Tag Archives: bpom ri

Kronologi FDA Temukan Kontaminasi Radioaktif Cesium-137 pada Cengkeh Indonesia


Jakarta

Selain udang beku, Food and Drug Administration AS (FDA) baru-baru ini menemukan lagi produk impor asal Indonesia yang diduga terkontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137), yakni cengkeh. Produk rempah tersebut diketahui dikirim oleh perusahaan PT Natural Java Spice.

Akibatnya, produk rempah dari perusahaan tersebut yang dikirim ke AS juga masuk dalam import alert untuk kontaminasi kimia.

Customs & Border Protection AS (CBP) di pertengahan Agustus memberitahu FDA mengenai temuan Cs-137 di sebuah kontainer di pelabuhan Los Angeles/Long Beach, California. FDA kemudian mengambil sejumlah sampel untuk analisis radionuklida, dan hasilnya mengonfirmasi adanya Cs-137 pada satu sampel cengkeh sebesar 732,43 Bq/kg.


“Perusahaan dengan produk yang terdeteksi mengandung Cs-137 telah dimasukkan ke dalam Import Alert, sehingga produk mereka ditolak masuk ke pasar Amerika Serikat,” demikian kata FDA, dikutip dari laman resminya, Kamis (2/10/2025).

“Untuk mencegah produk rempah apa pun dari perusahaan ini masuk ke AS sampai mematuhi Undang-Undang FD&C. FDA terus menyelidiki,” kata FDA.

Sebelumnya, FDA juga mendeteksi radionuklida Cesium-137 pada awal Agustus lalu di satu sampel udang beku yang diimpor dari Indonesia. Udang itu diimpor oleh perusahaan PT Bahari Makmur Sejati.

Adapun kadar Cesium-137 yang terdeteksi dalam pengiriman udang beku sekitar 68 Bq/kg, yang berada di bawah Batas Intervensi Turunan FDA untuk Cs-137 sebesar 1200 Bq/kg.

“FDA belum mendeteksi Cs-137 dalam produk apa pun di atas tingkat intervensi turunan Cs-137 saat ini (1200 Bq/kg). Namun, tingkat yang terdeteksi dalam sampel udang tepung roti dapat menimbulkan potensi masalah kesehatan jika terpapar radiasi dalam jangka waktu lama, dikombinasikan dengan radiasi yang ada di lingkungan dan dari sumber lain, seperti prosedur medis,” kata FDA.

“Menghindari produk dengan tingkat Cs-137 tersebut merupakan langkah yang bertujuan untuk mengurangi paparan radiasi tingkat rendah yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan jika terpapar terus-menerus dalam jangka waktu lama,” lanjutnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Taruna Ikrar menekankan tengah berkoordinasi dengan otoritas pengawasan pangan dan obat di Amerika Serikat terkait temuan cengkeh mengandung zat radioaktif.

Meski begitu, ia belum bisa menjelaskan bagaimana tindak lanjut ke depan terkait temuan tersebut.

“Kita sekarang sedang berkoordinasi dengan BPOM AS karena kan temuannya dari BPOM AS,” bebernya saat ditemui di Gedung Kemenkes RI, Kamis (2/10/2025).

“Dalam bentuk joint assestment antara BPOM Indonesia dengan US Food and Drug Administration,” lanjutnya.
Terkait kemungkinan penyetopan impor sementara, BPOM RI menyebut akan mengkaji lebih lanjut dengan pihak Kemendagri, bila ternyata benar ditemukan cemaran.

“Nanti kita akan berkoordinasi dengan Kemendag,” pungkasnya.

(suc/kna)



Sumber : health.detik.com

Kejar Status WLA, BPOM Gelar Workshop Bareng USP Demi Jaminan Mutu Obat Nasional


Jakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI melaksanakan workshop bertajuk ‘The Values of Pharmacopeial Standards’ untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM dari seluruh Indonesia dan perwakilan industri-industri farmasi.

Workshop ini diselenggarakan atas kerjasama yang sudah dilakukan oleh BPOM dengan United States Pharmacopeia (USP) di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Workshop ini diharapkan bisa menjadi langkah besar untuk meningkatkan standar farmakope di Indonesia.

“Acara ini merupakan kelanjutan dari penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) sebelumnya Badan POM dengan USP di Maryland pada beberapa bulan yang lalu. Karena pharmacopeia Indonesia itu banyak mengadopsi atau mengambil dari USP dan pharmacopeia negara-negara lain. Itu untuk meningkatkan standar pharmacopeia di Indonesia,” ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM RI William Adi Teja, Selasa (7/10/2025).


