Tag Archives: dakwah

Pengertian Dakwah dalam Islam, Kenali Makna dan Tujuannya



Yogyakarta

Dakwah memiliki arti yang mendalam dan tujuan yang mulia. Dalam Islam, dakwah memiliki peran yang sangat penting sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan agama dan nilai-nilai kebaikan kepada masyarakat.

Memahami arti, makna dan tujuan dakwah adalah langkah awal dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang muslim yang berkontribusi dalam menyebarkan kebenaran.

Pengertian dan Makna Dakwah

Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. dalam bukunya Ilmu Dakwah Edisi Revisi menjelaskan dakwah sebagai proses dari penyampaian ajaran Islam. Hal tersebut sebagaimana hadits Rasulullah SAW.


Abu Said al-Khudri r.a menuturkan, “Ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW seraya memprotes, ‘Wahai Rasulullah, banyak orang laki-laki membawa hadits engkau. Jadikanlah kami sebagai pengikut engkau yang suatu hari datang kepadamu untuk mempelajari apa yaang telah diajarkan Allah SWT kepadamu.’ Rasulullah SAW menanggapinya, ‘Berkumpullah kalian di hari begini di tempat begini.’ Kemudian kaum perempuan berkumpul dan mendatangi Rasulullah SAW. Lalu beliau mengajarkan merek mengenai apa yang telah diajarkan oleh Allah SWT. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Tak seorang perempuan pun di antara kalian yang menimang anaknya selama tiga kali kecuali ia diberi tabir yang menjauhkannya dari api neraka.’ Seorang perempuan dari mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika hanya dua kali?’ Pertanyaan ini diulang sampai dua kali. ‘Meskipun dua kali, meskipun dua kali, meskipun dua kali’ jawab Rasulullah SAW (HR Bukhari.)

Hadits ini mengajarkan tiga hal yakni kesetaraan gender dalam dakwah, kewajiban berdakwah dan pesan dakwah sesuai dengan keadaan penerima dakwah.

Dakwah bukan hanya kewenangan ulama atau tokoh agama. Setiap muslim bisa melakukan dakwah karena dakwah bukan hanya ceramah agama.

Dakwah memiliki makna yang beragam berdasarkan perbedaan para penulis dalam menentukan pengertian dakwah.

Dikutip dari buku Fiqih Dakwah karya Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz, bahwa dakwah adalah risalah terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu-Nya dalam bentuk kitab yang tidak ada kebatilan di dalamnya dan yang membacanya bernilai ibadah.

Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. dalam bukunya Ilmu Dakwah Edisi Revisi mengatakan bahwa terdapat sepuluh makna dakwah dalam Al-Qur’an, tiga diantaranya yaitu:

– Dalam surat al-Baqarah ayat 221, dakwah bermakna untuk mengajak dan menyeru, baik kepada kebaikan maupun kemusyrikan, kepada jalan ke surga atau neraka.
– Dalam surat Ali Imran ayat 38, dakwah bermakna doa
– Dalam surat ar-Ruum ayat 30, dakwah bermakna memanggil atau panggilan.

Masih mengutip dari sumber buku yang sama, bahwa para ahli mendefinisikan dakwah sebagai berikut:

Syekh Muhammad al-Rawi (1972: 12), dakwah adalah pedoman hidup yang sempurna untuk manusia beserta ketetapan hak dan kewajibannya.

‘Abd al-Karim Zaidan (1976: 5), dakwah adalah mengajak kepada agama Allah SWT, yaitu Islam.

Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni (1993: 17), dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata.

Hukum Dakwah

Para ulama memiliki perbedaan pendapat dengan argumentasi berdasarkan dalil mengenai hukum dakwah.

Dikutip dari buku Pengantar Studi Ilmu Dakwah karya Dr. Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni bahwa beberapa ulama menyatakan hukum dakwah adalah wajib ‘ain dengan pedoman beberapa dalil seperti dalam surat Ali Imran ayat 104, surat Ali Imran ayat 110, dan beberapa hadits.

Sedangkan para ulama yang menyatakan bahwa hukum dakwah adalah wajib kifayah memiliki pedoman dalil seperti dalam surat Ali Imran ayat 110 dan At-Taubah ayat 122.

Tujuan Dakwah

Mengutip buku Gagasan Dakwah: Pendekatan Komunikasi Antarbudaya karya Abdul Wahid, bahwa terdapat banyak pandangan para ahli yang mengemukakan tentang tujuan dakwah, diantaranya yaitu,

  • Menyelesaikan problematika umat
  • Membentuk masyarakat islami
  • Mendorong masyarakat untuk mengikuti petunjuk yang diketahui kebenarannya, melarang perbuatan yang buruk agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
  • Memperkenalkan dan memberi pemahaman mengenai hakikat Islam.
  • Menjaga umat agar selalu memegang nilai-nilai kemanusiaan yang berbasis Al-Qur’an dan sunnah.

Kesimpulan dari beberapa tujuan tersebut adalah bahwa dakwah memiliki tujuan untuk memberikan pedoman kepada manusia sesuai dengan ajaran Islam agar memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Penyebab Kota Pesisir Berperan Penting dalam Penyebaran Islam


Jakarta

Islam diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui jalur perdagangan maritim, menurut teori Maritim N.A. Baloch. Kota pesisir memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam.

Lokasi mereka yang sangat strategis di tepi laut, kota-kota pesisir menjadi pusat segala aktivitas. Para pedagang muslim dari berbagai negara datang ke kota-kota pesisir di berbagai benua untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam.

