Tag Archives: bulan safar

Kapan Bulan Safar 1447 H? Cek Kalender Hijriahnya di Sini



Jakarta

Penanggalan Hijriah atau kalender Islam memiliki peran penting dalam kehidupan umat Islam, terutama dalam menentukan waktu-waktu ibadah seperti puasa, haji, dan hari-hari besar Islam. Salah satu bulan dalam kalender Hijriah akan dilalui adalah bulan Safar, bulan kedua setelah Muharram.

Merujuk Kalender Hijriah Indonesia Tahun 2025 oleh Kementerian Agama (Kemenag) tercatat 1 Safar 1447 H bertepatan dengan hari Sabtu, 26 Juli 2025. Kemudian, 30 Safar 1447 H jatuh pada Ahad, 24 Agustus 2025.

Penetapan 1 Safar 1447 H Versi Kemenag

Berdasarkan kalender Hijriah resmi Kementerian Agama RI, 1 Safar 1447 H jatuh pada hari Sabtu, 26 Juli 2025. Namun, perlu dipahami bahwa dalam sistem penanggalan Hijriah, pergantian hari dimulai sejak terbenamnya matahari, bukan tengah malam seperti dalam kalender Masehi.


Dengan demikian, bulan Safar 1447 H sebenarnya dimulai sejak Jumat petang, 25 Juli 2025, meskipun secara tanggal masehi tercatat sebagai hari Sabtu.

Berikut ini rincian kalender bulan Safar 1447 H

Sabtu, 26 Juli 2025: 1 Safar 1447 H

Ahad, 27 Juli 2025: 2 Safar 1447 H

Senin, 28 Juli 2025: 3 Safar 1447 H

Selasa, 29 Juli 2025: 4 Safar 1447 H

Rabu, 30 Juli 2025: 5 Safar 1447 H

Kamis, 31 Juli 2025: 6 Safar 1447 H

Jumat, 1 Agustus 2025: 7 Safar 1447 H

Sabtu, 2 Agustus 2025: 8 Safar 1447 H

Ahad, 3 Agustus 2025: 9 Safar 1447 H

Senin, 4 Agustus 2025: 10 Safar 1447 H

Selasa, 5 Agustus 2025: 11 Safar 1447 H

Rabu, 6 Agustus 2025: 12 Safar 1447 H

Kamis, 7 Agustus 2025: 13 Safar 1447 H

Jumat, 8 Agustus 2025: 14 Safar 1447 H

Sabtu, 9 Agustus 2025: 15 Safar 1447 H

Ahad, 10 Agustus 2025: 16 Safar 1447 H

Senin, 11 Agustus 2025: 17 Safar 1447 H

Selasa, 12 Agustus 2025: 18 Safar 1447 H

Rabu, 13 Agustus 2025: 19 Safar 1447 H

Kamis, 14 Agustus 2025: 20 Safar 1447 H

Jumat, 15 Agustus 2025: 21 Safar 1447 H

Sabtu, 16 Agustus 2025: 22 Safar 1447 H

Ahad, 17 Agustus 2025: 23 Safar 1447 H

Senin, 18 Agustus 2025: 24 Safar 1447 H

Selasa, 19 Agustus 2025: 25 Safar 1447 H

Rabu, 20 Agustus 2025: 26 Safar 1447 H

Kamis, 21 Agustus 2025: 27 Safar 1447 H

Jumat, 22 Agustus 2025: 28 Safar 1447 H

Sabtu, 23 Agustus 2025: 29 Safar 1447 H

Ahad, 24 Agustus 2025: 30 Safar 1447 H.

Tentang Bulan Safar

Dikutip dari buku Doa dan Zikir Sepanjang Tahun karya H. Hamdan Hamedan, bulan Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Menurut Ibnu Katsir, Safar memiliki arti ‘sepi’ atau ‘sunyi’ sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan ini berasal dari kebiasaan orang Arab di masa jahiliyah yang meninggalkan rumah-rumah mereka dalam keadaan kosong untuk pergi berperang atau berdagang pada bulan ini.

Namun, di balik asal-usul nama tersebut, bulan Safar sering dikaitkan dengan berbagai mitos, kepercayaan keliru, bahkan dianggap sebagai bulan sial oleh sebagian masyarakat. Padahal, dalam pandangan Islam, tidak ada bulan yang membawa kesialan, termasuk bulan Safar.

