Tag Archives: demokrasi

PBNU Jalin Kolaborasi Strategis dengan Jerman, Perkuat Misi Kemanusiaan Global



Jakarta

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), baru saja bertemu dengan pejabat tinggi Pemerintah Jerman. Pertemuan itu membahas kerjasama di bidang kemanusiaan dunia.

Pejabat yang ditemui oleh Gus Yahya adalah Thomas Rachel. Thomas menjabat sebagai The Federal Government Commissioner for Freedom of Religion or Belief dalam Kabinet Kanselir Friedrich Merz.

Pertemuan berlangsung di Kantor Kementerian Luar Negeri Jerman, Berlin, pada Selasa, 7 Juli 2025, pukul 14.00 waktu setempat. Gus Yahya didampingi oleh Wakil Ketua Umum PBNU Amin Said Husni dan Penasihat Khusus Urusan Internasional H. Muhammad Kholil dalam kunjungan tersebut.


Kepada Thomas, Gus Yahya memaparkan secara rinci inisiatif Gerakan Global Religion of Twenty (R20). Gagasan ini dibentuk oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan diluncurkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 2022.

Beliau menjelaskan bahwa R20 berupaya menjadikan agama sebagai kekuatan pendorong solusi untuk tantangan global. Bukan justru sebagai sumber konflik.

R20 adalah ikhtiar NU agar agama-agama turut mengambil tanggung jawab dalam merumuskan solusi peradaban, bukan sekadar menjadi bagian dari masalah,” ujar Gus Yahya dalam dalam keterangan persnya.

Selain itu, Gus Yahya juga menyoroti konsensus kebangsaan Indonesia. Meliputi NKRI sebagai bentuk negara, Pancasila sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai dasar konstitusi, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip kebhinekaan-sebagai model inspiratif.

Menurut Gus Yahya, pengalaman Indonesia dalam merawat konsensus dapat menjadi contoh bagi komunitas internasional dalam membangun tatanan dunia yang lebih inklusif dan harmonis.

Inisiatif PBNU mendapat sambutan hangat dari Thomas Rachel. Sebagai tokoh yang dihormati di Jerman dan Eropa, Thomas mengungkapkan kekagumannya terhadap NU, yang ia sebut sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang teguh memperjuangkan toleransi, demokrasi, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Mengakhiri pertemuan, kedua belah pihak menegaskan komitmen kuat untuk berkolaborasi dalam proyek-proyek kemanusiaan. Harapan dapat mempererat jejaring global untuk membangun peradaban yang lebih adil dan damai di masa depan.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Merumuskan Ulang Posisi Islam Indonesia dalam Kancah Global



Jakarta

Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar Dr. Ahmed Muhammad Ahmed El-Tayeb untuk ketiga kalinya ke Indonesia, pada 8 hingga 11 Juli 2024, yang merupakan bagian dari lawatannya ke Asia Tenggara, patut mendapat sambutan istimewa karena beberapa alasan. Kunjungan ini bertujuan untuk menggaungkan Piagam Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia, yang ditandatangani oleh pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada tahun 2019, sebagaimana dijelaskan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (balitbangdiklat.kemenag.go.id 26/6/2024).

Lebih dari itu, kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar kali ini memiliki arti penting bukan saja bagi penguatan hubungan historis yang mendalam antara Indonesia dan Mesir, tetapi juga bagi upaya Indonesia untuk memperkuat posisi strategisnya dalam kancah global. Indonesia dan Mesir dapat bergandengan tangan berdiri di depan untuk menyuarakan perdamaian dan persaudaraan sambil melawan segala bentuk ekstremisme, radikalisme dan kekerasan. Ditopang Al-Azhar, Mesir dikenal sebagai benteng nilai-nilai moderasi dan toleransi. Begitu juga Indonesia. Dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar, Indonesia masyhur dengan model keislaman yang inklusif dan damai.

Dalam lanskap dunia kontemporer, interaksi antara agama, politik, dan identitas menjadi semakin kompleks. Di antara dinamika ini, konsep “decentring Islam” (mendesentrisasi Islam) muncul sebagai paradigma signifikan. Decentring Islam berupaya untuk mengalihkan dari perspektif tradisional yang berpusat pada Arab mengenai identitas dan praktik Islam, ke arah keragaman dan pluralitas dalam dunia Muslim. Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbanyak dan satu negeri Asia besar, menawarkan sudut pandang unik untuk mengeksplorasi konsep ini dan implikasinya terhadap geopolitik global, wacana keagamaan, dan pertukaran budaya.


