Tag Archives: emas

Hukum Membeli Emas Secara Cicilan dalam Islam


Jakarta

Cicilan biasanya menjadi pilihan saat seseorang ingin membeli barang tetapi uang yang dimiliki belum mencukupi. Cicilan memang terkesan memudahkan pembelian berbagai barang, termasuk emas, yang nilainya cukup tinggi.

Praktik pembelian dengan sistem cicilan sudah cukup umum dilakukan, untuk berbagai kebutuhan, termasuk membeli emas. Bahkan kini tersedia layanan cicilan online yang semakin mempermudah proses transaksi.

Namun, dalam transaksi kredit atau cicilan, biasanya terdapat tambahan biaya dari harga asli barang yang dibeli. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam tentang hukum membeli emas secara cicilan menurut syariat.


Hukum Cicilan dalam Islam

Dalam kajian fikih, sistem pembayaran secara angsuran dikenal dengan istilah jual beli taqsith. Transaksi ini dilakukan terhadap suatu barang dengan metode pembayaran bertahap sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan bahwa transaksi kredit atau cicilan kerap dikaitkan dengan unsur riba. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba diartikan sebagai tambahan (ziyadah) tanpa adanya imbalan (‘iwadh) yang timbul akibat penundaan pembayaran (ziyadah al-ajal) sebagaimana disepakati sejak awal. Jenis ini dikenal sebagai riba nasi’ah.

MUI menilai bahwa praktik pembungaan uang yang terjadi saat ini telah memenuhi unsur-unsur riba sebagaimana yang dilarang pada masa Rasulullah SAW, yaitu riba nasi’ah.

Oleh karena itu, aktivitas pembungaan uang termasuk dalam kategori riba dan hukumnya adalah haram dan tidak diperkenankan dalam Islam. Larangan ini berlaku untuk semua bentuk lembaga keuangan baik bank, asuransi, pasar modal, koperasi, hingga individu yang melakukan praktik serupa.

Membeli Emas dengan Cicilan

Menurut Buya Yahya dalam video Hukum Kredit Emas di kanal YouTube Al Bahjah TV, transaksi jual beli emas harus dilakukan secara tunai. Artinya, emas dan uang sebagai alat tukar harus diserahkan di waktu yang bersamaan.

Jika emas sudah diterima terlebih dahulu sedangkan pembayaran belum dilakukan secara penuh, maka transaksi tersebut termasuk dalam kategori riba yad. Praktik ini dilarang dalam ajaran Islam.

Secara definisi, riba yad adalah riba yang terjadi akibat adanya penundaan dalam penyerahan salah satu dari dua barang yang diperjualbelikan. Meskipun tidak melibatkan tambahan harga, bentuk penundaan ini tetap tergolong riba.

Buya Yahya menjelaskan bahwa dalam praktik riba yad, tidak ada unsur pembungaan atau keuntungan sepihak secara nominal. Namun, karena terjadi penundaan penyerahan antara dua barang yang ditukar, hukumnya tetap haram.

Apalagi jika transaksi tersebut melibatkan tambahan nilai atau bunga dari salah satu pihak, seperti pemberi utang yang mensyaratkan pembayaran lebih dari jumlah yang dipinjam. Jenis riba seperti ini jelas termasuk riba yang diharamkan dalam Islam.

Dalam konteks jual beli emas secara cicilan, Buya Yahya menekankan pentingnya menghindari bentuk transaksi yang mengandung riba yad maupun riba nasiah. Oleh karena itu, pembayaran cicilan setelah menerima emas tidak diperbolehkan.

Sebagai solusi agar terhindar dari riba, Buya Yahya menyarankan agar pembeli menampung uangnya terlebih dahulu ke si penjual hingga jumlah harga emas terpenuhi. Setelah uangnya terkumpul, barulah melakukan transaksi jual beli emas.

Dengan skema seperti itu, transaksi menjadi seperti menabung, bukan utang-piutang. Selama tidak ada tambahan biaya atau pembungaan, dan tidak ada pihak yang dirugikan, maka transaksi tersebut diperbolehkan secara syariah.

Misalnya, seseorang ingin membeli emas seberat 10 gram dengan harga Rp 10 juta, namun belum memiliki dana penuh. Ia kemudian menyepakati dengan penjual untuk membayar secara bertahap dengan niat menabung tanpa menerima emas tersebut terlebih dahulu.