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda,

“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada kesialan karena burung hamah, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR Bukhari)

Hadits ini menegaskan bahwa Rasulullah SAW menolak kepercayaan tentang kesialan di bulan Safar.

Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa maksud “laa shafara” adalah tidak ada keyakinan bahwa bulan Safar membawa pengaruh buruk.

Allah SWT telah menjadikan semua bulan dalam setahun sebagai bagian dari ketentuan-Nya, tidak ada bulan yang buruk ataupun baik secara khusus, kecuali yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan (misalnya bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah).

Dalam surat At-Taubah ayat 36, Allah SWT berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Ayat ini menegaskan bahwa semua bulan adalah ciptaan Allah, dan tidak ada satu pun bulan yang mengandung kesialan atau keberuntungan kecuali yang ditentukan Allah.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Larangan Bulan Safar karena Dianggap Sial, Benarkah Ada?


Jakarta

Bulan Safar seringkali diiringi dengan berbagai mitos dan kepercayaan. Salah satunya adalah anggapan sebagai bulan kesialan atau turunnya bala.

Kepercayaan ini terutama menguat pada Rebo Wekasan, yakni hari Rabu terakhir di bulan Safar. Namun, benarkah ada larangan khusus di bulan Safar dalam ajaran Islam? Mari kita telaah lebih lanjut.

Asal Mula Kepercayaan Bulan Safar Penuh Kesialan

Anggapan bulan Safar sebagai bulan turunnya musibah sebenarnya berakar dari kepercayaan masyarakat Arab Jahiliah di masa lampau. Mereka meyakini bahwa hari-hari tertentu di bulan Safar, khususnya Rabu terakhir, adalah waktu di mana Allah SWT menurunkan banyak sekali bala bencana.


Hal ini dijelaskan dalam jurnal berjudul Agama dan Kepercayaan Masyarakat Melayu Sungai Jambu Kayong Utara terhadap Bulan Safar karya Wahab dkk yang terbit di Jurnal Mudarrisuna Vol 10 edisi 1 Januari-Maret 2020.

Abdul Hamid dalam Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shufur, mengatakan kepercayaan Rebo Wekasan ini bahkan disebut-sebut berasal dari seorang sufi. Selain itu, terdapat sebuah hadits dhaif yang turut memperkuat anggapan ini.

Hadits tersebut berbunyi, “Barang siapa mengabarkan kepadaku tentang keluarnya bulan Safar, maka aku akan memberi kabar gembira kepadanya untuk masuk surga.” Namun, penting untuk dicatat bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat dalam ajaran Islam.

Bantahan Terhadap Mitos Kesialan Bulan Safar

Dalam ajaran Islam, tidak ada hadits shahih yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Safar, apalagi larangan atau celaan terhadapnya. Hal ini dijelaskan dalam buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid.

Justru sebaliknya, Rasulullah SAW telah membantah anggapan kesialan pada bulan Safar melalui sabda beliau:

“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada tanda atau firasat kesialan dan yang mengherankanku ialah kalimat yang baik dan kalimat yang bagus.” (HR Bukhari)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam buku Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah karya Sa’id bin Musfir Al-Qahthani (terjemahan Munirul Abidin) menjelaskan bahwa hadits di atas mengandung penolakan tegas terhadap kepercayaan tahayul atau ramalan nasib buruk yang berkembang di masa Jahiliah, termasuk anggapan kesialan di bulan Safar. Beliau menegaskan bahwa tidak ada larangan khusus pada bulan Safar, sebagaimana disiratkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW lainnya:

“Hadits itu mengandung kemungkinan penolakan dan bisa juga larangan. Atau janganlah kamu meramal nasib buruk. Tetapi sabda beliau dalam hadits, ‘Tidak ada penyakit menular, tidak ada larangan pada bulan Safar, dan tidak ada kecelakaan yang ditandai oleh suara burung malam’ menunjukkan bahwa maksudnya adalah penolakan dan pembatalan masalah-masalah yang diperhatikan pada masa jahiliah.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anggapan bulan Safar sebagai bulan kesialan adalah mitos yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kita untuk tidak percaya pada ramalan buruk atau firasat sial, melainkan selalu bertawakal kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

5 Amalan Bulan Safar yang Bisa Dikerjakan Muslim


Jakarta

Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Islam setelah Muharram. Ada beberapa amalan bulan Safar yang bisa dikerjakan muslim untuk mengisi bulan tersebut.

