Tag Archives: hadits

Keutamaan Meninggal Dunia di Madinah Menurut Sabda Nabi



Jakarta

Madinah al-Munawwarah adalah tempat yang disucikan Allah SWT bersama dengan Makkah al-Mukarramah. Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai keutamaan meninggal dunia di Madinah.

Kota Madinah awalnya bernama Yatsrib. Kota ini berganti nama setelah Rasulullah SAW hijrah. Hal ini turut dikisahkan dalam Sunan an-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda,

“Aku diperintah mengganti nama sebuah negeri yang telah mengusir banyak perkampungan. Mereka menyebut Yatsrib padahal ia adalah Madinah. Negeri itu menyisihkan orang-orang sebagaimana alat peniup besi menyisihkan kotoran besi.”


Dalam berbagai riwayat, Rasulullah SAW menyebut keutamaan-keutamaan Kota Madinah. Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya Madinah seperti alat peniup api yang membersihkan besi dari karat dan kotorannya, dengan memunculkan kebaikan besinya.” (HR Muslim dalam Kitab Al-Hajj)

Rasulullah SAW juga menyebut sejumlah keutamaan Madinah termasuk bagi orang yang bertahan menghadapi kesulitan di sana. Beliau SAW bersabda,

“Madinah adalah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahui. Orang yang meninggalkan Madinah karena benci terhadapnya maka Allah akan menggantikan dengan orang yang lebih baik darinya. Orang yang terus bertahan dalam cobaan dan kesukaran yang ada di sana maka aku akan memberi syafaat kepadanya dan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (HR Muslim dalam Kitab Al-Hajj)

Imam Bukhari mengeluarkan sejumlah hadits terkait keutamaan Madinah. Salah satunya dari Abu Hurairah, ia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ الإِيْمَانَ لَيَأْزِرُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْزِرُ الْحَيَّةُ إِلَى حُجْرِهَا

Artinya: “Sesungguhnya iman akan berkumpul di Madinah seperti ular berkumpul dalam sarangnya.” (HR Bukhari dalam Kitab al-Umrati dan Muslim dalam Kitab al-Hajj)

Rasulullah Beri Syafaat bagi Orang yang Meninggal di Madinah

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Kitab Minhajul Muslim menukil sebuah hadits yang menyebut bahwa Rasulullah SAW akan menjadi saksi bagi orang yang meninggal dunia di Madinah. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَفْعَلْ فَإِنِّي أَشْهَدُ لِمَنْ مَاتَ بِهَا

Artinya: “Barang siapa sanggup meninggal di Madinah hendaklah dia melakukannya. Sebab, aku akan menjadi saksi bagi orang yang meninggal di sana.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)

Ulama Syafi’iyah Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah-nya juga menukil sebuah hadits yang menyebut bahwa Rasulullah SAW akan menjadi saksi atau pemberi syafaat bagi orang yang meninggal dunia di Madinah.

Seorang perempuan Tsaqif pernah berada di sisi Rasulullah SAW dan ia meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa saja di antara kalian yang dapat meninggal di Madinah, maka hendaklah ia meninggal (di Madinah) karena siapa saja yang meninggal di Madinah, maka aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat baginya pada hari kiamat.”

Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dengan sanad hasan dan perawi shahih, kecuali guru Thabrani.

Oleh karena itu, Umar RA meminta kepada Allah agar ia meninggal di Madinah. Ayah dari Zaid bin Salim meriwayatkan bahwa Umar RA berdoa, “Ya Allah, berilah aku rezeki mati syahid di jalan-Mu dan jadikanlah kematianku di Tanah Haram Rasul-Mu SAW (Madinah).”

Allah SWT mengabulkan doa Umar dan dia mati syahid di mihrab Masjid Nabawi ketika menjadi imam kaum muslimin pada saat salat Subuh, sebagaimana dikatakan Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam Sirah Nabawiyah.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Hadits yang Menjelaskan Pentingnya Perilaku Toleransi dalam Islam



Jakarta

Toleransi secara bahasa dapat diartikan sebagai sikap menghargai pendirian orang lain. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai hadits yang menjelaskan pentingnya perilaku toleransi khususnya dalam Islam.

Sebelumnya, diketahui bahwa toleransi dalam Islam juga dikenal sebagai Tasamuh. Meskipun menghargai, namun bukan berarti membenarkan atau bahkan mengikuti pendirian orang lain.

Menurut buku Antologi Hadits Tarbawi tulisan Anjali Sriwijbant dkk, toleransi harus dideskripsikan secara tepat lantaran toleransi yang disalah artikan dapat merusak agama itu sendiri. Islam sebagai ajaran yang total atau kaffah sudah pasti mengatur dengan penuh mengenai batas antara muslim dan non muslim seperti Islam mengatur batas antara laki-laki dan perempuan.


Toleransi dalam Islam artinya adalah menghormati tanpa harus melewati aturan agama Islam itu sendiri. Hadits yang menjelaskan pentingnya perilaku toleransi sendiri termuat dalam sebuah riwayat yang mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang toleran.

Adapun bunyi dari hadits tersebut adalah sebagai berikut,

عَن ابْنِ عَبَّاس قَالَ قَبْلَ لرَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمُ أَي الْأُذُونَ أَحَبُّ أَلى الله قَالَ الْحَنيفيَّة السَّفْحَة

Artinya: “Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ia berkata, ditanyakan kepada Rasulullah SAW yaitu, “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?”maka beliau bersabda: “Al-Hanafiyah As-Sambah (yang lurus lagi toleran).” (HR Bukhari)

Bahkan toleransi antar umat beragama ini juga termaktubkan dalam firman-Nya surah Al Kafirun ayat 5 yaitu,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

Arab Latin: Lakum dīnukum wa liya dīn

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Selain toleransi dengan orang selain muslim, antar sesama muslim juga membutuhkan toleransi. Toleransi ini dapat memperkokoh umat muslim dan Islam itu sendiri.

