Tag Archives: hadits

Waktu Istimewa Hari Jumat yang Sebentar Tapi Mustajab



Jakarta

Jumat adalah hari raya pekanan bagi umat Islam. Ada satu waktu di hari Jumat yang istimewa. Menurut hadits, berdoa pada waktu tersebut besar kemungkinan untuk dikabulkan.

Waktu istimewa pada hari Jumat ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA yang mendengar dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا يُزَرِّدُهَا


Artinya: “Di dalam hari Jumat ada suatu saat yang apabila tepat pada saat itu seorang muslim berdiri melakukan salat lalu memohon kebaikan kepada Allah, pasti akan diberikan padanya.” Beliau memberi isyarat dengan jari tangannya bahwa saat tersebut sangat singkat.” (HR Muslim dalam kitab Salat Jumat. Imam an-Nawawi turut menukilnya dalam Riyadhus Shalihin)

Pensyarah kitab Riyadhus Shalihin, Musthafa Dib al-Bugha, menjelaskan bahwa waktu istimewa pada hari Jumat tersebut sangat pendek.

Ada suatu riwayat yang menyebut bahwa waktu tersebut terletak di antara duduknya imam hingga selesai salat.

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيٌّ قَالَ قَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَأْنِ سَاعَةِ الْجُمُعَةِ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ

Artinya: “Abdullah bin Umar berkata kepadaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW mengenai waktu (terkabulnya doa) pada hari Jumat?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku pernah mendengarnya dan ayahku mengatakan sebagai berikut, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Waktu tersebut adalah antara duduknya imam hingga selesai salat.” (HR Muslim dalam kitab Salat Jumat)

Sementara itu, Raghib As-Sirjani dalam Ihya 345 Sunnah Nabawiyah, Wasa’il wa Thuruq wa Amaliyah menyebut sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa waktu mustajab hari Jumat yang apabila seseorang berdoa besar kemungkinan terkabulkan terletak di antara Ashar dan Maghrib.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sebaik-baiknya hari di mana matahari terbenam adalah hari Jumat; di dalamnya Adam Alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, dan dikeluarkan dari surga. Pada hari tersebut terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim salat dan berdoa melainkan Allah akan mengabulkannya.”

Abu Hurairah RA bertemu dengan Abdullah bin Salam RA dan menyebutkan hadits tersebut kepadanya. Abdullah bin Salam RA mengatakan mengetahui waktu tersebut. Ia berkata, “Waktu itu antara Ashar dan Maghrib.”

Lalu, Abu Hurairah RA berkata, “Bagaimana bisa waktu itu setelah Ashar sedangkan Rasulullah telah berkata, ‘Tidaklah seorang muslim bertepatan dengannya sedang ia dalam salat,’ sedang waktu tersebut tidak diperbolehkan salat?”

Abdullah bin Salam RA kemudian berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Barang siapa duduk menunggu salat maka ia seperti sedang salat.”

Abu Hurairah RA pun berkata, “Betul.” Maka Abdullah bin Salam RA berkata, “Itulah yang dimaksud.”

Hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Abwab Al-Jumuah dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih dan Dhaif Sunan At-Tirmidzi.

Para ulama berselisih pendapat terkait kapan waktu mustajab pada hari Jumat tersebut. Namun, pendapat di atas dianggap yang paling kuat. Wallahu a’lam.

Doa Hari Jumat setelah Salat Ashar

Dalam kitab Syuabul Iman dan kitab Nurul Lum’ah terdapat bacaan doa yang bisa dipanjatkan selepas salat Ashar di hari Jumat. Berikut bacaannya.

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ خَلَقْتَنِي ، وَأَنَا عَبْدُكَ وَابْنُ أَمَتِكَ ، وَفِي قَبْضَتِكَ ، وَناصِيَتِي بِيَدِكَ ، أَمْسَيْتُ عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ بِنِعْمَتِكَ ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبُ إِلا أَنْتَ

Arab latin: Allahumma Anta Rabbi laa ilaaha illa Anta khalaqtani, wa ana abduka wabnu amatika wafi qabdhotika wa nasiyati bi yadika. Amsaitu ala ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’udzu bika min syarri ma shona’tu. Abu’u bi ni’matika wa abu’u bidzanbi faghfirly dzunubi. Innahu la yaghfirudz dzunuba illa Anta.

