Tag Archives: fikih

Alasan Hukum Islam Menetapkan Laki-laki Menerima Warisan Lebih Besar


Jakarta

Pembagian warisan diatur dalam Al-Qur’an dan hadits. Warisan sendiri dimaknai sebagai peninggalan yang diberikan ketika seseorang meninggal dunia.

Mengutip dari buku Hukum Kewarisan Islam oleh Amir Syarifuddin, apabila pembagian waris tidak mengikuti ketentuan maka akan terjadi sengketa antara ahli waris. Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraid) adalah setengah ilmu dan dia (faraid) itu akan dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali tercabut (hilang) dari umatku.” (HR Ibnu Majah)


Turut dijelaskan dalam buku Panduan Praktis Pembagian Waris susunan Kementerian Agama RI, Islam mengenal ilmu waris atau Al Mawarits. Isi dari Al Mawarits atau biasa dikenal juga Al Faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta warisan.

Laki-laki menerima warisan lebih besar dibanding perempuan. Hal ini tercantum dalam surah An Nisa ayat 11,

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Lalu, apa alasan hukum Islam membagi warisan lebih besar kepada laki-laki?

Kenapa Laki-laki Dapat Warisan Lebih Banyak?

Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam bukunya Tashil Al Faraidh terbitan Ash-Shaf Media, alasan laki-laki mendapat warisan lebih banyak daripada perempuan karena anugerah dari Allah SWT. Maksudnya, laki-laki diberi kelebihan akal yang sempurna untuk mengatur dan kekuatan yang lebih dalam untuk berbuat serta taat kepada Sang Khalik.

Oleh karenanya, kaum laki-laki mendapat keistimewaan atas kaum wanita dengan diangkat sebagai nabi, pemimpin, menegakkan syiar-syiar Islam serta kesaksian dalam semua permasalahan. Laki-laki juga wajib jihad, sholat Jumat dan sejenisnya.

Laki-laki bahkan dijadikan ahli waris yang mendapat bagian ashobah, mendapat bagian warisan lebih dan sejenisnya. Ini dikarenakan usaha mereka sebagai laki-laki, mulai dari memberi harta kepada wanita yang dinikahi, memberi mahar serta nafkah dalam kebutuhan hidupnya.

Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 34,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah SWT telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Abdul Syukur Al Azizi dalam buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita turut menjelaskan bahwa perbedaan bagian warisan antara laki-laki dan perempuan karena memiliki dasar yang jelas. Laki-laki memiliki tanggung jawab dalam menafkahi keluarganya sehingga secara proporsional mereka mendapat porsi warisan yang lebih besar daripada perempuan.

Apabila laki-laki mendapat bagian yang sama atau lebih kecil, maka dapat menimbulkan ketidakadilan bagi mereka. Walau perempuan menerima bagian warisan lebih sedikit, hak-hak seperti mahar dan nafkah dari suami menjadi kompensasi yang menyeimbangkan ketentuan tersebut.

Wallahu a’lam.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Zakat Fitrah bagi Bayi di Kandungan, Wajib atau Tidak?


Jakarta

Zakat fitrah menjadi amalan wajib yang harus ditunaikan setiap muslim. Laki-laki, perempuan, tua, muda, ataupun anak-anak wajib dibayarkan zakatnya.

Dalam hadits, Rasulullah SAW menjelaskan kewajiban zakat fitrah yang harus ditunaikan setiap muslim,

فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ -مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ


Artinya: “Rasulullah telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah (pada bulan Ramadan kepada setiap manusia).” (HR Bukhari Muslim)

Dalam hadits lain dijelaskan, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau SAW memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk salat.” (HR Bukhari Muslim)

Perintah menunaikan zakat fitrah jelas diterangkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an.

Dalam surah Al Baqarah ayat 43, Allah SWT berfirman,

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Kemudian, perintah yang sama juga termaktub dalam surah Al A’la ayat 14 dan 15. Allah SWT berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ . وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ

Artinya: “Sungguh, beruntung orang yang menyucikan diri (dari kekafiran) dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia salat.”

Hukum Zakat Fitrah bagi Bayi di Kandungan

Dalam dalil yang termaktub di Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW, tidak ada yang menjelaskan secara eksplisit terkait zakat fitrah bagi bayi dalam kandungan.

