Tag Archives: cinta

3 Tanda Allah Mencintaimu Berdasarkan Hadis Nabi


Jakarta

Setiap amal ibadah yang kita lakukan selama ini sejatinya adalah bentuk pengabdian untuk meraih rida Allah SWT. Semua doa, zikir, salat, dan kebaikan yang kita upayakan adalah wujud cinta kita kepada Sang Pencipta.

Namun, tahukah Anda bahwa ternyata ada tanda-tanda khusus jika seseorang benar-benar dicintai Allah SWT? Betapa beruntungnya mereka yang mendapat kasih sayang dan perhatian-Nya. Lantas, apa saja tiga ciri orang yang dicintai Allah menurut hadis Nabi?

3 Ciri Dicintai Allah

Berdasarkan ringkasan dari buku Ibadah Hati karya Lalu Heri Afrizal, terdapat beberapa tanda yang menunjukkan seseorang mendapat cinta dari Allah SWT. Berikut tiga di antaranya.


1. Disenangi Manusia dan Makhluk Lain

Salah satu tanda seseorang dicintai Allah SWT adalah ia akan diterima di hati manusia dan makhluk lainnya. Kehadirannya membawa kebaikan sehingga ia sering mendapatkan pujian yang tulus.

Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim disebutkan, ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Malaikat Jibril dan memerintahkannya untuk mencintai hamba tersebut. Kemudian, Jibril menyerukan kepada seluruh penghuni langit untuk turut mencintai orang yang dicintai Allah SWT itu.

2. Mendapat Ujian dari Allah

Ciri lain orang yang dicintai Allah SWT adalah ia akan diuji dengan berbagai cobaan. Seorang mukmin tidak boleh berprasangka buruk terhadap ujian yang datang selama ia tidak melakukan dosa.

Apabila seseorang taat, rajin beribadah, dan tekun dalam amal saleh lalu Allah memberinya ujian, maka itu adalah tanda kasih sayang-Nya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan. Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha maka baginya keridhaan, dan siapa yang membenci maka baginya kemurkaan.” Ujian ini sesuai dengan kadar keimanan dan kecintaan hamba kepada Allah SWT.

3. Meninggal dalam Husnul Khatimah

Orang yang dicintai Allah SWT akan meninggal dalam keadaan baik atau husnul khatimah. Mereka bisa wafat saat sujud, membaca Al-Qur’an, atau ketika melakukan amal saleh lainnya. Ini merupakan bukti keistimewaan cinta Allah kepada hambanya.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan meng-‘assal’-kannya.” Para sahabat bertanya, “Apa maksud meng-‘assal’-kannya?”

Nabi SAW menjawab, “Allah memberi taufik kepadanya untuk berbuat amal saleh menjelang ajalnya sehingga orang-orang di sekitarnya pun ridha kepadanya.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Hakim)

Doa Agar Dicintai Allah

Dicintai oleh Sang Pencipta tentu merupakan sebuah hal yang istimewa. Untuk bisa mendapatkan cinta-Nya, tentu kita harus beribadah. Bisa juga dengan berdoa bermunajat kepada-Nya.

Menurut buku Kamus Doa karya Luqman Junaedi, berikut ini adalah doa yang diajarkan Rasulullah SAW agar seorang hamba dicintai oleh Allah SWT.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي وَأَهْلِي وَمِنْ الْمَاءِ الْبَارِدِ

Latin: Allahumma inni as’aluka hubbaka wahubba man yuhibbuka wal ‘amalal ladzii yuballigunii hubbaka. Allahummaj’al hubbaka ahabba ilaiyya min nafsii wa ahlii.

Artinya: “Ya Allah, aku memohon cinta Engkau, dan kecintaan orang yang mencintai Engkau, serta amalan yang membuatku bisa meraih kecintaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaanku kepada-Mu lebih tertanam dalam jiwaku melebihi kecintaanku kepada diriku sendiri dan keluargaku.”

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Berkunjung ke Katedral, Menag Ajak Toleransi dan Pelajari Agama dengan Benar



Jakarta

Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh umat beragama untuk kembali mendekat pada ajaran agamanya masing-masing. Ajakan ini disampaikan saat kunjungannya ke Gereja Katedral Makassar pada Kamis, 24 Juli 2025. Dalam kunjungan tersebut, ia didampingi oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan, Ali Yafid.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama (kemenag.go.id) dan Kanwil Kemenag Sulsel, Menag menyampaikan bahwa saat ini masih ada umat yang merasa jauh dari nilai-nilai agamanya.


Hal ini dinilai bisa memunculkan berbagai masalah sosial, seperti sikap saling curiga, mudah terprovokasi, bahkan kekerasan atas nama agama. Oleh karena itu, ia mengajak para tokoh agama dan pemimpin umat untuk membantu mendekatkan kembali masyarakat dengan ajaran agama yang benar.