Hadits mengenai keterangan ini terdapat pada sebuah ungkapan yang diriwayatkan oleh Abi Musa Radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,

الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Artinya: “Hubungan orang mukmin dengan orang mukmin yang lain bagaikan satu bangunan yang saling memperkokoh satu sama lain.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sedangkan, secara umum setiap manusia yang berbuat sesuatu itu sudah diketahui Allah SWT akan apa maksud dari tindakannya tersebut. Allah SWT telah mewanti-wanti kita sebagai umat yang beriman kepada-Nya untuk mengatakan kepada orang yang sekiranya berbeda prinsip yaitu, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu terlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan aku pun terlepas diri dari apa yang kamu kerjakan.”

Keterangan di atas didapatkan dari Al-Qur’an surah Yunus ayat 40-41 yang berbunyi sebagai berikut,

وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهٖۗ وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَ(40 ࣖ

وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ(41

Artinya: “Di antara mereka ada orang yang beriman padanya (Al-Qur’an), dan di antara mereka ada (pula) orang yang tidak beriman padanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.Jika mereka mendustakanmu (Nabi Muhammad), katakanlah, ‘Bagiku perbuatanku dan bagimu perbuatanmu. Kamu berlepas diri dari apa yang aku perbuat dan aku pun berlepas diri dari apa yang kamu perbuat.'”

Begitulah sekilas pembahasan kali ini mengenai hadits yang menjelaskan pentingnya perilaku toleransi sekaligus beberapa ayat yang juga menjelaskannya. Semoga tulisan kali ini dapat menambah pemahaman kita mengenai toleransi sekaligus keimanan kita. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

5 Hadits Membaca Al Kahfi sebagai Pengampun Dosa-Penangkal Fitnah Dajjal



Jakarta

Al Kahfi adalah salah satu surah yang sering kita dengar dan manfaatnya terkait hari Jumat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam keterangan dari hadits membaca Al Kahfi yang disabdakan Rasulullah SAW.

Sunnah mengenai membaca atau mengamalkan Al Kahfi banyak sekali kita temui dalam berbagai hadits Rasulullah SAW. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu. Rasulullah SAW bersabda,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، سَطَعَ لَهُ نُورٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءِ، يُضِيءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وغُفر لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ


Artinya: “Dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulul­lah SAW pernah bersabda: Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka timbullah cahaya baginya dari telapak kakinya hingga ke langit yang memberikan sinar baginya kelak di hari kiamat, dan diampunilah baginya semua dosa di antara dua hari Jumat.” (HR An-Nasa’i dan Baihaqi)

Mengenai keutamaan dan kebaikan mengenai membaca Al Kahfi ini banyak sekali diterangkan selain dari hadits di atas. Berikut ini adalah beberapa hadits lain yang dikutip dari buku Terjemah dan Fadhilah Majmu’ Syarif oleh Ustadz Rusdianto dan buku Ensiklopedia Hadits Ibadah Membaca Al-Qur’an karya Syamsul Rijal Hamid.

5 Hadits Membaca Al Kahfi

1. Fadhilah 10 Ayat Pertama

Diriwayatkan dari Abu Darda Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ

Artinya: Siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surat Al-Kahfi, maka ia akan terlindungi dari Dajjal (fitnah). (HR Muslim)

2. Pengampunan Dosa di Antara 2 Jumat

Melalui riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jumat.” (HR Hakim dan Baihaqi)

Ibnu Hajar berkata tentang hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang surat al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menyatakan shahih atas hadits ini, sebagaimana terdapat dalam Shahih al-Jami’.

3. Terpancar Cahaya

Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dan Baitul ‘Atiq.” (HR Darimi, Nasa’i, dan Hakim)

4. Penangkal Zaman Dajjal

Diriwayatkan dari Nawas bin Sam’an dalam sebuah hadits yang cukup panjang, yang di dalam riwayat tersebut intinya Rasulullah SAW bersabda, “Maka barang siapa di antara kamu yang mendapatinya (mendapati zaman Dajjal) hendaknya ia membacakan atasnya ayat-ayat permulaan surat al-Kahfi.” (HR Muslim)

5. Dijauhkan dari Fitnah Dajjal

Abu Umamah juga meriwayatkan hadits Rasul SAW yang berbunyi, “Sesungguhnya di antara fitnahnya, ia (Dajjal) memiliki surga dan neraka. Nerakanya adalah surga, dan surganya adalah neraka. Siapa diuji dengan nerakanya, hendaklah ia memohon pertolongan Allah SWT dan membaca awal Surat Al-Kahfi.” (HR Ibnu Majah, Tirmidzi, & Hakim)

Begitulah sekilas pembahasan kali ini mengenai hadits membaca Al Kahfi yang mengandung keutamaan dan manfaatnya. Semoga kita dapat selalu mengamalkan Al Kahfi dan sunnah-sunnah lainnya. Amiin yaa Rabbalalamiin.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hadits Tentang Larangan Sikap Berlebih-lebihan, Hindari Agar Tak Terjerumus



Jakarta

Ajaran Islam melarang keras setiap pemeluknya berlebih-lebihan dalam segala sesuatu karena termasuk ke dalam sifat tercela. Berlebih-lebihan ini meliputi berbagai hal, termasuk juga dalam hal beribadah, gaya hidup, berniaga, menuntut ilmu, hingga makan dan minum.

