Tag Archives: gaza utara

Kisah Perjuangan Warga Gaza Bertahan Hidup Melawan Kelaparan dan Keputusasaan


Jakarta

Setiap pagi di tenda pengungsian yang berlokasi di tepi laut Gaza, Abeer dan Fadi Sobh membuka mata dengan satu pertanyaan yang selalu menghantui: Bagaimana caranya memberi makan keenam anak mereka hari ini?

Pilihan mereka terbatas. Jika dapur umum buka, mungkin mereka bisa membawa pulang sepanci lentil encer. Jika tidak, mereka harus bersaing dengan ratusan orang lain untuk sekarung tepung dari truk bantuan. Dan jika semua gagal, hanya satu jalan tersisa: mengemis.

“Kadang kami tidak makan sama sekali,” ujar Abeer, 29 tahun dalam Aljazeera (2/8/2025) . “Kelaparan bukan lagi ancaman-ia sudah menjadi keseharian.”


Hidup dari Hari ke Hari di Tengah Perang

Masih dalam sumber yang sama, Keluarga Sobh telah berpindah-pindah tempat berkali-kali sejak perang berkecamuk. Kini, mereka tinggal di tenda seadanya di kamp pengungsian di Gaza Barat. Seperti ribuan keluarga lainnya, mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman.

Konflik yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini telah membuat akses bantuan kemanusiaan nyaris mustahil. Blokade total selama dua setengah bulan oleh Israel-yang bertujuan menekan Hamas untuk membebaskan sandera sejak serangan 7 Oktober 2023-memicu krisis pangan terburuk yang pernah terjadi di Gaza. Meskipun bantuan mulai masuk lagi sejak Mei, jumlahnya jauh dari cukup.

“Ini bukan lagi peringatan. Ini adalah kelaparan yang sedang terjadi,” ujar para ahli pangan.

Mandi Air Laut dan Tak Bisa Makan

Saat matahari belum tinggi, Abeer menyiapkan anak-anak untuk ‘mandi’ dengan air laut yang dia ambil sendiri. Mereka berdiri di baskom logam, sementara air asin dituang ke kepala mereka. Bayi mereka, Hala yang baru berusia sembilan bulan, menangis kesakitan karena perih di matanya.

Tanpa makanan sisa dari hari sebelumnya, Abeer keluar untuk meminta-minta. Kadang tetangga memberinya sedikit lentil, kadang tidak ada yang bisa diberikan. Jika beruntung, ia mencampur lentil dengan air untuk diberikan pada Hala.

“Satu hari terasa seperti seratus hari,” katanya. “Karena panas, kelaparan, dan tekanan yang tidak berhenti.”

Mencari Makanan di Dapur Umum dan Titik Bantuan

Sementara Abeer mencoba mencari sarapan, Fadi menuju dapur umum terdekat-yang hanya buka sekali seminggu. Kebanyakan, ia pulang dengan tangan kosong.

Dulu, Fadi masih sanggup ikut berdesakan di Gaza utara, tempat truk bantuan kadang muncul. Tapi sejak ia tertembak di kaki saat mencoba mengambil makanan, ia tak bisa lagi bersaing. Kini, hanya dapur umum yang tersisa sebagai harapan.

Sementara itu, Abeer dan ketiga anak sulung mereka-Youssef (10), Mohammed (9), dan Malak (7) berjalan jauh untuk mengisi jeriken air dari truk bantuan. Jeriken yang berat membuat anak-anak harus menyeretnya di jalanan berdebu. Tapi itu satu-satunya cara agar keluarga mereka bisa memiliki air bersih untuk hari itu.

Mengemis dan Memohon di Antara Kerumunan

Terkadang, Abeer pergi sendiri ke titik distribusi bantuan. Dikelilingi para pria yang lebih kuat dan cepat, dia hampir selalu kalah. “Tapi saya tetap mencoba,” katanya.

Kalau gagal, ia meminta belas kasih dari mereka yang berhasil mendapatkan makanan. “Kalian selamat hari ini karena Tuhan, tolong beri saya sedikit saja,” ucapnya. Ada yang mengabaikannya, tapi banyak pula yang membagi sedikit tepung atau makanan.