Teori Masuknya Islam Lewat Perdagangan Maritim

Masuknya Islam ke Nusantara lewat perdagangan maritim atau yang kemudian dikenal sebagai teori Maritim dikenalkan oleh sejarawan Pakistan bernama N.A. Baloch. Menurut buku Api Sejarah yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara, teori ini menyebut bahwa masuk dan berkembangnya Islam ke Nusantara akibat umat Islam memiliki navigator atau mualim dan wirausaha yang menguasai maritim dan pasar.


Aktivitas tersebut kemudian membawa Islam ke sepanjang jalan laut perdagangan di pantai-pantai yang menjadi tempat persinggahan pada abad ke-1 H atau abad ke-7 M.

N.A. Baloch dalam The Advent of Islam in Indonesia mengatakan, hal tersebut menjadi langkah awal dalam sejarah pengenalan Islam di pantai-pantai Nusantara hingga China Utara yang dibawa oleh wirausahawan Arab.

Proses penyebaran Islam lewat jalur perdagangan maritim menurut teori ini berlangsung selama lima abad, yakni abad pertama hingga 5 H atau abad 7-12 M.

Peranan Kota Pesisir dalam Penyebaran Islam

Kota pesisir memegang peranan penting dalam penyebaran Islam. Berikut di antaranya.

1. Jadi Akses Rute Perdagangan Internasional

Menurut artikel berjudul Peranan Pesisir dalam Proses Islamisasi di Nusantara karya Andriyanto dan Muslikh yang dipublikasikan dalam Journal of History Education and Culture Vol. 1 No.1 edisi Juni 2019, kota pesisir memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam karena menjadi akses ke rute perdagangan internasional.

Selain itu, pesisir juga berperan dalam memberikan fasilitas pelabuhan-pelabuhan yang aman. Sumber daya alam juga tersedia di wilayah tersebut.

2. Tempatnya Strategis untuk Berdakwah

Banyak pedagang dari negara-negara muslim singgah untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Sehingga, kota pesisir menjadi tempat yang strategis untuk berdakwah.

Merangkum dari buku Penyebaran Islam Nusantara terbitan NUSWANTARA bahwa para pedagang muslim ini menemukan kesempatan dengan berdakwah dan menyemaikan benih-benih Islam. Mereka juga membangun masjid dan sarana pendidikan Islam serta mengajak penduduk setempat untuk mengikuti dan belajar tentang syariat Islam.

3. Mudah Dijangkau Para Ulama dan Mubaligh

Para ulama dari berbagai negara memiliki kemudahan untuk memberikan ceramah, pengajian, dan fatwa tentang Islam karena kota pesisir menjadi tempat berlabuhnya pendatang. Mereka juga dapat membantu para pedagang Muslim dalam menyebarkan Islam dengan cara yang lebih strategis dan terorganisir.

4. Memiliki Potensi Ekonomi Besar

Para pedagang muslim yang singgah tersebut mendapatkan keuntungan dari perdagangan dengan negara-negara lain. Mereka juga dapat membantu penduduk setempat dalam meningkatkan kesejahteraan mereka dengan cara memberikan pinjaman, bantuan, atau pekerjaan. Dengan demikian, mereka dapat menarik simpati dan kepercayaan penduduk setempat untuk memeluk Islam.

5. Jadi Tempat Pertemuan Berbagai Budaya dan Agama

Para pedagang muslim tersebut berinteraksi dengan penduduk setempat dan saling bertukar informasi termasuk tentang agama Islam. Mereka juga dapat menunjukkan akhlak dan perilaku yang baik sebagai contoh bagi penduduk setempat.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Wasiat Terakhir Rasulullah sebelum Berpulang ke Rahmatullah



Jakarta

Rabiul Awal menjadi bulan kebahagiaan namun juga kesedihan mendalam bagi umat Islam. Pada tanggal 12, Rasulullah SAW lahir dan pada tanggal itu, tepat di usia 63 tahun beliau wafat. Baginda Nabi SAW meninggalkan wasiat kepada umatnya sebelum berpulang.

Kisah menjelang wafatnya Rasulullah SAW dan pesan-pesan terakhir beliau banyak diceritakan dalam sejumlah riwayat dan kitab-kitab Tarikh maupun Sirah Nabawiyah.

Diceritakan dalam Washaaya wa ‘Izhaat Qiilat fi Aakhiril-Hayaat karya Zuhair Mahmud al-Humawi, kala itu hari Rabu, lima hari sebelum Rasulullah SAW berpulang ke Rahmatullah, sakit beliau bertambah parah, suhu badannya tinggi. Beliau merasakan sakit yang amat dahsyat.


Rasulullah SAW sempat tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Setelah siuman, beliau bersabda,

“Tuanglah air dari tujuh kantong air yang diisi dari berbagai sumur ke atas badanku. Mudah-mudahan aku sanggup keluar menemui orang-orang dan menyampaikan wasiatku kepada mereka.”

Beliau kemudian didudukkan dan tubuh beliau disiram air tersebut. Setelah merasa badannya menjadi segar, dengan kepala terikat kain, beliau masuk masjid menuju mimbar. Kemudian, beliau menyampaikan sejumlah wasiat.

Di antara wasiat beliau adalah sebagai berikut,

“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bersikap baik kepada orang Anshar! Mereka adalah teman kepercayaan dan orang dekatku. Mereka telah menunaikan segala yang wajib mereka laksanakan dan yang tersisa hanyalah apa yang harus mereka terima. Oleh karena itu, sambunglah dengan baik apa yang datang dari orang baik mereka, dan maafkanlah orang yang tidak baik di antara mereka!”