“Kita mengimbau kepada semua umat beragama, mari mengajak pemeluknya untuk lebih akrab dengan agamanya sendiri. Jangan sampai agama dengan pemeluknya berjarak,” ucap Nasaruddin kepada awak media seperti dilansir laman sulsel.kemenag.go.id.

Ia menjelaskan bahwa Kementerian Agama terus berupaya memperkuat hubungan antara umat dan nilai-nilai keagamaan melalui pendekatan yang ramah, mencerahkan, dan menyentuh hati. Menurutnya, ketika agama diajarkan dengan cara yang baik dan menyenangkan, maka umat akan merasa lebih dekat dan nyaman dalam menjalankannya.

Menag juga mengingatkan bahwa semua agama mengajarkan cinta dan kasih sayang. Jika ada ajaran yang justru memicu kebencian terhadap kelompok lain, maka hal itu bertentangan dengan tujuan utama agama.

“Kalau ada orang mengajarkan agama tetapi mendoktrinkan kebencian dengan agama lain, itu bukan mengajarkan agama. Itu mengajarkan kebalikan agama,” tegasnya.

Selain itu, ia mendorong agar rumah ibadah menjadi tempat yang memberi ketenangan dan menyatukan umat, bukan sebaliknya. Ia berharap para tokoh agama bisa menyampaikan ajaran dengan cara yang mengundang, bukan membuat orang menjauh. “Dakwah itu harus mengait orang, bukan mengusir orang,” lanjutnya.

Pesan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat moderasi beragama di tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Dengan kembali memahami dan menjalankan ajaran agama secara utuh, diharapkan umat dapat hidup rukun dan saling menghargai satu sama lain.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Berebut Cinta Tuhan Modalnya Ringan Jaga Ujaran!



Jakarta

Purti mahkota ‘kerajaan’ Samsung Lee Boo Jin menikah. Mempelai laki Im Woo Jae dari kalangan bawah jika dibandingkan Lee Boo Jin. Bagaimana tidak. Im Woo Jae bukan keluarga pengusaha. Apalagi termasuk keluarga konglomerat papan atasnya atas. Kuliah saja tidak. Apalagi bisa sampai berpengalaman mencicipi kampus di universitas Paman Sam.

Im Woo Jae hanyalah mantan karyawan perusahaan. Tepatnya mantan pengawal Lee Boo Jin.

Wajah bukan termasuk sangat tampan, sugih tidak, tak ada trah keturunan keluarga terpandang. Bukan anak kuliahan sehingga pasti bukan golongan lulusan universitas kenamaan. Tapi kok bisa dicintai putri konglomerat paling disegani di seluruh negeri Korea, Lee Boo Jin. Apa istimewanya?


Boleh jadi semua orang terheran-heran karena sulit dinalar. Apalagi yang sudah lama mengincar bisa menikahi Lee Boo Jin. Penasaran tak tertahankan. Untung saja tak banyak praktek paranormal yang menyarankan upaya sampingan.

Sebenarnya apa untungnya bersandingkan Lee Boo Jin. Eh tunggu dulu. Itu bisa membuat siapa pun berkesempatan menikmati banyak keistimewaan. Dia bisa mendapatkan ‘sandang-pangan-papan’ gratisan. Tidak butuh sediakan belanja bulanan. Duit tinggal terima seberapa pun dibutuhkan. Kemana saja pergi dikawal bodyguard berpengalaman. Beberapa pelayan siap standby di rumah. Pagi, siang, sore, malam, 24 jam siap mengabulkan keperluan apa pun. Sopir pribadi dan bermacam merk kendaraan mewah, sangat menarik perhatian. Belanja berapa pun, saldo ATM pasti tak pernah kehabisan.

Di mana-mana orang hormat, paling tidak karena Im Woo Jae masuk golongan hartawan jutawan yang berkelimpahan uang. Serasa kebutuhan apa pun bisa dikata tinggal bilang.

Sayangnya Im Woo Jae yang ‘kejatuhan bintang’. Belum mudah mengadaptasikan tindakan sesuai yang diinginkan keluarga Lee Boo Jin. Akhirnya Im Woo Jae mundur. Dari keluarga kerajaan Samsung.
Andai saja setiap orang bisa beruntung. Apalagi bisa lebih beruntung dari Im Woo Jae. Alangkah istimewanya?

Siapakah di antara sidang pembaca yang berminat. Atau mengira kuat tidak mungkin bisa dapat?

Benar, karena pasti sulit kejadian itu berulang. Walau ditunggu bertahun bahkan sampai beberapa abad mendatang.

Tapi siapa bilang. Mari kita coba membuka peluang yang lebih besar. Apa itu?

Berebut cinta Tuhan!