Setiap bulan, ia membayar Rp 2 juta hingga lima bulan kemudian total Rp 10 juta. Setelah seluruh pembayaran selesai, barulah penjual menyerahkan emas 10 gram tersebut kepada pembeli tanpa tambahan biaya apa pun. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam karena tidak mengandung riba.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Raja dan Putra Mahkota Saudi Ucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80


Jakarta

Raja Arab Saudi, Penjaga Dua Masjid Suci, Salman bin Abdulaziz Al Saud, bersama Putra Mahkota yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri, Pangeran Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud, menyampaikan ucapan selamat kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam rangka Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025.

Ucapan ini disampaikan melalui pernyataan resmi yang dikutip dari Saudi Press Agency (SPA) dan dipublikasikan melalui akun resmi mereka di platform X (sebelumnya Twitter).

“The Custodian of the Two Holy Mosques and HRH the Crown Prince Congratulate the President of #Indonesia on Independence Day. (Penjaga Dua Masjid Suci dan Putra Mahkota mengucapkan selamat kepada Presiden Indonesia pada Hari Kemerdekaan.)” tulis unggahan SPA, dikutip Minggu 17 Agustus 2025.


Pesan ini menunjukkan kedekatan hubungan antara kedua negara yang terus mengalami kemajuan di berbagai bidang.

Komitmen Dua Negara untuk Memperkuat Kerja Sama

Sebelumnya, pada 2 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Istana Al-Salam, Jeddah. Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin menyepakati peningkatan kerja sama strategis di sektor ekonomi, investasi, dan energi.

Dikutip dari laman resmi Presiden RI, nilai perdagangan antara Indonesia dan Arab Saudi dalam lima tahun terakhir telah mencapai USD 31,5 miliar. Kedua negara sepakat untuk terus meningkatkan volume perdagangan, memperkuat kerja sama bisnis melalui forum Saudi-Indonesian Business Council, serta mempercepat penyelesaian Perjanjian Perdagangan Bebas antara Indonesia dan negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC).

Di bidang energi, kerja sama antara Indonesia dan Arab Saudi mencakup pasokan minyak, pembangunan kilang, industri petrokimia, pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, hidrogen bersih, hingga penerapan kecerdasan buatan (AI).

Kedua negara juga sepakat untuk mendorong transfer teknologi, riset bersama, serta menyusun peta jalan dalam menciptakan iklim investasi yang sehat di sektor mineral. Kesepakatan ini menjadi bagian dari visi jangka panjang yang sejalan dengan Visi Arab Saudi 2030 dan Visi Indonesia Emas 2045.

Penguatan Layanan Haji dan Umrah

Hubungan erat juga terlihat dalam sektor transportasi, khususnya pelayanan jemaah haji dan umrah. Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan RI, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bertemu dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq Bin Fawzan Al-Rabiah, di Jakarta pada 30 April 2025 lalu.

Dalam pertemuan tersebut, ditandatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara RI dan Otoritas Penerbangan Sipil Arab Saudi (GACA). MoU ini membahas keselamatan penerbangan, keamanan, serta penambahan rute penerbangan.

Kini, pesawat dari Arab Saudi dapat mendarat di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Denpasar.

Sebaliknya, penerbangan dari Indonesia bisa langsung menuju Jeddah, Riyadh, Dammam, Madinah, dan Taif. Selain itu, pemerintah Indonesia juga meminta tambahan slot penerbangan Garuda Indonesia saat musim haji, serta pemindahan terminal kedatangan jemaah dari Terminal Haji ke Terminal 1 di Bandara Internasional Raja Abdulaziz, Jeddah.

Menteri Tawfiq menyambut positif usulan tersebut dan menyampaikan dukungan penuh untuk peningkatan kerja sama transportasi, khususnya dalam layanan haji dan umrah.

Ucapan selamat dari Raja dan Putra Mahkota Arab Saudi kepada Presiden Indonesia menggambarkan hubungan kedua negara yang erat dan saling mendukung di berbagai bidang. Indonesia dan Arab Saudi terus memperkuat kerja sama berdasarkan kepercayaan bersama, visi pembangunan jangka panjang, serta komitmen untuk menghadapi tantangan global bersama.