Dalam riwayat lain beliau SAW bersabda,

“Orang-orang akan bertambah banyak, sementara orang-orang Anshar semakin menciut jumlahnya sehingga mereka umpama garam dalam makanan. Barang siapa di antara kalian mengurusi suatu perkara yang memudharatkan atau memberikan manfaat kepada seseorang, hendaklah ia menyambut (segala sesuatu yang datang) dari orang yang baik di antara mereka, dan memaafkan orang yang jahat di antara mereka.” (HR Bukhari)

Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba telah diperintahkan oleh Allah untuk memilih yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu antara bunga dunia berapa pun yang disukainya atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang ada di sisi Allah.”

Pada hari-hari setelahnya, keempat, ketiga, kedua, hingga tiba hari terakhir mengemban amanah di dunia, Rasulullah SAW menyampaikan sejumlah wasiat kepada umat Islam. Wasiat terakhir Rasulullah SAW adalah salat.

Jagalah Salat! Jagalah Salat!

Di atas pembaringan, Rasulullah SAW berwasiat kepada seluruh umatnya, “Jagalah salat! Jagalah salat!” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Adnan Hasan Shalih Baharits, penulis buku Mas’uuliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan salat dalam Islam, lantaran Rasulullah SAW menjadikannya sebagai wasiat terakhir tatkala hendak berpulang ke haribaan Allah.

Ulama Syafi’iyyah Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah-nya turut menukil riwayat yang menerangkan wasiat terakhir Rasulullah SAW. Diceritakan, pada saat akan menghembuskan nafas terakhir, Rasulullah SAW bersabda,

الصَّلَاةُ، اَلصَّلَاةُ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Artinya: “Salat, salat, dan apa yang menjadi tanggung jawab kalian semua…”

Sayyid Sabiq menerangkan, salat merupakan hal terakhir yang akan hilang dari agama Islam. Jika salat tiada, maka Islam pun sirna. Rasulullah SAW bersabda,

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تليهَا وَأَوَّهُنَّ نَقْضًا الْحُكمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

Artinya: “Tali (jati diri) Islam akan sirna sedikit demi sedikit. Setiap kali satu tali hilang, maka manusia akan bergantung kepada tali selanjutnya. Tali pertama yang akan hilang adalah hukum, dan tali yang terakhir adalah salat.”

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Cara Menyikapi Orang yang Tak Kunjung Bayar Utang Menurut Islam


Jakarta

Tak kunjung membayar utang meski sudah jatuh tempo terkadang memicu permasalahan baru yang bisa saja mengarah pada jalan setan, seperti benci hingga hilangnya keikhlasan. Syariat Islam telah mengatur cara seorang muslim dalam menyikapi orang yang tak kunjung membayar utangnya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berpesan agar berhati-hati dengan utang. Sebab, utang bisa membuat seseorang resah di malam hari dan menjadikan hina pada siang hari. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh si peminjam maupun orang yang memberikan pinjaman.

Ustazah Dede Rosidah atau yang akrab dipanggil Mamah Dedeh dalam tausiyahnya di acara ‘Assalamualaikum Mamah Dedeh’ Trans 7 menjelaskan, orang yang memberikan pinjaman memiliki kewajiban untuk menagih utang sebanyak tiga kali. Jika tak kunjung dibayar, maka ia bisa mendoakannya.


“Kewajiban kita menagih, sekali, dua kali, tiga kali, tidak juga dibayarnya yang dosa dia sama kita. Ya sudah kita doakan yang terbaik,” terang Mamah Dedeh.

Mamah Dedeh menyebut satu per satu doa yang bisa dipanjatkan apabila orang tak kunjung membayar utang padanya. Pertama, kata Mamah Dedeh, jika orang yang berutang itu miskin, maka dapat mendoakan semoga dia punya rezeki untuk membayar utangnya.

Jika orang itu belum juga membayar utang, maka dapat memanjatkan doa agar Allah SWT memberikan rezeki yang lebih banyak dari jumlah yang ia pinjamkan. Seperti dengan lafaz, “Ya Allah, semoga saya diberikan rezeki lebih banyak dari utang dia ke saya.”

Apabila masih tak kunjung membayarnya, Mamah Dedeh menyarankan agar ia berdoa supaya utang yang tak kunjung dibayar itu bisa menghapuskannya dari rezeki yang syubhat dan haram.

Kata Mamah Dedeh, “Ya Allah saya bermohon kepadamu ya Allah, apabila rezeki yang saya terima ini ada yang halal, ada yang haram, ada yang syubhat semoga dengan dia tidak membayarnya, yang syubhat, yang haram, itu terhapus dengan dia tidak membayar (utangnya).”

Terakhir, jika masih belum juga dibayar, orang yang meminjamkan uangnya itu bisa berdoa agar keikhlasannya itu bisa menghapuskan dosa dan kesalahannya. Mamah Dedeh mencontohkan dengan lafaz, “Ya Allah saya sebagai manusia banyak dosa, banyak kesalahan saya, semoga dengan dia tidak membayar semua dosa dan kesalahan saya diampuni oleh Allah SWT.”

Larangan Membicarakan Utang pada Orang Lain

Mamah Dedeh juga menjelaskan, orang yang memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan harus benar-benar ikhlas. Ia pun menyebut larangan membicarakan utang seseorang kepada orang lain.

“Kalau orang ngutangin terus ngomong ke sana ke mari, dosa dia. Karena nggak ikhlas,” kata Mamah Dedeh.

Mamah Dedeh berhujjah dengan firman Allah SWT dalam surah Al Bayyinah ayat 5,

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ ٥

Artinya: “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).”