Dalam kitab Shalaatul Mu’min karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani yang diterjemahkan M. Ghoffar dijelaskan bahwa mengeluarkan zakat fitrah bagi bayi yang dikandung adalah sunah. Hal ini sebagaimana dilakukan sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Affan RA.

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dari Humaid dan Qatadah, bahwa Utsman RA pernah mengeluarkan zakat fitrah untuk anak kecil, orang dewasa, dan bayi dalam kandungan.

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dari Abu Qilabah, ia bercerita, “Mereka memberikan zakat fitrah, bahkan mereka mengeluarkan zakat fitrah untuk bayi yang ada dalam kandungan.”

Dalam sebuah riwayat milik Ahmad disebutkan bahwa zakat fitrah untuk bayi dalam kandungan itu wajib.

Menurut penjelasan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya Imam an-Nawawi sebagaimana dinukil NU Online, ulama mazhab Syafi’i berpendapat bayi yang masih dalam kandungan tidak dikenakan wajib zakat fitrah.

Ibnu Mundzir menyuguhkan ijma’ yang menyatakan tidak wajib zakat fitrah untuk janin.

لَا تَجِبُ فِطْرَةُ الْجَنِينِ لَاعَلَي أَبِيهِ وَلَا فِي مَالِهِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا

Artinya: “Di antara kami (madzhab Syafi’i) tidak ada perbedaan pendapat bahwa tidak wajib zakat fitrah bagi janin, tidak juga wajib bagi bapaknya bahkan tidak wajib zakat pula pada hartanya…”

Meskipun tidak wajib, namun bukan berarti menjadi larangan. Menurut penuturan Ibnu Mundzir, Imam Ahmad bin Hanbal menghukumi sunah dan tidak mewajibkan.

وَاَشَارَ ابْنُ الْمُنْذِرِ إِلَى نَقْلِ الْاِجْمَاعِ عَلَي مَا ذَكَرْتُهُ فَقَالَ كُلُّ مَنْ يَحْفَظُ عَنْهُ الْعِلْمُ مِنَ عُلَمَاءِ الْاَمْصَارِ لَا يُوجِبُ فِطْرَةً عَنِ الْجَنِينِ قَالَ وَكَانَ اَحْمَدُ يَسْتَحِبُّهُ وَلَا يُوجِبُهُ

Artinya: “Ibnu Mundzir menukil adanya ijma atau konsensus para ulama-sebagaimana yang telah kami kemukakan-yang menyatakan bahwa para ulama amshar tidak mewajibkan zakat fitrah untuk janin. Kendati demikian Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, sunah untuk menzakati fitrah bagi janin tetapi tidak wajib.”

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

6 Syarat Khutbah Jumat Menurut 4 Imam Mazhab


Jakarta

Salat Jumat merupakan ibadah wajib bagi kaum muslim laki-laki yang telah baligh, berakal, dan merdeka. Selain salat, khutbah menjadi bagian penting dalam ibadah Jumat.

Di dalamnya, terdapat pesan-pesan ilahi yang disampaikan oleh khatib untuk menuntun umat muslim agar senantiasa berjalan di jalan yang benar. Namun, untuk menyampaikan pesan dengan sempurna, khatib perlu memperhatikan beberapa syarat khutbah Jumat.

6 Syarat Khutbah Jumat

Terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi untuk melaksanakan khutbah Jumat. Dikutip dari buku Dialog Lintas Mazhab oleh Asmaji Muchtar, berikut ini adalah syarat khutbah jumat menurut berbagai mazhab.


1. Dilakukan sebelum Salat Jumat

Sebab apabila diakhirkan maka ibadah Jumat tidak dihitung menurut mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Menurut Mazhab Maliki, jika khutbah diakhirkan cukup salat Jumat yang diulangi.

Khutbah tersebut dihukumi sah dan tidak perlu diulang dengan syarat salat Jumat diulangi sebelum keluar dari masjid tanpa ditunda. Jika tidak demikian, khutbah harus diulang.

2. Berniat Khutbah

Apabila khutbah tanpa niat maka tidak dihitung menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Di sisi lain, Mazhab Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa niat bukan syarat sahnya khutbah Jumat.

Hanya saja, ulama Syafi’iyah mensyaratkan agar khatib tidak menyimpang dari khutbah.

3. Disampaikan Bahasa Arab

Syarat ini menjadi salah satu syarat khutbah yang diperselisihkan. Menurut mazhab Hanafi, khutbah boleh disampaikan dalam bahasa selain Arab, baik yang mendengarkan khutbah adalah orang Arab maupun bukan.

