Tag Archives: fikih

Orang yang Boleh Memandikan Jenazah Perempuan


Jakarta

Tata cara mengurus jenazah perempuan berbeda dengan laki-laki terutama saat memandikannya. Tidak semua orang boleh memandikan jenazah perempuan.

Memandikan jenazah termasuk kewajiban muslim atas muslim lainnya yang meninggal dunia. Disebutkan dalam buku Hukum Merawat Jenazah karya Muhammad Hanif Muslih, dalil kewajiban memandikan jenazah bersandar pada hadits dari Ummi Athiyah RA, ia berkata,

“Rasulullah SAW masuk ke (ruang) kami saat putrinya meninggal, beliau bersabda, ‘Mandikanlah ia 3 (tiga), 5 (lima) kali atau lebih dari itu, jika kalian melihatnya itu perlu, dengan air dan daun bidara (sidr), jadikanlah yang terakhir dengan kapur atau sesuatu dari kapur, jika kalian selesai memandikan beritahu aku.’ Ketika kami sudah selesai, kami pun memberitahu beliau, kemudian beliau memberikan kepada kami selendang (sorban besar)nya sambil bersabda, ‘Selimutilah ia dengan selendang itu.'” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya)


Dalam hadits Abdullah Ibnu Abbas RA juga dikatakan,

“Seorang lelaki berihram (haji) dijatuhkan untanya dan meninggal karena patah tulang lehernya, dan kami bersama Nabi SAW, kemudian Nabi bersabda, ‘Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara (sidr) dan kafankanlah dengan dua kain (ihram).'” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, dan lainnya)

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah, sebagaimana bersandar pada hadits di atas.

Orang yang memandikan dengan jenazah yang dimandikan itu wajib sejenis, sebagaimana dikatakan Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah. Apabila yang meninggal itu laki-laki maka yang boleh memandikannya adalah laki-laki, dan kalau yang dimandikan itu perempuan maka yang boleh memandikannya adalah perempuan juga.

Para ulama fikih juga telah membahas siapa perempuan yang boleh memandikan jenazah perempuan. Termasuk, jika tidak ada perempuan lain kecuali jenazah itu sendiri.

Orang yang Boleh Memandikan Jenazah Perempuan

Orang yang boleh memandikan jenazah perempuan adalah ibunya, neneknya, keluarga terdekat dari pihak wanita serta suaminya, sebagaimana dikatakan dalam buku Keutamaan Menjenguk Orang Sakit dan Tata Cara Mengurus Jenazah karya Tgk. Husnan M Thaib.

Kebolehan suami memandikan jenazah istrinya ini berdasarkan pendapat mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Begitu juga sebaliknya, istri boleh memandikan suaminya. Sementara itu, mazhab Hanafi berpendapat bahwa suami tidak boleh memandikan istrinya karena ia (istrinya) lepas dari perlindungannya setelah ia meninggal.

Semua ulama mazhab sepakat, jika seorang suami menceraikan istrinya (talak ba’in) dan istrinya itu meninggal, maka ia tidak boleh memandikan jenazah mantan istrinya. Begitu juga sebaliknya.

Adakalanya jenazah perempuan tidak dimandikan melainkan hanya ditayamumkan. Ulama Syafi’iyyah Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah-nya mengatakan, tayamum bagi jenazah dilakukan bagi perempuan yang meninggal di antara kaum laki-laki selain suaminya. Begitu halnya dengan laki-laki yang meninggal di antara kaum perempuan selain istrinya.