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al A’raf ayat 31,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ


Artinya: Hai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Sikap Berlebihan yang Dilarang dalam Islam

Disebutkan dalam buku Wasathiyah Dalam Al-Qur’an Nilai-nilai Moderasi Islam dalam Akidah, Syariat, dan Akhlak yang ditulis oleh Prof. Dr. Ali Muhammad Shallabi, berlebih-lebihan atau sikap ekstrem dalam bahasa Arab disebut sebagai al-ghuluw (ghuluw), yang maknanya melampaui batas.

Ibnu Faris mengatakan, “Kata ghuluw berasal dari tiga huruf; ghain, laam, dan waw, yang menunjukkan atas tingginya sesuatu dan melampaui batas.” Sementara ahli bahasa lainnya, Al-Jauhari mendefinisikan ghuluw-nya seseorang itu apabila melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas.

Kata ghuluw sendiri termaktub dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 171,

يٰۤـاَهۡلَ الۡكِتٰبِ لَا تَغۡلُوۡا فِىۡ دِيۡـنِكُمۡ وَلَا تَقُوۡلُوۡا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الۡحَـقَّ

Artinya: Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.

Selain dilarang oleh Allah, sikap berlebihan juga lebih banyak mendatangkan mudharat dibandingkan dengan manfaat. Oleh karena itu, orang-orang yang berlebihan dalam suatu hal pasti akan merugi di kemudian hari.

Hadits-Hadits Larangan Sikap Berlebihan

Berikut ini adalah daftar hadits-hadits yang menyiratkan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam segala sesuatu adalah hal yang dilarang dalam Islam dan dibenci oleh Allah, dikutip dari buku Moderasi Islam Dan Kebebasan Beragama Perspektif Mohamed Yatim & Thaha Jabir Al-Alwani yang disusun oleh Dr. H. Mahmud Arif, dkk.

1. Sikap berlebihan membawa kebinasaan

Hadits riwayat dari Ibnu Abbas, Nabi SAW berkata kepada rombongan pagi hari (untuk keperluan melempar jumrah), “Tolong ambilkan aku kerikil.” Mereka mengambilkan kerikil seukuran batu ketapil.

Ketika mereka menyerahkannya kepada Nabi, beliau berkata, “Terima kasih, mirip seperti ini. Hindarilah berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya berlebih-lebihan (al-ghuluw) dalam agama, telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Menurut Ibnu Taimiyah, makna hadits tersebut bersifat umum meliputi semua jenis berlebih-lebihan baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Konteks hadits dengan redaksi umum memang melempar jumrah, seperti melempar jumrah dengan batu kerikil besar mengingat hal tersebut dianggap lebih mantap daripada kerikil kecil.

Namun, Nabi Muhammad SAW mengemukakan alasan untuk menjauhi perilaku orang-orang terdahulu agar terhindar dari jatuh dalam kebinasaan. Sebab, orang yang mengikuti sebagian perilaku mereka (yang berlebih-lebihan), dikhawatirkan mengalami kebinasaan.

2. Celakanya orang yang bersikap berlebihan

Hadits riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Celakalah orang-orang yang melampaui batas (al mutanaththi’un) (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad). Menurut Imam An-Nawawi, “celaka al-mutanaththi’un” maksudnya arti orang-orang yang melampaui batas dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Kemudian, ada hadits riwayat dari Anas bin Malik yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian memberatkan diri, sehingga Allah pun membebanimu, karena suatu kaum yang telah memberatkan diri mereka, Allah juga akan membebani mereka. Itulah (yang menjadikan) mereka tetap tinggal di biara/kuil, dan kerahiban yang mereka ada-adakan, (padahal) kami tidak mewajibkan kepada mereka.”

Hadits riwayat Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya agama ini itu mudah. Tidak seorangpun yang menyikapi agama dengan keras kecuali ia akan terkalahkan, maka berlakulah lurus, mendekatlah, bergembiralah, dan berupayalah dengan kelapangan hati dan kemoderatan.”

Sementara dalam redaksi lainnya, “Berlakulah sedang, maka kamu akan sampai (ke tujuan agama).” (HR Bukhari dan An-Nasa’i). Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-bari mengemukakan, arti hadits tersebut adalah tidak seorangpun yang bersikeras melakukan aktivitas keagamaan dengan meninggalkan kelembutan kecuali ia tak berdaya dan patah semangat sehingga terkalahkan.

3. Anjuran bersikap sederhana

Kemudian, Imam Ahmad dalam kitab Musnad meriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibl bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dan janganlah kamu terlalu bersemangat, janganlah kamu berlebihan, dan janganlah kamu melampaui batas dengan Al-Qur’an.” (HR Ahmad).

Hadits lainnya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ilmu ini ditransmisikan dari generasi orang-orang yang adil. Mereka menjauhkannya dari penyimpangan kaum ekstrem, cacian para pembohong, dan tafsiran para pendungu.” (HR Baihaqi).

Hadits-hadits tersebut menunjukkan kepada umat muslim bahwa melampaui batas dan berlebih-lebihan (al-ghuluw) itu tidak termasuk ke dalam ajaran yang benar, bahkan merupakan hal yang menyimpang dari aturan dan menyalahi apa yang telah disyariatkan Allah dan rasul-Nya.