Adapun menurut mazhab Hanbali, tidak sah khutbah selain bahasa Arab bagi orang yang mampu berbahasa Arab.

Namun jika tidak mampu, boleh menggunakan bahasa selain Arab yang dikuasai selama ayat yang termasuk rukun khutbah harus diucapkan dalam bahasa Arab.

Menurut mazhab Syafi’i, rukun khutbah harus diucapkan dengan bahasa Arab.

Apabila menggunakan selain bahasa Arab, menurutnya tidak cukup, terlebih jika bahasa tersebut memungkinkan untuk dipelajari. Jika tidak memungkinkan, khutbah dilakukan dengan selain bahasa Arab.

Hal ini berlaku jika khutbah diperdengarkan untuk bangsa Arab, tetapi jika jemaahnya tidak berbangsa Arab, maka tidak disyaratkan membaca rukun khutbah dengan bahasa Arab, kecuali ayat Al-Qur’an.

Mazhab Maliki mengatakan, khutbah harus dengan bahasa Arab walaupun diperdengarkan kepada warga yang bukan berbangsa Arab. Jika tidak ada yang mampu berkhutbah dengan bahasa Arab, kewajiban salat Jumat menjadi gugur.

4. Disampaikan pada Waktunya

Waktunya pelaksanaannya adalah waktu Zuhur. Jika khatib berkhutbah sebelum waktunya dan melaksanakan salat Jumat pada waktunya, hukumnya tidak sah. Seluruh imam mazhab bersepakat akan hal ini.

5. Mengeraskan Suara

Mazhab Hanafi mengatakan disyariatkan membaca khutbah dengan keras sehingga orang yang hadir dapat mendengarnya, jika tidak ada penghalang. Akan tetapi, apabila terdapat penghalang, misalnya karena tuli atau jauh maka mendengarnya tidak disyaratkan.

Menurut mazhab Syafi’i, disyaratkan membaca rukun khutbah dengan keras sehingga dapat didengar empat puluh orang yang menjadikan sahnya salat Jumat.

Menurut mazhab Hanbali, disyaratkan membaca khutbah dengan keras sekiranya orang-orang wajib melakukan salat Jumat mendengar rukun-rukunnya, ketika tidak ada penghalang.

Mazhab Maliki mengatakan, termasuk syarat khutbah adalah membaca dengan keras, sebab apabila dibaca perlahan maka tidak dihitung. Para hadirin tidak disyaratkan untuk mendengar, meskipun hal ini diwajibkan atas mereka.

6. Tidak Memisah Khutbah dan Salat Terlalu Lama

Mazhab Syafi’i mengatakan, disyaratkan adalah muwalah (berturut-turut) antara rukun khutbah dan antara khutbah dengan salat Jumat.

Muwalah terjadi apabila waktu yang memisahkan hal-hal di atas tidak cukup untuk melakukan salat dua rakaat dengan melakukan rukun salat saja. Jika cukup untuk itu atau lebih maka khutbah batal, kecuali waktu yang lebih digunakan untuk memberi nasihat.

Mazhab Maliki mengatakan, disyaratkan menyambung dua khutbah dengan salat dan menyambung satu khutbah dengan khutbah lainnya. Sementara itu, waktu sedikit yang memisahkan keduanya menurut ‘urf dimaafkan.

Menurut Mazhab Hanafi, disyaratkan tidak memisah antar dua khutbah dan salat dengan pemisah yang tidak memiliki hubungan sama sekali, seperti makan. Adapun pemisah yang memiliki hubungan, seperti mengqadha salat dan memulai salat sunah di antara keduanya, tidak membatalkan khutbah, meskipun yang lebih utama adalah mengulanginya.

Menurut Mazhab Hanbali, khutbah sah bila disyaratkan adanya muwalah antara bagian-bagiannya dan antara khutbah dan salat. Muwalah adalah tidak adanya waktu lama yang memisahkan keduanya menurut ‘urf.

Wallahu a’lam.

(hnh/rah)



Sumber : www.detik.com

Arti Allahumma La Tahrimna, Doa Salat Jenazah Takbir ke-4


Jakarta

Salat jenazah terdiri dari empat takbir dan setiap takbirnya memiliki bacaan tertentu. Salah satu bacaan takbir itu adalah doa dengan lafaz allahumma la tahrimna ajrohu walaa taftinnaa ba’dahu wagfirlanaa walahu.