(inf/dvs)



Sumber : www.detik.com

Nisab Adalah Batas Minimal Harta Wajib Zakat, Ini Penjelasannya



Jakarta

Nisab adalah harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara’. Secara sederhana, nisab merupakan nilai minimum harta diwajibkan zakat.

Zakat sendiri termasuk ke dalam kewajiban yang harus dikeluarkan oleh kaum muslimin, hal ini termaktub pada surat At Taubah ayat 34,

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ


Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih,”

Menurut buku Fikih Zakat Indonesia susunan Nur Fatoni, nisab adalah standar atau batas minimal harta yang wajib dibayar zakatnya. Dengan demikian apabila harta seseorang telah mencapai nisabnya, maka ia wajib berzakat.

Setiawan Badi Utomo dalam Metode Praktis Penetapan Nisab Zakat menjelaskan bahwa jika harta seseorang belum mencapai nisabnya, maka ia tidak diwajibkan membayar zakat. Batasan nisab antara sumber zakat yang satu dengan yang lainnya berbeda, setidaknya ada 4 jenis harta dengan nisab yang berbeda yaitu hasil bumi berupa biji-bijian dan buah-buahan, binatang ternak, emas dan perak, serta barang perniagaan.

Kapan Perhitungan Nisab Dilakukan?

Merujuk pada sumber yang sama, perhitungan nisab emas sebesar 85 gram atau nisab pertanian 5 wasaq (520 kg) ketentuannya ialah untuk waktu satu tahun. Namun, proses perhitungannya sendiri selain bisa langsung dalam satu tahun bisa juga dibagi per bulan.

Umat Islam yang berpenghasilan tinggi, terpenuhi kebutuhannya, dan mempunyai uang lebih, maka perhitungan zakatnya berdasarkan penghasilan kotor. Sebaliknya, mereka yang pendapatannya pas-pasan dan kurang memenuhi standar hidup, perhitungan nisabnya diambil dari penghasilan bersih, setelah dikurangi utang dan kebutuhan pokok lainnya.

Jenis Harta Benda yang Wajib Dizakati

Mengutip dari buku Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII oleh H Ahmad Ahyar dan Ahmad Najibullah, ada sejumlah jenis harta benda yang wajib dizakati yaitu:

1. Emas dan Perak

Ema dan perak wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nisab dan haulnya. Perintah untuk menunaikan zakat emas dan perak terdapat pada surat At Taubah ayat 34.

2. Harta Perniagaan

Selain emas dan perak, ada juga harta perniagaan. Harta ini harus dikeluarkan jika sudah mencapai syarat-syarat yang ditentukan syara’. Dalam sebuah hadits dari Samurah bin Jundub, dia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita supaya mengeluarkan zakat barang yang diperjualbelikan,” (HR Abu Daud).

3. Hasil Pertanian

Setiap panen, maka hasil pertanian wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nisab. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al An’am ayat 141,

۞ وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٍ مَّعْرُوشَٰتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَٰتٍ وَٱلنَّخْلَ وَٱلزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيْتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَٰبِهٍ ۚ كُلُوا۟ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثْمَرَ وَءَاتُوا۟ حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ ۖ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

Arab latin: Wa huwallażī ansya`a jannātim ma’rụsyātiw wa gaira ma’rụsyātiw wan-nakhla waz-zar’a mukhtalifan ukuluhụ waz-zaitụna war-rummāna mutasyābihaw wa gaira mutasyābih, kulụ min ṡamarihī iżā aṡmara wa ātụ ḥaqqahụ yauma ḥaṣādihī wa lā tusrifụ, innahụ lā yuḥibbul-musrifīn

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan,”

4. Hewan Ternak

Begitu pula dengan hewan ternak jika sudah mencapai syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Beberapa hewan yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu unta, sapi, kerbau, dan kambing.

5. Barang Temuan (Rikaz)

Terakhir adalah barang temuan atau rikaz. Harta ini wajib dikeluarkan zakatnya, tetapi tidak disyaratkan harus mencapai haul atau batas waktu minimal serta tidak ada ukuran nisab dan batas minimal.

Nabi Muhammad bersabda,

“Dan di dalam rikaz (barang temuan) ada haknya seperlima,” (HR Malik).