Secara historis, pemikiran dan praktik Islam sangat dipengaruhi oleh budaya Arab, mengingat asal-usul agama ini di Jazirah Arab. Pandangan yang berpusat pada Arab ini sering kali menutupi kekayaan keragaman tradisi Islam di berbagai wilayah, termasuk Indonesia yang sering masih dipandang pinggiran (peripheral). Decentring Islam bertujuan memperluas pemahaman tentang identitas Islam dengan mengakui dan menghargai berbagai ekspresi Islam yang dipraktikkan oleh Muslim non-Arab. Pendekatan ini menekankan pentingnya konteks lokal, kekhasan budaya, dan perkembangan historis yang membentuk praktik keagamaan Muslim di berbagai belahan dunia.

Decentring Islam bukan berarti mengurangi pentingnya kontribusi Arab terhadap peradaban Islam, tetapi mengakui bahwa Islam adalah agama global dengan berbagai macam ekspresi dan perubahan budaya. Ini bertujuan membongkar representasi Islam yang monolitik, dengan mendorong pemahaman yang lebih inklusif dan representatif yang mencerminkan realitas kehidupan Muslim di seluruh dunia.

Indonesia: Model Pluralisme Islam

Indonesia, rumah bagi lebih dari 270 juta Muslim, mewujudkan prinsip-prinsip decentring Islam melalui perpaduan khas antara iman Islam dan budaya lokal. Sejarah kepulauan ini ditandai oleh sintesis berbagai pengaruh budaya dan agama, termasuk Hindu, Buddha, dan kepercayaan adat, yang telah berjalin dengan tradisi Islam. Mosaik budaya ini melahirkan Islam khas Indonesia yang berakar kuat pada konteks lokal yang melahirkan berbagai keragaman di dalam Islam Indonesia itu sendiri. Kecuali Islam di Jawa yang terepresentasi dengan baik dalam berbagai kajian kesarjanaan, sebenarnya mosaik keragaman di berbagai kepulauan lain, termasuk wilayah Indonesia Timur, masih sangat menarik dieksplorasi untuk mendapatkan gambaran lebih utuh tentang Islam Indonesia.

Islam Indonesia ditandai oleh sifatnya yang moderat dan pluralistik. Falsafah dasar bangsa, Pancasila, yang mempromosikan toleransi dan inklusivitas beragama, memastikan bahwa semua komunitas agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Pancasila menjadi falsafah antarbudaya (intercultural philosophy) yang sangat relevan dengan kemajemukan. NU dan Muhammadiyah mendukung interpretasi Islam yang kontekstual dan progresif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, demokrasi dan hak asasi manusia. Model pluralistik dan inklusif ini menawarkan narasi alternatif tentang Islam, dengan menunjukkan bahwa agama ini dapat berkembang dalam lingkungan budaya dan politik yang beragam.

Peran NU dan Muhammadiyah sangat penting dan tidak tergantikan dalam memosisikan Islam Indonesia dalam kancah global. Terutama melalui inisiatif pendidikan, sosial, dan politik mereka, NU dan Muhammadiyah berkontribusi pada pemahaman Islam yang lebih pluralistik dan inklusif, baik di Indonesia maupun di dunia Muslim yang lebih luas. Konsistensi mereka dalam inisiatif-inisiatif fundamental ini akan menentukan trayektori masa depan mereka dalam decentring Islam.

NU mengoperasikan jaringan luas pendidikan keagamaan (pesantren) di seluruh Indonesia, dari tingkat dasar sampai universitas, yang mendorong pendekatan holistik terhadap pembelajaran. Kurikulum sering kali mencakup pengajaran tentang toleransi beragama, demokrasi, dan hak asasi manusia. Demikian pula, Muhammadiyah telah membangun jaringan pendidikan yang komprehensif, yang menekankan pemikiran ilmiah dan rasional di samping pendidikan agama, mendorong pemikiran kritis dan inovasi. Lembaga-lembaga pendidikan yang mereka kelola perlu didorong tampil di kancah global, melalui pembukaan cabang-cabangnya di berbagai kawasan dunia Islam.