Artinya: “Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada tuhan yang aku sembah kecuali Engkau yang telah menciptakanku. Menciptakanku sebagai hamba-Mu dan anak dari hamba sahaya-Mu. Hidupku ada dalam genggaman-Mu. Aku hidup atas janji dan ancaman-Mu. Selama aku bisa, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang telah aku perbuat. Aku telah menyia-nyiakan nikmat-Mu. Dan aku berbuat dosa. Maka ampunilah dosaku. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau.”

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hadits tentang Bahaya Riya, Salah Satunya Dapat Membatalkan Amal Saleh


Jakarta

Riya atau pamer adalah perbuatan tercela yang harus dihindari oleh manusia. Kata riya berasal dari bahasa Arab ra’a-yara-ruyan-wa ru’yatan yang artinya melihat.

Menukil Syarah Riyadhush Shalihin Jilid 4 tulisan Syaikh Muhammad al-Utsaimin, riya dalam Islam identik dengan mereka yang beribadah kepada Tuhannya agar dilihat orang lain dan menuai pujian. Mereka yang riya tidak ikhlas semata mengharap ridha Allah SWT dalam mengerjakan amalnya.

Padahal, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dengan hati yang tulus sebagaimana dikatakan dalam surah Al Bayyinah ayat 5,


وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Artinya: “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).”

Adapun, terkait larangan riya juga disebutkan dalam surah Al Baqarah ayat 264 dengan bunyi sebagai berikut,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.”

Selain surah Al-Qur’an, ada juga sejumlah dalil dari Al-Hadits yang menyebutkan tentang riya. Ini menunjukkan betapa bahayanya riya bagi umat manusia.

Hadits tentang Bahaya Riya

Mengutip buku Kumpulan Hadits Qudsi Pilihan oleh Syaikh Fathi Ghanim, berikut sejumlah hadits yang membahas tentang riya.

1. Hadits Riya Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebut bahwa riya lebih berbahaya ketimbang fitnah dajjal. Beliau berkata,

“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata, “Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya.” (HR Ibnu Majah)

2. Hadits Riya Adalah Perbuatan yang Merusak

Perbuatan riya dikatakan lebih merusak daripada serigala menyergap domba. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi,

“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dan dilepaskan di tengah sekumpulan domba lebih merusak daripada ketamakan seorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Darimi, dan yang lainnya dari Ka’ab bin Malik)

3. Hadits Riya Dapat Menghapus dan Membatalkan Amal Saleh

Riya dapat menghapus hingga membatalkan amal saleh yang telah dikerjakan oleh seorang muslim. Salat mereka dikatakan tidak akan diganjar pahala oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda,

“Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepada-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Bagaimana Cara Menghindari Perbuatan Riya?

Mengutip buku Aqidah Akhlak tulisan Taofik Yusmansyah, berikut sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk menghindari sifat riya.

  • Selalu berbuat baik di hadapan orang banyak maupun tidak ada orang sama sekali. Yakin bahwa Allah SWT Maha Mengetahui
  • Meminta perlindungan dan selalu berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat riya
  • Jangan merasa bangga dengan kelebihan yang dimiliki, jadikan hal tersebut sebagai alasan untuk lebih bersyukur kepada Allah SWT
  • Berbuat sewajarnya dalam berbagai hal, tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurangi
  • Tidak membicarakan perbuatan yang pernah dilakukan kepada orang lain, terlebih jika hanya ingin mendapat pujian

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Hadits, Sumber Hukum Islam yang Kedua setelah Al-Qur’an



Jakarta

Ada empat sumber hukum Islam yang disepakati ulama. Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits.

Sumber hukum Islam adalah suatu rujukan atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam yang selanjutnya akan menjadi pokok dari ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam buku Pendidikan Agama Islam yang ditulis oleh Bachrul Ilmy.

Sumber hukum Islam memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Sumber hukum ini juga tidak akan pernah mengalami kemandegan, kefanaan, ataupun kehancuran. Sumber hukum Islam menurut kesepakatan ulama ada empat, yaitu Al-Qur’an, hadits, dan ijma dan qiyas. Ijma dan qiyas sering juga disebut ijtihad para ulama.


Sedikit pembahasan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Al-Qur’an adalah wahyu yang datangnya dari Allah SWT dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disebarkan sebagai pedoman hidup manusia.