Jumlah Nisab dari Beberapa Jenis Kekayaan

Merujuk pada sumber yang sama, berikut beberapa jumlah nisab dari sejumlah harta atau kekayaan.

1. Emas: 85 gram (haul satu tahun)
2. Perak 672 gram (haul satu tahun)
3. Uang kertas 85 gram (haul satu tahun)
4. Hasil pertanian atau perkebunan: 653 kg (setiap panen)
5. Harta perniagaan: 85 gram (haul satu tahun)
6. Barang temuan atau rikaz: Tidak ada nisab dan haul

Demikian pembahasan tentang nisab dan informasi terkaitnya. Semoga bermanfaat.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Hukum Mengeluarkan Zakat Perhiasan, Wajibkah?



Jakarta

Umumnya, perhiasan sering dikenakan oleh wanita untuk berhias diri. Baik itu terbuat dari emas, maupun perak.

Dalam Islam, ada sejumlah harta yang wajib dizakati. Zakat termasuk ke dalam rukun Islam keempat yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim ketika telah mencapai syarat yang ditentukan.

Zakat berasal dari kata “zaka” yang artinya suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Di dalam zakat terkandung harapan untuk memperoleh keberkahan, kebersihan jiwa, dan memupuk kebaikan. Itulah mengapa disebut dengan zakat.


Nah, emas termasuk ke dalam harta yang wajib dizakati ketika telah mencapai nisab atau syarat minimum wajib zakat. Ketentuan mengenai besaran nisab emas juga disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 52 Tahun 2014.

Selain itu, dalil tentang kewajiban mengeluarkan zakat emas tersemat dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 34, Allah SWT berfirman:

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٣٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari para rabi dan rahib benar-benar memakan harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih,”

Selain itu, ada sejumlah hadits yang mensyariatkan tentang zakat emas. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,

“Jika engkau memiliki perak 200 dirham dan telah mencapai haul (satu tahun), maka darinya wajib zakat 5 dirham. Dan untuk emas, Anda tidak wajib menzakatinya kecuali telah mencapai 20 dinar, maka darinya wajib zakat setengah dinar, lalu dalam setiap kelebihannya wajib dizakati sesuai prosentasenya,”

Lalu bagaimana dengan emas dan perak yang berbentuk perhiasan? Apakah harta tersebut juga wajib dizakati?

Hukum Mengeluarkan Zakat Perhiasan Wanita

Menurut Ensiklopedi Wanita Muslimah susunan Haya binti Mubarak Al-Barik, ada sejumlah ketentuan yang harus dipahami ketika akan mengeluarkan zakat perhiasan. Apabila wanita tersebut memiliki perhiasan untuk berhias, maka tidak terkena zakat.

Sebaliknya, jika perhiasan tersebut untuk disimpan yang sewaktu-waktu dipergunakan untuk mengatasi kesulitan yang datang mendadak, maka fungsi perhiasan berubah menjadi uang simpanan. Perhiasan yang seperti ini wajib dikeluarkan zakatnya.

Perhiasan yang tidak wajib dibayarkan zakatnya ialah mutiara, intan berlian, permata yaqut, lulkluk, marjan, zabarjad, dan lain-lainnya yang berupa batu mulia. Kecuali jika permata-pertama itu diperdagangkan, hukumnya berubah menjadi wajib dizakatkan.

Dr Amir Said az-Zibari melalui Tanya Jawab Seputar Zakat menjelaskan bahwa nisab zakat bagi perhiasan yaitu dengan timbangan beratnya, bukan harga. Apabila beratnya kurang dari nisab meski harga lebih tinggi, maka dianggap belum mencapai nisab.

Nisab emas adalah 85 gram emas. Apabila emas yang dimiliki melebihi nisab, zakat yang harus dibayar sebesar 2,5% dari emas yang dimiliki.

Adapun, apabila orang yang mengeluarkan zakat (muzaki) memiliki emas, perak, dan logam mulia lainnya, perhitungan zakatnya disatukan dengan nisab senilai 85 gram emas. Cara menghitung zakat emas adalah 2,5% x jumlah emas yang tersimpan selama 1 tahun.

Dijelaskan dalam buku Fikih Wanita Empat Madzhab oleh Dr Muhammad Utsman Al-Khasyt, apabila perhiasan yang telah mencapai nisab itu dibebaskan dari zakat, maka banyak orang berlomba-lomba untuk menumpuknya. Terlebih, harganya cenderung stabil dan tidak menutup kemungkinan akan naik.