Selain soal kualitas dan keamanan obat, workshop ini juga mempererat kerjasama antara BPOM RI dan USP. Diharapkan, kerjasama ini dapat meningkatkan standar kemampuan BPOM RI sehingga bisa diakui dunia.

“Ini juga kenapa kita lakukan karena Indonesia juga sedang masuk pada penilaian akhir WLA (WHO-Listed Authority) status oleh WHO. Nah, hal-hal seperti inilah yang mendukung Indonesia untuk bisa mendapatkan maturity level 4 di WHO,” sambung William.

“Jadi kolaborasi ini, workshop ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan Indonesia di bidang pengawasan obat dan makanan sehingga dapat menjaga masyarakat Indonesia dari makanan dan obat yang tidak berstandar,” tandasnya.

General Manager and Senior Director USP Asia Pacific, Anthony Tann menyambut baik kerjasama yang dilakukan dengan BPOM. Menurutnya, memastikan obat sampai ke tangan masyarakat dengan aman dan bermanfaat adalah hal yang harus diutamakan.

Ia menambahkan kolaborasi ini adalah salah satu kesempatan penting untuk berbagi pengalaman dan belajar satu sama lain dalam hal produksi dan pengawasan obat.

“Merupakan kehormatan besar menjadi bagian dari perjalanan ini bersama BPOM, untuk memastikan bahwa masyarakat Indonesia, bahkan di seluruh dunia, dapat memiliki akses terhadap obat-obatan yang aman dan terjamin mutunya,” tandas Tann.

(avk/kna)



Sumber : health.detik.com

BPOM RI Sebut Udang-Cengkeh RI Aman, Kontaminasi Radioaktif Sangat Rendah

Jakarta

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Prof Taruna Ikrar memastikan bahwa kadar cesium-137 yang ditemukan pada sejumlah produk ekspor asal Indonesia masih berada di bawah ambang batas aman yang ditetapkan secara internasional.

Isu ini mencuat setelah US Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat mengeluarkan alert terkait dugaan kontaminasi radioaktif pada beberapa komoditas dari Indonesia yakni udang hingga rempah cengkeh.

“Kita tahu bahwa awal dari masalah ini berasal dari pengumuman atau alert yang dikeluarkan oleh US FDA. Sebelum mereka publikasikan, sebetulnya sudah ada pemberitahuan resmi kepada kami melalui kerja sama antar-lembaga,” ujar Taruna di Jakarta, Senin (6/10/2025).


Ditemukan Hanya pada 4 Kontainer, Nilainya Sangat Rendah

Taruna menjelaskan hasil pemeriksaan menunjukkan hanya 4 dari 400 kontainer yang terdeteksi mengandung cesium-137.

“Itu pun dalam kadar sangat rendah, hanya sekitar 68 becquerel (Bq),” tegas Taruna.

Sebagai perbandingan, ambang batas yang ditetapkan US FDA adalah 1.200 Bq, sementara standar Indonesia jauh lebih ketat, hanya 500 Bq.

“Artinya kadar yang ditemukan masih di bawah ambang batas nasional maupun internasional. Tapi karena sifatnya kehati-hatian, US FDA tetap mengeluarkan peringatan,” jelasnya.

Namun, dampak dari alert tersebut disebutnya cukup luas. Sejumlah negara ikut menerapkan blokir terhadap beberapa produk ekspor Indonesia, termasuk udang segar dan rempah-rempah yang dikirim ke Amerika Serikat dan negara Timur Tengah.

“Buktinya Saudi Arabia sudah melarang udang-udang segar yang mau dikirim ke sana,” sesalnya.

Bentuk Satgas

BPOM kini bekerja bersama Satuan Tugas (Satgas) di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pangan untuk menelusuri sumber kontaminasi dan memperbaiki tata kelola distribusi produk ekspor.

“Tugas kami pertama adalah meyakinkan US FDA bahwa kadar sesium yang ditemukan berada di bawah ambang batas. Kedua, mengembalikan reputasi Indonesia di mata dunia,” tegas Taruna.

Langkah yang ditempuh antara lain melakukan Joint Assessment dengan USFDA dan menerbitkan dokumen bersama untuk menegaskan komitmen kedua pihak. Selain itu, Satgas telah mengambil tindakan tegas di lapangan, termasuk dekontaminasi wilayah terdampak dan isolasi area produksi tertentu.