Bacaan allahumma la tahrimna ajrohu walaa taftinnaa ba’dahu wagfirlanaa walahu adalah doa yang dibaca setelah takbir keempat saat salat jenazah. Ini merupakan doa takbir keempat versi pendek.

Arti Allahumma La Tahrimna

Mengutip buku Panduan Sholat Wajib & Sunnah Sepanjang Masa Rasulullah karya Ustadz Arif Rahman, berikut arti bacaan allahumma la tahrimna pada takbir keempat salat jenazah.


اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ

Arab-latin: Allahumma la tahrimna ajrohu walaa taftinnaa ba’dahu wagfirlanaa walahu

Artinya: “Ya Allah janganlah Engkau rugikan kami atas pahalanya dan janganlah Engkau beri kami fitnah setelah meninggalnya serta ampunilah kami dan dia.”

Perlu diketahui, bacaan doa di atas harus dibedakan antara jenazah perempuan dan jenazah laki-laki.

Apabila jenazah yang disalatkan adalah laki-laki, maka bacaan doa setelah takbir keempat sesuai dengan yang sudah dijelaskan di atas. Sementara itu, apabila jenazah yang disalatkan berjenis kelamin perempuan, maka orang-orang yang menyalatkannya harus mengganti kata ganti hu menjadi ha.

Berikut bacaan doa setelah takbir keempat untuk jenazah perempuan.

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهَا وَلَا تَفْتِنَا بَعْدَهَا وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهَا

Arab-latin: Allahumma la tahrimna ajrohaa walaa taftinnaa ba’dahaa wagfirlanaa walahaa

Artinya: “Ya Allah janganlah Engkau rugikan kami atas pahalanya dan janganlah Engkau beri kami fitnah setelah meninggalnya serta ampunilah kami dan dia.”

Doa Takbir ke-4 Versi Panjang

Ada versi bacaan doa salat jenazah takbir keempat ini yang lebih panjang. Dikutip dari buku Dirasah Islamiyah karya Al Mubdi’u dkk, berikut bacaannya.

Jenazah laki-laki

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيمٌ.

Arab-latin: Allahumma la tahrimna ajrohu walaa taftinnaa ba’dahu wagfirlanaa walahu wa ikhwaaninaa-lladziina sabaquunaa bil iimaani wa laa taj’al fii quluubinaa ghillaa lilladziina aamanuu robbanaa innaka rouufurrahiim

Artinya: “Ya Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepada kami, dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia, dan bagi saudara-saudara kita yang mendahului kita dengan iman, dan janganlah Engkau menjadikan unek-unek/gelisah dalam hati kami dan bagi orang- orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jenazah perempuan

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهَا وَلَا تَفْتِنَا بَعْدَهَا وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيمٌ.

Arab-latin: Allahumma la tahrimna ajrohaa walaa taftinnaa ba’dahaa wagfirlanaa walahaa wa ikhwaaninaa-lladziina sabaquunaa bil iimaani wa laa taj’al fii quluubinaa ghillaa lilladziina aamanuu robbanaa innaka rouufurrahiim

Artinya: “Ya Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepada kami, dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia, dan bagi saudara-saudara kita yang mendahului kita dengan iman, dan janganlah Engkau menjadikan unek-unek/gelisah dalam hati kami dan bagi orang- orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

4 Kriteria Memilih Pasangan dalam Islam Menurut Hadits


Jakarta

Ada empat kriteria memilih pasangan dalam Islam. Rasulullah SAW menjelaskan empat hal tersebut dalam hadits kriteria memilih pasangan berikut ini.

Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu (edisi Indonesia terbitan Darul Fikir) menyebutkan sebuah hadits yang berisi sunnah ini. Rasulullah SAW bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ


Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut ijma kaum muslimin, menikah merupakan hal yang disyariatkan dalam Islam.

Kriteria dalam Memilih Pasangan

Ada beberapa kriteria yang disampaikan Rasulullah SAW dalam memilih pasangan. Kriteria tersebut termuat dalam hadits yang berasal dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعِ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرُ بِذَاتِ الدَيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: “Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR Bukhari)

Berikut penjelasan selengkapnya seperti dirangkum dari buku Pendidikan Agama Islam: Fiqh Munakahat dan Waris karya Muhiyi Shubhie.