Menurut Mamah Dedeh, lebih baik mencari rezeki yang belum ada daripada mengharapkan orang membayar utang padanya. Sebab, kata Mamah Dedeh, harapan itu akan membuat menderita batin, bahkan bisa menciptakan hal-hal yang mengarah pada jalan setan, seperti membicarakan orang lain.

Utang yang Tak Dibayar Akan Terbawa sampai Mati

Lebih lanjut Mamah Dedeh menjelaskan, utang adalah perkara yang akan terbawa hingga mati. Disebutkan dalam sebuah hadits, orang yang mati sebelum membayar utangnya, akan terkatung-katung hingga utang itu dilunasi. Rasulullah SAW bersabda,

“Roh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena utangnya sampai utangnya dilunasi.” (HR Tirmidzi)

Mamah Dedeh kemudian menceritakan sebuah riwayat tentang salah seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah SAW dan meminta agar menyalatkan temannya yang meninggal dunia. Sebelum mau menyalatkan, Rasulullah SAW menanyakan apakah orang itu punya utang.

Rasulullah SAW baru berkenan menyalatkan seseorang yang tidak memiliki utang, telah melunasi utangnya, atau memiliki harta untuk melunasi utangnya.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Wali Songo dan Wilayah Penyebarannya di Pulau Jawa


Jakarta

Islam masuk dan berkembang di Indonesia melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah Wali Songo.

Siapa saja Wali Songo? Di mana saja wilayah penyebarannya? Simak uraian berikut ini.

Nama-nama Wali Songo

Dikutip dari buku Wali Songo: 9 Sunan karya Noer Al, sembilan nama dari Wali Songo ini adalah Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi atau Sunan Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.


Peran Wali Songo di Indonesia

Dikutip dari buku Sejarah Wali Songo karya Zulham Farobi, Wali Songo memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Peranan Wali Songo cukup dominan di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan.

Para Wali Songo ini berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan Islam. Mereka juga berhasil mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah.

Selain dengan dakwah, para Wali ini juga menyebarkan Islam menggunakan pendekatan budaya dengan cara menyerap seni budaya lokal yang dipadukan dengan ajaran Islam, seperti wayang, tembang Jawa, gamelan, upacara-upacara adat yang digabungkan dengan makna-makna Islam dan sebagainya.

Syekh Maulana Malik Ibrahim

Masih mengutip dari buku Wali Songo: 9 Sunan karya Noer Al, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau yang juga disebut Syekh Maghribi atau Sunan Gresik ini merupakan yang tertua dari sembilan wali.

Syekh Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Islam di wilayah Gresik, Jawa Timur. Beberapa desa yang ditujunya antara lain Desa Sembalo, Desa Tanggulangin, dan Leran.

Ia menyebarkan ajaran Islam dengan cara mendekati masyarakat dengan budi bahasa yang santun dan akhlak mulia, tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan penduduk asli, serta adat istiadat mereka.

Syekh Maulana Malik Ibrahim merupakan seorang tabib yang menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Selain itu, ia juga mengajarkan cara-cara baru dalam bercocok tanam.

Sunan Ampel

Sunan Ampel atau Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat) ini merupakan raja dari Kerajaan Majapahit. Dikutip dari buku Walisongo: Sebuah Biografi karya Asti Musman, Sunan Ampel menyebarkan Islam di wilayah Ampel (Surabaya).

Sunan Ampel berdakwah dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Ia juga menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni, dan adat istiadat Jawa dihilangkan karena merupakan bagian dari bid’ah.

Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim menyebarkan Islam di daerah Tuban, Jawa Timur.

Ia menyebarkan ajaran Islam dengan cara berdakwah, mendirikan pondok pesantren, menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa, serta menyisipkan Islam ke dalam cerita wayang dan musik gamelan.

Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Giri (Gresik, Jawa Timur). Cara menyebarkan ajaran Islam oleh Sunan Giri yaitu dengan berdakwah, mendirikan pesantren, dan menjadi penasihat.

Sunan Drajat

Sunan Drajat atau Raden Qasim menyebarkan Islam di daerah Lamongan, Jawa Timur. Ia terkenal dengan jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya yang selalu berorientasi pada gotong royong.

Sunan Kalijaga

Wilayah penyebaran ajaran Islam oleh Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid ini tidak terbatas, Ia suka berkeliling dan memperhatikan keadaan masyarakat. Beliau menyebarkan ajaran Islam di sejumlah wilayah di Jawa Tengah.

Beliau berdakwah menggunakan berbagai media seni seperti wayang kulit, gamelan, suara, ukir, pahat, busana, dan kesusastraan.

Sunan Kudus

Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus, Jawa Tengah dengan berdakwah dan menciptakan cerita keagamaan yang berjudul Gending Maskumambang dan Mijil.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said ini menyebarkan ajaran Islam di daerah Gunung Muria, Kudus dan desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwah yang digunakannya yaitu pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Beliau juga menciptakan tembang Sinom dan Kinanthi.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah ini menyebarkan ajaran Islam di sejumlah wilayah di daerah Jawa Barat seperti Cirebon dan Banten.

Cara berdakwahnya dilakukan dengan pendekatan struktural. Selain mendirikan pesantren, Sunan Gunung Jati juga mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon dan Banten.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Tokoh Quraisy yang Menentang Dakwah Rasulullah di Bukit Shafa


Jakarta

Dakwah Rasulullah SAW dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari dakwah secara sembunyi-sembunyi, sampai dengan dakwah secara terang-terangan. Sejumlah tokoh Quraisy menentang dakwah Rasulullah SAW ketika beliau mengumpulkan mereka.