Hal tersebut bersandar pada hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا مَاتَتِ الْمَرْأَةُ مَعَ الرِّجَالِ لَيْسَ مَعَهُمْ امْرَأَةٌ غَيْرُهَا وَالرَّجُلُ مَعَ النِّسَاءِ لَيْسَ مَعَهُنَّ رَجُلٌ غَيْرُهُ فَإِنَّهُمَا يُيَمَّمَانِ وَيُدْفَنَانِ وَهُمَا بِمَنْزَلَةِ مَنْ لَمْ يَجدِ الْمَاءَ

Artinya: “Apabila seorang perempuan meninggal di antara kaum laki-laki, sedangkan di sana tidak ada perempuan lain selain perempuan ini; atau laki-laki meninggal dunia di antara kaum perempuan, sedangkan di sana tidak ada laki-laki lain selain laki-laki ini, maka keduanya ditayamumkan dan dikubur. Keduanya disamakan dengan orang yang tidak mendapatkan air.”

Orang yang menayamumkan jenazah perempuan ini adalah laki-laki mahramnya, jika tidak ada laki-laki mahramnya, maka ia ditayamumkan oleh laki-laki lain. Namun, laki-laki lain ini tidak boleh menyentuh tubuhnya secara langsung, tapi harus mengenakan kain yang dibalutkan ke tangannya. Demikian penjelasan Sayyid Sabiq.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membaca Al-Qur’an di HP saat Haid



Jakarta

Hukum membaca Al-Qur’an di HP saat haid barangkali masih menjadi pertanyaan para muslimah. Mengingat, ada pendapat yang menyebut wanita haid diharamkan menyentuh Al-Qur’an.

Diharamkannya wanita haid menyentuh Al-Qur’an ini dikatakan Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah. Ia mengatakan, semua yang diharamkan pada orang junub juga diharamkan bagi wanita haid.

Ulama Syafi’iyyah, Sayyid Sabiq, dalam kitab Fiqh Sunnah-nya turut menyebut bahwa dilarang membaca Al-Qur’an meskipun sedikit. Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq menjelaskan, mungkin yang dimaksud Sayyid Sabiq tersebut adalah membaca Al-Qur’an sambil memegang mushaf Al-Qur’an.


Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi menjelaskan, orang-orang yang hafal Al-Qur’an tidak diharamkan membaca hafalannya (tanpa menyentuh mushaf), seperti halnya wanita-wanita penghafal Al-Qur’an yang mengalami haid. Mereka bisa membaca hafalannya tanpa harus memegang mushaf Al-Qur’an.

Sayyid Sabiq turut menyebutkan pendapat dari Al-Bukhari, Ath-Thabrani, Abu Dawud, dan Ibnu Hazm yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Al-Bukhari mengatakan dari Ibrahim, “Tidak apa-apa bagi orang yang haid membaca ayat Al-Qur’an.'”

Ibnu Hajar mengomentari pendapat ini, “Menurut Bukhari, tidak ada satu pun hadits shahih yang membahas masalah ini, yakni larangan membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haid.”

Ia melanjutkan, meskipun semua hadits yang menerangkan masalah ini dijadikan dalil oleh sebagian orang, tapi pada dasarnya, kata Ibnu Hajar, mayoritas dari hadits tersebut masih mengandung berbagai penafsiran.

Boleh Membaca Al-Qur’an di HP saat Haid

Wanita haid juga boleh membaca Al-Qur’an di HP, seperti dikatakan Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam kitab Fiqh An-Nawazil fil ‘Ibadah seperti dikutip Ninih Muthmainnah dalam buku Selalu Ada Jalan: 6 Solusi Hidup Orang Beriman.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih berpendapat bahwa HP yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa soft file, tidak dihukumi seperti mushaf Al-Qur’an yang mensyaratkan harus suci saat menyentuhnya. Oleh karenanya, wanita haid tetap bisa membaca Al-Qur’an lewat HP.

“Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Namun, agar lebih aman, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir HP-nya saja,” jelasnya.

Dalam buku Fiqih Muslimah Praktis karya Hafidz Muftisany turut disebutkan kebolehan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf dengan bersandar pada hadits tentang haji dan umrah. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda,

“Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dikatakan, ketika Rasulullah SAW menyebutkan hadits ini kepada Aisyah RA, beliau SAW menyadari bahwa pelaksanaan haji akan banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, perkara yang dilarang hanya thawaf dan salat.