Sumber Hukum Islam yang Kedua: Hadits

Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits Rasulullah SAW. Secara bahasa hadits didefinisikan sebagai ucapan atau perkataan, sedangkan menurut istilah, hadits adalah ucapan, perbuatan, atau takrir Rasulullah SAW yang dicontoh oleh umatnya dalam menjalani kehidupan.

Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an dijelaskan Allah SWT dalam surah Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi,

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Artinya: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Hal ini semakin diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْن لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكُتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)

Artinya: “Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara: kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunah Nabi- Nya.” (HR Malik)

Adapun beberapa fungsi hadits yang perlu diketahui antara lain:

1. Penjelas Ayat Al-Qur’an (Bayan At-Tafsir)

H. Aminudin dan Harjan Syuhada dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Hadis menjelaskan fungsi hadits adalah untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas dan rinci, serta menafsirkan ayat yang umum, menjelaskan maknanya, memberi batas atau syarat ayat Al-Qur’an yang mutlak, dan mengkhususkan yang umum.

2. Penguat Ayat Al-Qur’an (Bayan At-Taqrir)

Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua bukan berarti menambahkan atau menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, namun hanya sekadar menetapkan, memperkokoh, dan mengungkapkan kembali apa yang terdapat di dalamnya.

3. Penetapan Hukum (Bayan At-Tasyri’)

Hadits juga berfungsi sebagai penetapan hukum. Artinya, hadits berguna untuk menetapkan hukum baru yang belum diatur dalam Al-Qur’an secara terperinci.

Hadits dalam segala bentuknya (qauli, fi’li, dan taqriri) juga dinyatakan sebagai suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul dan tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an.

Contohnya adalah hadits yang menjelaskan zakat fitrah, di mana hal ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an.

أَن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعَامِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرِ عَلَى كُلِّ حَرٍ أَوْ عَبْدِ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ (رواه مسلم)

Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim.” (HR Muslim)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hadits Tentang Sholat, Sebagai Penolong dan Penghapus Dosa



Jakarta

Sholat adalah ibadah wajib bagi umat muslim. Rasulullah SAW telah menjelaskan pentingnya sholat melalui beberapa hadits.

Sholat merupakan amalan yang pahalanya dihisab paling pertama. Perintah melaksanakan sholat termaktub dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 103, Allah SWT berfirman

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا


Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Hadits tentang Sholat

Mengutip buku Sifat Shalat Nabi SAW oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin disebutkan sebuah hadits yang menjelaskan Rasulullah SAW sholat dengan menghadap Kakbah.

“Rasulullah SAW melaksanakan sholat wajib maupun sholat sunnah dengan menghadap Kakbah (kiblat). Beliau memerintahkan hal yang demikian kepada orang yang tidak benar dalam sholatnya sebagaimana sabdanya: “Apabila kamu hendak melakukan sholat, berwudhulah dengan sempurna kemudian menghadap kiblat, lalu bertakbirlah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Berikut beberapa hadits Rasulullah SAW tentang sholat dan keutamaannya:

1. Sholat sebagai penghibur jiwa

Rasulullah SAW menyebutkan bahwa sholat menjadi amalan yang bisa menjadi penyejuk hati dan penghibur jiwa. Berdasarkan hadits riwayat An-Nasa’i dan Ahmad Rasulullah SAW bersabda,

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

Artinya: dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikan lah penyejuk hatiku dalam ibadah sholat.

Selain itu, Nabi Muhammad juga meminta sahabatnya Bilal untuk mendirikan sholat. Sebab, ibadah tersebut bisa membuat diri seseorang merasa tenang.

Dalam hadist riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW juga bersabda,

قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ

Artinya: Wahai Bilal, berdirilah. Nyamankan lah kami dengan mendirikan shalat.

2. Sholat sebagai penggugur dosa

Sebuah hadits Rasulullah SAW menyebutkan bahwa sholat bisa membersihkan dosa.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ، هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟

Artinya: bagaimana pendapatmu jika di depan pintu rumahmu ada sungai, lalu Engkau mandi sehari lima kali? Apakah tersisa kotoran di badannya?