Mengapa demikian? Bukankah dengan dicintai Tuhan, harapan mendapatkan keistimewaan pasti didapat. Bahkan bisa memperoleh keistimewaan yang tidak hanya seperti pada Im Woo Jae. Keistimewaan dicintai Tuhan tidak bisa dibandingkan. Selain itu, keistimewaan dari Tuhan bisa selama-lamanya. Sampai pun dunia ini berganti dengan alam yang berbeda. Ialah kistimewaan masuk surga.

Orang yang dicintai Tuhan dia memperoleh kekayaan sejati. Ialah kekayaan yang membawa kebahagiaan hakiki. Kaya sejati adalah kaya yang tidak memerlukan lagi. Artinya orang kaya sejati tidak butuh diberi. Tetapi ia sangat senang memberi. Memberi uang, harta, pertolongan, memberi maaf, ilmu, nasihat, mendoakan, dan memberi keteladanan baik. Sebagian makna kaya tak berkesudahan ada di artikel, “Ingin Kaya Selamanya, Bagaimana Caranya?”. Artikel itu dipublikasikan detikhikmah ini.

Kesempatan dicintai Tuhan berlaku sepanjang waktu, di mana saja, kapan saja, siapa saja, tak pilih pandang. Tidak perlu memiliki banyak uang, tidak perlu lahir sebagai keturunan bangsawan, atau tidak harus memiliki segudang gelar. Tidak butuh tampan atau cantik. Tidak wajib tua dulu. Masih belia pun memiliki peluang yang seimbang.

Modalnya sangat ringan. Apa itu?

Hanya sekedar menjaga ujaran. Usahakan setiap ujaran tepat sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Hanya itu, cukup. Sungguh sangat ringan?

Modal ringan, menyenangkan dan membahagiakan. Betapa tidak. Siapa pun yang memiliki ujaran yang tepat pasti disayang banyak orang. Karena tepat bisa bermakna benar, baik, indah dan sesuai takaran. Hampir pasti orang demikian di mana-mana di seluruh dunia, dia akan disayang. Kecuali sebagian kecil orang. Bisa memusuhi karena hati dan matanya keliru memandang.

Pakar psikologi kenamaan salah satu universitas di negeri Paman Sam, Yale University. Menemukan bukti bahwa orang yang selalu berusaha berkata-kata yang bermakna baik akan mendapati wajah yang gloomy, aura positif, disenangi banyak orang. Secara medis itu sebagian tanda wajah yang segar, wajah simpatik, sehat dan menyenangkan. Berkata-kata yang baik, memelihara ujaran baik itu perintah Tuhan.

Al-Quran menasihatkan agar setiap orang yang beriman dan bertakwa kepadaNya agar selalu memproduksi kata-kata yang tepat. Benar, baik, indah, maslahat. Tepat; kadar, waktu, dosis, kepada siapa kata-kata itu ditujukan, tentang apa, dst. Tepat di segala unsurnya.

Jaminan Al-Qur’an, jika itu dilakukan orang-orang yang beriman dan bertakwa kepadaNya, maka pastilah perilakunya menjadi baik, dosa-dosanya diampuni Tuhan. Orang-orang yang demikian adalah orang yang dinilai taat kepada RasulNya, taat kepadaNya. Ialah orang yang dicintai Tuhan. Dia pasti memiliki keuntungan yang sangat-sangat besar.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang tepat, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” Al-Quran surat al-Ahzab (33), ayat 70-71.

Bila kita berkenan selalu menjaga ujaran. Memilih diam daripada berkomentar selain tepat. Semoga setiap kitalah yang sangat beruntung menjadi insan pilihan. Insan-insan yang dicintai Tuhan, Aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Cinta Harus Memiliki, Belajar Ikhlash Dari Wali



Jakarta

Santri laki sangat ingin menikahi putri Kyai. Naluri wajar yang jarang dijumpai. Tapi itulah situasi yang pernah terjadi. Di sebuah pondok pesantren di masa teknologi masih belum semaju saat ini.

Pada saat itu mengisi bak mandi masih menggunakan air yang harus dibeli. Dari penjual air yang berlokasi di sekitar rumah. Masih di dalam satu kampung yang sama.

Peristiwa itu terjadi di salah satu pondok pesantren (Ponpes) di Makkah. Ponpes itu menampung putra-putri. Tentu saja santri putra dan santri putri berbeda lokasi. Sehingga mereka pasti tidak dapat saling menemui.


Sang Syech atau Kyai memiliki seorang putri. Kecantikannya banyak dikenali masyarakat sekitar. Banyak pemuda yang ingin menikahi. Termasuk salah seorang santri Kyai.

