Tag Archives: bidah

Ini Amalan yang Tertolak dalam Islam Menurut Hadits, Hati-hati!


Jakarta

Amalan yang tertolak adalah amalan yang tidak diterima oleh Allah SWT meski amalan itu terlihat baik. Dalam Islam, setiap ibadah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits.

Rasulullah SAW telah memberikan banyak peringatan mengenai amalan-amalan yang bisa tertolak karena tidak memenuhi ketentuan syariat. Memahami apa saja yang bisa menyebabkan amalan kita tertolak menjadi penting agar ibadah tidak sia-sia.

Lantas, apa saja contoh amalan yang tertolak dalam Islam? Simak selengkapnya untuk menghindari amalan yang sia-sia.


Dalil tentang Amalan yang Tertolak

Terdapat dalil yang menyebutkan bahwa amalan yang tidak sesuai dengan sunnah akan tertolak dan tidak diterima. Berikut adalah hadits yang membahas tentang amalan yang tertolak yang dinukil dari Hadits Arbain karya Imam Nawawi dari kitab Al-Wafi: Syarah Hadits Arbain Imam An-Nawawi tulisan Musthafa Dib Al-Bugha dan diterjemahkan oleh Muzayin

Rasulullah SAW bersabda,

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْمُسْلِمِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ

Artinya: “Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah, Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang mengadakan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia ditolak,” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, “Siapa saja yang melakukan suatu amal yang bukan urusan (agama) kami, maka ia ditolak.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Penjelasan Hadits tentang Amalan yang Tertolak

Hadits di atas adalah hadits urutan kelima dalam hadits Arbain. Hadits tersebut menyoroti perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Allah SWT dan Rasul-Nya, atau dilakukan bukan untuk mengharapkan ridha-Nya, akan tertolak. Hadits ini juga menjelaskan bahwa inovasi atau hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bukanlah bagian dari ajaran Islam. Oleh karena itu, setiap muslim harus memastikan amal perbuatannya selaras dengan ajaran agama yang murni.

Seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi, hadits ini penting untuk dihafal oleh setiap muslim dan dijadikan dalil dalam menolak segala bentuk kemungkaran. Begitu pula dengan penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, yang menegaskan bahwa hadits ini adalah dasar prinsip Islam. Topik yang diangkat oleh hadits ini juga sangat luas, karena menjadi fondasi bagi dalil syar’i dalam setiap tindakan dan keputusan.

Pesan dalam Hadits tentang Amalan yang Tertolak

Hadits ini menyampaikan pesan penting mengenai konsep ittiba’ (mengikuti) dan menolak ibtida’ (mengada-adakan hal baru) dalam agama Islam.

Ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam surah Ali-‘Imran ayat 31 dan surah Al-An’am ayat 153, memperkuat prinsip ini, yakni kewajiban untuk mengikuti petunjuk yang sudah ada tanpa menambah atau mengurangi ajaran yang disampaikan Rasulullah SAW.

Itulah sebabnya, dalam salah satu khutbahnya, Rasulullah SAW menekankan bahwa sebaik-baiknya perkataan adalah Kitab Allah SWT dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW dan setiap bentuk inovasi dalam agama (bid’ah) akan membawa pada kesesatan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR Muslim) Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan, “Dan setiap kesesatan berada di dalam neraka.”

Amalan-amalan yang Tertolak

Ketika amalan dalam ibadah tidak mengikuti aturan yang telah Allah SWT tetapkan, hal itu termasuk dalam kategori ibadah yang tertolak. Contoh-contoh perbuatan tersebut adalah amalan yang mengada-adakan sesuatu dalam agama, yang dikategorikan sebagai bid’ah. Sebagai contoh,

1. Menyiksa diri sebagai bentuk pendekatan kepada Allah SWT

2. Membuat syarat baru dalam ibadah haji

3. Mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara yang tidak diajarkan

Dalam kehidupan sehari-hari, penting bagi setiap muslim untuk selalu berpedoman pada syariat dan menghindari amalan-amalan baru yang tidak diatur dalam agama. Amalan yang dilakukan tanpa bimbingan yang jelas dari Allah SWT dan Rasul-Nya hanya akan membawa pelakunya pada kebinasaan.

Amalan-amalan yang Diterima

Dalam kehidupan sehari-hari, muncul banyak situasi atau tindakan baru yang belum ada di masa Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan syariat. Amalan seperti ini diterima selama ada dalil dan ketentuan syara’ yang mendukungnya. Para sahabat Rasulullah SAW pun pernah menghadapi hal-hal baru dan mereka sepakat menerimanya karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Contoh amalan yang diterima yang paling terkenal adalah inisiatif untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dan penulisan ulang Al-Qur’an di masa Khalifah Utsman bin Affan. Kedua tindakan ini dilakukan untuk menjaga keaslian dan kelestarian Al-Qur’an di berbagai wilayah.

Selain itu, penulisan ilmu seperti nahwu, tafsir, matematika, serta kajian-kajian ilmiah lainnya juga merupakan amalan yang diterima, karena bertujuan untuk memudahkan umat Islam dalam memahami agama dan menjaga kemakmuran umat manusia.