Abeer dan putranya kini dikenal di antara para penerima bantuan. Salah satu dari mereka, Youssef Abu Saleh, sering melihat Abeer berjuang. “Kami semua lapar,” katanya, “tapi mereka lebih butuh.”

Bertahan di Tengah Puing dan Sampah

Saat panas mereda, anak-anak keluar menjelajah reruntuhan kota. Mereka mencari apa saja yang bisa dibakar-potongan kayu, kertas, plastik, bahkan sepatu tua untuk menyalakan kompor darurat keluarga. Satu hari, mereka menemukan panci di tempat sampah yang kini jadi harta berharga mereka.

“Kami nyaris tak punya barang apa-apa lagi,” kata Abeer. “Tapi saya harus bisa bertahan, untuk anak-anak.”

Setelah seharian mencari makan, air, dan bahan bakar, jika semua tersedia, Abeer bisa memasak. Biasanya hanya sup lentil encer, tapi itu sudah cukup untuk membuat anak-anak tertidur tanpa kelaparan yang menyiksa.

Namun, lebih sering dari itu, mereka tidur tanpa makan.

“Saya makin lemah,” katanya pelan. “Sering pusing saat berjalan mencari air atau makanan. Saya tidak tahu berapa lama lagi saya bisa seperti ini.”

Di ujung ceritanya, Abeer tak bisa menahan air mata. “Kalau perang ini terus begini… saya mulai berpikir lebih baik saya mati saja. Saya sudah kehabisan kekuatan.”

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Innalillahi! Ini Nama-nama Jurnalis yang Tewas di Gaza Akibat Serangan Israel


Jakarta

Serangan Israel di Gaza tidak hanya menimbulkan banyak korban jiwa di kalangan warga sipil, tetapi juga menewaskan ratusan jurnalis yang bertugas di lapangan.

Salah satu serangan paling tragis terjadi pada Minggu (10/8/2025) malam di depan Rumah Sakit al-Shifa, Kota Gaza. Sebuah drone milik Israel menargetkan tenda media yang digunakan para jurnalis untuk berlindung dan bekerja.

Menurut laporan Al Jazeera, serangan tersebut menewaskan tujuh orang, lima di antaranya adalah jurnalis/staf Al Jazeera, yaitu:


  • Anas al-Sharif (28), jurnalis Al Jazeera
  • Mohammed Qreiqeh (33), koresponden Al Jazeera
  • Ibrahim Zaher (25), juru kamera
  • Mohammed Noufal (29), juru kamera
  • Moamen Aliwa (23), juru kamera

Selain itu, reporter lepas Mohammed Al-Khaldi juga dilaporkan tewas.

Rekan mereka, Hani al-Shaer, yang selamat, menyatakan bahwa tenda tersebut jelas bertanda media, sehingga serangan ini diduga sengaja dilakukan.

Beberapa Jurnalis Al Jazeera yang Sebelumnya Tewas

Serangan terhadap jurnalis Al Jazeera bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, beberapa jurnalis Al Jazeera juga tewas dalam serangan Israel, antara lain:

  • Samer Abudaqa, juru kamera yang meninggal pada 14 Desember 2023 saat meliput di Khan Younis.
  • Hamza Dahdouh, putra kepala biro Al Jazeera di Gaza, yang tewas dalam serangan rudal pada 7 Januari 2024.
  • Ahmed al-Louh, yang terbunuh pada 15 Desember 2023 di kamp Nuseirat.
  • Ismail al-Ghoul dan juru kameranya, Rami al-Rifi, yang tewas pada 31 Juli 2024 di kamp pengungsi Shati.
  • Hossam Shabat (23), meninggal pada 24 Maret 2024 di Beit Lahiya, Gaza utara.

Jumlah Jurnalis Tewas di Gaza Tinggi

Menurut data dari Costs of War Project Universitas Brown, jumlah jurnalis yang tewas di Gaza sejak Oktober 2023 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jurnalis yang gugur dalam Perang Dunia I dan II, Perang Korea, Perang Vietnam, konflik di bekas Yugoslavia, dan perang di Afghanistan setelah 9/11 jika digabungkan.

Laporan dari Reporters Without Borders (RSF) menyebut 2024 sebagai tahun paling mematikan bagi jurnalis. Lebih dari 120 jurnalis tewas secara global, dengan lebih dari 50 di antaranya akibat serangan Israel di Gaza dalam delapan bulan terakhir.