Para sahabat menjawab,

لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ

Artinya: tidak akan tersisa kotoran sedikit pun di badannya

Rasulullah SAW pun bersabda,

فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، يَمْحُو اللهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

Artinya: itu adalah permisalan untuk shalat lima waktu. Dengan sholat lima waktu, Allah Ta’ala menghapus dosa-dosa (kecil).

3. Sholat sebagai penolong

Dalam hadist riwayat Abu Dawud, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ، صَلَّى
Artinya: dulu jika ada perkara yang menyusahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendirikan sholat.

Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 45 berfirman:

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

Artinya: dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

4. Sholat memberikan banyak kebaikan

Sholat juga dapat memberikan banyak kebaikan bagi umat Islam. Berdasarkan hadist riwayat Ahmad, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW mengingatkan tentang sholat pada suatu hari, kemudian berkata,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ، وَلَا بُرْهَانٌ، وَلَا نَجَاةٌ ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

Artinya: Siapa saja yang menjaga sholat maka dia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat. Sedangkan, siapa saja yang tidak menjaga sholat, dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dan pada hari kiamat nanti, dia akan dikumpulkan bersama dengan Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.

5. Sholat mencegah perbuatan buruk

Dalil dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabuut ayat 45, Allah SWT berfirman tentang keutamaan sholat untuk mencegah perbuatan buruk.

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Artinya: bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Demikian beberapa dalil hadits dan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang sholat. Sebagai umat Islam sudah sepatutnya menjaga dan mendirikan sholat fardhu sebagai ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah SWT.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Perkara yang Membuat Pahala Amal Kebaikan Ditangguhkan



Jakarta

Ada suatu perkara yang membuat amal kebaikan seseorang ditangguhkan. Menurut hadits, perkara ini berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Hadits yang menyebut ditundanya amal seseorang ini berasal dari Abu Hurairah RA yang meriwayatkan secara marfu’ sebagaimana termuat dalam al-Aẖādīts Al-Qudsiyyah karya Syaikh Fathi Ghanim. Kala itu, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa amalan seseorang akan diaudit pada hari Senin dan Kamis. Lalu, Allah SWT akan memberikan ampunan pada hari tersebut kecuali terhadap orang yang terlibat perselisihan. Amal mereka akan ditunda.

Disebutkan,


“Amalan-amalan akan diperlihatkan pada setiap Kamis atau Senin. Kemudian Allah SWT akan memberi ampunan pada hari itu kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, kecuali seseorang yang antara dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan. Lalu dikatakan, ‘Tunggulah kedua orang ini hingga keduanya berdamai.'”

Riwayat serupa juga termuat dalam Musnad Ahmad dan Shahih Muslim. Keduanya mengulang redaksi ‘tunda amal dua orang ini sampai keduanya berdamai’ sebanyak tiga kali. Nabi SAW bersabda,

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظُرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظُرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Artinya: “Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis. Lalu diampuni seluruh hamba yang tidak berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan sesuatu apa pun. Kecuali orang yang sedang ada permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan: Tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… tunda amal dua orang inin, sampai keduanya berdamai.”

Imam Malik juga meriwayatkan dalam kitab Al-Muwatha’ dari Abu Hurairah RA dengan dua riwayat. Salah satu riwayatnya sama dengan riwayat Muslim yang terakhir, hanya saja tidak ada keraguan. Dalam riwayat itu dikatakan, “Tinggalkanlah atau tunggulah keduanya hingga keduanya kembali (berdamai).”

Terkait hadits ditangguhkannya amal seseorang karena mendiamkan saudaranya, Abu Dawud mengatakan, apabila orang tersebut mendiamkan saudaranya karena Allah SWT, maka dia tidak termasuk dalam hadits ini.

Batas Waktu Mendiamkan Seseorang

Imam Bukhari meriwayatkan sejumlah hadits mendiamkan orang lain dalam kitabnya pada bab Tercelanya Perbuatan Mendiamkan. Salah satunya seperti yang diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Ansari dari Nabi SAW. Menurut hadits ini seseorang tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ

Artinya: “Tidak halal bagi seorang laki-laki yang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu kemudian yang satu berpaling dan yang satunya lagi berpaling. Orang yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.”

Dalam salah satu kitab syarah hadits populer, Al-Anfal, dikatakan, menurut Al-Khaththabi, seorang muslim boleh marah terhadap saudaranya dalam waktu tiga hari karena sedikitnya waktu tiga hari itu. Ia juga mengatakan, seseorang juga tidak boleh mendiamkan saudaranya kecuali karena Allah SWT.