Karena itu, zakat dikeluarkan untuk memutus rantai agar tidak ada yang berlomba-lomba menumpuknya sehingga tidak ada yang menjadikan emas sebagai sarana untuk monopoli.

Nabi Muhammad bersabda,

“Tidaklah seorang pemilik emas atau pemilik perak yang tidak mengeluarkan haknya, melainkan di hari kiamat kelak akan dibuatkan untuknya lempengan-lempengan dari api lalu dipanaskan di neraka Jahannam, selanjutnya disetrikakan pada lambung, kening, dan punggung mereka,” (HR Bukhari dan Muslim).

Syarat Zakat Emas

Merujuk pada Peraturan Menteri Agama RI Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah, syarat harta yang dikenakan zakat mal, seperti emas, perak, dan logam mulia lainnya, adalah milik penuh, halal, mencapai nisab, dan haul.

Nisab adalah syarat minimum harta yang dapat dikategorikan sebagai wajib zakat, sedangkan haul adalah masa kepemilikan harta sudah berlalu selama 12 bulan Qomariyah/tahun Hijriyah.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Apakah Perhiasan Emas yang Dipakai Wajib Dizakati?


Jakarta

Emas termasuk harta yang dikenakan zakat jika telah mencapai nisab dan haulnya. Para ahli fikih telah menerangkan jenis emas yang wajib dizakati, termasuk apakah emas itu digunakan sebagai perhiasan.

Dalil mengeluarkan zakat emas dan sejenisnya bersandar pada firman Allah SWT dalam surah At Taubah ayat 34. Allah SWT berfirman,

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari para rabi dan rahib benar-benar memakan harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”

Emas, perak, dan logam mulia lainnya yang wajib dizakati harus merupakan milik sendiri, mencapai haul (kepemilikan satu tahun), dan mencapai nisab (batas wajib zakat). Menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syariat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif, nisab emas adalah 85 gram dan kadarnya 2,5 persen.

Dalam keputusan tersebut juga dijelaskan, apabila emas yang dimiliki melebihi nisab maka zakat yang harus dibayar sebesar 2,5 persen dari emas yang dimiliki.

Jenis Emas yang Wajib Dizakati

Menurut pendapat yang rajih (kuat), emas yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah simpanan emas, sedangkan perhiasan emas tidak wajib dizakati meskipun selama pemakaian itu jumlahnya lebih banyak, sebagaimana dikatakan Syaikh Abdul Aziz Marzuq Ath-Tharifi dalam Al-Khurasaniyyah fi Syarhi ‘Aqidah Ar-Raziyyaini (Ashli As-Sunnah wa I’tiqad Ad-Din).

Perhiasan emas yang tidak wajib dizakati ini turut disebutkan dalam al-Mu’tamad sebagaimana dinukil Imaduddin Utsman al-Bantanie dalam Buku Induk Fikih Islam Nusantara. Dijelaskan, barang-barang emas yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya seperti perhiasan emas untuk perempuan, cincin perak untuk laki-laki, hidung emas, jari-jari yang terbuat dari emas, gigi emas, hiasan alat perang, hiasan mushaf dari perak untuk laki-laki, dan hiasan mushaf dari emas untuk perempuan.

Dalam kitab Shahih Fiqh As-Sunnah li An-Nisaa’ karya Syaikh Ahmad Jad diterangkan, perhiasan emas yang dipakai ini dengan catatan tidak berlebihan. Sehingga mubah hukumnya untuk dikenakan sebagai perhiasan dan tidak wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya. Contohnya adalah perhiasan yang umum dipakai wanita.

Ulama besar Mesir dan ahli hukum Islam terkemuka, Syaikh Abu Zahrah, memilih menentukan batasan maksimal emas yang digunakan sebagai perhiasan agar terbebas dari mengeluarkan zakat. Ia berpendapat, seseorang tidak dikenakan zakat perhiasan emas jika perhiasan itu bernilai 20 mitsqal emas (85 gram).