Di sisi lain, ada ulama yang menghukumi Al-Qur’an digital sama seperti mushaf Al-Qur’an. Menurut pendapat ini, hukum membaca Al-Qur’an di HP saat haid tetap haram. Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Buya Yahya. Menurutnya, keharaman ini berlaku jika sengaja membuka Al-Qur’an di HP.

“Ada dua pembahasan tentang wanita. Bagi wanita yang dalam keadaan haid mutlak ia tidak boleh menyentuh mushaf. Mushaf adalah Al-Qur’annya ada lembarannya dan juga termasuk dihukumi mushaf adalah HP yang disengaja oleh yang megang HP untuk mengeluarkan program yang itu ada Al-Qur’an dan itu terlihat bacaannya, itu seperti orang membuka lembarannya,” kata Buya Yahya dalam salah satu ceramahnya yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Apakah Boleh Wudhu Tanpa Melepas Jilbab? Ini Hukumnya



Jakarta

Mengusap sebagian kepala termasuk rukun wudhu yang tidak boleh ditinggalkan. Bagi muslimah yang khawatir auratnya terbuka, apakah boleh wudhu tanpa melepas jilbab?

Bagi seorang wanita yang menggunakan jilbab dan khawatir apabila auratnya terlihat terdapat aturan tersendiri sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Syukur Al-Azizi dalam Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita.

Dikatakan, mengusap kepala ini boleh sebagian maupun keseluruhan yang dimulai dari bagian depan kepala, lalu diusapkan ke belakang dengan kedua tangan, kemudian mengembalikannya ke depan kepala.


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW mencontohkan tentang cara mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangan yang telah dibasahkan air.

Lalu beliau mengarahkan kedua telapak tangannya mulai dari bagian depan kepala ke belakang tengkuknya, kemudian mengembalikan lagi ke depan kepala beliau.

Setelah itu, tanpa mengambil air baru lagi, Rasulullah SAW mengusap daun telinga beliau, dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap kedua daun telinga.

Lantas, bagaimana bagi wanita yang menggunakan jilbab, jika ia khawatir auratnya terlihat ketika berwudhu di tempat umum?

Mengenai kondisi tersebut, Abdul Syukur Al-Azizi menjelaskan bahwa hal tersebut diperbolehkan bagi seorang wanita untuk berwudhu tanpa melepas jilbab. Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat.

Pertama, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah satu istri Rasulullah SAW yaitu Ummu Salamah RA pernah berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya dan ia mengusap kerudungnya. (HR Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibnu Taimiyyah, dalam Majmu’ah al-Fatawa)

Dalam riwayat lain, Bilal RA mengatakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW mengusap kedua khuf (sepatu) dan surbannya. (HR Muslim)

Abdul Syukur Al-Azizi menyimpulkan, diperbolehkan berwudhu tanpa harus melepas jilbab jika hal itu menyulitkan, misalnya karena udara yang amat dingin, dan kerudung sulit untuk dilepas dan sulit untuk dipakai kembali, atau bahkan sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membuka jilbab karena dikhawatirkan akan terlihat auratnya oleh orang lain.

Akan tetapi, apabila masih memungkinkan untuk membuka jilbab, maka lebih utama adalah membukanya sehingga dapat mengusap kepalanya secara langsung.

Abdul Syukur Al-Azizi menyebutkan terdapat dua cara menurut pendapat yang kuat mengenai aturan mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala saat wudhu, yaitu:

1. Mengusap jilbab yang sedang dipakai (boleh diusap seluruhnya atau sebagian besarnya)

2. Mengusap depan kepala (ubun-ubun) kemudian mengusap jilbab

Hal ini diriwayatkan pula dalam sebuah hadits, Anas bin Malik RA berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW berwudhu, sedang beliau memakai serban dari Qatar. Maka beliau menyelipkan tangannya dari bawah serban untuk menyapu kepala bagian depan, tanpa melepas serban itu.” (HR Abu Dawud)