Mengutip dari buku Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriyah susunan Ida Fitri Shohibah, Safar artinya kosong. Sebagian mengartikan Safar sebagai kuning.

Penamaan Safar karena bulan ini masyarakat Arab dulu sering meninggalkan rumah untuk menyerang musuh. Pendapat lain menyebut Safar sebagai sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.


Ada pula yang mengatakan Safar diambil dari nama jenis penyakit yang diyakini orang-orang Arab Jahiliyah dulu. Penyakit tersebut bersarang di dalam perut karena adanya sejenis ulat besar yang berbahaya.

Masyarakat Arab Jahiliyah dulu beranggapan Safar sebagai bulan yang penuh keburukan dan kesialan. Padahal dalam Islam, semua bulan dinilai baik.

Rasulullah SAW dalam haditsnya bahkan menegaskan bahwa tidak ada kesialan pada bulan Safar. Beliau bersabda,

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad)

5 Amalan Bulan Safar bagi Muslim

Berikut beberapa amalan bulan Safar yang bisa dikerjakan muslim seperti dinukil dari buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun tulisan Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid.

1. Sedekah

Sedekah adalah salah satu amalan bulan Safar. Sebagaimana diketahui, sedekah bisa dilakukan kapan saja termasuk bulan Safar.

Rasulullah SAW bersabda,

“Setiap yang baik itu sedekah.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah)

2. Puasa Sunnah

Amalan bulan Safar lainnya adalah puasa sunnah. Puasa sunnah yang bisa dikerjakan pada Safar yaitu puasa Senin Kamis, serta puasa Ayyamul Bidh pada 13, 14 dan 15 Safar.

3. Membaca Doa Bulan Safar

Menurut penelusuran detikHikmah, tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW untuk mengamalkan doa bulan Safar. Namun, doa ini berasal dari riwayat Abdullah bin Amr RA ketika ditanya sahabat agar dipalingkan dari segala bentuk kesialan.

Doa bulan Safar ini dishahihkan oleh Al Albani melalui Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah. Berikut bacaannya,

اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Allahumma laa khaira illa khairuka wa laa thaira illa thairuka wa laa ilaaha ghairuka

Artinya: “Wahai Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang engkau takdirkan dan tidak ada sembahan selain-Mu.” (HR Ahmad)

4. Mengerjakan Ibadah Rutin

Amalan lainnya pada bulan Safar adalah mengerjakan ibadah rutin seperti salat wajib dan salat sunnah. Mulai dari salat Dhuha, Tahajud, Witir, Rawatib dan sebagainya.

5. Membaca Doa dan Zikir

Doa dan zikir kepada Allah SWT dapat dilakukan setiap waktu, termasuk ketika bulan Safar. Allah SWT berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 41-42,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Antara Fikih dan Kepercayaan Masyarakat


Jakarta

Setiap tahun, perbincangan tentang Rabu terakhir di bulan Safar atau yang dikenal dengan istilah Rebo Wekasan selalu ramai diperbincangkan. Isu ini tidak hanya sebatas sejarah atau ritual, tetapi juga menyentuh aspek-aspek syariat, termasuk hukum salat khusus yang diyakini sebagian orang.

Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang tradisi ini? Apakah benar ada ajaran khusus tentang Rebo Wekasan, termasuk salat tolak bala di dalamnya?


Hukum Salat Rebo Wekasan dalam Islam

Mengutip laman NU Online, Ustaz M. Mubasysyarum Bih, menjelaskan bahwa tidak ada dalil yang secara eksplisit menganjurkan salat Rebo Wekasan. Oleh karena itu, jika seseorang melakukan salat dengan niat khusus “salat Rebo Wekasan” atau “salat Safar”, maka salat tersebut dianggap tidak sah dan bahkan haram.