Disebutkan dalam kitab Al-Wafi fi Asy-Syarh Al-Arba’in Imam an-Nawawi, mendiamkan seseorang lebih dari tiga hari karena urusan duniawi hukumnya haram. Namun, apabila mendiamkan seseorang karena Allah SWT maka boleh hukumnya jika itu dilakukan lebih dari tiga hari. Contoh mendiamkan karena Allah SWT ini karena disebabkan urusan agama.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hadits Arbain: Pengertian, Makna, dan Isinya


Jakarta

Hadits merupakan sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) dari Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menetapkan hukum Islam. Menurut KBBI daring, hadits juga diartikan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran.

Adapun sebuah hadits bernama hadits arbain yang disusun oleh Imam an-Nawawi. Dalam hadits ini, dijelaskan tentang segala urusan umat muslim selama di dunia hingga di akhirat kelak.

Lantas, apa saja isi hadits arbain? Simak pembahasannya secara lengkap dalam artikel ini.


Pengertian Hadits Arbain

Hadits arbain adalah kumpulan hadits yang disusun oleh Imam an-Nawawi. Dalam bahasa Arab, arbain memiliki arti 40. Meski begitu, jumlah haditsnya tidak genap berjumlah 40, melainkan ada 42 hadits yang disusun dalam satu kitab.

Mengutip buku Al-Wafi Syarah Hadits Arba’in Imam An-Nawawi oleh Musthafa Dieb Al-Bugha, dkk, hadits ini termasuk hadits yang penting karena merupakan salah satu pusat peredaran ajaran agama Islam. Sebab, hadits arbain berkaitan erat dengan pilar agama Islam, mulai dari ushul (pokok), furu (cabang), dan sejumlah hadits yang berkaitan dengan jihad, adab, hingga nasihat.

Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i pernah berkata “Hadits ini merupakan sepertiga ilmu. Sebab, seorang hamba itu akan mendapat pahala berkat perbuatan hati, lisan, dan anggota badannya, serta niat dilakukan dengan hati yang merupakan salah satu dari ketiganya.”

Di dalam hadits arbain terdiri dari 42 hadits yang shahih, yang mana sebagian besar terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini mengandung banyak hal yang penting serta anjuran untuk melakukan berbagai macam ketaatan, baik di dunia maupun di akhirat.

Selain itu, hadits arbain juga dapat digunakan oleh umat muslim sebagai pengingat agar selalu mencari keridhaan Allah SWT dalam menuntut ilmu dan mengamalkan kebaikan selama hidup di dunia.

Makna Hadits Arbain

Ada sejumlah makna penting yang terkandung di dalam hadits arbain. Dilansir situs Abusyuja, berikut beberapa makna dalam hadits arbain.

  1. Hadits arbain mencakup hadits yang menjadi pedoman umat muslim saat hidup di dunia hingga di akhirat kelah, karena tercantum hal-hal mengenai akidah, syariah, hukum, muamalah, dan akhlak.
  2. Hadits arbain berisikan hadits jawami’ul kalim, yang artinya hadits ini memiliki keutamaan dalam pembahasan singkat dan padat.
  3. Hadits arbain mengandung banyak hal-hal kebaikan yang menjadi satu kesatuan untuk memahami ajaran Islam lebih luas.

Isi Hadits Arbain

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hadits arbain terdiri dari 42 hadits. Apa saja isi hadits tersebut? Mengutip buku Syarah Hadits Shahih Arba’in Nawawi oleh Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf an-Nawawi, berikut isinya.