Hal yang Membatalkan Wudhu

Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam buku Fikih Wanita Empat Madzhab menjelaskan mengenai apa saja yang menyebabkan batalnya wudhu. Di antaranya:

1. Hilangnya waktu salat fardhu khusus bagi wanita yang sedang dalam keadaan uzur.

2. Keluarnya sesuatu dari dubur atau qubul. Misalnya air kencing, madzi, kentut, dan tinja.

Didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW,

لا يقبل الله مدة أحَدِكُمْ إِذَا أَخَذَتْ حَتى لتوضا

Artinya: “Allah tidak akan menerima salat seseorang dari kalian yang telah berhadas hingga ia berwudhu terlebih dahulu.” (HR Bukhari-Muslim)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Haid dalam Islam Berapa Hari? Ini Pendapat Empat Mazhab


Jakarta

Dalam Islam, darah yang keluar dari rahim wanita memiliki tiga jenis, yaitu haid, nifas, dan istihadah. Setiap jenis darah tersebut memiliki hukum dan waktu yang berbeda.

Haid atau menstruasi biasanya terjadi setiap bulan pada wanita, dan terjadi selama beberapa hari. Setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda.

Lalu, haid dalam Islam berapa hari? Apa saja larangan ketika haid? Begini jawabannya menurut para ulama.


Pengertian Haid

Dikutip dari kitab Fiqhun Nisa’ fi Dhau’il Madzahibil Arba’ah wal Ijtihad al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah karya Muhammad Utsman al-Khasyat, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang telah baligh (dewasa) selama beberapa hari tertentu, bukan karena faktor melahirkan dan bukan pula karena faktor penyakit, warnanya merah kehitaman, jika disentuh terasa hangat seolah terbakar, dan aromanya tidak sedap.

Al-Qur’an juga telah memberikan penjelasan mengenai haid. Penjelasan mengenai haid tersebut termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Haid memiliki beberapa sebutan, seperti yang termaktub dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Sebutan haid tersebut di antaranya,

Surah Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang mahidh (haid) …”

Surah Al-Baqarah ayat 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ …”

Lamanya Haid dalam Islam

Mengutip dari sumber yang sama, setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti karena siklus yang tidak teratur, faktor keturunan, lingkungan, dan kondisi tubuhnya. Bisa juga terjadi karena perbedaan cuaca serta gaya hidup.

Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang lamanya haid dalam Islam. Hal tersebut dikarenakan Allah SWT tidak menetapkan lamanya masa haid yang dialami oleh setiap wanita.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, haid dalam Islam terjadi minimal sehari-semalam. Kebanyakan haid terjadi dalam enam atau tujuh hari, dan maksimal 15 hari.

Menurut Mazhab Hanafi, haid dalam Islam terjadi tiga hari tiga malam. Pertengahan haid terjadi selama lima hari dan maksimalnya sepuluh hari.

Sedangkan menurut Mazhab maliki, haid dalam Islam tidak memiliki batasan minimal hari dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Sebab, menurut mereka hitungan minimalnya adalah sekali pancaran atau sekal tetesan dalam waktu yang relatif sebentar.

Hal yang Dilarang ketika Haid

Ketika haid berlangsung, setiap wanita mestinya memahami serta menghindari larangan-larangan ketika haid. Beberapa larangan tersebut seperti yang tertera dalam buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi yaitu,

Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang haid maka tinggalkanlah salat, dan jika haidnya telah berhenti maka mandilah, lalu kerjakanlah salat.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah apabila wanita sedang haid, ia tidak boleh salat dan puasa?”

Aisyah RA berkata, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu sedang haid, lakukan semua praktik ibadah haji, kecuali tawaf di sekeliling Ka’bah hingga kamu suci.”