Itulah beberapa hadits yang menjelaskan tentang larangan berlebih-lebihan dalam sesuatu. Semoga bermanfaat.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Begini Ciri Rezeki yang Mendatangkan Azab, Hati-hati Ya!



Jakarta

Rezeki adalah titipan Allah SWT kepada manusia, tidak hanya kepada yang beriman tapi juga kepada mereka lalai dan berbuat ingkar kepada-Nya. Untuk itu, ada sejumlah ciri rezeki yang justru mendatangkan azab.

Sejatinya, rezeki yang Allah SWT berikan adalah ditujukan kepada setiap siapa pun yang Dia kehendaki. Kenikmatan rezeki ini bisa menjadi azab Allah apabila diberikan kepada orang yang sering lalai dalam ibadah dan bersenang-senang dalam kemaksiatannya.

Dalam Islam, rezeki yang bisa mendatangkan azab ini bisa dikatakan sebagai istidraj. Mengenai istidraj ini disinggung Allah SWT dalam firman-Nya yaitu Al-Qur’an tepatnya surah Al Qalam ayat 44 yang berbunyi,


فَذَرْنِيْ وَمَنْ يُّكَذِّبُ بِهٰذَا الْحَدِيْثِۗ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

Arab Latin: “Fażarnī wa may yukażżibu bihāżal-ḥadīṡi sanastadrijuhum min ḥaiṡu lā ya’lamūn(a).”

Artinya: “Biarkan Aku bersama orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Kelak akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.”

Selain itu, dijelaskan juga dalam Surah Al-An’am ayat 44 yang berbunyi,

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

Arab Latin: “Falammā nasū mā żukkirū bihī fataḥnā ‘alaihim abwāba kulli syai'(in), ḥattā iżā fariḥū bimā ūtū akhażnāhum bagtatan fa iżā hum mublisūn(a).”

Artinya: “Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang sudah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.”

Ciri Rezeki yang Mendatangkan Azab

Dikutip dari buku Tasawuf Akhlaki: Ilmu Tasawuf yang Berkonsentrasi dalam Perbaikan Akhlak oleh Dr. H. Abd. Rahman, dijelaskan bahwa pemilik istidraj ini biasanya merasa selalu bahagia meskipun diterpa kejadian-kejadian aneh yang terjadi kepadanya. Orang-orang ini mengira bahwa ia mendapatkan rezeki atau karamah karena ia berhak untuk memilikinya.

Lantaran dari sifat ini, Dr. H. Abd. Rahman menjelaskan, mereka biasa untuk merendahkan sesama, sombong, selalu merasa aman dari azab Allah SWT, tidak merasa takut akan kemungkinan hukuman Allah yang bisa menimpanya.

Ciri lain yang dapat diperhatikan adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Quraish Shihab dalam buku Hidup Bersama Al Quran 1, jika seseorang semakin buruk kualitas dan kuantitas ibadahnya karena tidak ikhlas, banyak berbuat maksiat baik kepada Allah SWT maupun sesama manusia. Namun, ia mendapatkan rezeki yang banyak, kesenangan hidup, sehat dan tidak pernah celaka, maka bisa jadi itu adalah sebuah istidraj baginya.

Allah SWT juga berjanji akan menariknya dalam kebinasaan seperti dijelaskan dalam firman-Nya surah Al Mu’minun ayat 55-56:

اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهٖ مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ ۙ نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ

Artinya: “Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya.”

Begitulah sekilas pembahasan kali ini mengenai ciri rezeki yang mendatangkan azab. Semoga pembahasan kali ini dapat menambah wawasan kita dan membuat kita dapat terhindar dari istidraj. Naudzubillah min dzalik.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

7 Doa untuk Orang Meninggal: Arab, Latin dan Artinya



Jakarta

Al-Qur’an menjelaskan bahwa tiap yang bernyawa pasti mengalami kematian. Salah satu peran orang yang masih hidup adalah memanjatkan doa untuk orang meninggal tersebut sebagai bentuk menghormati, mengenang, dan mendoakan kebaikannya.

Salah satunya, diriwayatkan dari Abu Musa RA dalam hadits At-Tirmidzi, dianjurkan untuk mengucapkan Istirja ketika mendengar seorang anak adam yang meninggal. Berikut bacaannya,

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ


Arab latin: Innalillahi wa innaa ilaihi raajiuun

Artinya: “Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.”

Menurut buku Fiqih Doa & Dzikir Jilid 2 karya Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Rasulullah SAW pernah mengunjungi makam para sahabatnya dengan mendoakan mereka. Dalam hadits tersebut, Rasulullah menganjurkan umat muslim untuk mendoakan sesamanya yang sudah wafat.

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ أَنْ يَقُولَ قَائِلُهُم: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Artinya: “Nabi SAW mengajarkan kepada mereka berziarah ke kubur supaya mengucapkan, ‘Semoga keselamatan senantiasa tercurah pada kalian, hai para penghuni perkampungan kaum mukmin dan muslim. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon afiyah kepada Allah SWT untuk kami dan untuk kalian.”

Doa untuk Orang Meninggal dalam Arab, Latin, dan Artinya

Melalui sejumlah hadits, Rasulullah mengajarkan doa yang bisa dipanjatkan untuk orang yang telah meninggal dunia. Mengutip buku Fiqih Doa & Dzikir Jilid 2 dan Kitab Al-Adzkar oleh Imam an-Nawawi, berikut beberapa doanya.