Reformulasi di Kancah Global

Posisi strategis Indonesia dalam kancah global bersifat multifaset, mencakup dimensi politik, ekonomi, dan budaya. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia memainkan peran krusial dalam urusan ekonomi regional dan global. Model pemerintahan demokratisnya dan identitas Islam moderatnya memberikan narasi alternatif terhadap persepsi Islam yang sering terpolarisasi dalam politik global.

Di panggung internasional, Indonesia aktif mempromosikan dialog dan kerja sama antaragama melalui kebijakan luar negerinya. Upaya diplomatik negara ini dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah konflik, terutama di dunia Muslim, menunjukkan komitmennya terhadap tatanan global yang didasarkan pada saling menghormati dan pengertian. Kepemimpinan Indonesia dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan partisipasinya dalam misi perdamaian PBB semakin menegaskan perannya sebagai mediator dan advokat perdamaian.
Secara budaya, Indonesia berkontribusi terhadap pemahaman global tentang Islam melalui warisan seni, sastra, dan praktik keagamaannya yang kaya. Peringatan tahunan hari raya Islam, perayaan musik dan tarian tradisional Islam, serta lembaga pendidikan Islam yang berkembang pesat semuanya mencerminkan budaya Islam Indonesia yang dinamis. Dengan membagikan aset budaya ini di panggung global, Indonesia membantu mendesentrisasi narasi yang berpusat pada Arab dan menyoroti keragaman dalam dunia Muslim.

Singkatnya, decentring Islam adalah kerangka kerja yang krusial untuk memahami sifat multifaset dari dunia Islam, dan posisi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim utama mencerminkan keragaman ini. Perpaduan unik antara iman Islam dan praktik budaya lokal, komitmennya terhadap pluralisme dan demokrasi, serta peran aktifnya dalam diplomasi global, semuanya berkontribusi pada pemahaman yang lebih bernuansa dan inklusif tentang Islam.

Seiring dunia terus bergumul dengan isu-isu identitas keagamaan dan koeksistensi, contoh Indonesia menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana Islam dapat dipraktikkan dan dipahami dalam cara yang beragam dan dinamis. Dengan merangkul prinsip-prinsip decentring Islam, komunitas global dapat bergerak menuju apresiasi yang lebih komprehensif dan adil terhadap keragaman dunia Muslim yang sangat kaya. Dalam lingkup praktisnya, dengan memberdayakan segenap kemampuan ekonomi-politik dan modal kultural keislaman di kawasan, di Asia khususnya, dan global melalui prinsip co-production of peace, pemerintah dan warga Indonesia bisa lebih berperan untuk ikut menawarkan secercah harapan baru.

Noorhaidi Hasan
Guru Besar Islam dan Politik, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Perjumpaan Democracy dan Shuracracy (2)



Jakarta

Asumsi sebagian orang bahwa demokrasi AS adalah demokrasi liberal dalam arti terbebas sama sekali dari nilai-nilai agama sepenuhnya tidak benar. Seperti diungkapkan dalam artikel-artikel terdahulu, bagaimana simbol-simbol AS secara eksplisit memberikan ruang terhadap nilai-nilai agama di dalam demokrasi. Nilai-nilai agama di samping nilai-nilai luhur dan konstitusi menjadi yang ikut mengawal pelaksanaan demokrasi agar tidak menjadi demokrasi “kebablasan” (absolute democracy).

Dapat diperhatikan secara teliti, apa arti Ikrar Kesetiaan Kebangsaan (The Pledge of Allegiance), yaitu: “I pledge allegiance to the Flag of the United States of America, and to the Republic for which it stands, one Nation under God, indivisible, with liberty and justice for all”. (“Saya berjanji setia kepada Bendera Amerika Serikat, dan kepada Republik tempatnya ditegakkan, satu Bangsa di bawah Tuhan, tak terpisahkan, dengan kebebasan dan keadilan untuk semua). Kata “one Nation under God” (satu Bangsa di bawah Tuhan) yang sebelumnya tidak ada kemudian ditambahkan pada tanggal 12 Februari 1948. Kalimat ini pertama kali disarankan oleh Louis Albert Bowman, seorang pengacara dari Illinois dengan alasan menyesuaikan semangat Gettysburg Lincoln.