Taruna mencontohkan, penanganan isu radioaktif memerlukan pendekatan ilmiah dan kesabaran. Ia menyinggung kasus Fukushima di Jepang pada 2011, ketika semua produk laut Jepang sempat terindikasi terpapar radiasi pasca bencana nuklir.

“Jepang butuh waktu hampir 10 tahun untuk meyakinkan dunia bahwa produknya aman. Kita tidak mau seperti itu. Karena itu kita harus meyakinkan bukan dengan debat, tapi dengan data ilmiah,” ujarnya.

Kemungkinan Kontaminasi dari Bahan Impor

Selain investigasi domestik, BPOM juga menemukan adanya indikasi bahwa sebagian kecil bahan baku logam yang digunakan dalam proses industri di Indonesia ternyata terkontaminasi dari bahan besi impor asal Filipina.

“Sebagian cesium itu berasal dari bahan baku pembuatan besi yang diimpor. Karena itu, bahan tersebut telah kita re-impor kembali,” kata Taruna.

Menurut Taruna, komunikasi antara BPOM RI dan US FDA saat ini mulai berjalan. Ia berharap bisa menyelesaikan persoalan ini secara ilmiah tanpa saling menyalahkan.

“Kita tidak sedang bertengkar, tapi membangun reputasi. Walaupun dosis radiasinya jauh di bawah ambang batas, kita tetap serius. Ini soal kredibilitas bangsa,” tegasnya.

Meski begitu, Taruna tak menutup kemungkinan adanya unsur politik dagang di balik munculnya isu ini. Namun, ia menegaskan bahwa BPOM tidak akan berspekulasi dan akan tetap fokus pada verifikasi data dan bukti ilmiah.

Taruna juga menekankan BPOM bersama seluruh kementerian dan lembaga terkait berkomitmen mengembalikan reputasi produk pangan Indonesia di pasar global melalui langkah profesional, saintifik, dan transparan.

“Kita lakukan semua dengan cara profesional, terukur, dan berbasis sains. Karena yang kita pertaruhkan bukan hanya produk, tapi reputasi bangsa,” pungkasnya.

(naf/kna)



Sumber : health.detik.com

BPOM RI Pantau Ketat Kematian Anak di India akibat Obat Sirup: Kita Tak Mau Terulang


Jakarta

Geger laporan 16 anak di India meninggal pasca mengonsumsi obat sirup dengan kontaminasi dietilen glikol (DEG) di atas batas aman. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) memastikan tengah memantau ketat laporan kasus terkait.

Kepala BPOM RI Prof Taruna Ikrar menegaskan tak ingin mengulang insiden ratusan anak terkontaminasi cemaran DEG dalam obat sirup. Sejak tiga tahun lalu, pengawasan di dalam negeri maupun produk yang diimpor termasuk dari India, sudah diperketat.

“Kita sangat besar atensi kita yang berhubungan dengan yang dari India itu. Kami sudah koordinasikan dengan Kedeputian I, Kedeputian II, termasuk ke pusat pengujian obat,” ujar Taruna saat ditemui di Jakarta, Senin (6/10/2025).


Indonesia menghadapi kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang menyebabkan ratusan anak meninggal dunia akibat cemaran ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) pada obat sirup di 2022 lalu.

“Kita betul-betul hati-hati karena kita punya pengalaman tiga tahun yang lalu. Kita tidak mau itu terulang lagi,” tegasnya.

Taruna menjelaskan, kasus di India juga diduga berkaitan dengan kandungan cemaran yang sama.

“Salah satunya, kita tingkatkan yang disebut dengan surveillance khusus terkait EG dan DEG. Karena di India, penyebabnya juga diduga ethylene glycol dari minuman sirup,” kata Taruna.

BPOM saat ini mewajibkan uji laboratorium ketat pada produk obat sirup sebelum mendapatkan izin edar.

“Khusus yang impor dari India, kita sangat berhati-hati. Kita tidak akan keluarkan izin sertifikat impornya kalau belum dinyatakan benar-benar aman,” ujar Taruna.

Taruna menekankan, semua langkah pengawasan dilakukan secara saintifik, transparan, dan sesuai standar internasional agar masyarakat mendapat jaminan keamanan.