1. Doa untuk Orang Meninggal Versi Pertama

السَّلَامُ علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ المُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وإنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بكُمْ لَلَاحِقُونَ

Arab latin: Assalaamu ‘ala ahlid diyaari minal mu’miniina wal muslimiin wa yarhamullahu almustaqdimiina minna wal musta’khiriina wa innaa in syaa Allahu bikum lalahiquun

Artinya: “Salam atas penghuni pemukiman yang terdiri dari orang-orang Mukminin dan Muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan. Sungguh kami insya Allah benar-benar akan menyusul kamu.” (HR Muslim, dari Aisyah)

2. Doa untuk Orang Meninggal Versi Kedua

السَّلَامُ عَلَيْكُم دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ

Arab latin: Assalaamu ‘alaikum daara qaumin mu’miniin wa innaa in syaa’allaahu bikum laahiquun

Artinya: “Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian, wahai penghuni kuburan dari kaum mukmin, dan insya Allah kami akan menyusul kalian.” (HR Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dari Abu Hurairah)

3. Doa untuk Orang Meninggal Versi Ketiga

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ القُبُورِ يَغْفِرُ اللَّهُ لَنَا وَلَكُمْ، أَنْتُمْ سَلَفْنَا وَنَحْنُ بِالْأَثَرِ

Arab latin: Assalaamu ‘alaikum yaa ahlal qubuur yaghfirullaahu lanaa wa lakum antum salafnaa wa nahnu bil atsar

Artinya: “Semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, wahai ahli kubur. Semoga Allah SWT mengampuni kami dan kalian, kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul kalian.” (HR Tirmidzi, dari Ibnu Abbas)

4. Doa untuk Orang Meninggal Versi Keempat

السَّلَامُ عليْكم علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وإنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بكُمْ لَلَاحِقُونَ، وَ أسألُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُم العَافِيَةَ

Arab latin: Assalaamu ‘alaykum ‘ala ahlid diyaari minal mu’miniina wal muslimiin wa innaa in syaa Allahu bikum lalahiquun wa asalu Allahu lanaa wa lakumul ‘aafiyah

Artinya: “Salam atas kamu wahai penghuni pemukiman yang terdiri dari kaum Mukminin dan kaum Muslimin, dan sungguh kami Insya Allah benar-benar akan menyusul kamu. Aku mohon kepada Allah untuk kami dan kamu afiat.” (HR Muslim, dari Buraidah)

5. Doa untuk Orang Meninggal Versi Kelima

السَّلَامُ عليْكم علَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وإنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بكُمْ لَلَاحِقُونَ أنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ، وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ

Arabl latin: Assalaamu ‘alaykum ‘ala ahlid diyaari minal mu’miniina wal muslimiin wa innaa in syaa Allahu bikum lalahiquun, antum lanaa farathun wa nahnu lakum taba’un

Artinya: “Salam atas kamu wahai penghuni pemukiman yang terdiri dari kaum Mukminin dan kaum Muslimin, dan sungguh kami Insya Allah benar-benar akan menyusul kamu. Kalian adalah pendahulu kami, dan kami akan mengikuti kalian.” (HR Nasa’i dan Ibnu Majah)

6. Doa untuk Orang Meninggal Versi Keenam

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَةً

Arab latin: Allahummaghfirli wa lahu wa’qibni minhu ‘uqba hasanah

Artinya: Ya Allah, ampuni diriku dan dia dan berikan kepadaku darinya pengganti yang baik.

7. Doa untuk Orang Meninggal Versi Ketujuh

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ

Arab latin: Allahummaghfirla-hu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khilkul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar.

Artinya: “Ya Allah, ampunilah ia, kasihilah ia, berilah ia kekuatan, maafkanlah ia, dan tempatkanlah di tempat yang mulia (surga), luaskan kuburannya, mandikan ia dengan air salju dan air es. Bersihkan ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah ganti rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah ganti keluarga (atau istri di surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan ia ke surga, jagalah ia dari siksa kubur dan neraka.” (HR Muslim)

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk membacakan doa untuk orang yang meninggal ketika datang takziah atau melayat ke rumah duka. Berikut bacaan doanya,

أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لمَيِّتِكَ

Arab latin: A’dlamallahu ajraka wa ahsana aza’aka wa ghafaraka li mayyitika

Artinya: “Semoga Allah memperbesar pahalamu, dan menjadikan baik musibahmu, dan mengampuni jenazahmu.

Itulah deretan doa yang bisa dibaca untuk orang meninggal.

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com

4 Pilihan Doa Sujud Terakhir dalam Salat



Jakarta

Dalam salat, terdapat doa sujud yang harus diamalkan sebagai rukun wajib salat. Selain dari bacaan sujud, dikutip dari buku M. Quraish Shihab Menjawab karya M. Quraish Shihab, muslim dapat mengamalkan doa saat melakukan sujud terakhir.

Pasalnya, saat sujud dalam salat disebut sebagai waktu yang istijabah atau waktu mustajab untuk memanjatkan doa. Pada saat itu, posisi terdekat antara manusia dengan Allah SWT. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ


Artinya: “Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu,” (HR Muslim).

Terdapat juga sebuah hadits pendukung sebagai berikut, “Adapun (di waktu) sujud maka bersungguh-sungguhlah untuk berdoa padanya, karena pantas untuk dikabulkan doamu (pada waktu itu).” (HR Muslim)

Syeikh Abdullah Al-Jabreen dalam Fatwa Islamiyyah mengatakan, tidak ada dalil anjuran memperpanjang sujud terakhir dalam salat. Namun ia berpendapat, ada kemungkinan imam melakukan hal itu sebagai penanda gerakan sujud terakhir dalam salat yang setelahnya dilanjutkan dengan duduk tasyahud akhir.