1. Memilih Pasangan yang Baik Hartanya

Pertama, seorang laki-laki boleh memilih seorang wanita yang akan menjadi istrinya kelak dari banyaknya harta yang ia miliki. Tidak dapat dipungkiri, harta memang salah satu aspek yang penting dalam menunjang keberhasilan kehidupan rumah tangga.

Dijelaskan dalam kitab Fath Al-Bari, Ibnu Hajar menafsirkan kriteria ini sebagai pertimbangan kafa’ah (kesetaraan kondisi calon suami dan calon istri) dalam aspek finansial.

2. Memilih Pasangan yang Baik Keturunannya

Hadits kriteria memilih pasangan tersebut juga menyebutkan seorang laki-laki boleh memilih calon istri yang baik keturunan atau nasabnya. Misalnya memilih pasangan dari anak ulama, bangsawan, pejabat, maupun pengusaha.

Ibnu Hajar mengatakan bahwa laki-laki yang baik nasabnya hendaknya juga memilih seorang perempuan yang baik nasabnya pula. Seorang laki-laki bangsawan dianjurkan menikahi wanita bangsawan juga.

Namun apabila wanita bangsawan itu tidak baik agamanya, maka pilih wanita biasa yang baik agamanya, sebab agama yang baik harus didahulukan dari semua kriteria yang lain. Hal ini juga berlaku untuk wanita yang hendak memilih seorang laki-laki sebagai imam dalam rumah tangganya.

3. Memilih Pasangan yang Cantik Wajahnya

Seorang laki-laki yang hendak menikah boleh memilih calon pasangan dari segi kecantikan atau ketampanannya.

Ibnu Hajar berkomentar bahwa hadits ini menganjurkan seseorang untuk menikahi pasangan yang memiliki paras rupawan. Namun juga harus memiliki agama yang tak kalah rupawannya.

Apabila ada dua orang perempuan, perempuan pertama cantik, namun agamanya tidak baik dan perempuan kedua memiliki wajah yang biasa saja namun agamanya baik maka seorang laki-laki hendaknya memilih perempuan yang biasa saja wajahnya namun baik akhlak dan agamanya. Lagi-lagi paras pun bukan patokan utama, karena cantik atau tampan itu relatif.

4. Memilih Pasangan yang Baik Agamanya

Kriteria keempat inilah yang paling penting, yakni seorang laki-laki harus memilih pasangan hidup yang baik agamanya. Inilah kriteria mutlak yang harus ada pada calon pendamping hidup.

Hadits ini juga menganjurkan seseorang untuk memiliki relasi dan persahabatan dengan orang yang baik agamanya dalam segala hal. Siapa saja yang bersahabat dengan mereka, maka ia akan mendapatkan manfaat dari akhlak, keberkahan, dan kebaikan jalan hidup, serta aman dari mafsadah ketika berada di sisi mereka.

Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah yang meskipun kualitasnya dhaif (lemah), namun dapat dijadikan i’tibar selama bukan perkara aqidah maupun hukum (halal/haram), Rasulullah SAW bersabda,

لَا تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلَا تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينِ أَفْضَلُ

Artinya: “Janganlah kalian menikahi perempuan karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya itu merusak mereka. Janganlah menikahi mereka karena harta-harta mereka, bisa jadi harta-harta mereka itu membuat mereka sesat. Akan tetapi nikahilah mereka berdasarkan agamanya. Seorang budak perempuan berkulit hitam yang telinganya sobek tetapi memiliki agama adalah lebih utama.” (HR Ibnu Majah)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Doa Mandi Wajib setelah Berhubungan Badan, Lengkap dengan Tata Caranya


Jakarta

Doa mandi wajib setelah berhubungan badan wajib diamalkan oleh kaum muslimin ketika hendak bersuci dari hadats besar. Perintah mandi wajib tercantum dalam surah Al Maidah ayat 6,

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ … 6

Artinya: “…Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah…”


Setidaknya ada sejumlah hal yang jadi penyebab mandi wajib. Menukil dari buku Pendidikan Islam Informal susunan Romlah, perkara itu antara lain:

  • Sehabis melakukan hubungan badan
  • Apabila seorang muslim mengeluarkan air mani
  • Selesai haid atau nifas

Sebelum melakukan mandi wajib, kaum muslimin harus membaca niat atau doa. Hal ini termasuk ke dalam rukun mandi wajib.