  1. Amalan bergantung pada niat
  2. Rukun Islam, rukun iman, dan ihsan
  3. Islam dibangun di atas lima dasar (rukun Islam)
  4. Takdir setiap manusia sudah tertulis
  5. Larangan membuat sesuatu yang baru dalam agama atau bid’ah
  6. Segala hal yang haram dan halal telah jelas
  7. Agama adalah nasihat
  8. Terjaganya darah dan harta seorang muslim
  9. Kerjakanlah perintah yang kamu mampu
  10. Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik
  11. Tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu
  12. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
  13. Mencintai kebaikan untuk saudaranya
  14. Tidak halal darah seorang muslim
  15. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
  16. Janganlah engkau marah
  17. Kewajiban berlaku ihsan terhada segala sesuatu
  18. Bertakwalah di mana pun berada
  19. Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu
  20. Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu
  21. Katakan: aku beriman kepada Allah
  22. Apakah aku akan masuk Al-Jannah?
  23. Kesucian itu separuh dari iman
  24. Janganlah kalian saling menzalimi
  25. Bersedekah tidak harus dengan harta
  26. Setiap persendian ada sedekahnya
  27. Kebaikan itu adalah akhlak yang baik
  28. Mendengar dan taat kepada penguasa
  29. Pintu-pintu kebaikan
  30. Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban
  31. Perintah untuk bersifat zuhud (fokus kepada Allah)
  32. Larangan membahayakan diri dan orang lain
  33. Penuntut harus membawa bukti
  34. Kewajiban mengingkari kemungkaran
  35. Sesama muslim adalah saudara
  36. Balasan itu sejenis dengan amalan
  37. Satu kebaikan dibalas 10 hingga 700 kali lipat
  38. Cara mendapatkan kecintaan Allah
  39. Allah mengampuni siapa yang salah dan lupa
  40. Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing
  41. Jauhi hawa nafsu, ikuti syariat Allah SWT
  42. Allah Maha Pengampun

Demikian pembahasan mengenai hadits arbain mulai dari pengertian, makna, dan isi dari hadits tersebut. Semoga artikel ini dapat menambah pemahaman detikers tentang agama Islam.

(ilf/fds)



Sumber : www.detik.com

Dua Salat yang Paling Berat bagi Orang Munafik



Jakarta

Salat yang wajib atas setiap mukallaf–orang yang dikenai beban syariat–terdiri dari lima waktu. Dari jumlah tersebut, ada dua di antaranya yang disebut paling berat bagi orang munafik.

Hadits yang menyebut tentang dua salat yang paling berat bagi orang munafik ini berasal dari Abu Hurairah RA yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW. Menukil kitab Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, berikut bunyi haditsnya.

وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَثْقَلُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوا. (مُتَفَقُ عَلَيْهِ)


Artinya: “Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, ‘Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat Isya dan salat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang terdapat dalam dua salat itu, pasti mereka mendatanginya meskipun dengan merangkak.'” (Muttafaq ‘alaih)

Menurut penjelasan dalam kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul-Ahkam karya Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hadits tersebut menjelaskan bahwa salat Isya dan salat Subuh adalah salat yang paling berat bagi orang munafik. Orang-orang munafik suka pamer dan tidak menyebut nama Allah SWT kecuali sedikit saja, sementara salat Isya dan salat Subuh dikerjakan dalam keadaan gelap dan tidak dapat dilihat orang-orang.

Kondisi tersebut membuat orang munafik merasa berat untuk menjalankan salat Isya dan salat Subuh berjamaah karena tidak terlihat oleh banyak orang–tidak bisa pamer. Apalagi kedua salat itu dikerjakan pada saat-saat istirahat dan tidur.

“Padahal sekiranya mereka mengetahui pahala dan ganjaran pelaksanaannya bersama orang-orang muslim di masjid, tentu mereka akan mendatanginya meski dengan cara merangkak seperti merangkaknya anak kecil,” jelas Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam seperti diterjemahkan Kathur Suhardi.

Pahala Salat Isya dan Subuh Berjamaah

Mengerjakan salat Isya dan Subuh secara berjamaah memiliki keutamaan besar. Menurut sebuah hadits yang termuat dalam kitab Al Islam karya Said Hawwa, pahalanya seperti salat semalaman penuh.

Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ صَلَّى العِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

Artinya: “Barang siapa menunaikan salat Isya dengan berjamaah maka seakan ia telah menjalankan salat setengah malam. Dan barang siapa menunaikan salat Subuh dengan berjamaah maka seakan ia telah menegakkan salat semalam penuh.” (HR Muslim)

Pahala salat berjamaah–tak hanya Isya dan Subuh–juga disebutkan dalam beberapa hadits. Dikatakan, Allah SWT akan melipatgandakan pahala orang yang salat berjamaah. Rasulullah SAW bersabda,

“Salatnya seseorang yang dilaksanakan dengan berjamaah (pahalanya) dilipatgandakan sebanyak dua puluh lima kali dari (pahala) salatnya yang dilakukan di rumah atau di pasar. Hal itu karena (sebelum berangkat) ia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya kemudian ia keluar rumah berangkat ke masjid, dan ia tidak keluar rumah, kecuali hanya karena salat, setiap langkah kaki yang ia ayunkan bisa mengangkat satu derajatnya dan menghapus satu kesalahan.