Meski demikian, tidak ada salahnya bagi muslim untuk melafalkan doa saat sujud terakhir, baik doa itu menyangkut kebahagiaan ukhrawi maupun kebahagiaan duniawi. Misalnya berdoa agar lulus dalam ujian yang akan dihadapi, mendapat teman yang baik, rezeki yang halal, dan lain-lain selama doa-doa tersebut berisikan kebaikan dan pernah diajarkan Rasulullah SAW.

4 Pilihan Doa Sujud Terakhir

1. Doa agar Wafat Husnul Khotimah

اللهم إني أسألك حسن الخاتمة

Arab Latin: Allahumma inni as’aluka husnal khatimah

Artinya: “Ya Allah aku meminta kepada-Mu husnul khatimah.”

2. Doa saat Ingin Bertaubat

اللهم ارزقني توبتا نصوحا قبل الموت

Arab Latin: Allahummarzuqni taubatan nasuha qoblal maut

Artinya: “Ya Allah berilah aku rezeki taubat nasuha (atau sebenar-benarnya taubat) sebelum wafat,”

3. Doa agar Diampuni Segala Dosa

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Arab Latin: Subhānakallāhumma rabbanā wa bi hamdik, allāhummaghfir lī

Artinya: “Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami. Segala puji bagi-Mu wahai Tuhanku. Ampunilah dosaku.”

Atau bisa membaca doa ini:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

Arab Latin: Allâhummaghfirlî dzanbî kullah, diqqahû wa jillah, wa awwalahû wa âkhirah, wa ‘alâniyatahû wa sirrah

Artinya: “Tuhanku, ampunilah aku dari segala dosa baik kecil maupun besar, awal maupun akhir, dan dosa yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.”

Begitulah sekilas pembahasan kali ini mengenai doa sujud terakhir. Semoga tulisan kali ini dapat menambah wawasan kita dan menyempurnakan ibadah kita. Aamiin.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Pengertian, Ciri, Jenis, dan Contohnya



Jakarta

Hadits mutawatir adalah hadits yang dikenal dengan istilah yang dihubungkan dengan banyaknya jumlah perawi. Berikut ini adalah penjelasan hadits mutawatir selengkapnya dengan pengertian, ciri, jenis, dan contohnya.

Dikutip dari buku Ilmu Memahami Hadits Nabi tulisan KH. M. Ma’shum Zein, M.A., secara bahasa, mutawatir memiliki arti yang sama dengan kata mutatâbi yang artinya beruntun atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak.

Sedangkan menurut istilah, ada beberapa penjelasan mutawatir sebagai berikut. Dari As Suyuthi dalam Kitab Tadrib mengatakan,


مَا رَوَاهُ جَمْعُ عَنْ جَمْعِ تُحِيْلُ العَادَةَ تَوَاظُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ

Artinya: “Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.”

Semenara itu, Ajjaj dalam Kitab Ushul berpendapat,

مَارَوَاهُ جَمْعُ تُحِيْلُ الْعَادَةَ تَوَاظُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِم مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاه

Artinya: “Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka lebih dahulu bersepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad, pada setiap thabaqat atau generasi.”

Lalu, pendapat lain dari ‘Ithr dalam Kitab Manhaj mengatakan,

الَّذِي رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيرٌ لَا يُمْكِنُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ وَكَانَ مُسْتَنِدُهُمْ أَلْحِس

Artinya: “Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang terhindar dari adanya kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal mata rantai sanad) sampai akhir sanad berdasarkan pancaindra.”

Untuk itu, hadits mutawatir menurut istilah didefinisikan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya dan menurut akal tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits. Dalam meriwayatkan hadits, para perawi satu ini bersandar pada sesuatu yang bisa diketahui dengan pancaindra, seperti pendengaran.

Adapun ciri dari hadits mutawatir dikutip dari Kitab Shahih Bukhari-Muslim tulisan Fu’ad Abdul Baqi adalah sebagai berikut.

Ciri-ciri Hadits Mutawatir

  • Diriwayatkan banyak perawi. Para ahli hadits memiliki perbedaan pandangan perihal jumlah minimal perawi hadits mutawatir ini. Abu Thayyib berpendapat paling sedikit empat orang perawi, sedang Syaikh Mahmud ath-Thahhan menyebut 10 orang.
  • Jumlah banyak orang yang meriwayatkannya ini ada pada semua tingkatan sanadnya.
  • Menurut adat, mustahil para perawi sepakat untuk berbohong lantaran mereka berada di negeri atau bangsa yang berbeda.
  • Sandaran hadits ini dilakukan menggunakan pancaindra, misal pendengaran atau penglihatan. Sehingga kalimat haditsnya seperti, “Kami mendengar..” atau “Kami melihat…” Jika penyandaran hadits berlandaskan akal perawi maka tidak disebut sebagai hadits mutawatir.

Jika dilihat dari ciri-cirinya di atas, terdapat ulama yang menyebut keberadaan hadits mutawatir tidak ada sama sekali. Tetapi Syaikh Manna Al-Qaththan berkata lain. Menurutnya hadits mutawatir itu ada, tetapi jumlahnya tak cukup banyak bila dibanding hadits ahad.

Apabila menilik hadits mutawatir berdasarkan macamnya maka terdapat dua macam seperti yang dijelaskan oleh para ulama. Dua macam hadits mutawatir adalah sebagai berikut.