Statistik Korban Jurnalis di Gaza

Menurut situs Shireen.ps, yang dinamai dari jurnalis Al Jazeera Shireen Abu Akleh, hampir 270 jurnalis dan pekerja media tewas dalam 22 bulan terakhir akibat serangan Israel di Gaza. Artinya, rata-rata 13 jurnalis tewas setiap bulan.

Sementara menurut kantor media Gaza yang dikelola Hamas, seperti dilansir Reuters, total jurnalis yang tewas sejak serangan 7 Oktober 2023 ada 238 orang. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mencatat setidaknya 186 jurnalis tewas akibat konflik Gaza.

CPJ mengatakan pembunuhan dan penahanan jurnalis telah menyebabkan kekosongan informasi yang dapat membuat pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang sulit didokumentasikan.

Pada Juni 2024 lalu, organisasi media dunia seperti RSF dan CPJ bersama sejumlah media lainnya mengeluarkan surat terbuka yang menyatakan bahwa jurnalis Palestina menghadapi ancaman serius hanya karena menjalankan tugas mereka.

Amnesty International juga menyatakan bahwa Israel tidak hanya membunuh jurnalis tetapi juga menyerang dunia jurnalisme dengan mencegah pendokumentasian kejahatan perang.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Muhammadiyah Sebut Aksi Israel Pindahkan Warga Gaza Awal ‘Israel Raya’


Jakarta

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mengecam keras rencana Israel yang ingin memindahkan paksa warga dari Gaza utara ke selatan. Menurutnya, langkah ini adalah bagian dari “rencana jahat” Israel untuk mencaplok wilayah Gaza sepenuhnya.

Anwar Abbas menyebut pemindahan paksa ini adalah langkah awal dari impian Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mendirikan Negara Israel Raya.

“Jangankan akan memindahkan warga Gaza utara ke selatan, Netanyahu dan Donald Trump malah ingin mengevakuasi seluruh rakyat Gaza ke luar negeri, termasuk ke Indonesia,” ujar Anwar Abbas dalam keterangannya, Senin (18/8/2025), dikutip detikNews.


“Mereka mengatakan hal itu karena mereka katanya akan membangun kembali Gaza yang porak poranda. Padahal sejatinya mereka ingin mencaplok Gaza dan menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari negara Israel,” imbuhnya.

Anwar Abbas menjelaskan, impian Negara Israel Raya mencakup seluruh wilayah Palestina, Suriah, Lebanon, Yordania, sebagian Mesir, Arab Saudi, dan Irak. Oleh karena itu, langkah pemindahan warga Gaza utara ke selatan adalah bagian dari strategi zionis untuk menguasai Gaza secara bertahap.

“Jadi usaha pihak Israel memaksa warga Gaza utara untuk pindah ke selatan itu merupakan bagian dari strategi mereka untuk menduduki dan menguasai Gaza secara bertahap dalam konteks mendirikan Israel Raya yang sudah menjadi cita-cita dari zionis Israel,” tegasnya.

PBB Diharapkan Turun Tangan

Anwar Abbas mendesak agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan para pemimpin dunia tidak tinggal diam. Ia berharap PBB bisa mencegah rencana jahat Israel yang berdalih demi keamanan warga.

“Untuk itu kita berharap agar dunia termasuk PBB jangan berdiam diri dan harus bisa mencegah tindakan Israel tersebut karena tindakan ini jelas-jelas merupakan bagian dari niat jahat Israel untuk mencaplok wilayah Gaza yang sangat strategis tersebut secara bertahap,” pungkas Wakil Ketua Umum MUI itu.

Seperti diketahui, rencana Israel untuk memindahkan warga Gaza utara ke selatan telah memicu kekhawatiran internasional. Pihak militer Israel beralasan relokasi ini dilakukan untuk menjamin keselamatan warga karena mereka akan memulai serangan baru.

Bahkan, militer Israel menjanjikan tenda dan peralatan perlindungan di zona relokasi, sebagaimana dilansir Reuters, Minggu (17/8/2025).

Namun, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan justru menyatakan keprihatinan. Mereka khawatir rencana Israel ini hanya akan menambah penderitaan bagi 2,2 juta penduduk di wilayah kantong tersebut.

Selengkapnya baca di sini.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com