Hal ini didasarkan pada kaidah fikih,

والأصل في العبادة أنها إذا لم تطلب لم تصح

Artinya: “Hukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah.” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib Hasyiyah ‘ala al-Iqna’, juz 2, hal. 60).

Berdasarkan kaidah ini, para ulama mengharamkan salat-salat khusus yang tidak memiliki dasar kuat dari hadits, seperti salat Raghaib, salat nishfu Sya’ban, atau salat Kafarat di akhir Ramadan. Bahkan, dalam kitab I’anah al-Thalibin, praktik-praktik salat tersebut disebut sebagai bid’ah tercela yang pelakunya berdosa.

قال المؤلف في إرشاد العباد ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر وصلاة الأسبوع أما أحاديثها فموضوعة باطلة ولا تغتر بمن ذكرها اه

Artinya: “Sang pengarang (syekh Zainuddin al-Malibari) berkata dalam kitab Irsyad al-‘Ibad, termasuk bid’ah yang tercela, pelakunya berdosa dan wajib bagi pemerintah mencegahnya, adalah salat Raghaib, 12 Rakaat di antara Maghrib dan Isya’ di malam Jumat pertama bulan Rajab, salat nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, salat di akhir Jumat bulan Ramadan sebanyak 17 rakaat dengan niat mengganti salat lima waktu yang ditinggalkan, salat hari Asyura sebanyak 4 rakaat atau lebih dan salat ushbu’. Adapun hadits-hadits salat tersebut adalah palsu dan batal, jangan terbujuk oleh orang yang menyebutkannya.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 270).

Meskipun demikian, muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama jika salat tersebut diniatkan sebagai salat sunah mutlak.

Pandangan Ulama Mengenai Salat Rebo Wekasan

Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa salat Rebo Wekasan tetap haram, bahkan jika diniatkan sunah mutlak. Beliau menegaskan bahwa anjuran salat sunah mutlak hanya berlaku untuk salat yang sudah disyariatkan, bukan yang tidak memiliki dasar sama sekali.

اورا ويناع فيتواه اجاء اجاء لن علاكوني صلاة رابو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت اع سؤال كارنا صلاة لورو ايكو ماهو اورا انا اصلى في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها كايا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين ، التحرير لن سافندوكور كايا كتاب النهاية المهذب لن احياء علوم الدين، كابيه ماهو أورا انا كاع نوتور صلاة كاع كاسبوت. الى ان قال وليس لأحد أن يستدل بما صح عن رسول الله انه قال الصلاة خير موضوع فمن شاء فليستكثر ومن شاء فليستقلل، فإن ذلك مختص بصلاة مشروعة

Artinya: “Tidak boleh berfatwa, mengajak dan melakukan shalat Rebo Wekasan dan shalat hadiah yang disebutkan dalam pertanyaan, karena dua shalat tersebut tidak ada dasarnya dalam syariat. Tendensinya adalah bahwa kitab-kitab yang bisa dibuat pijakan tidak menyebutkannya, seperti kitab al-Taqrib, al-Minhaj al-Qawim, Fath al-Mu’in, al-Tahrir dan kitab seatasnya seperti al-Nihayah, al-Muhadzab dan Ihya’ Ulum al-Din. Semua kitab-kitab tersebut tidak ada yang menyebutkannya. Bagi siapapun tidak boleh berdalih kebolehan melakukan kedua shalat tersebut dengan hadits shahih bahwa Nabi bersabda, shalat adalah sebaik-baiknya tempat, perbanyaklah atau sedikitkanlah, karena sesungguhnya hadits tersebut hanya mengarah kepada shalat-shalat yang disyariatkan.” (KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip kumpulan Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur).

Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki justru membolehkannya. Menurutnya, solusi untuk praktik-praktik yang tidak memiliki dasar kuat adalah dengan melaksanakannya sebagai salat sunah mutlak tanpa batasan waktu, jumlah rakaat, atau sebab tertentu.

قلت ومثله صلاة صفر فمن أراد الصلاة فى وقت هذه الأوقات فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له . انتهى

Artinya: “Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah salat Safar (Rebo wekasan), maka barang siapa menghendaki salat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati salat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Salat sunah mutlak adalah salat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya.” (Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki, Kanz al-Najah wa al-Surur, hal. 22).