Jenis Hadits Mutawatir dan Contohnya

  • Mutawatir Lafzhi yaitu hadits yang mutawatir lafaz dan maknanya. Contohnya adalah Hadits riwayat Abu Hurairah, “Barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku secara sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari)

Dikatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, dan jumlah yang meriwayatkannya terus bertambah.

  • Mutawatir Maknawi yakni hadits yang maknanya mutawatir sementara lafaznya tidak. Contohnya adalah mengenai tata cara mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits-hadits yang meriwayatkan seperti ini terdapat sekitar 100 hadits.

Begitulah pembahasan kali ini mengenai hadits mutawatir. Semoga tulisan kali ini dapat menambah wawasan kita dalam beragama. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hadits tentang Ziarah ke Makam Rasulullah, Termasuk Amalan Sunnah



Jakarta

Makam Rasulullah SAW terletak di Masjid Nabawi, Madinah. Terdapat beberapa hadits tentang ziarah ke makam Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa hal tersebut termasuk amalan sunnah.

Misalnya saja saat melaksanakan rangkaian ibadah haji maupun umrah salah satunya adalah ziarah ke makam Rasulullah SAW yang terletak di Madinah. Hal ini dijelaskan Imam al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya Ulumuddin seperti diterjemahkan oleh ‘Abdul Rosyad Siddiq.

Rasulullah SAW pernah bersabda,


مَنْ زَارَني بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَتي فِي حَيَاتِي.

Artinya: “Barang siapa menziarahi aku sepeninggalanku nanti, seakan-akan ia menziarahi aku saat aku masih hidup.” (HR at-Thabrani dan ad-Daruquthni)

Beliau SAW juga pernah bersabda,

مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَ لَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي

Artinya: “Barang siapa memiliki kemudahan, namun tidak menziarahi aku, berarti ia (sengaja, berniat) menjauhi aku.” (HR at-Thabrani)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga bersabda,

مَنْ جَادَنِي زَابِرَ الأَيَهُمُهُ إِلَّا زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ أَكُونَ لَهُ شَفِيعًا

Artinya: “Barang siapa datang hanya untuk menziarahi aku, niscaya aku punya hak atas Allah sebagai pemberi syafaat untuknya. ” (HR at-Thabrani)

Kesunnahan berziarah ke makam Rasulullah SAW juga ditegaskan oleh sejumlah ulama dalam kitab karangannya. Dalam Masa-il Diniyyah karya Kholil Abou Fateh disebutkan, di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Imam Taqiyyuddin as-Subkhi dalam Kitab Syifa’ as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, al-Qadli ‘Iyadl al Maliki dalam asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al Mushthafa.

Kemudian, Imam an-Nawawi dalam Matn al ‘Idlah fi al Manasik mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah SAW tergolong hal terpenting untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan termasuk usaha paling sukses (baik).

Hal ini juga dijelaskan oleh Abdillah F. Hasan dalam buku 200 Amalan Ringan Berpahala Istimewa bahwa seorang muslim yang berziarah ke makam Rasulullah SAW bukan hanya akan mengingat kematian, tetapi juga mengenang kembali betapa besar perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan kalimat tauhid di muka bumi.

Bagi para jamaah haji yang berada di kota Madinah, hendaknya mengambil kesempatan untuk meluangkan waktu berziarah ke makam Rasulullah SAW. Sebab, seorang muslim yang berziarah ke makam beliau akan mendapat keutamaan yang tidak didapatkan jika berziarah di tempat lain.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berziarah ke kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku.” (HR Ad-Daruquthni)

Sementara, terdapat pula hadits yang diriwayatkan oleh at-Thabrani yang menjelaskan, “Barang siapa yang datang kepadaku untuk menziarahiku, tidak ada keperluan lain kecuali hanya menziarahiku, maka saya pasti akan menjadi pensyafaat bagi dia pada hari kiamat.”

Zikir Berziarah di Makam Rasulullah

Mengutip dari Kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi berikut ini salam dan doa yang diucapkan saat berziarah ke makam Rasulullah SAW,

Saat mendatangi makam Nabi Muhammad SAW dari tembok makam lalu mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad SAW dengan pelan seraya mengucapkan,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا خِيرَةَ اللَّه مِنْ خَلْقِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيبَ الله السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سَيّدِ الْمُرْسَلِينَ وَخَاتَمَ النَّبِيِّين السَّلامَ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِكَ وَأَصْحَابِكَ وَأَهْلِ بَيْتِكَ وعلى النَّبِيِّينَ وَسَائِرِ الصَّالِحِيْن ، أَشْهَدُ أَنَّكَ بَلَّغْتَ الرِّسَالَة وَأَدَّيْتَ الأمانة ونصحت الأمة فَجَزَاكَ الله عنَّا أَفْضَلَ مَا جَرَى رَسُوْلاً عَنْ أمته

Artinya: “Salam untukmu, wahai makhluk Allah yang paling mulia. Salam untukmu, wahai kekasih Allah. Salam bagimu, wahai pemimpin para rasul dan penutup para nabi. Salam untukmu, keluargamu dan sahabatmu serta para nabi dan semua orang-orang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya engkau telah menyampaikan risalah dan melaksanakan amanah serta menasehati ummat. Terima kasih dari kami, semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan.”