Dalam melaksanakan dakwahnya, beliau selalu mendapat banyak cobaan. Seperti dihina, diejek, ditentang, dan bahkan hendak dibunuh. Namun, Allah SWT selalu menyertai hamba yang paling dicintai-Nya tersebut sehingga beliau bisa menegakkan kebenaran dan memberantas kemaksiatan.

Orang-orang yang menentang dakwah Rasulullah SAW, salah satunya adalah kaum kafir Quraisy. Bahkan paman Nabi SAW sendiri juga termasuk di dalamnya.


Tokoh Quraisy yang Menentang Dakwah Nabi Muhammad

Setelah berdakwah secara sembunyi-sembunyi selama kurang lebih tiga tahun, Nabi Muhammad SAW akhirnya mendapat perintah dari Allah SWT untuk melakukan dakwahnya secara terang-terangan, jelas buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti yang ditulis oleh Ahmad Taufik dan Iim Halimah.

Dakwah secara terang-terangan ini dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah turun firman Allah SWT dalam surah Al-Hijr ayat 94 yang bunyinya:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

Artinya: “Maka, sampaikanlah (Nabi Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”

Dengan ayat ini, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang sudah masuk Islam mempersiapkan diri untuk melakukan dakwah mereka terhadap kaum Quraisy secara terang-terangan.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk berdakwah secara terang-terangan adalah dengan mengundang tokoh-tokoh penting kafir Quraisy di Bukit Shafa. Namun dakwah itu mendapatkan banyak kecaman dan tentangan dari mereka.

Tokoh Quraisy yang menentang keras dakwah Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengumpulkan kaum Quraisy yaitu Abu Lahab, Abu Jahal, dan Umar bin Khattab.

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyampaikan pidato tentang ajaran Islam kepada kaum Quraisy itu, Rasulullah SAW malah mendapat perlakuan kasar dan hinaan dari mereka. Bahkan paman Rasulullah SAW yang bernama Abu Lahab, menentang keras dakwah tersebut, seperti dikatakan dalam buku Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam oleh Imam Subchi.

Abu lahab berkata, “Celakalah engkau wahai Muhammad untuk selama-lamanya, untuk inikah engkau mengumpulkan kami semua di sini?”

Setelah Abu Lahab berkata seperti itu, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Lahab ayat 1-5, yang artinya:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan memasuki api yang bergejolak (neraka), (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”

Ejekan dan hinaan yang keras dari pamannya sendiri tersebut tidak lantas membuat semangat dakwah Nabi Muhammad SAW surut dan bahkan hilang. Hal ini malah membuat Nabi Muhammad SAW lebih gigih, semangat, dan gencar untuk melakukan dakwahnya. Seruan beliau untuk melawan kemusyrikan dan kejahatan terus bergema di pelosok Kota Makkah.

Akhirnya, sedikit demi sedikit orang-orang mulai mau menerima Islam. Terbukti dengan beberapa orang dari golongan lemah seperti budak, orang-orang miskin akhirnya mengakui keislamannya. Tulis sumber sebelumnya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Sulitnya Perjuangan Nabi Muhammad saat Dakwah di Makkah



Jakarta

Perjuangan Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah tidak pernah luput dari berbagai penolakan dari kaum kafir. Mereka tak segan untuk mengejek, menyiksa, dan bahkan berusaha membunuh umat Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Penentangan yang dibarengi dengan kekerasan lebih banyak terjadi ketika dakwah Nabi Muhammad SAW dilakukan secara terang-terangan atas perintah Allah SWT, sebagaimana diceritakan dalam buku Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam karya Murodi.

Saat itu kafir Quraisy menganggap ajaran yang dibawa oleh Nabi muhamamd SAW tidak ada dasarnya dan tidak jelas karena mereka pikir apa yang mereka kerjakan adalah peninggalan dari nenek moyang dan tidak boleh ditinggalkan. Sehingga mereka tidak peduli dan berusaha menentangnya habis-habisan agar beliau berhenti berdakwah.


Perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi halangan orang-orang kafir sangatlah berat. Penentangan itu datang dari dengan berbagai macam bentuk dan metode.

Abu Lahab adalah salah satu tokoh Quraisy yang selalu menghalangi dan menentang dakwah Nabi Muhammad SAW dengan cara menebarkan fitnah, menebar terror, mengejek, dan selalu menghalangi beliau.

Banyak cara yang kaum kafir Quraisy lakukan untuk menghentikan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, termasuk percobaan pembunuhan.

Salah satu percobaan yang dilakukan pimpinan Quraisy adalah tawaran kepada Abu Thalib untuk mengganti Nabi Muhammad SAW dengan seorang pemuda tampan bernama Amrah Ibn al-Walid al-Mughirah yang usianya sama dengan beliau agar bisa membunuh keponakannya.

Abu Thalib lantas menjawabnya dengan suara keras dan lantang, “Hai orang kasar! silakan dan berbuatlah sesukamu, aku tidak takut.” Kemudian Abu Thalib mengundang keluarga Bani Hasyim agar mau membantu melindungi Nabi Muhammad SAW.

Percobaan selanjutnya adalah mengutus Uthbah bin Rabi’ah untuk membujuk Nabi Muhammad SAW untuk menghentikan perjuangan dakwahnya. Ia menawari Rasulullah SAW apa pun, termasuk menjadikan beliau menjadi raja agar mau berhenti menyebarkan Islam.