Buya Yahya dalam kajiannya menegaskan bahwa keyakinan adanya bencana atau petaka khusus di hari Rebo Wekasan harus ditinjau dari sisi keimanan yang ilmiah. Beliau mempertanyakan, “Siapa yang memberitakan adanya musibah datang di hari Rebo Wekasan itu? Dari mana berita itu?” kata Buya Yahya dalam video Memangkas Keyakinan Salah dalam Tradisi Rebo Wekasan yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV. detikHikmah telah mendapatkan izin dari tim Al-Bahjah TV untuk mengutip kajian tersebut.

Menurutnya, informasi gaib seperti datangnya bencana haruslah bersumber dari Al-Qur’an atau hadits Nabi yang jelas. Jika keyakinan ini berasal dari “ilham para wali”, maka statusnya tidak wajib diyakini oleh semua orang.

“Yang mempercayai perkataan para wali silakan mempercayai. Adapun yang tidak percaya, tidak ada masalah,” ujar Buya Yahya.

Jika pun keyakinan itu benar-benar ilham dari wali, maka solusi untuk menolak bala-nya juga harus mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. Nabi tidak pernah mengajarkan salat khusus atau ritual tertentu di hari itu.

Sebaliknya, ada amalan-amalan yang jelas diajarkan Nabi untuk menolak bala, seperti:

  • Bersedekah, karena sedekah bisa menolak bencana.
  • Mengadakan majelis zikir atau taklim, karena majelis seperti ini akan mendatangkan rahmat dan menghilangkan bencana.

Buya Yahya menekankan agar umat Islam tidak terjebak dalam keyakinan yang tidak memiliki standar ilmu yang jelas. Ia khawatir, keyakinan seperti ini akan membuat Islam terlihat aneh dan tak berdasar.

Ia juga menyentil soal larangan menikah di bulan Safar. “Yang ingin nikah di bulan Safar, segera nikah. Jangan ditunda-tunda,” tegasnya, menolak mitos bulan Safar sebagai bulan ‘kapit’ yang membawa sial.

Wallahu alam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Sholat Rebo Wekasan Dilaksanakan Jam Berapa? Ini Waktu dan Hukumnya


Jakarta

Sholat Rebo Wekasan menjadi amalan yang dikerjakan sebagian masyarakat pada Rabu terakhir bulan Safar. Konon, amalan ini berasal dari para sufi.

Anjuran pelaksanaan sholat Rebo Wekasan tertulis dalam kitab Kanz Al-Najah Wa Al-Surur karya Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki. Berdasarkan kitab tersebut, seperti dinukil dari Jurnal THEOLOGIA Vol 3 No 2 (2019) tentang Rebo Wekasan Menurut Perspektif KH. Abdul Hamid dalam Kanz Al-Najah wa Al-Surur karya Umma Farida, amalan ini berkaitan dengan keyakinan turunnya bala bencana pada Rabu terakhir bulan Safar.


Dikatakan, Allah SWT menurunkan 320.000 bencana pada Rabu terakhir bulan Safar. Hal tersebut menjadikannya waktu tersulit dalam setahun, sehingga disarankan melakukan ritual atau amalan dan memperbanyak doa pada hari tersebut. Salah satu amalannya adalah sholat.

Sholat Rebo Wekasan Dilaksanakan Jam setelah Maghrib

Sholat Rebo Wekasan biasanya dilaksanakan pada malam Rabu terakhir bulan Safar, tepatnya setelah Maghrib. Ada juga yang melakukannya pada Rabu pagi harinya.

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Kementerian Agama RI, Rabu terakhir bulan Safar 1447 H jatuh pada 20 Agustus 2025 besok.

