Tag Archives: fikih sirah

3 Sahabat Nabi Ini Bersedekah Besar-besaran, Siapa Paling Banyak?


Jakarta

Ada tiga sahabat nabi yang bersedekah besar-besaran, bahkan salah satu dari mereka rela menyerahkan seluruh hartanya. Hal ini terjadi saat Perang Tabuk.

Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah, sekitar September-Oktober tahun 630 M. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW mengajak umat Islam untuk menghadapi ancaman pasukan Romawi yang berkumpul di wilayah Syam. Tabuk sendiri berjarak sekitar 564 kilometer dari Madinah, seperti dijelaskan dalam buku Perang Hunain dan Perang Tabuk oleh Muhammad Ridha.

Biasanya, strategi perang disampaikan secara rahasia. Namun kali ini, Rasulullah SAW menyampaikannya secara terbuka karena ancaman dari 40.000 pasukan Bizantium yang dibantu oleh Bani Lakhm, Jadzm, dan sekutu Arab Nasrani dianggap sangat serius.


Situasi masyarakat saat itu cukup berat. Cuaca sedang sangat panas, kondisi ekonomi sulit, dan musim panen belum tiba. Dalam keadaan seperti ini, Rasulullah meminta kaum Muslimin untuk bersedekah dan membantu para sahabat yang tidak memiliki bekal untuk ikut berperang.

Sahabat Nabi yang Bersedekah Besar-besaran

Dalam buku Fikih Sirah susunan Said Ramadhan Al-Buthy dan buku Perang Hunain dan Perang Tabuk mencatat bahwa sejumlah sahabat utama berlomba-lomba bersedekah besar-besaran. Tiga di antaranya menonjol karena kontribusinya yang luar biasa.

1. Utsman bin Affan

Utsman bin Affan menyumbangkan 300 ekor unta lengkap dengan perlengkapannya, serta uang tunai sebanyak 1.000 dinar. Rasulullah SAW sangat menghargai sedekah ini dan bersabda,

“Tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakan Utsman setelah apa yang ia lakukan hari ini.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Dari sisi jumlah, sumbangan Utsman adalah yang paling besar secara materi.

2. Umar bin Khattab

Umar bin Khattab datang membawa setengah dari seluruh hartanya. Ia berkata,

“Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakar.” Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Umar menjawab, “Sebanyak ini pula.”

Umar ingin bersedekah maksimal, tetapi tetap meninggalkan sesuatu untuk keluarganya.

3. Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Ketika ditanya oleh Rasulullah SAW,

“Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab, “Aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.” Melihat hal ini, Umar berkata, “Saya tidak akan pernah bisa mengalahkan Abu Bakar.” (HR Tirmidzi)

Keikhlasan Abu Bakar menjadi teladan utama. Ia tidak menyisakan apapun selain keimanan.

Sahabat Nabi Lainnya yang Bersedekah saat Perang Tabuk

Selain ketiga sahabat utama tersebut, beberapa sahabat lain juga menunjukkan kepedulian besar dalam bentuk sedekah. Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat kaya yang terkenal dermawan, menyumbangkan 200 uqiyah perak, yang jika dikonversi nilainya setara dengan sekitar 8.000 dirham. Jumlah ini bukan sedikit, mengingat pada masa itu satu dirham cukup untuk membeli kebutuhan pokok harian.

Ashim bin Adi turut berkontribusi dengan menyumbangkan satu wasaq kurma. Dalam ukuran sekarang, satu wasaq kurma setara dengan 144 hingga 180 kilogram. Sedekah ini menjadi sangat berarti karena saat itu kurma adalah makanan pokok dan sangat dibutuhkan untuk bekal perjalanan panjang ke Tabuk.

Siapa yang Bersedekah Paling Banyak?

Jika dihitung secara materi, Utsman bin Affan menyumbang dengan nominal yang paling besar. Namun jika dilihat dari tingkat pengorbanan, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan seluruh hartanya dan tidak menyisakan apa pun. Masing-masing menunjukkan keutamaan yang luar biasa dalam bersedekah dan berjuang di jalan Allah.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jabir bin Abdullah Bersama Unta Tuanya


Jakarta

Jabir bin Abdullah adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Jabir bin Abdullah bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’ab.

Mengutip buku Sejarah Hidup Para Penyambung Lidah Nabi yang ditulis oleh Imron Mustofa, Jabir bin Abdullah dilahirkan 16 tahun sebelum peristiwa hijrah, nasabnya berakhir pada Khajraj. Di tengah-tengah masyarakat waktu itu, ia dikenal dengan julukan Abu Abdillah Al-Anshari dan merupakan ahli fikih dan mufti Madinah pada masanya.

Jabir RA dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dan ia dikaruniai umur yang panjang oleh Allah SWT hingga bisa menyaksikan kehidupan cucu Rasulullah SAW.


Dalam buku Fikih Sirah karya Said Ramadhan Al-Buthy disebutkan bahwa Rasulullah SAW sangat mengerti cobaan berat yang dipikul Jabir bin Abdullah RA dan keluarganya.