Tentu saja itu tidak akan membuat perjuangan Nabi Muhammad SAW terhenti. Beliau menjawabnya dengan membacakan surah Fussilat ayat 13 yang berbunyi,

فَاِنْ اَعْرَضُوْا فَقُلْ اَنْذَرْتُكُمْ صٰعِقَةً مِّثْلَ صٰعِقَةِ عَادٍ وَّثَمُوْدَ

Artinya: Jika mereka berpaling, katakanlah, “Aku telah memperingatkan kamu (azab berupa) petir seperti petir yang menimpa (kaum) ‘Ad dan (kaum) Samud.”

Perjuangan Nabi Muhammad SAW tidak berhenti sampai di sana. Kaum kafir tetap menentang dan berusaha menghentikan dakwah beliau. Penyiksaan yang tak manusiawi terhadap mukminin tidak bisa lagi dihindarkan.

Di antara sahabat nabi yang mendapat siksaan dari kafir Quraisy adalah Bilal bin Rabbah yang dengan kejamnya dijemur di terik matahari dan di atasnya ditimpa dengan batu besar.

Ibunda Yasir yang bernama Sumaiyah dibunuh oleh Abu Jahal dengan tusukan tombak secara sadis hingga dirinya wafat. Sahabat-sahabat lain yang mendapat siksaan adalah Amr bin Yasir, Ummu Ubais, Zinnirah, Abu Fukaihah, Al-Nadyah, Amr bin Furairah, dan Hamamah. Mereka mendapat siksaan berupa pukulan, cambukan, dan tidak diberi makan dan minum.

Perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah menghadapi penentangan kaum kafir terus berlanjut hingga mereka berbondong-bondong memboikot Rasulullah SAW dan seluruh pengikutnya.

Boikot itu di antaranya berisi tentang larangan menikahi orang-orang Islam, larangan jual beli dengan orang Islam, larangan berkomunikasi dengan orang Islam, dan perintah menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada kaum kafir agar bisa dibunuh.

Selama kurang lebih tiga tahun, pemboikotan yang menyengsarakan umat Islam itu akhirnya berhenti ketika para pemimpin Quraisy yang masih memiliki hati nurani dan ada hubungan kekeluargaan dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib merobek piagam tersebut.

Setelah kondisi umat Islam perlahan pulih, perjuangan Nabi Muhammad SAW untuk mendakwahkan agama Islam akhirnya berlanjut dengan memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Rasulullah SAW tetap tinggal di Makkah untuk mengatur strategi agar bisa pindah ke tempat lain untuk mengembangkan dakwahnya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Wilayah Dakwah Sunan Ampel yang Tersebar sampai Luar Pulau Jawa


Jakarta

Sunan Ampel merupakan salah satu wali songo yang berperan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Wilayah dakwah Sunan Ampel tersebar sampai ke luar Pulau Jawa.

Terdapat sembilan wali songo yang berperan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Mereka adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah salah satu wali songo yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa.


Biografi Sunan Ampel

Dikutip dari Buku Intisari SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) karya Siti Wahidoh, Sunan Ampel atau Raden Rahmat merupakan putra dari Sunan Gresik yang lahir di Campa, Aceh tahun 1401. Sunan Ampel adalah penerus perjuangan Sunan Gresik.

Beliau mendirikan Pesantren Ampel Denta di Jawa Timur dan mendidik para pemuda Islam untuk menjadi da’i.

Dakwah Sunan Ampel dan Wilayah Penyebarannya

Yoyok Rahayu Basuki dalam buku Sunan Amel (Raden Rahmat) mengatakan bahwa pesantren Sunan Ampel tersebut telah menjadi pusat dakwah Islam. Pesantren Ampel Denta telah melahirkan kader Sunan Ampel, yaitu Raden Patah (Raja Demak), Sunan Kalijaga, Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum (Sunan Bonang), Syarifudin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishaq.

Sunan Ampel berhasil mendidik santrinya menjadi ahli agama dan berdedikasi tinggi dalam memperjuangkan Islam. Dari Sunan Giri, dakwah Sunan Ampel tersebar sampai ke luar Pulau Jawa, yaitu di wilayah timur Nusantara di antaranya Sulawesi, Maluku, Ternate, dan Tidore.

Pesantren Ampel Denta yang menjadi pusat dakwah tersebut menjadi pintu gerbang Majapahit, sehingga Sunan Ampel menjadikan pusat Majapahit sebagai sasaran dakwah utama.

Dalam penyebaran Islam kepada Majapahit, Sunan Ampel membagi wilayah inti Majapahit sesuai hierarki pembagian wilayah negara bagian saat itu ke dalam beberapa wilayah yang di koordinir oleh para kader Ampel Denta dan sahabatnya.

Kader dan sahabat Sunan Ampel yang mengkoordinir wilayah Majapahit tersebut di antaranya:

  • Raden Ali Murtadho, diberi gelar Raden Santri, ditempatkan di daerah Gresik untuk mempertahankan Islam di sana.
  • Raden Burereh (Abu Hurairah), diberi gelar Pangeran Majagung, ditempatkan di Majagung.
  • Maulana Ishak, diberi gelar Syekh Maulana Ishak, ditempatkan di Blambangan.
  • Maulana Abdullah, diberi gelar Syekh Suta Maharaja, ditempatkan di daerah Pajang
  • Usman Haji, diberi gelar Pangeran Ngundung, ditempatkan di Kerajaan Matahun dan bertempat di Ngundung.

Dikutip dari buku sebelumnya, Sunan Ampel menginginkan masyarakat menganut Islam murni pada awal penyiaran Islam di Pulau Jawa. Ia tidak setuju dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berbau ritual animisme dan dinamisme.