Doa Mandi Wajib setelah Berhubungan Badan

Merujuk pada sumber yang sama, berikut doa mandi wajib setelah berhubungan badan.

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhol lillaahi ta’aala.

Artinya: “Aku berniat mandi besar untuk menghilangkan hadas besar fardhu karena Allah.”

Tata Cara Mandi Wajib setelah Berhubungan Badan

Mengutip dari buku Fiqh Ibadah karya Zaenal Abidin, berikut tata cara mandi wajib setelah berhubungan badan,

  • Membaca doa mandi wajib setelah berhubungan badan
  • Bersihkan kedua telapak tangan sebanyak tiga kali
  • Mulai membersihkan kotoran-kotoran yang tersembunyi dengan tangan kiri, seperti kemaluan, dubur, bawah ketiak, pusar, dan lain sebagainya
  • Mencuci tangan dengan cara menggosokkan ke sabun atau tanah
  • Berwudhu
  • Menyela pangkal rambut menggunakan jari-jari tangan yang telah dibasuh air hingga menyentuh kulit kepala
  • Membasuh seluruh tubuh dengan air yang dimulai dari sisi kanan lalu kiri
  • Memastikan seluruh lipatan kulit serta bagian yang tersembunyi ikut dibersihkan

Doa setelah Mandi Wajib

Selain niat, ada juga doa yang disunnahkan untuk dibaca selesai melaksanakan mandi wajib. Berikut bacaannya yang dikutip dari buku Praktik Mandi Janabah Rasulullah Menurut Empat Madzhab susunan Isnan Ansory.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

Arab latin: Asyhadu an laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa Rasuluhu, allahumma-jalni minattawwabina, waj-alni minal-mutathahirrina

Artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku pula termasuk orang-orang yang selalu mensucikan diri.”

Itulah doa mandi wajib setelah berhubungan badan dilengkapi tata cara dan bacaan setelah melakukannya. Semoga bermanfaat.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Apakah Mandi Junub Boleh Tidak Melepas Ikat Rambut?


Jakarta

Tata cara mandi junub pria dan wanita sedikit berbeda. Perbedaan ini terletak pada bagian rambut khususnya bagi wanita yang biasa mengikatnya.

Mandi junub adalah mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar (junub). Perintah untuk mandi junub termaktub dalam Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 6. Allah SWT berfirman,

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ


Artinya: “Dan jika kalian junub, maka mandilah.”

Ulama Syafi’iyah Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah-nya menjelaskan, mandi wajib tidak sempurna jika tidak memenuhi rukun-rukunnya. Adapun, rukun mandi wajib terdiri dari berniat dan membasuh seluruh anggota tubuh.

Ia menjelaskan lebih lanjut, “Hakikat mandi adalah membasuh seluruh anggota tubuh dengan menyiram air pada seluruh tubuh.”

Lantas, bagaimana dengan wanita yang memiliki rambut panjang dan biasa mengikatnya? Apakah harus melepaskan ikat rambut saat mandi junub?

Mandi Junub Boleh Tak Lepas Ikat Rambut

Menurut penjelasan dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, wanita tidak wajib melepas ikatan rambutnya saat mandi junub jika air bisa meresap sampai ke pangkal rambut. Hal ini bersandar pada hadits dari Ummu Salamah RA.

Diceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mengikat rambut saya, apakah harus dibuka jika mandi janabat?”

Beliau bersabda, “Cukup basuhlah air ke rambut sebanyak tiga kali, kemudian kamu membasuhkan air ke seluruh tubuhmu. Dengan begitu, kamu sudah suci.” (HR Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih)

Ubaid bin Umair RA turut meriwayatkan hadits yang menjelaskan hal ini. Ia menceritakan dari Aisyah bahwa Abdullah bin Umar menyuruh istri-istrinya untuk menanggalkan ikatan rambutnya apabila hendak mandi.

Aisyah berkata, “Aneh sekali Ibnu Umar! Ia menyuruh istri-istrinya supaya menanggalkan ikatan rambutnya apabila mereka hendak mandi. Mengapa ia tidak menyuruh mereka supaya mencukur rambutnya saja. Ketahuilah aku pernah mandi junub bersama Rasulullah SAW dari satu tempat dan aku hanya sekadar menuangkan air di atas kepalaku sebanyak tiga kali siraman.” (HR Ahmad dan Muslim)

Sunnah Mandi Junub

Ada beberapa sunnah mandi junub yang bisa dilakukan setiap muslim. Mengacu pada sumber sebelumnya, berikut di antaranya.

