatik, maa tahulu bainanaa wa baina ma’shiyyatik, wa min thaa’atika maa tuballighuna bihi jannatak wa minal yaqiini ma tuhawwinu bihi ‘alaina mashaaibad dunya.

Allahumma matti’naa bi asmaa’inaa wa abshaarina wa quwwatinaa ma ahyaytana waj’alhul waaritsa minna waj’alhu tsa’ranaa ‘alaa man ‘aadanaa wa laa taj’al mushiibatanaa fii diininaa wa laa taj’alid dunya akbara hamminaa wa laa mablagha ‘ilminaa wa laa tusallith ‘alainaa man laa yarhamunaa.

Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan Kami ke surga-Mu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah dunia ini.

Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami,” (HR Tirmidzi).

2. Doa Penutup Majelis Versi Kedua

Doa penutup majelis versi kedua lebih pendek dari yang pertama. Kali ini, doa penutup majelis tercantum dalam surah As Saffat ayat 180-182,

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Arab latin: Subhaana rabbikaa rabbil ‘izzati ‘ammaa yashifuun, wa salaamun ‘alal mursaliin, wal hamdulillahi rabbil ‘aalamiin

Artinya: “Maha Suci Tuhanmu, Tuhan pemilik kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan. Selamat sejahtera bagi para rasul. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

3. Doa Penutup Majelis Versi Ketiga

Selanjutnya, doa penutup majelis versi terakhir didasarkan dari hadits Nabi SAW riwayat Tirmidzi. Berikut bunyinya,

سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ

Arab latin: Subhânakallâhumma wa bihamdika asyhadu an-lâilâha illâ anta astaghfiruka wa atûbu ilaik

Artinya: “Maha Suci Engkau, ya Allah. Segala sanjungan untukMu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepadaMu.” (HR Tirmidzi).

Adab dalam Majelis Ilmu bagi Muslim

Mengutip dari Kitabul Aadab oleh Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub yang diterjemahkan Azhar Khalid dan Muh Hidayat, berikut beberapa adab bagi muslim yang menghadiri majelis ilmu.

1. Mengucap Salam ketika Datang dan Pulang

Meski tidak wajib, mengucap salam ketika datang menghadiri majelis dan sebelum pulang termasuk sunnah. Rasulullah SAW bersabda dari Abu Hurairah RA,

“Jika salah seorang dari kalian datang ke majelis, maka ucapkanlah salam, jika dia hendak duduk, maka duduklah. Kemudian bila bangun, maka ucapkanlah salam. Salam yang pertama tidaklah lebih layak dari salam yang terakhir.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

2. Berzikir kepada Allah SWT

Melantunkan zikir kepada Allah SWT termasuk adab majelis yang perlu diperhatikan muslim. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya,

“Tidak ada sekelompok orang yang bangun dari sebuah majelis yang tidak disebut nama Allah di dalamnya, kecuali mereka bangun dari bangkai keledai, dan mereka akan menyesal.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan At Tirmidzi)

3. Duduk di Tempat yang Masih Tersedia

Adab selanjutnya adalah duduk di tempat yang masih tersedia. Ini dilakukan oleh para sahabat nabi, dari Jabir bin Samurah RA ia berkata,

“Kamu apabila mendatangi Rasulullah SAW, kami duduk di tempat yang masih tersedia.”

4. Memilih Teman Majelis

Memilih teman majelis dianjurkan oleh Rasulullah SAW, beliau berkata:

“Seseorang itu dapat terpengaruh karena agama temannya, maka salah seorang dari kalian hendaklah melihat siapa yang menjadi temannya.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan At Tirmidzi)

5. Dilarang Berbisik kepada Dua Orang

Larangan berbisik kepada dua orang tanpa melibatkan orang ketiga termasuk adab dalam majelis. Ini termasuk adab untuk menghindari rasa sedih ketiga dua orang berbisik namun orang ketiga tidak mengetahuinya. Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Janganlah saling berbisik antara dua orang tanpa melibatkan yang ketiga, karena itu akan membuatnya bersedih.” (HR Bukhari)

Itulah doa penutup majelis dan adabnya yang perlu diperhatikan muslim. Jangan lupa diamalkan, ya!

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Doa setelah Baca Al-Qur’an Sesuai Hadits Nabi SAW


Jakarta

Doa setelah membaca Al-Qur’an dapat diamalkan oleh muslim. Doa ini termaktub dalam hadits Rasulullah SAW yang berasal dari Aisyah RA.

Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam sekaligus mukjizat terbesar yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya kita membaca, mempelajari dan mengamalkan isi dari Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam surah Al A’raf ayat 204,


وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Setelah membaca Al-Qur’an, terdapat doa yang bisa dibaca. Seperti apa? Berikut bunyi doanya yang dinukil dari buku Kumpulan Doa & Dzikir Ramadhan susunan Ammi Nur Baits.

Doa setelah Membaca Al-Qur’an: Arab, Latin dan Arti

Doa setelah membaca Al-Qur’an bisa diamalkan karena termasuk sunnah Rasulullah SAW. Doa tercantum dalam hadits dari Aisyah RA,

“Tidaklah Rasulullah duduk di suatu tempat atau membaca Al-Qur’an ataupun melaksanakan sholat kecuali beliau akhiri dengan membaca beberapa kalimat,”

Aisyah kemudian bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, tidaklah Anda duduk di suatu tempat, membaca Al-Qur’an ataupun mengerjakan sholat melainkan Anda akhiri dengan beberapa kalimat?”

Lalu beliau menjawab, “Betul, barang siapa yang mengucapkan kebaikan maka dengan kalimat tersebut amal tadi akan dipatri dengan kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan kejelekan maka kalimat tersebut berfungsi untuk menghapus dosa. Itulah ucapan:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ، وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Arab latin: Subhanakallahumma wa bihamdika, laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik.

Artinya: “Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku minta ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR Nasa’i)

Doa sebelum Membaca Al-Qur’an

Masih dari sumber yang sama, ada juga doa yang diamalkan sebelum membaca Al-Qur’an. Berikut bunyinya,

رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ # وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ

Arab latin: Robbi audzu bika min hamazatis syayathin wa audzubika Robi an yahduruun

Artinya: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”

Adab Membaca Al-Qur’an

Selain mengamalkan doa setelah membaca Al-Qur’an, ada juga adab-adab yang harus diperhatikan muslim. Berikut penjelasannya yang dikutip dari Kitabul-Aadab oleh Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub terjemahan Azhar Khalid Seff dan Muh Hidayat.

  • Bersuci sebelum menyentuh dan membaca Al-Qur’an
  • Membaca basmalah
  • Memanjangkan bacaan Al-Qur’an sesuai tajwidnya
  • Ikhlas ketika mempelajari dan membaca Al-Qur’an
  • Mengindahkan suara dalam membaca Al-Qur’an bukan dengan nada yang berliuk atau menyerupai lagu serta nyanyian

Itulah doa setelah membaca Al-Qur’an dan adabnya. Semoga bermanfaat.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com