Tata Cara Sholat Rebo Wekasan

Tata cara sholat Rebo Wekasan sesuai yang tercantum dalam kitab Kanz al-Najah wa al-Surur karya Syekh Abdul Hamid adalah sebagai berikut:

  • Dilakukan empat rakaat
  • Niat sholat sunnah mutlak
  • Setiap rakaatnya membaca surah Al Fatihah dilanjutkan Al Kautsar 17 kali, Al Ikhlas 5 kali, Al Falaq 1 kali, dan An Nas 1 kali
  • Sholat pada umumnya hingga salam (empat rakaat dua kali salam)
  • Akhiri dengan doa

Amalan sholat Rebo Wekasan mendapat banyak kritik. Sebab, tak ada dalil shahih yang bisa dijadikan sandaran. Ritual Rebo Wekasan menuai kritik karena sumber yang dirujuk Syekh Abdul Hamid dalam Kanz al-Najah wa al-Surur dinilai kurang otoritatif, tak menyebutkan identitas asli atau secara spesifik siapa sumber yang dirujuk. Hal ini terkesan mubham (tidak jelas) bahkan mahjul (tak diketahui atau tak dikenali).

Selain itu, hadits yang dipaparkan Syekh Abdul Hamid dalam Kanz al-Najah wa al-Surur tentang turunnya 320.000 bencana dinilai lemah. Terlebih dengan adanya hadits shahih yang menyebut tak ada kesialan pada bulan-bulan tertentu.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Syekh Abdul Hamid sendiri menegaskan pelaksanaan sholat Rebo Wekasan bisa dilakukan dengan niat sholat sunnah mutlak. Namun, pendapat ini ditolak oleh KH Hasyim Asy’ari yang menghukuminya haram.

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Doa Bulan Safar Tolak Bala Latin dan Artinya Lengkap


Jakarta

Doa bulan Safar bisa diamalkan saat memasuki bulan setelah Muharram ini. Pengamalan doa ini biasanya dilatarbelakangi kekhawatiran adanya anggapan bulan Safar sebagai bulan sial.

Rasulullah SAW sebetulnya sudah membantah keyakinan akan adanya kesialan bulan Safar. Anggapan ini lahir di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah.

Adapun menurut penelusuran detikHikmah, tidak ada tuntunan tertentu dari Rasulullah SAW untuk mengamalkan doa pada bulan Safar. Meski demikian, muslim bisa mengamalkan doa berikut bila muncul kekhawatiran ada kesialan pada bulan tertentu.


Doa Bulan Safar Lengkap Latin dan Artinya

Doa ini bersumber dari riwayat Abdullah bin ‘Amr RA saat ditanya sahabat agar dipalingkan dari segala bentuk kesialan. Doa ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah.

اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Allahumma laa khaira illa khairuka wa laa thaira illa thairuka wa laa ilaaha ghairuka

Artinya: Wahai Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang engkau takdirkan dan tidak ada sembahan selain-Mu.” (HR Ahmad)

Dalam riwayat lainnya, ada doa tolak bala lain yang bisa diamalkan muslim. Utsman bin Affan RA pernah mendengar Rasulullah SAW menganjurkan bacaan doa tolak bala berikut.

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Bismillahilladzi la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fissamaa’i, wa huwassamii’ul ‘aliim

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang dengan sebab nama-Nya tidak ada sesuatu pun di bumi maupun di langit yang dapat membahayakan (mendatangkan mudharat). Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Bulan Safar dalam sejarahnya sempat dianggap oleh para bangsa Arab Jahiliyah sebagai bulan yang sial. Rasulullah SAW sampai-sampai harus turun tangan untuk membantah keyakinan tersebut.

Keterangan ini dikisahkan dalam hadits dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW menegaskan tidak ada kesialan di dalam bulan kedua dalam kalender Hijriah ini.

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

Artinya: “Tidak ada adwa’, tidak ada thiyarah, tidak ada hammah, tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad)

Pendapat Abu ‘Ubaid yang diterjemahkan Muhammad Khoirul Huda dalam buku Ilmu Matan Hadis menyebutkan, Rasulullah SAW berupaya mengkritik keyakinan kaum Jahiliyah terkait anggapan kesialan pada bulan Safar. Hadits itu sekaligus menegaskan keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan marabahaya disebabkan oleh sesuatu di luar takdir Allah SWT.

Bantahan bulan Safar sebagai bulan sial juga dapat merujuk pada surah At Tagabun ayat 11. Allah SWT berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Rasulullah SAW turut menampik anggapan masyarakat Jahiliyah tentang kesialan bulan Safar dengan sejumlah praktik positif. Beliau menikah dengan Khadijah, menikahkah putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, hingga mulai berhijrah dari Makkah ke Madinah pada bulan tersebut.

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com