  • Membasuh kedua tangan sebanyak tiga kali.
  • Membasuh kemaluan.
  • Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk salat. Dianjurkan mengakhirkan kedua kakinya sampai selesai mandi jika mandinya menggunakan air di bak dan sejenisnya..
  • Menyiramkan air di atas kepala sebanyak tiga kali dengan menyela-nyela rambut agar air membasahi pangkal rambut (mengenai pori-pori kepala).
  • Menyiram air ke seluruh tubuh dengan mendahulukan bagian kanan lalu kiri. Dianjurkan untuk membersihkan kedua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, jari-jari kaki, dan menggosok anggota tubuh yang bisa dijangkau tangan.

Sunnah mandi junub tersebut mengacu pada hadits yang berasal dari Aisyah RA. Dia berkata,

“Apabila Rasulullah SAW hendak mandi junub, beliau selalu memulai dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian menuangkan air pada bagian kanan, kemudian dilanjutkan bagian kiri. Setelah itu, beliau membasuh kemaluannya. Kemudian dilanjutkan wudhu seperti halnya ketika wudhu untuk mengerjakan salat. Setelah itu, beliau mengambil ari dan menyiramkannya di atas kepala sambil memasukkan jari-jarinya untuk menyela-nyela pangkal rambut. Ketika beliau merasa air telah membasahi kulit kepala, beliau membilas rambutnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membaca Al-Qur’an saat Haid Menurut 4 Mazhab


Jakarta

Ada beberapa amalan yang tak bisa dilakukan wanita haid. Salah satunya membaca Al-Qur’an. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum membaca Al-Qur’an saat haid.

Membaca Al-Qur’an merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an.” (HR Baihaqi)

Mungkin sebagian muslimah yang sedang haid juga ingin membaca Al-Qur’an. Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang hukum membaca Al-Qur’an saat haid.


Hukum Membaca Al-Qur’an saat Haid

Dirangkum dari buku Taudhihul Adillah: Penjelasan Tentang Dalil-dalil Thaharah (Bersuci) karya M. Syafi’i Hadzami, terdapat perbedaan pendapat dari para ulama empat mazhab mengenai hukum membaca Al-Qur’an saat haid. Ada yang berpendapat haram, ada juga yang berpendapat boleh.

Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, hukum membaca Al-Qur’an saat haid adalah haram. Sedangkan menurut mazhab Maliki hukum membaca Al-Qur’an saat haid adalah boleh untuk pembacaan yang sedikit dan riwayat lainnya boleh membaca Al-Qur’an tanpa ada batasan.

Adapun, pendapat masyhur dari mazhab Syafi’i menegaskan hukum membaca Al-Qur’an saat haid dan junub adalah haram, baik membaca sedikit ataupun banyak.

Mazhab yang mengharamkan membaca Al-Qur’an saat haid berhujjah dengan hadits yang berasal ari Ibnu ‘Umar RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Janganlah orang yang junub dan jangan pula orang haid membaca sesuatu daripada Al-Qur’an.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Mereka juga berhujjah dengan hadits Jabir RA, dari Nabi SAW yang bersabda, “Janganlah orang yang haid dan orang yang nifas membaca sesuatu daripada Al-Qur’an.” (HR Daruquthni)

Hal-hal yang Haram Dilakukan saat Haid

Dirangkum dari buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi, muslimah yang sedang haid diharamkan untuk melakukan beberapa aktivitas keagamaan, di antaranya:

1. Salat

Muslimah yang sedang haid haram melakukan salat, baik wajib, sunnah, maupun mengqadhanya. Rasulullah SAW bersabda, “Darah haid itu berwarna hitam dan dikenali. Apabila yang keluar seperti itu, janganlah salat. Apabila sudah selesai, maka berwudhulah dan lakukan salat.” (HR Abu Daud dan an-Nasa’i)

2. Puasa

Haram hukumnya berpuasa ketika haid. Namun, puasa yang ditinggalkan saat haid wajib diganti pada hari yang lain. Puasa yang wajib diganti ini adalah puasa Ramadan.