Lalu, ketika seseorang hendak meninggalkan Madinah, maka dianjurkan baginya berpamitan dengan Masjid Nabawi, dan dianjurkan dengan cara melaksanakan salat dua rakaat dan memanjatkan doa yang dia inginkan kemudian menuju makam dan mengucapkan salam,

اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ هَذَا آخِرَ الْعَهْدِ بِحَرَم رَسُولِكَ وَيَسِّرْلِي الْعَوْدَ إِلَى الْحَرَمَيْن سَبِيلاً سَهْلَةَ بِمَيِّكَ وَفَضْلِكَ وَارْزُقْنِي الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيا والآخِرَة وَرُدَّنَا سَالِمِين عَانِمِين إِلَى أَوْطَانِنَا آمِنِيْن

Artinya: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan ini sebagai akhir kebersamaan dengan Tanah Suci utusan-Mu, mudahkanlah jalan untuk kembali mengunjungi dua Tanah Suci-Mu dengan kemurahan dan karunia-Mu Anugerahkanlah kepadaku ampunan dan keselamatan dalam agama, dunia dan akhirat. Kembalikanlah kami ke negara kami dalam keadaan selamat dan memperoleh kesuksesan, Amin.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Anjuran Memberi Nama Bayi Menurut Islam, Kapan Sebaiknya Dilakukan?



Jakarta

Bayi yang baru lahir dianjurkan untuk diberi nama pada hari ketujuh kelahirannya. Kelahiran bayi dalam keluarga biasanya menjadi kebahagiaan tersendiri. Bahkan, beberapa pasangan suami istri telah jauh-jauh hari menyiapkan nama untuk anaknya.

Mengutip dari buku Ritual dan Tradisi Islam Jawa karya Muhammad Sholikhin, Rasulullah SAW telah menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan nama yang baik kepada bayinya.

Pemberian nama yang baik menjadi hak anak terhadap orang tuanya sekaligus kewajiban orang tua kepada anaknya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam riwayat hadits, Rasulullah SAW bersabda:


حَقُّ الوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهُ

Artinya: “Hak anak atas orang tuanya ialah mendapatkan nama yang baik.” (HR. al-Baihaqi, Abu Nu’aim dan al-Dailami).

Sebenarnya, memberi nama pada bayi tidak perlu terburu-buru dilakukan. Dalam Islam justru dianjurkan untuk memberi nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya. Lantas, seperti apa bunyi dalilnya? Berikut penjelasannya.

Dalil Tentang Memberi Nama Bayi pada Hari Ketujuh

Imam Nawawi dalam buku Zikir Seputar Nikah dan Pemberian Nama Anak menerangkan hukum sunah memberikan nama bayi pada hari ketujuh kelahirannya. Hal ini bersandar pada riwayat dalam kitab Imam Tirmidzi melalui Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan:

سَابِعِهِ، يَوْمَ الْمَوْلُودِ بِتَسْمِيَةِ أَمَرَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ أَنَّ وَالعَقِ عَنْهُ، الْأَذَى وَوَضْعِ

Artinya: “Nabi SAW memerintahkan untuk memberi nama bayi yang baru lahir pada hari yang ketujuh, begitu pula melenyapkan kotoran dan mengakikahinya.” (HR Tirmidzi, dikatakan hadits ini hasan).

Riwayat lain yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah serta kitab lainnya dengan sanad-sanad yang shahih, melalui Samurah Ibnu Jundub, Rasulullah SAW pernah bersabda:

وَيُسَمَّى وَيُخْلَقُ ، سَابِعِهِ، يَوْمَ عَنْهُ تُذْبَحُ بِعَقِيْقَتِهِ رَهِينُ غُلَامٍ كُلِّ

Artinya: “Setiap anak (yang baru lahir) tergadaikan oleh akikahnya yang disembelih untuknya pada hari yang ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i).

Memberi Nama Bayi dengan Nama yang Baik dan Dicintai Allah

Memberi nama bayi dengan nama yang baik menjadi doa dan pengharapan orang tua agar bayi tersebut dapat tumbuh menjadi anak baik. Nabi Muhammad SAW juga telah memerintahkan untuk memilih nama yang baik dan indah.

Hal tersebut sebagaimana diterangkan melalui hadits yang dinukil dari buku Ensiklopedi Wanita Muslimah karya Haya binti Mubarak Al-Barik, diriwayatkan dari Abu Darda RA, ia berkata Rasulullah SAW bersabda:

إنكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَبِأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسَمَائِكُمْ رواه أبوداود

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka buatlah nama yang baik bagi kalian.” (HR Abu Daud).

Tak hanya memberi nama yang baik, dalam riwayat lain juga disebutkan agar memberi nama bayi dengan nama-nama yang dicintai Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَزَ وَجَلَّ: عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ رواه مسلم

Artinya: “Sesungguhnya nama kalian yang paling disukai Allah Azza Wa Jalla ialah Abdullah dan Abdur-Rahman.” (Diriwayatkan Muslim).

Selain itu, nama-nama yang paling benar dan paling buruk dijelaskan dalam riwayat dari Abu Wahb Al-Jasymy Ash-Shahaby Radhiyallahu Anhu. Dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى: عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقْهَا : حَارِتْ وَهَمَّامٌ وَأَقْبَحُهَا: حَرْبٌ وَمُرَّةً (رواهأبوداود والنسائي وغيرهما)

Artinya: “Berilah nama dengan nama para nabi, dan nama yang paling disukai Allah Ta’ala ialah Abdullah dan Abdur-Rahman, sedangkan nama yang paling benar ialah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb dan Murrah.” (Diriwayatkan Abu Daud, An-Nasa’i dan lain-lainnya).

Demikian penjelasan dari anjuran memberi nama bayi pada hari ketujuh yang didasarkan pada dalil hadits Rasulullah SAW. Semoga bermanfaat ya, detikers!

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com