Semula frase ini kontroversi, apakah itu constitusional atau tidak, apakah ini tidak bertentangan dengan perinsip demokrasi? Siapa yang diamksud “Tuhan” dalam kata itu? Apa arti frase “under God” itu sendiri? Akhirnya, Presiden Eisenhower dan Kongres menyetujuipenambahan itu dalam bentuk undang-undang pada tanggal 14 Juni 1954. Hingga saat ini frase itu sudah diabadikan di dalam berbagai lambang AS, termasuk lagu kebangsaan AS yang dihafalkan kepada murid-murid seklolah.


Ini bukti bahwa demokrasi AS memberi ruang terhadap nilai-nilai agama di dalam menata negara. Hingga saat ini frase itu sudah diabadikan di dalam berbagai lambang AS, termasuk lagu kebangsaan AS yang dihafalkan kepada murid-murid seklolah. Ini bukti bahwa demokrasi AS memberi ruang terhadap nilai-nilai agama di dalam menata negara.

Tambahan frase itu tentu saja mendapatkan dukungan penuh para tokoh agama di AS, termasuk tokoh agama Islam yang juga ikut menjadi faktor sejak awal berdirinya negara AS, sebagaimana diselaskan dalam artikel terdahulu. Mereka menyadari bahwa keajaiban AS terjadi atas perkenan Tuhan. Banyak sekali peristiwa yang terjadi di AS sulit dijelaskan secara akal pikiran tetapi menjadi kenyataan. Sama halnya negara Indonesia dalam meraih kemerdekaannya dari penjajah asing juga mengalami banyak keajaiban. Deklarasi kemerdekaan AS dari Inggris juga tidak pernah dibayangkan akan secepat itu dan dengan dampak yang sangat minim.
Frase “under God” ini juga membuat banyak orang berfikir lebih jauh, benarkan AS sebagai sebuah negara sekuler? Dengan frase ini sekali lagi menegaskan sesungguhnya AS bukanlah sebuah negara sekuler murni, dalam arti tidak memberi ruang dan tempat untuk membicarakan Tuhan di dalam mengurus bangsa, negara, dan masyarakat. Mungkin dalam konstitusi tidak tampil sebagai sebuah negara agama tetapi dalam kenyataan dan praktek sehari- hari, jelas AS adalah sebuah negara yang sangat religius.

Frase one Nation under God, indivisible, with liberty and justice for all sesungguhnya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai sebuah kalimat yang sangat islami. Bukankah dalam Islam juga mengajarkan segalanya tercipta dengan dan oleh Allah Swt? Setelah tercipta dengan berbagai bentuk realitas, kembali kita diingatkan, janganlah perbedaan itu menjadi faktor munculnya kemudharatan dan musibah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (Q.S. A-Hujurat/49:13).

E Pluribus Unum, ” = “Out of Many, One”, 1782 Kalimat In God We Trust selalu mengingatkan seluruh warga Amerika untuk selalu mengingat Tuhan. Jika demikian adanya, maka tidak tepat disebut negeri AS sebagai negeri yang sekuler- Ateis. Informasi dari Prof Muhammad Ali, Direktur Middle Eastern and Islamic Studies
Program, University of California, Riverside, menyampaikan sebuah data survey terakhir, menunjukkan 92% warga AS percaya kepada Tuhan. Bagi orang-orang AS kalimat ini berbekas dibenak mereka. Bahkan kalimat ini sering menjadi langgam bahasa pergaulan sehari hari, mirip dengan kata lain yang paling sering digunakan orang-orang AS, yaitu “Oh my God”, di Indonesia padanannya “Ya Allah”, sebuah lafaz ekspresi paling lazim di AS. Mungkin disiplin sosial AS yang mengagumkan diinsprasi oleh paflet kehidupan yang religoius itu, faktor untuk Secara mikro, penerapan demokrasi (the real democracy) di AS sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan demokrasi sekolarisme sebagaimana yang diterapkan di sejumlah negara tua di Eropa, seperti Perancis, yang tidak memberikan tempat terhadap nilai- nilai agama di dalam ruang publik.