Sementara itu, ada pendapat lain yang menyebut bahwa perhiasan emas harus dizakati. Para ulama yang mendukung pendapat ini berhujjah dengan hadits Amr bin Syu’aib RA yang mendengar cerita dari ayahnya bahwa ada dua orang wanita menemui Rasulullah SAW. Kedua tangan wanita itu memakai beberapa gelang emas. Lalu, beliau bertanya,

“Sukakah kalian apabila pada hari kiamat kelak, Allah memakaikan gelang dari api kepada kalian berdua?”

Spontan wanita itu menjawab, “Tidak.”

Rasulullah SAW bersabda, “Karena itu tunaikanlah hak (zakat gelang emas) yang terdapat pada kedua tangan kalian tersebut.”(HR Ahmad dan Tirmidzi)

Syamsul Rijal Hamid menjelaskan dalam Ensiklopedia Hadits Ibadah Puasa, Zakat, dan Haji, hadits tersebut menegaskan bahwa perhiasan yang dipakai harus dikeluarkan zakatnya. Ulama yang berpegang pada ketentuan ini adalah Imam Malik dan Ibn Hazm.

Adapun, perhiasan emas yang tidak wajib dizakati menurut Imam Malik adalah perhiasan yang berbentuk pedang, mushaf, dan sejenisnya. Dalam hal ini, Imam Malik sepakat dengan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Mahar Terbaik untuk Pernikahan dalam Islam, Apakah Harus Emas dan Uang?


Jakarta

Mahar atau maskawin merupakan syarat sah nikah yang harus dipenuhi. Lantas, apa mahar paling ideal menurut pandangan Islam?

Menurut Abdul Rahman Ghazaly dalam buku Fiqh Munakahat, mahar secara terminologi ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”.

Islam sangat memuliakan kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak untuk menerima mahar. Sebagaimana yang termaktub dalam surah An-Nisa ayat 4 yang berbunyi,


وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا ٤

Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”

Mengutip buku Hukum Perkawinan karya Tinuk Dwi Cahyani, dijelaskan bahwa pemberian mahar kepada istri ini hukumnya wajib. Apabila seorang suami tidak memberikan mahar kepada istrinya maka tentunya suami berdosa.

Mahar Paling Ideal dalam Pandangan Islam

Dijelaskan dalam buku Panduan Pernikahan Islami karya Yusuf Hidayat, menurut syariat Islam, mahar yang paling ideal ialah yang tidak menyulitkan pernikahan. Artinya, mahar yang diberikan paling ringan dan mudah maharnya dalam pemberiannya.

Bahkan Rasulullah SAW tidak menyukai mahar yang terlalu mewah atau berlebihan. Sebagaimana pesan Nabi SAW yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin ‘Amir , Rasulullah SAW bersabda :

خيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا.

Artinya: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR Abu Dawud)

Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda :

إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةٌ.

Artinya: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” (HR Ahmad)

Mengenai bentuk mahar yang harus diberikan dijelaskan dalam buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan Dalam Islam karya Sakban Lubis dkk, sang calon suami dapat memberikan mahar berupa harta benda yang dicintainya serta dapat membahagiakan calon istrinya.

Ada satu kisah ketika Rasulullah SAW ketika menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali RA. Diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW, berkata kepada Ali. “Berikanlah sesuatu kepada Fatimah.”

Ali menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu pun, Baginda Rasul.”

Maka Rasulullah bersabda. “Di mana baju besimu? Berikanlah baju besimu itu kepadanya.

Maka Ali pun memberikan baju besi miliknya kepada Fatimah sebagai maharnya. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Meski umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari’at Islam membolehkan memberikan mahar dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.

Bahkan pada zaman Rasulullah SAW, hafalan Al-Qur’an dapat dijadikan sebuah mahar. Seperti yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq alaih, ujung dari hadits panjang yang dikutip di atas :

Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Qur’an?

Lalu, la menjawab : Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya.

Nabi SAW kembali bertanya, “Kamu hafal surat-surat itu di luar kepala?”

Dia menjawab, Ya. Nabi SAW berkata : “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an”.

Untuk bentuk mahar apa yang ingin diberikan, harus disepakati oleh calon suami dan calon istri. Ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mahar, pada pasal 30 dijelaskan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.”

Lalu, untuk mengenai jumlah atau kadar mahar, para ulama berselisih pendapat. Mengutip Jurnal Tahqiqa: Mahar Secara Berhutang dalam Perspektif Hukum Islam, Vol. 16 No. 1, tahun 2022 karya Fajarwati, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi.