Namun para wali-wali lainnya berpendapat bahwa karena masyarakat belum bisa meninggalkan kebiasaan tersebut, maka kebiasaan tersebut harus dibiarkan untuk beberapa waktu.

Sunan Ampel pun menyetujuinya. Namun, ia tetap khawatir jika adat istiadat seperti upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa tidak bisa dihilangkan.

Upaya Dakwah Sunan Ampel

Dikutip dari buku Metode Dakwah Masyarakat Multikultur karya Rosidi, upaya yang dilakukan Sunan Ampel dalam dakwahnya yaitu:

  • Meneruskan perjuangan Malik Ibrahim. Sunan Ampel mendirikan pendidikan bagi masyarakat khususnya para kader ulama dan dai yang berupa pesantren.
  • Mendirikan Masjid Ampel. Masjid tersebut menjadi pusat ibadah masyarakat muslim.
  • Mempersiapkan kader dai. Dalam dakwahnya, Sunan Ampel memilih para pemuda dengan kecerdasan tinggi dan kemampuan fisik yang baik untuk dijadikan kader dai.
  • Kader tersebut yaitu Raden Patah (Raja Demak), Sunan Kalijaga, Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum (Sunan Bonang), Syarifudin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishaq.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Khutbah Jumat Rabiul Akhir tentang Hakikat Takwa


Jakarta

Umat Islam tengah memasuki bulan Rabiul Akhir 1445 H pada pekan ini. Menyambut bulan tersebut, khatib bisa menyampaikan khutbah Jumat Rabiul Akhir yang bertema Hakikat Takwa.

Rabiul Akhir adalah bulan ke-4 dalam kalender Hijriah. Menurut ikhbar Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) awal bulan Rabiul Akhir 1445 H jatuh pada Senin, 16 Oktober 2023.

Berikut contoh khutbah Jumat Rabiul Akhir tentang Hakikat Takwa seperti diambil dari Buku Khutbah Zaynul Atqiya’ yang disusun oleh Tim Kajian Ilmiah Lembaga Ittihadul Muballighin Ponpes Lirboyo.


Teks Khutbah Jumat tentang Hakikat Takwa

الْحَمْدُ لِلَّهِ ذِي الْكَرَمِ وَالْجُوْدِ وَالْإِفْضَالِ. وَأَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ التَّوْفِيْقَ وَالْإِخْلَاصَ فِي سَآئِرِ الْأَعْمَالِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ الْإِخْلَاصَ فِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ سَبَبًا لِلْوُصُوْلِ إِلَى مَرَاتِبٍ أَهْلِ الْكَمَالِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيْدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الْهَادِي إِلَى الرَّشَادِ وَالْمُنْقِذُ مِنَ الضَّلَالِ. صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِمُ السَّالِكِيْنَ فِي طَرِيْقِهِ عَلَى أَحْسَنِ مِنْوَالٍ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ الْعِبَادَةَ لَا تَصِحُ بِدُوْنِ الْعِلْمِ، وَالْعِلْمُ وَالْعِبَادَةُ لا يَنْفَعَانِ إِلَّا مَعَ الْإِخْلَاصِ

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah

Marilah kita meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT dengan senantiasa beramal saleh dan menjauhi bermaksiat kepada-Nya.

Alhamdulillah dengan berakhirnya bulan Rabiul Awal, kita telah memasuki bulan baru yaitu Rabiul Akhir yang semestinya juga disertai semangat baru untuk beramal saleh dan semangat berlomba-lomba dalam kebaikan agar sedikit demi sedikit ketakwaan kita kepada Allah SWT dapat bertambah.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Pada zaman yang modern dan serba canggih ini, kemajuan di segala bidang terus berkembang pesat. Namun kemajuan pesat tersebut tidak disertai dengan peningkatan takwa kita kepada Allah SWT Bukti lemahnya takwa kita sangatlah tampak jelas dengan adanya kemerosotan moral dan akhlak. Apakah kita akan terus menutup mata dan hati akan hal tersebut? Tentu tidak.

Oleh karena itu, marilah kita jernihkan pikiran ini dengan memahami takwa yang sesungguhnya.

Takwa dalam pengertian secara umum adalah menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Namun apakah kita benar-benar memahami hakikat takwa itu sendiri?

Dalam sebuah hadits dikatakan

لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ، حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ، حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ. (رواه الترمذي وابن ماجه)

Artinya: “Seorang hamba tidak akan mencapai orang- orang yang bertakwa hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak dilarang karena khawatir terjatuh kepada sesuatu yang dilarang.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hakikat takwa adalah seseorang tidak akan sampai pada derajat iman dan takwa kepada Allah SWT sampai ia meninggalkan atau menghindari segala bentuk yang dapat menggoyahkan keimanan yang ada di dalam hatinya. Untuk itu marilah kita kuatkan kepercayaan kita, sedikit berpikir dalam taat dan memperbaiki ibadah kepada Allah SWT hingga mencapai derajat muttaqin.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 2 yang berbunyi,

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ ٢

Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah) gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal,”

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Iman dan takwa seseorang bisa bertambah dan dapat pula berkurang. Oleh karena itu kita juga harus mewaspadai terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat menyurutkan iman dan takwa kita, terus berusaha dan memohon kepada Allah SWT agar menambah ketakwaan dan keimanan kita. Karena hanya Allah SWT yang dapat menambah ketakwaan dan keimanan seseorang.