Pemerintah Perancis misalnya melarang atribut-atribut agama ditampilkan di ruang publik seperti menggunakan hijab (untuk muslimah) sampai kepada lambang salib untuk Kristen, dan Kappa(penutup kepala Rabbi untuk Yahudi). Di AS, penggunaan atribut-atribut keagamaan, sepanjang tidak secara eksludif mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, tidak dilarang. Banyak kaum muslimah menggunakan hijab, kappa, dan tanda salib di ruang publik di AS. Demokrasi di AS tidak kaku dan memberi ruang nilai-nilai agama dan budaya lokal ikut serta memperkaya tatanan kehidupan masyarakat. Lihat saja Amandemen Pertama AS (The First Amendment) tahun 1791 yang dengan tegas memberikan pengakuan nilai-nilai agama untuk memperkuat sensi-sendi negara AS, apalagi mata uangnya secara ekslisit mencantumkan: In God We Trust (kepada Tuhan kita percaya.

Itulah sebabnya mengapa Islam begitu gampang diterima di AS karena susbstansi keagamaan Islam paralel dengan nilai-nilai luhar AS. Secara teoretis teodemokrasi bukan sekedar sintesa antara demokrasi liberal dan demokrasi sosial, tetapi memiliki unsur distinctif lain. Dalam wacana demokrasi liberal dan demokrasi sosial (baca: demokrasi sekuler) murni bersifat horizontal, yakni antara kebebasan individu dan keutuhan masyarakat. Sedangkan dalam konsep teodemokrasi, di samping wacana yang bersifat horizantal tadi juga masuk di dalam wacana vertikal (teologis). Bahkan sering ditemukan wacana yang bersifat vertikal ini lebih dominan ketimbang wacana wacana yang bersifat horizontal. Lihatlah misalnya kelompok-kelompok yang berhaluan keras di dalam lintasan sejarah dunia Islam, memandang politik kenegaraan itu sebagai sesuatu yang “suci” yang tidak boleh dikotori oleh pemikiran subyektivitas manusia yang “tidak suci”, bahkan cenderung korup. Bagi mmereka Islam adalah urusan agama dan negara (al-islam din wa daulah), karena itu mereka lebih dekat kepada konsep teokrasi.

Berbeda dengan kelompok pemikir muslim kontemporer atau biasa disebut kelompok pembaharu. Mereka beranggapan bahwa Islam adalah agama dan tidak mengatur secara mendetail soal politik kenegaraan, ekonomi, hightec, dan urusan duniawi lainnya. Mereka berpendapat bahwa Islam memang meiliki ajaran yang komperhensif (kafah), yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Namun ke-kaffah-an Islam hanya dalam batas perinsip-perinsip ajaran, bukan secara mendetail. Bagi mereka (pembaharu muslim), perinsip-perinsip Islam sebagaimana ditemukan di dalam Al-Qur’an, hadis, dan tradisi sahabat, hanya mengatur
perinsp-perinsip Islam tentang politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial tetapi tidak sampai mengatur lebih detail misalnya tentang sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosia, dan sistem lainnya. Tentu ini ada hikmahnya untuk kelenturan ajaran Islam sebagai agama akhir zaman, harus mempu mengakomodir perkembangan zaman yang sedang dan akan dilaluinya. Jika Islam melengkapi dirinya sampai ke tingkat sistem yang lebih teknik maka sudah barang tentu Islam
akan sibuk berbenturan dengan nilai-nilai lokal. Tetapi kenyataannya sampai sekarang masih tetap sebagai agama paling cepat mengalami perkembangan di seluruh belahan bumi. Para pemikir pembaharu mendasarkan pandangannya di samping kepada ayat seperti Q.S. Ali Imran/3:159 dan al-Sura/42:38, yang menekankan perinsip musyawarah sebagai media untuk menyelesaikan masalah kontemporer keduniaan. Mereka menemukan sejumlah hadis yang
senapas dengan ayat tersebut. Mereka juga belajar dari fakta sejarah dunia Islam bahwa medel-model suksesi tidak satu tetapi beragam. Fakta sejarah yang paling gampang difahami ialah, mengapa urusan politik kenegaraan, termasuk urusan suksesi kepemimpinan tidak mendapatkan penjelasan di dalam Al-Qur’an. Sampai pada detik-detik terakhir menjelang wafat, Rasulullah tidak pernah memberikan wasiayat dan petunjuk bagaimana mengantisipasi suksesi pergantian
dirinya dan juga para pelanjutnya. Sampai ketika Rasulullah wafat pada hari Senin tertunda pemakamannya ke hari Rabu, antara lain disebabkan rumitnya proses pergantian dirinya, baik sebagai kepala pemerintahan Madinah maupun sebagai pemimpin spiritual. Untung kewibawaan Abu Bakar sebagai sahabat senior yang sering ditunjuk menggantikan beliau sebagai imam shalat pada setiap kali beliau sakit atau berhalangan, memudahkan dirinya terpilih sebagai khalifah di Bani Tsaqifah. Demikian pula penggantian Abu Bakar, Utsman, Ali, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, masing-masing mempunyai model suksesi yang berbeda-beda.