Aisyah RA berkata, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

3. Tawaf

Haram hukumnya melakukan tawaf saat haid. Selain tawaf, semua praktik ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab, syarat tawaf adalah suci dari hadats besar.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Dari Aisyah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila kamu sedang haid, lakukan semua praktik ibadah haji, kecuali thawaf di sekeliling Ka’bah hingga kamu suci.” (Muttafaq ‘alaih)

4. Menyentuh dan Membawa Al-Qur’an

Sebagian besar ulama menyepakati bahwa muslimah yang sedang haid tidak boleh menyentuh dan membawa Al-Qur’an. Hal ini juga dinyatakan oleh empat mazhab.

Dasarnya termaktub dalam surah Al-Waqiah ayat 79,

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۗ ٧٩

Artinya: “Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali para hamba (Allah) yang disucikan.”

5. Masuk Masjid

Sebagian ulama bermazhab Maliki dan Hanafi melarang secara mutlak muslimah haid masuk ke masjid, sedangkan para ulama bermazhab Syafi’i dan Hambali membolehkan muslimah masuk ke masjid dengan syarat. Menurut mereka, muslimah haid dilarang berdiam di masjid, kecuali hanya lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalam masjid saja.

6. Bersenggama

Muslimah yang sedang haid dilarang untuk bersenggama dengan suaminya sampai masa haidnya selesai. Hal ini berdasar pada firman Allah SWT yang termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Niat Mandi Wajib setelah Haid dan Tata Cara Lengkapnya


Jakarta

Mandi wajib setelah haid adalah kewajiban bagi setiap muslimah untuk menyucikan diri dari hadats besar. Proses ini memungkinkan wanita kembali melaksanakan ibadah seperti salat dan puasa dengan sah sesuai tuntunan agama.

Dalam Islam, haid merupakan kondisi yang menghalangi wanita menjalankan beberapa ibadah. Oleh karena itu, memahami tata cara dan niat mandi wajib setelah haid sangat penting agar kebersihan dan kesucian diri terjaga.

Dalil Mandi Wajib setelah Haid

Dalil mengenai haid sebagai hadas besar dijelaskan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 222,


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Niat Mandi Wajib setelah Haid

Saat akan melakukan mandi wajib, setiap muslimah perlu membaca niat mandi wajib setelah haid dengan ikhlas hanya karena Allah SWT. Dikutip dari buku Fiqh Ibadah oleh Zaenal Abidin, berikut adalah niat mandi wajib haid:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ ِللهِ تَعَالَى

Nawaitul ghusla liraf’i hadatsil haidil lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk menyucikan hadats besar dari haid karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Mandi Wajib Sesudah Haid

Untuk menghilangkan hadats besar akibat haid, muslimah wajib mengetahui tata cara mandi besar yang benar sesuai tuntunan syariat Islam. Mengacu sumber sebelumnya, berikut ini adalah urutan tata cara mandi wajib setelah haid:

  1. Mengawali mandi wajib dengan membaca niat untuk menyucikan diri setelah haid.
  2. Membersihkan kedua telapak tangan sebanyak tiga kali untuk memastikan kebersihan awal.
  3. Membersihkan bagian tubuh yang tersembunyi, seperti kemaluan, dubur, bawah ketiak, pusar, dan lainnya, menggunakan tangan kiri.
  4. Mencuci tangan dengan sabun atau media pembersih lainnya untuk menghilangkan kotoran.
  5. Melakukan wudhu sebagaimana tata cara wudhu untuk salat.
  6. Menyela pangkal rambut dengan jari-jari tangan yang telah dibasahi air hingga air mencapai kulit kepala.
  7. Membilas seluruh tubuh dengan air, dimulai dari sisi kanan kemudian dilanjutkan ke sisi kiri.
  8. Memastikan seluruh bagian tubuh, termasuk lipatan kulit dan bagian tersembunyi, terkena air secara merata.

Doa setelah Mandi Wajib

Setelah melaksanakan mandi wajib, dianjurkan untuk membaca doa sebagai bentuk penyempurnaan ibadah dan memohon keberkahan kepada Allah SWT.

Berikut ini adalah bacaan doa yang diambil dari buku Praktik Mandi Janabah Rasulullah Menurut Empat Mazhab karya Isnan Ansory.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

Asyhadu anlaa ilaha illallahu wahdahulaa syarika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu, allahummajalni minattawwabina, waj-alni minal-mutathahirrina

Artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku pula termasuk orang-orang yang selalu menyucikan diri.”

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com