Jangankan melihat putri Kyai, melihat santri putri saja pasti harus dijauhi.
Namun santri satu ini sangat punya nyali. Ada saja akal pikiran yang dipunyai. Ia berusaha berjualan air. Tujuannya pasti agar bisa mudah, masuk lokasi putri. Karena penjual air bila mengisi air ke dalam bak mandi harus mengantarnya sendiri. Usaha itu dalam upayanya bisa kenal dengan putri Kyai. Bukankah putri Kyai juga memiliki lokasi, belajar dan beraktifitas di sekitar lokasi santri putri.

Bisa diduga bahwa tujuan santri berjualan air bukan tujuan asli. Apalagi untuk Kyai ia mematok diskon tinggi. Lebih aneh lagi ia tidak menjual air kecuali hanya kepada Ponpes Kyai.

Beberapa waktu berlalu. Rupanya sang Kyai memahami. Boleh jadi karena beliau seorang wali. Bahwa santri laki itu berjualan air tapi punya maksud mengincar putri Kyai. Lalu beliau Kyai memanggil santri laki itu sambil berujar, “Nak, apakah kamu sengaja berjualan air hanya ke sini saja. Tidak kepada keluarga lain. Hanya karena ingin kenal putriku. Lalu bisa menjadi menantuku?”
“Inggih (ya) Kyai,” jawab santri itu polos.

Baiklah. Kalau kamu berniat sungguh-sungguh ingin memiliki putriku, menikahinya, boleh. Tidak harus melalui berjualan air ke sini.” Sambung Kyai dengan ramah dan tenang.
“Terus saya harus bagaimana Kyai?” Tanya santri itu dengan hati yang berbunga-bunga karena begitu bahagianya. Betapa tidak, sang Kyai seolah begitu saja dengan mudah akan “merestui”. Sedang dirinya hanyalah seorang santri yang bukan keturunan Kyai. Ada juga perasaan belum wajar, tetapi bagaimana lagi. Demi keinginan sejati menikahi putri Kyai.

“Kalau kamu sungguh-sungguh, mulai besok datanglah ikut berjemaah di masjidil haram. Kamu wajib ada di shaf pertama.” Lanjut Kyai sambil menatap santri itu meyakinkan.
“Itu harus kamu lakukan selama empat puluh hari tampa putus, terus menerus.” Lanjut beliau sambil menekankan suaranya. Tanda serius.

“Baik Kyai, insyaAllah akan segera saya laksanakan mulai besok hari.” Secepat kilat santri itu menjawab. Seolah merasa sarat yang diberikan Kyai akan bisa dengan mudah dia lalui. Tidak harus lebih dulu menjadi wali. Tidak juga harus punya duit banyak sekali. Bukan itu semua. Hanya ikut shalat berjemaah di shaf awal di masjidil Haram. Mudah sekali. Gumamnya di dalam hati.
Segera santri itu menyiapkan diri untuk menyanggupi seluruh yang dipesankan Kyai.

Esok harinya santri itu mulai berjemaah di shaf pertama. Niatnya antara lain pasti supaya keinginannya terpenuhi. Menikahi putri Kyai. Yang kecantikannya sulit ditandingi. Satu hari, dua hari, tiga sampai sepuluh hari. Bayangan bisa menyunting putri Kyai masih membayangi. Walau tak sepenuh bayangan pertama kali mengikuti shalat berjemaah di shaf awal itu.

Setelah masuk hari ke sebelas, dua belas, terus sampai lewat empat puluh hari. Bayang keinginan menikahi putri Kyai, berganti dengan kenikmatan shalat berjemaah di shaf awal. Kenikmatan yang selama ini belum pernah ia alami.

Melewati empat puluh hari sesuai janji. Kyai menjemputnya, menggandengnya pulang demi menepati janji. Menikahkan putrinya dengan si santri. Namun apa yang terjadi?

Ketika Kyai berkata kepada santri,”Nak, hayo pulang. Sesuai dengan janjiku tempo hari. Sekarang sudah selesai sarat yang aku ajukan. Sekarang waktunya aku nikahkan engkau dengan putriku.” Ujar Kyai penuh yakin.

Sebaliknya. Jawaban santri itu ternyata di luar ekspektsi Kyai. “Mboten (tidak) Kyai, kenikmatan shalat jemaah di shaf awal di masjidil haram, mboten saged (tidak bisa) ditukar dengan hanya sekedar seorang putri. Mboten.” Santri itu menolak sopan ajakan Kyai.

Rupanya. Berawal dari niat ingin menikahi putri Kyai, lalu menekuni shalat berjemaah di lokasi paling diminati (dekat Ka’bah di shaf awal) secara istiqamah. Bergeser menjadi perbuatan ikhlash. Ikhlash menuntunnya untuk nikmat mencintaiNya. Cinta yang tak mungkin ditukar dengan apa pun selainNya. Termasuk cinta kepada putri Kyai.