Menimbang syurakrasi sebagai model, Murad Hofmann melihat teodemokrasi dan apalagi teokrasi sebagai Istilah yang kurang tepat untuk mewadahi perinsip dan sistem politik di dalam Islam. Karena itu ia mengusulkan untuk memermanenkan istilah syurakrasi sebagai model, bukan hanya untuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, tetapi juga untuk negara-negara lainnya. Hofmann melihat ada kekuatan yang terdapat di dalam musyawarah (consultation) di dalam menyelesaikan setiap persoalan, khususnya persoalan politik kemasyarakatan. Secara psikologis, persoalan yang diselesaikan dengan musyawarah jauh lebih
permanen ketimbang persoalan yang diselesaikan dengan 50 + 1 suara alyas voting. Munculnya partai politik yang bercorak aliran keagamaan di Barat, seperti Partai
Demokratik Kristen di Jerman dan di Italia mengindikasikan adanya sekelompok masyarakat di sana yang melihat sisi-sisi kelemahan sistem demokrasi liberal dan demokrasi sosial, lantas mereka mendeklarasikan demokrasi yang bercorak keagamaan.

Demokrasi sekuler di dunia Barat oleh komunitas dunia barat sendiri sudah mulai dipertanyakan. Apalagi sejumlah masyarakat di Asia dan Afrika sudah lebih dahulu mempertanyakannya. Semakin populernya istilah “double standard” di dunia Barat oleh dunia Timur menjadi bukti adanya kelemahan konsep tersebut. Semangat syurakrasi sesungguhnya sudah terjabarkan di dalam Pancasila dan UUD 45 kita. Mari kita pertahankan NKRI.

Jakarta, 9 April 2009

Nasaruddin Umar
Katib Am PB NU & Rektor Institut PTIQ Jakarta

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Negara



Jakarta

Sebuah negara tidak akan pernah tegak dengan kokoh kecuali ia mampu menetapkan tujuan ideal yang akan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Penulis berfikir bahwa semua orang bersepakat bahwa masa depan harus lebih baik meskipun sebesar apa pun masalah yang pernah dihadapi di masa lalu. Peran para cendekiawan hendaknya ikut memikirkan masa depan bangsa dan negara.

Negara berjalan menuju tujuannya tentu digerakkan oleh penguasa yang memperoleh amanah masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun, kekuasaan itu terbentuk melalui kemenangan. Kekuasaan itu merupakan kedudukan menenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, visible maupun invisible sehingga untuk mendapatkannya seringkali melalui kompetisi yang menggemparkan dan sedikit orang yang mau menyerahkannya. Partai yang menjadi pilar demokrasi, maka partai acapkali menjadi proteksi, pembela, bahkan klaim untuk semua persoalan.

Kekuasaan dan politik menurut Ibnu Khaldun adalah, memiliki tujuan yang substansial dan seharusnya diformulasikan untuk kemanusiaan, karena keduanya secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong kepada maslahat. Dalam hal ini meliputi kebutuhan manusia terhadap perlindungan, keamanan, kesejahteraan dan lainnya. Ini termasuk tanggung jawab politik dan kekuasaan.


Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah bagian dari perintah syariat yang sangat penting dan menjadi potensi ladang amal kebaikan yang berbuah pahala yang sangat besar. Tapi sebaliknya, jika disalahgunakan akan mendapatkan murka Allah SWT dan siksa neraka. Oleh sebab itu, bagi seorang mukmin, kekuasaan itu seharusnya direbut untuk dijadikan wasilah menuju negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Negeri yang dipimpin seorang mukmin akan bercirikan, penguasanya tidaklah tamak pada materi, tidak cinta dunia dan kedudukan, tidak lemah di hadapan popularitas, tidak takut kehilangan dunia dan tidak bersikap busuk untuk menggerus tugas intelektual dan spiritual.