Ayah Jabir bin Abdullah merupakan salah seorang pejuang Islam yang syahid di medan Perang Uhud. Sehingga, sebagai anak sulung, Jabir RA harus memikul tanggung jawab untuk merawat dan menafkahi beberapa saudaranya.

Oleh karena itu, kehidupan Jabir bin Abdullah terbilang berat, dan hanya memiliki sedikit harta. Salah satu kisah perhatian Rasulullah SAW kepada Jabir yaitu saat Jabir tertinggal di belakang rombongan sahabat bersama untanya yang kurus dan lemah. Berikut kisah lengkap Jabir bin Abdullah dan untanya.

Kisah Jabir bin Abdullah dan Unta Tuanya

Mengutip kembali kisah dalam buku Sejarah Hidup Para Penyambung Lidah Nabi, kisah Jabir bin Abdullah dan Rasulullah SAW ini diawali saat Jabir bin Abdullah keluar bersama Rasulullah SAW pada Perang Dzat Ar-Riqa’, dari Nakhl dengan mengendarai seekor unta yang lemah.

Ketika Rasulullah SAW kembali dari Perang Dzat Ar-Riqa’, teman-temannya dapat berjalan dengan lancar. Sementara Jabir tertinggal di belakang, hingga beliau menyusulnya.

Beliau bersabda kepadanya, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Jabir menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan.”

Rasulullah SAW bersabda, “Suruh ia duduk.” Jabir pun mendudukkan untanya dan beliau juga mendudukkan untanya. Setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan, “Berikan tongkatmu kepadaku!”

Lalu, Jabir pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW dan beliau mengambil tongkat yang dimintanya, kemudian beliau menusuk lambung unta Jabir beberapa kali kemudian menyuruhnya, “Naikilah untamu!”

Jabir segera menaiki untanya. Kemudian, Jabir dibuat terkejut dengan untanya yang lemah secara tiba-tiba bisa menyalip unta Rasulullah SAW.

Jabir berkata, “Demi Allah, yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip unta beliau.”

Jabir dan Rasulullah SAW pun berbincang, kemudian Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual untamu kepadaku?” Jabir menjawab, “Tidak wahai Rasulullah, tetapi aku menghibahkannya kepadamu.” Beliau menawarnya, “Juallah untamu ini kepadaku!”

Jabir menjawab, “Kalau begitu, hargailah untaku ini.” Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana kalau satu dirham?” Jabir menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah. Kalau harganya seperti itu, engkau merugikan aku.”

Rasulullah SAW kembali menawarnya, “Dua dirham?” Jabir menjawab, “Aku tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW terus menaikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu uqiyah (kira-kira setara dengan 40 dirham).

Jabir berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan harga itu?” Beliau menjawab, “Ya.” Jabir berkata, “Kalau begitu unta ini menjadi milikmu.”

“Ya, aku telah terima,” jawab Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?” “Sudah, wahai Rasulullah,” jawab Jabir.

Rasulullah SAW kembali bertanya, “Dengan gadis ataukah janda?” “Dengan janda,” jawabnya. Rasulullah SAW bertanya kembali, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia bisa bercanda denganmu?”

Jabir menceritakan kepada Rasulullah SAW, “Ayahku gugur di Perang Uhud dan menginggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan mengasuh mereka.”

“Setibanya di Shirar (sebuah tempat kira-kira 5 km dari kota Madinah) nanti, aku perintahkan penyiapan unta untuk disembelih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari tersebut, hingga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia melepaskan bantalnya,” perintah Rasulullah SAW kepada Jabir.

“Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah,” jawab Jabir. Rasulullah SAW berkata, “Engkau akan memilikinya, insya Allah. Karena itu, jika engkau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang cerdik.”

Kedermawanan Rasulullah SAW kepada Jabir bin Abdullah

Sesampainya di Shirar, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan unta yang kemudian akan disembelih. Jabir dan para sahabat mengadakan jamuan makan pada hari itu.

Sore harinya, Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahnya dan para sahabat pun masuk rumah masing-masing. Jabir menceritakan sabda Rasulullah SAW ini kepada istrinya.

Kemudian, istrinya menyuruh Jabir untuk mangikuti sabda Nabi SAW tersebut dan berkata, “Lakukanlah itu, dengar dan taatlah.”

Esok paginya, Jabir membawa untanya, menuntun, dan mendudukkannya di depan pintu masjid Rasulullah SAW. Kemudian, ia duduk di dekat masjid.

Ketika Rasulullah SAW keluar dan melihatnya, beliau bersabda, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini unta yang dibawa Jabir.” Beliau bertanya, “Di mana Jabir?”

Jabi pun dipanggil untuk menemui Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berkata, “Wahai anak saudaraku, ambillah untamu, karena ia menjadi milikmu!”

Kemudian beliau memanggil Bilal dan berkata kepadanya, “Pergilah bersama Jabir, dan berikan kepadanya uang satu uqiyah!”