Merasa bertambah kagum kepada si santri. Kyai mencoba merendah dan mengulangi ajakannya kembali. “Nak, hayo pulang dulu. Saya sangat ingin dan sangat butuh orang yang ikhlash menjadi menantuku.”
Demi tersentuh kata-kata ikhlash. Yang pasti berbeda terbalik dengan niat santri pertama kali pergi shalat jemaah di shaf awal. Santri itu terlihat tidak tega menolak ajakan Kyai.

“Injih Kyai, kalau karena ikhlash saya bersedia menikahi.” Terlihat wajah Kyai itu seketika berganti cerah. Secerah sinar mentari yang mulai beranjak tinggi. Lalu mereka bersama-sama pergi menuju rumah Kyai.

Ikhlash memang bukan perbuatan ringan seringan jatuhnya rintik hujan dari awan. Tapi ikhlash ternyata bisa ditimbulkan melalui kebiasaan. Kebiasaan melakukan kebaikan berulang-ulang. Kebaikan yang dilakukan secara istiqamah. Terus menerus sampai lupa ingatan terhadap maksud kurang ikhlash sebagaimana niat di awal perbuatan. Sampai muncul kenikmatan tak tergantikan. Kenikmatan mampu merasakan nikmatnya cinta Tuhan.

Jangankan shalat jemaah istiqamah di shaf awal. Menyiapkan makanan kucing, hewan-hewan peliharaan. Bukan karena ingin supaya si hewan membalas kebaikan tuannya, taat, nurut kepada pemiliknya. Tapi niat hanya demi Tuhan, itu pun bisa mengundang ikhlash. Sebutan yang kebanyakan orang menganggapnya sulit didapatkan.

Menahan membuang sampah di jalan. Bukan takut dikira kurang mengerti kebersihan. Juga bukan karena takut kelihatan orang. Namun demi menjaga kebersihan sesuai amanat Tuhan. Itu bisa menjadi ikhlash yang sering di luar perhatian.

Berusaha secara istiqamah menahan diri dari ujaran yang menimbulkan kegelisahan, ujaran yang kurang wajar. Menggantinya dengan ujaran baik yang selalu bermakna kebaikan di jalan Tuhan. Itu pula menjadi jalan ikhlash yang sangat mengundang tingginya kehormatan. Kehormatan di sisi Tuhan. Kehormatan di antara seluruh makhluk Tuhan.

Cinta santri laki itu kepada putri Kyai. Ternyata memang berakhir dengan memilikinya. Kisah perjalanan ikhlash salah seorang wali.

Semoga setiap kita berkenan berlatih untuk menikmati jalan ikhlash. Jalan mencapai cinta sejati kepadaNya, sampai mampu memiliki cintaNya, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih-Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Cinta Salman Al Farisi RA, Merelakan Pujaan Hati Demi Sahabat Sejati



Jakarta

Kisah cinta Salman Al Farisi RA menunjukkan perilaku ikhlas itu tidak terbatas apa pun. Keikhlasan ini dibuktikan dengan kerelaan dirinya melihat sang pujaan hati menikah dengan sahabat sejatinya. Berikut cerita selengkapnya.

Siapa yang tidak kenal dengan Salman Al Farisi RA. Seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat cerdas dan berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy dengan idenya membangun parit di sekeliling kota Madinah saat Perang Khandaq.

Ada sebuah kisah yang menarik dari Salman Al Farisi RA yang menyangkut dengan hati dan cintanya terhadap seorang perempuan salihah. Dari cerita ini, banyak hikmah yang bisa diambil, salah satunya adalah perilaku ikhlas yang amat besar.


Kisah Cinta Salman Al Farisi RA

Dikisahkan dalam buku Cinta di Sujud Terkahir karya Cinta Mulia, Salman Al Farisi RA pernah jatuh cinta pada seorang muslimah Anshar dari Madinah. Ia kemudian membulatkan tekadnya untuk melamar wanita tersebut.

Masalah pun muncul saat ia hendak melamar wanita itu. Salman Al Farisi RA merasa ia belum mengetahui bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah dan bagaimana tradisi Anshar dalam mengkhitbah wanita.

Salman Al Farisi RA kemudian mendatangi sahabat yang merupakan penduduk asli Madinah, yaitu Abu Darda RA. Ia meminta tolong untuk ditemani ketika proses khitbah wanita yang ia dambakan itu.

Mendengar pengakuan dari Salman Al Farisi RA yang hendak melamar wanita ini, Abu Darda RA pun sangat senang dan bahkan memeluknya sebagai bentuk dukungan.

Tak ada perasaan ragu dalam diri seorang Abu Darda RA. Ia merasa, inilah saatnya untuk membantu saudara seimannya, sahabat sejatinya.