Seperti halnya pada firman Allah SWT,

وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ ١٧

Artinya: Orang-orang yang mendapat petunjuk akan ditambahi petunjuk(-nya) dan dianugerahi ketakwaan (oleh Allah). (QS Muhammad: 17)

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Untuk memahami hakikat iman dan takwa, kita perlu mengetahui ciri-ciri orang yang benar iman dan takwanya. Ciri-ciri tersebut telah Allah SWT jelaskan dalam firman-Nya:

۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ ١٧٧

Artinya: Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah: 177)

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Untuk itu, marilah kita bercermin diri, apakah kita telah memenuhi ciri-ciri tersebut atau masih jauh. Semoga kita semua diberi kemudahan Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menjadi orang yang beruntung kelak di akhirat. Karena orang yang beruntung adalah orang yang telah benar imannya.

Hal itu dikatakan dalam firman Allah SWT:

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ ١

Terjemahan: Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (QS Al Mu’minun: 1)

أعُوذُ بِااللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّحِيْمِ. فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا. بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِالْآيَاتِ وَالذِكْرِ الْحَكِيمِ إِنَّهُ تَعَالَى جَوَادٌ مَلِكُ بَرُّ رَؤُوْفٌ رَحِيمٌ.

Demikian contoh khutbah Jumat Rabiul Akhir tentang Hakikat Takwa.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Strategi Dakwah Sunan Kudus Gunakan Sapi untuk Dekati Masyarakat


Jakarta

Sunan Kudus adalah tokoh walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa dengan cara terbilang unik. Ia menggunakan sapi sebagai salah satu strategi dakwahnya kala itu.

Disebutkan dalam buku Sejarah Islam Nusantara: Dari Analisis Historis hingga Arkeologis tentang Penyebaran Islam di Nusantara karya Rizem Aizid, Ja’far Shadiq atau biasa dikenal dengan nama Sunan Kudus adalah putra dari pasangan Raden Utsman Haji alias Sunan Ngudung di Jipang Panolan (utara kota Blora) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang.

Sunan Kudus lahir pada tanggal 9 September, tahun 1400 Masehi. Sunan Kudus juga merupakan cucu dari Sunan Bonang yang masih merupakan keturunan langsung dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW.


Banyak yang mengatakan bahwa Sunan Kudus adalah cucu Sunan Ampel. Namun, terdapat pendapat lain yang meyakini bahwa Sunan Kudus adalah keturunan Persia. Bahkan ada yang berkata bahwa dia asli orang Jawa.

Namun, dari semua pendapat yang berbeda itu, yang paling diyakini kebenarannya adalah versi pertama, yakni cucu Sunan Bonang dan cicit Sunan Ampel.

Cara dakwahnya dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia, terutama tanah Jawa sangat menarik untuk diulas.

Prinsip Dakwah Sunan Kudus

Dalam hal ajaran agama Islam, Sunan Kudus adalah ulama fikih yang sangat ketat memegang syariat. Ia sangat tegas dalam bertindak ketika dihadapkan dengan penyelewengan syariat agama.

Oleh karena itu, pendirian atau ajaran Sunan Kudus berlawanan dengan Sunan Kalijaga dan menyebabkan pecahnya dakwah Islam menjadi dua kubu, yaitu Kubu Sunan Kudus dan kubu Sunan Kalijaga.

Kubu Sunan Kudus banyak diikuti oleh murid-murid bangsawan Demak yang ingin menjalankan syariat Islam dengan ketat, sedangkan kubu Sunan Kalijaga lebih toleran terhadap adat istiadat setempat.

Strategi Dakwah Sunan Kudus

Dakwah Sunan Kudus identik dengan kata bijaksana dan lembut. Ia menyebarkan ajaran agama Islam dengan penuh kebijaksanaan dan tidak memakai kekerasan.

Sunan Kudus juga masih mempertahankan beberapa tradisi agama Hindu. Contohnya melarang menyembelih sapi, memasukkan elemen-elemen candi dalam pembangunan masjid dan makam, dan membuat gending Maskumambang serta Mijil.

Salah satu yang populer dari strategi dakwah Sunan Kudus adalah saat ia menggunakan sapi sebagai sarana dakwahnya. Kala itu, Sunan Kudus mengikat sapi di halaman masjid untuk menarik atensi masyarakat sekitar agar datang ke masjid.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sapi merupakan binatang yang dihormati. Orang yang memiliki sapi pun juga jarang.

Sunan Kudus berpikir dengan cara itulah orang-orang akan mendatangi masjid yang tujuan awalnya untuk melihat sapi itu. Setelah mereka berkumpul, barulah Sunan Kudus menyampaikan wejangan yang berisi ajaran Islam.

Cara yang sangat dekat dengan masyarakat ini tentu membuat dakwah Sunan Kudus sukses di kalangan masyarakat yang beragama Hindu. Mereka pun masuk Islam dengan tanpa paksaan.

Strategi dakwah Sunan Kudus bisa ditulis dalam poin-poin penting sebagai berikut.

  • Masih membiarkan adat-istiadat Hindu-Buddha atau kepercayaan terdahulu yang sulit diubah.
  • Untuk adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mudah diubah, maka ia menyegerakan untuk menghapusnya.
  • Sunan Kudus menerapkan prinsip “tut wuri handayani” yang mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat, tapi mengusahakan untuk terus mempengaruhi sedikit demi sedikit dan prinsip “tut wuri hangiseni” yang artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  • Menghindari kekerasan dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus memegang prinsip sebagaimana pepatah “mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.”
  • Pada akhirnya, boleh saja mengubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan muslim yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat nonmuslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com