Sebuah hadis diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi bersabda: Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, mereka berperang dari belakangnya, dan merasa kuat dengannya. Jika pemimpin itu memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah SWT dan ia berlaku adil, maka bagi mereka pahala. Tetapi jika mereka memerintahkan selainnya (bukan hal yang baik), maka mereka mendapatkan dosa dari perintah itu. Salah satu kewajiban pemimpin, khususnya pemerintah, dalam dunia Islam ialah memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap segenap rakyatnya agar mereka merasa aman dari berbagai macam gangguan, baik dari ancaman dari dalam maupun dari luar.

Sedangkan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya, telah diberikan contoh oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab, yang berhasil memperluas wilayah Islam dengan menaklukkan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dua kerajaan besar yaitu Persia dan Romawi, yaitu wilayah Syam, Mesir, hingga Irak. Kemudian sistem administrasi ditata dengan baik yang membuat pemerintahannya berjalan stabil dan rakyatnya sejahtera. Tentu sikap adil dan amanah merupakan ciri kepemimpinannya.

Prestasi Umar bin Abdul Aziz pada masanya memiliki orientasi dalam kepemimpinanya. Ia berhasil memperluas wilayah dengan metode dakwah serta penekanan amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan dalam perluasan wilayah, ia tidak menggunakan kekuatan militer. Akhir dari pemerintahannya, tidak ditemukan rakyatnya yang menjadi orang meminta-minta (fakir) dan mereka menjadi orang yang sejahtera.

Menurut Ibnu Khaldun ada tahapan dalam perkembangan suatu negara:

1. Tahap Pendirian Negara. Tahapan ini untuk mencapai tujuannya dengan menaklukkan atau merebut kekuasaan.

2. Tahap Pemusatan Kekuasaan. Pemusatan kekuasaan adalah kecenderungan yang alamiah pada manusia. Ketika penguasa merasa kekuasaan telah mapan, maka ia akan memonopoli kekuasaan dan menjatuhkan elemen-elemen yang sebelumnya menopang kekuasaannya.

3. Tahap Kekosongan. Tahap ini merupakan penikmatan kekuasaan yang didapat. Mereka akan mengumpulkan harta kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Negara dalam posisi puncak perkembangannya.

4. Tahap Ketundukan dan Kemalasan. Negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun, negara seakan menunggu permulaan akhir kisahnya.

5. Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan. Tahap ini negara mengalami masa ketuaan dan dirinya telah diliputi penyakit kronis yang menuju keruntuhan.

Negara tercinta ini sudah masuk pada tahapan yang mana? Tentu para pembaca maupun penulis akan berbeda-beda persepsinya, namun benang merahnya akan kelihatan. Oleh karena itu, bagi penguasa yang pegang amanah hendaknya bisa menjaga momentum agar negara tidak mengalami perkembangan menurun atau tidak menuju keruntuhannya.

Semoga Allah SWT. menjaga dan menguatkan iman penguasa agar menjalankan negara sesuai tujuannya. Hindarkan dengan tidak mementingkan diri dan kelompoknya.

—–

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kedaulatan



Jakarta

Kedaulatan berasal dari bahasa Arab yaitu “daulah” yang artinya kekuasaan tertinggi, yang artinya adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat UU dan melaksanakannya. Sedangkan kedaulatan rakyat berarti pemerintah mendapatkan mandatnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam UU 1945 amandemen tentang Wakil Rakyat dan Presiden dipilih secara langsung, itulah yang diharapkan sebagai kedaulatan memilih di tangan rakyat.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan data LIPI pada Pemilu 2019, sebanyak 47,4 persen responden membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen responden menganggap hal wajar. Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang, sebanyak 72 persen responden pemilih menerima politik uang dan 82 persen di antaranya perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun.

Penulis memperkirakan pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden yang konon banyak pihak mengatakan pelaksanaan pemilu yang paling brutal. Artinya, politik uang merupakan unsur dominan. Oleh sebab itu, di mana letak kedaulatan rakyat?