Dengan demikian, amalan-amalan baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan memiliki manfaat besar bagi umat, seperti inisiatif di bidang ilmu pengetahuan atau perlindungan agama, merupakan amalan yang diterima oleh Allah SWT.

Jenis-jenis Bid’ah

Dalam ajaran Islam, bid’ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu bid’ah yang tercela dan bid’ah yang terpuji. Bid’ah yang tercela adalah segala amalan baru yang bertentangan dengan syariat Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga perbuatan tersebut dianggap sesat dan berbahaya. Sebaliknya, jika suatu amalan baru tetap sesuai dengan syariat dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, maka amalan tersebut termasuk dalam bid’ah yang terpuji.

Menurut Imam Syafi’i, segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ ulama adalah bid’ah yang sesat. Namun, jika hal baru tersebut membawa kebaikan tanpa menyalahi syariat, maka itu adalah bid’ah yang baik. Contoh yang terpuji adalah inisiatif sahabat untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan.

Di sisi lain, bid’ah yang tercela memiliki hukum makruh atau haram karena mengandung potensi bahaya atau merusak tatanan agama. Contoh bid’ah yang buruk adalah tindakan mengikuti aliran sesat yang mengabaikan hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, atau mengkultuskan benda atau individu sebagai sarana mendapatkan berkah.

Dalam sejarah, Rasulullah SAW pernah menegur para sahabat yang meminta untuk membuat pohon yang dianggap keramat, sebagaimana orang musyrik melakukan hal serupa dengan pohon berduri sebelum Perang Hunain. Rasulullah SAW menegaskan bahwa tindakan seperti ini adalah perilaku yang meniru umat terdahulu yang tersesat.

Rasulullah SAW bersabda, “Allah Akbar. Sungguh inilah yang dikatakan oleh umat Nabi Musa, ‘Buatkanlah kami tuhan seperti mereka memiliki tuhan. Lalu Nabi Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh. Lalu apakah kalian akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh umat sebelum kalian?”

Terlepas dari semua itu, diterima tidaknya amal seseorang sepenuhnya merupakan hak Allah SWT. Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Bacaan Doa Iftitah Muhammadiyah: Arab, Latin dan Artinya


Jakarta

Membaca doa iftitah termasuk sunnah dalam sholat, menurut mayoritas ulama mazhab. Bacaan doa iftitah bervariasi.

Doa iftitah dibaca setelah takbiratul ihram tepatnya sebelum membaca surah Al-Fatihah. Dikutip dari buku Ritual Sholat Rasulullah SAW Menurut 4 Mazhab tulisan Isnan Ansory, doa ini juga dikenal dengan nama doa istiftah, doa tsana, atau doa tawajuh.

Para ulama sepakat bahwa membaca bacaan iftitah bukanlah rukun sholat, artinya sholat tetap sah walaupun tanpa membacanya. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai kesunahannya.


Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali memandang membaca bacaan iftitah dalam sholat adalah sunnah. Ini berarti meskipun tidak wajib, membaca iftitah dianjurkan untuk menambah kesempurnaan sholat.

Sementara itu, mazhab Maliki berpendapat membaca bacaan iftitah tidak disunnahkan, bahkan mereka menganggapnya makruh atau bid’ah. Alasan di balik pandangan ini adalah kekhawatiran bahwa menambahkan bacaan di luar yang diwajibkan dalam sholat dapat dianggap sebagai kewajiban, sehingga menambah unsur yang bukan bagian asli dari sholat.

Ada banyak bacaan doa iftitah sebagaimana terdapat dalam hadits. Umat Islam Indonesia khususnya warga Muhammadiyah biasa membaca doa iftitah yang bersumber dari hadits Abu Hurairah RA.

Bacaan Iftitah Muhammadiyah Arab, Latin dan Artinya

Berikut bacaan iftitah Muhammadiyah dilansir dari situs resmi Suara Muhammadiyah.

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ ، وَالثَّلْجِ ، وَالبَرَدِ

Arab latin: Allahumma baaid baynii wa bayna khotoyaaya kamaa baa’adta baynal masyriqi wal maghrib. Allahumma naqqinii min khotoyaaya kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minad danas. Allahummagh-silnii min khotoyaaya bil maa-iwats tsalji wal barod.

Artinya: “Wahai Allah jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat, ya Allah bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana bersihnya baju putih dari kotoran, ya Allah basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan air dingin.”

Bacaan Iftitah Versi Lain

Selain bacaan tersebut, berikut sejumlah bacaan iftitah yang pernah digunakan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW.

1. Bacaan Iftitah dari Hadits Ali bin Abi Thalib RA

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ.

اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ بَ إِلَّا إِلَّا أَنْتَ، أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Arab latin: Wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas-samaawaati wal-ardha haniifan, wa maa ana minal-musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil-‘aalamiin, laa syariika lahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal-muslimiin.