“Kita tidak boleh lengah. Semua obat yang beredar harus melewati pengujian yang ketat, apalagi jika menyangkut anak-anak,” tegasnya.

(naf/kna)



Sumber : health.detik.com

BPOM Pastikan Obat Batuk yang Picu Kematian 16 Anak India Tak Beredar di Indonesia


Jakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memastikan obat batuk sirup bermerk Coldrif yang memicu kematian 16 anak di India tidak beredar di Indonesia. Sebelumnya, dilaporkan 16 anak di India meninggal dunia akibat konsumsi obat obat batuk tersebut karena mengandung toksin Diethylene Glycol (DEG) dalam jumlah hampir 500 kali batas yang diizinkan.

Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM RI William Adi Teja mengungkapkan hasil penelusuran menunjukkan obat tersebut tidak beredar di Indonesia.

“Kita sudah menelusuri bahwa obat tersebut tidak masuk ke Indonesia. Dan perusahaan tersebut juga tidak mendaftarkan obatnya di Indonesia. Sehingga, kita bisa memastikan obat itu tidak beredar di Indonesia,” ujar William ketika ditemui awak media, Selasa (7/10/2025).


William menuturkan pihaknya akan terus memperkuat pengawasan terkait obat-obatan yang beredar di Indonesia. Ia ingin memastikan obat-obat yang beredar aman untuk dikonsumsi.

Selain itu, pihak BPOM RI juga akan terus melakukan imbauan produsen, untuk memproduksi obat sesuai dengan standar yang berlaku. Mulai dari pemilihan barang baku hingga proses pendistribusian.

“Kita mengimbau pada industri farmasi untuk tetap memperketat cara produksi, kemudian cara memilih bahan baku yang terstandar, kemudian juga mengetatkan proses produksinya, lalu pengemasannya, dan distribusinya. Di samping kita juga tetap melakukan pengawasan yang ketat terhadap hal ini,” tandasnya.

(avk/kna)



Sumber : health.detik.com

BPOM Ungkap Alasan Harga Obat di RI Kerap Disebut Lebih Mahal


Jakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI berbicara soal harga obat-obatan di Indonesia. Fenomena berobat di luar negeri masih menjadi salah satu hal yang disorot oleh pemerintah. Tak sedikit orang yang beranggapan obat di luar negeri memiliki harga yang lebih murah dibanding Indonesia.

Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM RI William Adi Teja berpendapat harga obat di Indonesia tak serta merta bisa dianggap mahal. Ia menjelaskan terdapat tiga jenis obat-obatan di Indonesia, meliputi obat bermerek atau paten, obat generik bermerek, dan obat generik.

Menurutnya, obat-obat tipe generik yang banyak digunakan masyarakat sebenarnya memiliki harga yang sangat murah.


“Kalau obat generik bemerek pun juga sudah cukup murah. Yang mahal memang obat paten. Kalau obat paten itu kan otomatis dia hanya sendiri, dia tidak ada saingan. Karena perusahaannya tidak bisa memproduksi obat dengan molekul yang sama,” ujar William ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

“Di luar negeri, itu kalau obat paten juga mahal. Kalau yang import ya, kecuali di negara (produksi) asalnya sendiri,” sambungnya.

Ia lantas membandingkan dengan India yang seringkali disebut memiliki harga obat lebih murah. Menurutnya, India tidak mengenal obat paten, terutama obat-obatan esensial, sehingga harganya menjadi lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.

“Sedangkan Indonesia karena menganut mengakui hak paten sebuah produk, maka otomatis perusahaan-perusahaan lain tidak mungkin memproduksi obat yang mempunyai hak paten. Itu yang terkait dengan harga obat di Indonesia,” katanya.

Meski begitu, ia mengingatkan kembali obat generik yang beredar di Indonesia harganya sudah sangat murah. Bahkan, dengan adanya BPJS Kesehatan, masyarakat bisa mendapatkan obat dengan gratis.

“Masyarakat sebenarnya tidak usah membayar lagi. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk mengatakan obat di Indonesia itu mahal karena sudah ter-cover BPJS,” ujar William.

“BPJS itu yang masuk ke bayar BPJS itu kan kemarin kita rapat ada 98 persen sudah masuk ke dalam BPJS. Walaupun universal health coverage di Indonesia itu masih rendah. Itu tentunya menjadi PR buat Kementerian Kesehatan dan tentunya seluruh stakeholder yang ada,” tandasnya.

(avk/naf)



Sumber : health.detik.com