Beberapa hari kemudian, Abu Darda RA mempersiapkan segala kebutuhan untuk lamaran tersebut. Salman Al Farisi RA pun mendatangi rumah sang pujaan hati ditemani sahabatnya itu.

Selama perjalanan tidak ada perasaan lain melainkan kebahagiaan memenuhi hati keduanya. Setibanya rumah wanita tadi, keduanya disambut dengan baik oleh orang tua sang pujaan hati Salman Al Farisi RA.

Di sinilah misi Abu Darda RA sebagai sahabat mulai dilancarkan. Ia memperkenalkan dirinya dan Salman Al Farisi RA dengan sangat baik dan tujuan mereka berkunjung.

Tak lupa, ia pun menyinggung kedekatan Salman RA dengan Rasulullah SAW untuk dapat mendapatkan hati calon mertuanya.

Mendengar itu semua, kedua orang tua wanita tadi merasa sangat terhormat. Ia senang dan langsung menanyakan hal ini kepada putrinya karena keputusan ada di tangan dirinya.

Ternyata, sang putri sudah mendengar percakapan antara ayah dengan dua sahabat Rasulullah SAW itu. Ia pun segera memberikan jawabannya kepada ibunya untuk kemudian disampaikan kepada Salman Al Farisi RA dan Abu Darda RA.

Jantung Salman Al Farisi RA pun sangat berdebar menunggu jawaban wanita idamannya itu. Dari balik hijab, terdengar suara sang ibu dari putri itu berkata,

“Mohon maaf kami perlu berterus terang,” kalimat ini membuat Salman Al Farisi RA dan Abu Darda RA berdebar menanti jawaban.

“Namun karena kalian berdualah yang datang dan mengharap rida Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda RA juga memiliki keinginan yang sama seperti keinginan Salman Al Farisi RA.”

Jawaban ini sangat mengejutkan baik untuk Salman Al Farisi RA dan Abu Darda RA. Niat hati ingin membantu sahabatnya untuk menggapai pujaan hatinya, yang terjadi malah cinta itu bertepuk sebelah tangan. Lebih mengejutkan lagi, bahwa yang disukai wanita itu adalah dirinya sendiri.

Bukannya bersedih, marah, atau mencela sahabatnya sendiri, Salman Al Farisi RA adalah pria yang saleh, taat dan mulia. Oleh karena itu ia dengan segala ketegaran hati dan keikhlasannya malah berseru,

“Allahuakbar!”

Salman Al Farisi RA justru sangat senang dengan jawaban wanita itu. Ia bahkan menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya.

Tanpa perasaan hati yang sakit, ia dengan ikhlas memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. Bahkan, mahar dan nafkah yang telah dipersiapkannya diberikan kepada Abu Darda RA.

Bahkan, Salman Al Farisi RA jugalah yang menjadi saksi pernikahan sahabatnya dan wanita tersebut.

Begitu besar hati Salman Al Farisi RA bersamaan dengan sifat ikhlas dan tabah dalam menerima takdir dari Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Usia Rasulullah SAW Menikah dan Pertemuannya dengan Cinta Pertama


Jakarta

Rasulullah SAW bertemu dengan cinta pertamanya, Khadijah, pada waktu mereka berdagang. Dalam Sirah Nabawiyah, Khadijah menurut riwayat Ibn al-Atsir dan Ibn Ishaq adalah seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya raya.

Ia sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Kala itu, ia mendengar kabar kejujuran Nabi SAW dan kemuliaan akhlaknya. Khadijah coba mengamati Nabi SAW yang membawa barang dagangannya ke Syam.

Dikutip dalam buku Sirah Nabawiyah Nabi Muhammad dalam Kajian Sosial-Humaniora karya Dr. Ajid Thohir disebutkan bahwa Khadijah menitipkan barang dagangan yang lebih dari apa yang dibawakan orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi SAW ditemani Maisarah, seorang pegawai kepercayaan Khadijah.


Nabi Muhammad SAW menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah untuk meniagakan barang-barang Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad SAW berhasil membawa keuntungan yang berlipat ganda, sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya.

Selama perjalanan tersebut Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah.

Khadijah tertarik pada kejujurannya, dan ia pun terkejut oleh berkah yang diperoleh dari perniagaan Nabi SAW. Khadijah kemudian menyatakan keinginan untuk menikah dengan Nabi SAW dengan perantaraan Nafisah binti Muniyah. Nabi menyetujuinya, hingga kemudian beliau menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya.

Pernikahan Pertama Rasulullah SAW

Setelah itu, mereka meminang Khadijah untuk Nabi SAW kepada paman Khadijah, Amr bin Asad. Ketika menikahi Khadijah, Rasulullah SAW berusia 25 tahun sedangkan Khadijah berusia 40 tahun.