Allahumma anta al-malik, laa ilaaha illa anta, anta rabbii wa ana ‘abduka, dhalamtu nafsii, wa’taraftu bidzanbii faghfirlii dzunuubii jamii’an, innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta. Wahdinii li-ahsanal-akhlāqi laa yahdii li-ahsanihaa illaa anta, wasrif ‘annii sayyi’ahaa laa yashrifu ‘annii sayyi’ahaa illaa anta.
Labbayka wa sa’dayka wal-khayru kulluhu biyadayka wasy-syarru laisa ilayka, ana bika wa ilayka, tabaarakta wa ta’aalayta, astaghfiruka wa atuubu ilayka.

Artinya: “Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku termasuk bagian dari orang-orang muslim.

Artinya: Ya Allah, Engkau adalah Raja, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Engkaulah Rabbku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah menzalimi diriku, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku seluruhnya, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Dan palingkan/ jauhkanlah aku dari kejelekan akhlak dan tidak ada yang dapat menjauhkanku dari kejelekan akhlak kecuali Engkau. Labbaika (aku terus-menerus menegakkan ketaatan kepada-Mu) dan sa’daik (terus bersiap menerima perintah-Mu dan terus mengikuti agama-Mu yang Engkau ridhai). Kebaikan itu seluruhnya berada pada kedua tangan- Mu, dan kejelekan itu tidak disandarkan kepada-Mu. Aku berlindung, bersandar kepada-Mu dan Aku memohon taufik pada-Mu. Mahasuci Engkau lagi Mahatinggi. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

2. Bacaan Iftitah dari Hadits Umar bin Khattab RA 1

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهُ غَيْرُكَ.

Arab latin: Subhaanaka allaahumma wa bihamdika, tabaarakasmuka, wa ta’aalaa jadduka, wa laa ilaaha ghayruka.

Artinya: “Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.”

3. Bacaan Iftitah dari Hadits Umar bin Khattab RA 2

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا.

Arab latin: Allaahu akbaru kabiiraa, walhamdu lillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi bukratan wa ashiilaa.

Artinya: “Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.”

4. Bacaan Iftitah dari Hadits Ja’far bin Abdillah

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ.

Arab latin: Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil-‘aalamiin, laa syariika lahu, wa bidzaalika umirtu wa ana minal-muslimiin.

Allahumma ihdinii li-ahsanil-a’maali wa ahsanil-akhlaaqi, laa yahdii li-ahsanihaa illaa anta, waqinii sayyi’al-a’maali wa sayyi’al-akhlaaqi, laa yaqiinii sayyi’ahaa illaa anta.

Artinya: “Sesungguhnya sholatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.

Ya Allah, tunjukilah aku kepada amalan yang terbaik dan akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada amalan dan akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Jagalah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang jelek, tidak ada yang dapat menjaga dari amal dan akhlak yang buruk kecuali Engkau.”

5. Bacaan Iftitah dari Hadits Anas bin Malik RA

الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Arab latin: Alhamdulillaahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih.

Artinya: “Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik, lagi diberkahi di dalamnya.”

6. Bacaan Iftitah dari Hadits Ibnu Abbas RA

اللهمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ فَيَّامُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ. أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ

. اللهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَرْتُ، وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ، أَنْتَ إِلهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.

Arab latin: Allahumma lakal-hamdu anta nuurus-samaawaati wal-ardhi wa lakal-hamdu anta qayyimus-samaawaati wal-ardhi wa lakal-hamdu anta rabbus-samaawaati wal-ardhi wa man fiihinna. Antal-haqqu, wa wa’duka al-haqqu, wa qawluka al-haqqu, wa liqaa’uka haqqun, wal-jannatu haqqun, wan-naaru haqqun, was-saa’atu haqqun.

Allahumma laka aslamtu, wa bika aamantu, wa ‘alayka tawakkaltu, wa ilayka anabtu, wa bika khaasumtu, wa ilayka haakamtu, faghfir lii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu, anta ilaahii laa ilaaha illaa anta.

Artinya: “Ya Allah, hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau adalah pemberi cahaya langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau-lah pemelihara langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau-lah yang terus menerus mengurusi langit-langit dan bumi beserta makhluk yang ada di dalamnya. Engkau adalah al-Haq (Dzat yang pasti wujudnya), janji-Mu benar, ucapan-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, dan hari kebangkitan itu benar (akan terjadi).

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali, dan demi-Mu aku berdebat (terhadap para pengingkarmu), hanya kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosa yang telah kuperbuat dan yang belakangan kuperbuat, ampunilah apa yang aku rahasiakan dan apa yang kutampakkan. Engkaulah Tuhanku, tiada tuhan selain Engkau.”

Cara Membaca Doa Iftitah

Bacaan iftitah dalam sholat dibaca di awal sebagai bagian dari permulaan ibadah. Untuk memberikan penjelasan yang lebih mendetail, berikut ini langkah-langkah awal dalam tata cara sholat berdasarkan panduan dari buku Risalah Tuntunan Sholat Lengkap karya Moh. Rifai:

1. Berdiri tegak menghadap kiblat dengan posisi yang benar.

2. Angkat kedua tangan sambil mengucapkan takbir.

3. Lanjutkan dengan membaca bacaan iftitah.

4. Setelah itu, baca surah Al-Fatihah dan teruskan dengan rukun-rukun sholat selanjutnya seperti biasa.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com