Jabir pergi bersama Bilal, dan kemudian Bilal memberinya uang satu uqiyah dan memberikan sedikit tambahan kepadanya. Betapa terpukaunya Jabir bin Abdullah pada kebaikan Rasulullah SAW.

Jabir menuturkan, “Demi Allah, pemberian beliau tersebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya di rumahku, hingga aku mendapat musibah di Perang Al-Harrah belum lama ini.”

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Abdullah ibn Jubair, Komandan Pasukan Pemanah yang Syahid Tepati Janji ke Nabi


Jakarta

Abdullah ibn Jubair adalah salah satu sahabat nabi yang berasal dari kalangan Anshar keturunan suku Aus. Sebelum meletusnya Perang Uhud, Rasulullah SAW memilih 50 pemanah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Jubair.

Melansir buku Fikih Sirah yang ditulis Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Perang uhud terjadi karena beberapa tokoh Quraisy yang tidak terbunuh dalam perang Badar Kurba sepakat menuntut balas atas kematian teman-teman mereka. Untuk memerangi Rasulullah SAW mereka menggalang kekuatan dengan barang-barang berharga yang dulu dibawa kafilah pimpinan Abu Sufyan.

Abdullah Ibn Jubair Selalu Menjaga Janji

Abdullah ibn Jubair telah berjanji untuk selalu taat kepada Nabi Muhammad SAW, karena taat kepada Rasulullah SAW berarti taat kepada Allah.


Sedikit pun tidak ada keraguan dalam hatinya, apalagi niat untuk menggantikan rasa cintanya kepada beliau. Ia selalu mendahulukan kepentingan Nabi SAW dalam segala urusan dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hasan Kinas menjelaskan bahwa sebelum perang berkecamuk, Rasulullah SAW telah berpesan kepada pasukan pemanah, “Jangan pernah meninggalkan posisi kalian ketika kalian melihat kami terdesak oleh serangan musuh!”

Perintah Nabi SAW itu sangat jelas dan mudah dipahami. Terlebih lagi, perintah itu keluar dari lisan seorang nabi yang tidak akan berbicara kecuali dengan petunjuk Allah.

Saat perang mulai berkecamuk, pasukan muslim berada di atas angin. Mereka dapat mendesak dan menghancurkan barisan musuh.

Saat itu, semua muslim merasa yakin, mereka akan segera meraih kemenangan besar seperti yang didapatkan di Badar. Tak sedikit pasukan musyrik lari menjauhi medan perang, meninggalkan berbagai perlengkapan dan perbekalan mereka.

Menyaksikan keadaan itu, kaum muslim menyangka bahwa perang telah usai dan mereka meraih kemenangan. Maka, nyaris semua orang berlari ke sana kemari memperebutkan harta rampasan dengan wajah yang ceria seraya meneriakkan pekik kemenangan.

Saat yang sama, pasukan pemanah memperhatikan dari atas apa yang terjadi di bawah. Mereka mengira, perang telah usai ketika melihat kawan-kawan mereka berlarian mengambil rampasan perang.

Mereka khawatir tidak kebagian barang yang ditinggalkan pasukan musyrik atau dari korban yang tewas. Semakin lama semakin gelisah. Sementara, mereka tak juga menerima perintah baru dari Rasulullah SAW tidak mau menunggu lebih lama, mereka membubarkan diri dan berlari menuruni bukit.

Mereka tak menghiraukan komandan mereka, Abdullah ibn Jubair, yang berteriak mengingatkan mereka agar bertahan di atas bukit. Mereka tak peduli meskipun Ibn Jubair mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah SAW. Mereka seolah-olah tuli karena pikiran mereka dipenuhi keinginan untuk mendapatkan rampasan perang. Mereka lupa, sesungguhnya harta dunia pasti akan sirna dan akhirat merupakan pilihan yang terbaik dan abadi.

Tak semua pemanah beranjak meninggalkan posisi mereka. Ada sepuluh orang yang bertahan di puncak bukit, termasuk komandan mereka, Abdullah ibn Jubair. Mereka berdiri kukuh, mematuhi perintah Nabi SAW, panglima perang tertinggi. Sedikit pun tak terlintas di hati mereka untuk menukar ketaatan kepada Rasulullah SAW dengan harta dunia.

Ketidaktaatan pasukan pemanah harus dibayar mahal. Divisi kavaleri Quraisy, di bawah komando Khalid ibn al-Walid, wira perang yang sangat cakap, menantikan saat-saat itu di balik bukit. Mereka menunggu kaum muslim lengah.

Saat menyaksikan bukit tak lagi terjaga dengan baik, Khalid menyerbu dari balik bukit, lalu menyerang tangkas pasukan pemanah yang tersisa dan menumbangkan mereka semua.

Kavaleri Quraisy itu kemudian berderap menuruni bukit, menebas kaum muslim yang berlari serabutan karena tak menduga musuh berbalik menyerang. Abdullah ibn Jubair, komandan pasukan pemanah, yang setia pada perintah, gugur sebagai syahid.

Semoga Allah merahmatinya

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com