Sebelum menikah dengan Nabi SAW, Khadijah pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’idz at-Tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at-Tamimi, yang juga dikenal dengan Hindun bin Zurarah.

Khadijah menjadi istri yang sosoknya sangat berpengaruh terhadap kehidupan Nabi SAW. Disebutkan dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali RA pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik wanita (langit) adalah Maryam binti Imran, dan sebaik-baik wanita (bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa ia berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi SAW kecuali kepada Khadijah, sekalipun aku tidak pernah bertemu dengannya. Rasulullah SAW apabila menyembelih kambing, maka ia berpesan, ‘Kirimkan daging ini kepada teman-teman Khadijah. Pada suatu hari, aku marah kepada beliau, lalu aku katakan, ‘Khadijah?’ Maka Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya aku telah dikaruniai cintanya.’

Sementara Ahmad dan Ath-Thabarani meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah RA, ia berkata, “Hampir Rasulullah SAW tidak pernah keluar rumah sehingga menyebut Khadijah dan memujinya. Pada suatu hari, beliau menyebutnya, sehingga membuatku cemburu. Lalu aku katakan, ‘Bukankah ia hanya seorang wanita tua dan Allah telah mengganti dengan orang yang lebih baik darinya untuk engkau?’ Rasulullah SAW seketika marah seraya bersabda, ‘Demi Allah, Allah tiada menggantikan untukku orang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakanku, dia membelaku dengan hartanya ketika orang- orang menghalangiku, dan aku dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama sekali dari istri-istriku yang lain.’

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah ini berlangsung hingga Khadijah meninggal dunia, tepatnya pada usia 65 tahun, sementara Rasulullah SAW telah mendekati usia 50 tahun.

Dalam rentang waktu tersebut, beliau tidak pernah berpikir untuk menikah dengan wanita atau gadis lain.

(lus/rah)



Sumber : www.detik.com

Saat Sayyidah Aisyah Cemburu pada Para Istri Rasulullah SAW



Jakarta

Salah satu istri Rasulullah SAW, Aisyah RA dikenal memiliki sifat pencemburu. Meskipun ia merupakan istri yang paling dicintai Nabi Muhammad SAW, perasaan cemburu tetap muncul ketika Nabi SAW menunjukkan sikap kasih sayang kepada istri-istri beliau yang lain.

Aisyah RA pernah cemburu pada Khadijah RA, istri pertama Nabi SAW. Dikisahkan dalam buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah karya W. Sasmita, tahun wafat Khadijah dikenal sebagai ‘Amul Huzn’ atau ‘Tahun Duka Cita’. Hal ini terjadi karena Rasulullah SAW merasa sangat sedih setelah ditinggal istri tercintanya sepanjang tahun itu.

Rasa cemburu Aisyah RA terhadap Khadijah RA muncul ketika Rasulullah SAW mengenang Khadijah RA di hadapannya. Mendengar itu, Aisyah RA berkata, “Seakan tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah.”


Rasulullah SAW menjawab, “Khadijah memiliki banyak keutamaan, dan dari dialah aku mendapatkan keturunan.” (HR Bukhari)

Aisyah RA kemudian menceritakan kecemburuannya, “Setiap kali Rasulullah menyebut Khadijah, beliau selalu memujinya. Suatu ketika, aku cemburu dan berkata, ‘Engkau mengingat wanita tua yang ompong itu, padahal Allah telah memberimu pengganti yang lebih baik’.”

Rasulullah SAW menjawab, “Allah tidak memberiku pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika semua orang mengingkari. Dia mempercayaiku saat semua orang mendustakanku. Dia memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan dari dialah Allah memberiku keturunan, sesuatu yang tidak dianugerahkan kepada istri-istri lain.” (HR Ahmad)

Sayyidah Aisyah RA juga pernah cemburu pada istri Rasulullah SAW yang bernama Hafshah RA. Mengutip kisah pada sumber sebelumnya, dalam suatu perjalanan, Rasulullah SAW mengundi istri-istrinya untuk menentukan siapa yang akan menemaninya. Undian jatuh pada Aisyah RA dan Hafshah RA.

Di tengah perjalanan, Rasulullah SAW memilih untuk duduk di samping unta Aisyah RA agar bisa berbincang dengannya. Melihat itu, Hafshah RA mengusulkan agar mereka bertukar unta, dengan Aisyah RA menaiki untanya dan Hafshah RA menaiki unta Aisyah RA, untuk saling membandingkan.

Aisyah RA setuju, dan malam itu, Rasulullah SAW mendekati unta yang dinaiki Hafshah RA. Beliau memberi salam dan melanjutkan perjalanan di samping unta tersebut. Saat mereka berhenti untuk beristirahat, Aisyah RA merasa kehilangan perhatian Rasulullah SAW.