Siapa pun yang ingin menjadi wakil rakyat maupun kepala daerah, maka bersiaplah dengan dana yang cukup besar. Maka dalam praktek kontestasi ini muncul istilah “Bandar” yang memberikan sejumlah dana untuk kemenangan wakil rakyat dan kepala daerah.

Di dalam Al-Qur’an, musyawarah menjadi indikator terpenting yang menunjukkan kualitas keimanan pada suatu masyarakat. Musyawarah juga disandingkan sejajar dengan shalat dan infak. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surah asy-Syura ayat 38 yang terjemahannya, “(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Makna ayat di atas adalah: Menerangkan bahwa orang-orang yang menyambut baik panggilan Allah kepada agama-Nya seperti mengesakan dan menyucikan Dzat-Nya dari penyembahan selain Dia, mendirikan salat fardu pada waktunya dengan sempurna untuk membersihkan hati dari iktikad batil dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, selalu bermusyawarah untuk menentukan sikap di dalam menghadapi hal-hal yang pelik dan penting, kesemuanya akan mendapatkan kesenangan yang kekal di akhirat.

Musyawarah merupakan syarat utama untuk membangun manusia yang lebih baik dalam tindakan apa pun yang dilakukannya. Selain itu, musyawarah merupakan sebuah alat yang sangat penting untuk melipatgandakan potensi dan kemampuan yang dimiliki sebuah negara, komunitas maupun organisasi. Adapun hasil musyawarah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kualitas pemikiran.
  2. Meningkatkan sikap saling tolong menolong dalam masyarakat.

Sesuatu yang dipikirkan bersama melalui musyawarah tentu hasilnya lebih baik dari pemikiran seseorang. Masalah timbul ketika seorang pemimpin “merasa” bahwa pemikirannya yang paling benar, maka proses musyawarah akan menghadapi jalan buntu. Tipe pemimpin yang seperti ini banyak kita jumpai di negeri ini, mereka merasa sebagai pemimpin itu segalanya. Ingatlah apa saja yang dilakukan hendaknya dipertanggungjawabkan. Dengan bermusyawarah akan timbul rasa saling lebih mengenal di antara mereka dan muncullah sikap saling tolong menolong.

Di negeri tercinta ini makin sulit kita temukan sikap saling tolong menolong, yang ada menang-menangan. Ingatlah bahwa demokrasi saat ini belum cocok dijalankan, terbukti tujuan kedaulatan di tangan rakyat beralih kepada kedaulatan di tangan pemilik modal.

Ada satu hal yang perlu menjadi bahan pemikiran, apakah dengan sistem demokrasi saat ini masihkah sesuai dengan sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan?

Tolong dipikirkan dengan hati yang bening dan jawablah, apakah kita konsisten terhadap sila ke-empat ataukah kita sudah jauh meninggalkan ?

Oleh sebab itu, Lembaga Permusyaratan yang telah terbentuk hendaknya mempunyai kewenangan dalam memecahkan masalah kenegaraan melalui musyawarah. Lembaga ini tidak boleh berhenti bermusyawarah sampai masalah yang mereka bahas menemukan jalan keluarnya. Kadangkala dalam musyawarah konsensus tidak dapat dicapai. Adapun jalan tengahnya adalah, pendapat yang diambil merupakan pendapat yang paling banyak mendapat dukungan dari peserta musyawarah. Rasulullah SAW telah menetapkan bahwa pendapat mayoritas setara dengan hukum yang dicapai lewat konsensus.

Di dalam Islam yang utama dalam memecahkan persoalan adalah melalui musyawarah, kemudian jika tidak ketemu kesepakatan maka dipilihlah pendapat yang didukung mayoritas bukan cara voting satu-satunya. Untuk itulah penulis berpendapat kembalilah kepada konstitusi yang dapat menjadikan negeri yang berdaulat, bukan negeri yang “dijajah” sekelompok pemodal. Kami rindu dengan sila ke-empat. Wujudkanlah sila ke-lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat negeri ini. Dalam hal ini diperlukan sikap penguasa untuk bertindak adil khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara. Sikap adil ini akan timbul jika berketuhanan, tanpa itu rasanya agak sulit untuk bisa adil.

Ya Allah, berilah cahaya-Mu agar para pemimpin kami selalu mengingat-Mu dan beribadah dengan benar. Bersikap adil dan melayani, meluruskan agar negeri ini benar-benar berdaulat.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com