Selisih pendapat terjadi dalam menentukan batas terendahnya. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.

Sementara itu, Imam Malik mengatakan bahwa paling sedikit ialah seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.

Wallahua’lam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wanita Muslim Pakai Perhiasan Emas, Boleh atau Haram?


Jakarta

Emas menjadi salah satu logam yang sering dijadikan perhiasan. Bagi muslimah, mengenakan beragam perhiasan emas hukumnya boleh.

Sangat banyak jenis perhiasan emas yang dapat dikenakan wanita mulai dari cincin, kalung, anting-anting hingga gelang. Tidak ada larangan bagi wanita muslim untuk mengenakan perhiasan berbahan emas, demikian juga yang berbahan perak.

Rasulullah SAW bersabda, “Dibolehkan bagi umatku yang wanita memakai emas dan sutra, tapi diharamkan bagi kaum laki-laki.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).


Mengutip buku Fiqhun-Nisa Shiyam-Zakat-Haji oleh Adil Sa’di dijelaskan bahwa secara syariat, Islam tidak melarang muslimah mengenakan perhiasan emas. Berdasar pada hadits tersebut, para ulama sepakat tentang penggunaan perhiasan emas diperbolehkan bagi wanita dan diharamkan bagi laki-laki.

Emas yang dikenakan sebagai perhiasan juga tidak wajib dizakati apabila memang sengaja untuk dipakai atau dipinjamkan. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada zakat bagi perhiasan.” (HR Tabrani)

Hukum yang berbeda diterapkan bagi emas yang digunakan dengan tujuan perdagangan, disimpan untuk dijadikan nafkah, untuk mengabulkan suatu hajat, disimpan, atau untuk maksud yang lain seperti yang di atas, hukumnya kembali pada hukum asalnya, yaitu wajib dizakati.

Kewajiban menzakati emas dan perak gugur apabila barang itu memang dipakai untuk perhiasan.

Apabila emas tersebut dengan sendirinya atau dengan menggabungkan dengan harta yang lain telah mencapai nisab maka hukumnya wajib dizakati. Akan tetapi, jika tidak mencapai nisab dan tidak mungkin digabung dengan harta lain, maka tidak wajib dizakati.

Hukum Haram Pakai Emas

Mengenakan emas sebagai perhiasan memang diperbolehkan namun emas juga bisa menjadi haram hukumnya.

Mengutip buku As-Suluk Al-Ijtima’i (Fikih Sosial) Membangun Masyarakat Berperadaban Islami oleh Syaikh Hasan Ayyub, dijelaskan sebuah hadits yang menegaskan larangan penggunaan wadah berbahan emas oleh umat muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah kalian minum dengan wadah emas atau perak, dan janganlah kalian memakai sutra dan brokat. Karena keduanya untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kamu di akhirat. “(HR Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini melarang minum dan makan dengan wadah dari emas serta perak. Alasannya pun telah disebutkan dalam hadits ini, yaitu menikmati makanan dengan keduanya (wadah emas dan perak) di dunia adalah untuk orang-orang musyrik sedangkan di akhirat, mereka disiksa di neraka ketika orang-orang mukmin bersuka ria di surga.

Ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini adalah dalil atas diharamkannya makan dan minum dengan wadah emas dan perak baik wadah itu terdiri dari emas murni maupun campur perak.”

Haram juga menjadikan emas atau perak sebagai atap ataupun dinding rumah. Tidak boleh juga memakai emas dan perak untuk membuat kendaraan beserta kuncinya.

Menjadikan emas sebagai alat tulis atau tinta juga termasuk perbuatan yang diharamkan karena hal itu menunjukkan kesombongan dan berlebih-lebihan.

Allah SWT berfirman tentang larangan berlaku sombong, sebagaimana termaktub dalam Surah Luqman ayat 18:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Latin: Wa lā tuṣa”ir khaddaka lin-nāsi wa lā tamsyi fil-arḍi maraḥā(n), innallāha lā yuḥibbu kulla mukhtālin fakhūr(in).

Artinya: “Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga umatnya yang beriman dengan memberi perlindungan serta dijauhkan dari segala hal yang dilarang.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com