Dalam keputusasaannya, ia pun berdoa, “Ya Rabb, datangkanlah kalajengking atau ular untuk menggigitku. Dia adalah utusan-Mu, dan aku tidak bisa berkata apa-apa padanya.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah).

Doa ini menunjukkan betapa besarnya kecemburuan yang dirasakannya.

Masih menukil kisah pada buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah, Aisyah RA juga pernah cemburu pada Shafiyyah RA, istri Rasulullah SAW yang berasal dari keluarga Yahudi di Khaibar. Dia adalah putri Huyay bin Ahtab, pemimpin Yahudi bani Nadhir, yang menolak Piagam Madinah. Ayah, suami, dan saudara Shafiyyah terbunuh dalam Perang Khaibar, dan dia kemudian menikah dengan Rasulullah SAW.

Setelah perang, saat rombongan umat Islam memasuki Madinah, unta Rasulullah SAW tergelincir, dan beliau melindungi Shafiyyah RA. Para wanita menyaksikan kejadian tersebut dengan harapan agar Allah SWT menjauhkan Shafiyyah RA dari Rasulullah SAW. (HR Bukhari dan Muslim)

Sebagai tempat tinggal, Rasulullah SAW memilih rumah Haritsah bin Nu’man. Di tempat inilah kabar tentang kecantikan Shafiyyah RA mulai tersebar, membuat banyak wanita, termasuk Aisyah RA, penasaran.

Suatu hari, Rasulullah SAW bertanya kepada Aisyah RA, “Bagaimana menurutmu tentang Shafiyyah?” Aisyah RA menjawab, “Ia hanyalah seorang wanita Yahudi.”

Rasulullah SAW menyanggah, “Jangan berkata begitu, wahai Aisyah! Dia telah memeluk Islam dan menjalankannya dengan baik.”

Meski Aisyah RA merasa cemburu, terutama karena Shafiyyah RA pandai memasak, ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Aisyah RA mengaku, “Tidak pernah kurasakan masakan selezat masakan Shafiyyah,” dan ketika Shafiyyah RA mengirimkan makanan dalam sebuah bejana, Aisyah RA tidak bisa menahan diri dan memecahkannya.

Rasulullah SAW menegaskan, “Bejana diganti dengan bejana dan makanan diganti dengan makanan.” (HR an-Nasa’i dan Ahmad)

Kecemburuan Aisyah RA tidak berhenti di situ. Suatu ketika, ia merusak mangkuk yang dibawa oleh seorang pelayan untuk Rasulullah SAW. Beliau kemudian mengumpulkan pecahan mangkuk dan mengaturnya untuk makan, lalu mengganti mangkuk yang pecah.

Dalam riwayat lain, Aisyah RA menunjukkan postur tubuh Shafiyyah RA kepada Rasulullah SAW, dan beliau mengingatkan, “Engkau telah melontarkan sebuah kata yang jika dicampurkan ke dalam air laut, akan membuat lautan menjadi keruh.”

Meskipun beberapa kali Aisyah RA cemburu kepada Shafiyyah RA, namun Shafiyyah RA adalah orang yang selalu berdiri di pihak Aisyah RA dalam personal-persoalan lain.

Aisyah RA juga pernah cemburu pada Ummu Salamah RA. Dalam buku Wanita-Wanita yang Diabadikan dalam Al-Qur’an karya Maryam Kinanthi Nareswari, diceritakan bahwa Ummu Salamah RA adalah istri Rasulullah SAW yang paling tua. Rasulullah SAW menunjukkan sikap baik dan hormat kepadanya, yang memicu kecemburuan Aisyah RA. Suatu ketika, Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ke mana saja engkau seharian?”

“Wahai Humaira, saya bersama Salamah,” jawab Rasulullah SAW. Saat Aisyah RA bertanya apakah ia bahagia di rumah Ummu Salamah RA, Rasulullah SAW hanya tersenyum.

Aisyah RA kemudian mengungkapkan perasaannya, “Ya Rasulullah, seandainya kau melepaskan dua peliharaan di sebuah lembah, yang satu kau perhatikan dan yang satu lagi tidak, manakah yang akan kau perhatikan?” Rasulullah SAW menjawab, “Aku tidak melalaikan apa yang belum sempat aku perhatikan.”

Aisyah menambahkan, “Sesungguhnya, aku ini bukan seperti istri-istrimu yang lain. Semuanya pernah bersuami kecuali aku.” Mendengar itu, Rasulullah SAW hanya tersenyum.

Demikian kisah kecemburuan Aisyah RA, istri Rasulullah SAW. Kisah-kisah ini menunjukkan sisi manusiawi Aisyah RA sebagai wanita, dan menggambarkan besarnya cinta Aisyah RA kepada Rasulullah SAW.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com