Kemudian ketika ia salat maka malaikat akan selalu membacakan sholawat (doa) baginya selama ia masih berada di tempat salatnya dan selama ia tidak hadats (batal wudhunya) dengan doa, ‘Ya Allah, curahkan sholawat atasnya, ya Allah kasihilah dia, dan seseorang i antara kalian masih tetap di dalam salatnya selama ia menanti datangnya salat.'” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam redaksi lain dikatakan, “Salat jamaah mengungguli salat sendirian sebanyak 27 derajat (keutamaan).” (HR Bukhari dalam Al Jama’ah wa Al-Imamah dan Muslim dalam Al Masajid wa Mawadhi As-Shalah)

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Diserahkannya Urusan Bukan pada Ahlinya



Jakarta

Kiamat adalah hari yang pasti akan terjadi dan sejumlah tandanya telah disebutkan dalam hadits. Salah satunya diserahkannya urusan bukan pada ahlinya.

Tanda kiamat ini termuat dalam Shahih Bukhari dari hadits Atha’ bin Yasar dari Abu Hurairah RA. Hadits ini turut dinukil Imam Ibnu Katsir dalam kitab An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim.

Diceritakan, seorang Arab Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Kapan kiamat?” Beliau bersabda, “Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancurannya.” Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari)


Menurut penjelasan dalam Al-Masih Al-Muntazhar wa Nihayah Al-Alam karya Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, urusan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah segala jenis urusan, baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Pengarang kitab mencontohkan urusan tersebut antara lain peradilan, fatwa, pendidikan, administrasi, kepemimpinan, dan semua kepentingan umum.

Penyalahgunaan amanah ini, kata Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, merupakan tanda dekatnya hari kiamat.

“Hal ini menunjukkan dekatnya kiamat karena terdapat pengkhianatan terhadap pemimpin dan rakyat yang berimplikasi pada penyelewengan hak dan kemaslahatan serta kemarahan publik dan fitnah,” jelas Abdul Wahab Abdussalam Thawilah seperti diterjemahkan Subhanur.

Lebih lanjut dijelaskan, salah satu dampak dari penyerahan urusan kepada orang yang bukan ahlinya adalah hilangnya kepercayaan di tengah manusia. Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ ، يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذِّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ قَالَ: السَّفِيْهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Artinya: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di saat itu orang yang berdusta dianggap jujur dan orang yang jujur dianggap berdusta, orang yang berkhianat dipercaya dan orang yang jujur dikhianati, serta ruwaidhah berbicara.” Beliau bertanya, “Apa itu ruwaidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan rakyat.” Redaksi lain menyebut, “Orang yang lemah akalnya berbicara tentang masalah orang-orang kebanyakan.”

Hadits tersebut termuat dalam Musnad Ahmad dan Mustadrak Al-Hakim dengan sanad shahih. Ibnu Majah turut meriwayatkannya. Hadits ini turut dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash Shaghir dan Silsilah Ash-Shahihah.

Berkaitan tentang amanah, ulama Mesir, Yusuf Al Qardhawi dalam kitabnya, Akhlaq Al-Islam, menyebutkan sebuah hadits bahwa kekuasaan adalah amanah yang wajib ditunaikan pada tempatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abu Dzar RA tentang kekuasaan,

“Sesungguhnya ia adalah amanah. Sesungguhnya ia di hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya secara hak, lalu menunaikan apa yang ditanggungnya pada keduanya.” (HR Muslim)

Masih banyak hadits lain yang menyebutkan tentang tanda-tanda kiamat, selain diserahkannya urusan bukan pada ahlinya. Meski demikian, waktu datangnya kiamat merupakan rahasia Allah SWT sebagaimana Dia berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 63,

يَسْـَٔلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗوَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُوْنُ قَرِيْبًا ٦٣

Artinya: “Orang-orang bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang hari Kiamat. Katakanlah bahwa pengetahuan tentang hal itu hanya ada di sisi Allah.” Tahukah engkau, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat.”