Aisyah RA berkata, “Jika salah satu di antara kami (istri-istri Nabi SAW) sedang haid, dan Rasulullah SAW akan tidur bersama, maka kami disuruh memakai kain, kemudian tidur bersama di luar kain.” Beliau melanjutkan, “Tetapi siapakah di antara kamu yang kuat menahan nafsunya sebagaimana Nabi SAW mampu menahan nafsunya.” (HR Bukhari)

  • Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an
  • Masuk ke dalam masjid (mazhab Syafi’i memperbolehkan berjalan di masjid selama tidak ada darah haid yang mengotori masjid, namun tidak boleh berdiam diri di dalamnya)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Keramas saat Haid Menurut Islam



Jakarta

Keramas saat haid menjadi pertanyaan yang masih kerap muncul di kalangan muslimah. Adakah larangannya menurut syariat dan bagaimana hukumnya dalam Islam?

Syaikh Abdurrahman al-Juzairi dalam Kitab Fikih Empat Madzhab Jilid 1 memaparkan, makna haid secara etimologis artinya sesuatu yang mengalir.

Menurut Mazhab Syafi’i haid merupakan darah yang keluar dari qubul (ujung rahim) seorang wanita yang terbebas dari penyakit pendarahan ketika usianya sudah mencapai sembilan tahun atau lebih dan bukan karena sehabis melahirkan.


Dijelaskan pula bahwa jangka waktu masa haid paling lama adalah lima belas hari yakni (15 x 24 jam). Oleh karena itu, jika ada darah yang keluar setelah waktu maksimal maka darah yang keluar tidak dianggap sebagai darah haid.

Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah menjelaskan bahwasanya bagi wanita haid diharamkan semua yang diharamkan pada orang junub, yaitu baik menyentuh Al-Qur’an maupun berdiam di dalam masjid.

Perempuan yang sedang haid juga diharamkan untuk berpuasa dan salat. Saat puasa Ramadan ia wajib menggantinya (mengqadha) hari-hari puasa Ramadan yang ditinggalkannya.

Semua ulama mazhab sepakat bahwa mandi dan wudhunya seorang wanita yang haid tidak cukup, karena wudhunya wanita haid dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadas. Para ulama mazhab juga sepakat haram hukumnya menyetubuhi wanita pada hari-hari haid.

Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tapi kalau terjadi, maka sah talaknya dan menurut keempat mazhab orang yang mentalaknya itu berdosa.

Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqhu al-Madzahib al-Arba’ah al-Juz’ al-Awwal, Kitab ash-Shalah menjelaskan menurut mazhab Syafi’i, wanita haid makruh lewat di depan masjid walaupun untuk suatu keperluan dengan syarat dapat menjamin amannya masjid dari kotoran.

Sementara itu, di antara hal yang diperbolehkan bagi wanita haid salah satunya adalah mandi keramas. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Nihayatuz Zain yang turut dinukil M. Syukron Maksum dalam buku Batalkah Salat Jika Melihat Sarung Imam Bolong.

Begitu halnya dengan nifas. Dikatakan, orang yang sedang haid atau nifas tidak dilarang mandi keramas untuk membersihkan rambutnya. Dalam hal ini, hukum mandi keramas bagi wanita haid atau nifas adalah boleh.

Menurut kitab tersebut, yang tidak diperbolehkan bagi wanita haid saat mandi adalah mandi dengan niat menghilangkan hadas haid dan nifasnya, padahal haid atau nifasnya belum selesai, sebab ia berarti telah bermain-main dalam ibadah (tala’ub).

Dijelaskan lebih lanjut, apabila ada rumor yang tidak memperbolehkan keramas bagi wanita haid atau nifas itu muncul karena khawatir ada rambut yang lepas pada saat rambut tersebut dalam status hadas dan tidak ikut disucikan ketika haid atau nifas telah selesai, itu tidak benar.

Sebab, menghilangkan rambut dan kuku pada saat hadis atau nifas tidak sampai dilarang. Ulama hanya menganjurkan bagi orang yang sedang junub agar tidak menghilangkan bagian dari tubuhnya dengan sengaja sebelum mandi junub dilakukan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com