Dalam surah Al Hajj ayat 7, Allah SWT juga berfirman,

وَّاَنَّ السَّاعَةَ اٰتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيْهَاۙ وَاَنَّ اللّٰهَ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ ٧

Artinya: “Sesungguhnya kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.”

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hadits tentang Iman dan Ihsan, Saat Jibril Mendatangi Rasulullah SAW


Jakarta

Secara bahasa, iman artinya membenarkan. Dalam Islam, iman dikatakan sebagai satu dasar kepercayaan kaum muslimin.

Setidaknya ada 6 rukun iman yang wajib diyakini seperti dikatakan dalam surah An Nisa ayat 136,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada kitab (Al Quran) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”

Mengutip dari buku Islamologi: Arti Iman susunan Maulana Muhammad Ali, iman juga diartikan sebagai percaya. Akar katanya berasal dari amana yang berarti percaya.

Pengertian Iman juga disebutkan dalam hadits dari Umar bin Khatthab, ia berkata pada suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh Malaikat Jibril, Jibril bertanya pada Rasulullah,

“Beritahukanlah kepadaku apa itu iman.” Rasulullah menjawab, “Iman itu artinya engkau beriman kepada Allah, para malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim)

Selain iman, ada juga yang dinamakan ihsan. Ihsan diartikan sebagai kebaikan secara bahasa, sebagaimana dikutip dari buku Aqidah Akhlak oleh Taofik Yusmansyah.

Ilmuwan abad pertengahan, Al-Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa ihsan lebih tinggi dari keadilan (keseimbangan antara memberi dan mengambil). Ihsan dikatakan sebagai sifat yang menjadikan pemiliknya memperlakukan orang lain dengan baik meskipun orang tersebut memperlakukannya dengan buruk.

Terkait iman dan ihsan ini juga tersemat dalam sebuah hadits. Seperti apa? Simak bahasannya berikut ini yang dirangkum dari arsip detikHikmah.

Hadits tentang Iman dan Ihsan

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata:

“Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabatnya, maka datanglah malaikat Jibril (dalam rupa seorang laki-laki) dan bertanya, apa iman itu? Nabi menjawab: engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, dan hari kebangkitan. Kemudian ia bertanya lagi, apa Islam itu? Nabi menjawab: engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, saum di bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji. Kemudian ia bertanya lagi, apa ihsan itu? Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya sesungguhnya Allah melihatmu,” (HR Bukhari).

Hadits serupa dengan redaksi yang berbeda juga terdapat dalam riwayat Muslim. Dari Umar RA, ia berkata:

“Ketika kami berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya.

Lalu, dia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata, ‘Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!’

Rasulullah menjawab, ‘Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.’

Orang itu berkata, ‘Engkau benar.’ Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang iman!’

Rasulullah menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan-Nya, kepada hari kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

Orang tadi berkata, ‘Engkau benar.’ Orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang ihsan!’

Rasulullah menjawab, ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.’

Orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang kiamat!’

Rasulullah menjawab, ‘Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!’

Rasulullah menjawab, ‘Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan putrinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lombalah mendirikan bangunan.’

Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, ‘Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?’ Saya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’

Rasulullah berkata, ‘Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu,” (HR Muslim)

Apa Hubungan Iman dan Ihsan?

Selain iman dan ihsan, ada juga Islam. H Masan dalam buku Pendidikan Agama Islam mengatakan hubungan antara iman, Islam dan ihsan layaknya segitiga sama sisi.

Antara sisi satu dan lainnya memiliki hubungan yang sangat erat. Ia mengibaratkan takwa sebagai segitiga sama sisi, yang masing-masing sisinya terdiri dari iman, Islam, dan ihsan.

Demikian pembahasan mengenai hadits iman dan ihsan. Semoga bermanfaat.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

4 Hadits Ini Jelaskan Keutamaan Sholat Jumat


Jakarta

Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang keutamaan sholat Jumat. Sholat sunnah di hari Jumat ini mendatang pahala dan berkah jika dikerjakan dengan niat tulus semata-mata mengharapkan ridho Allah SWT.

Bagi umat muslim, Jumat merupakan hari yang istimewa. Banyak amalan yang mendatangkan pahala berlimpah ketika dikerjakan di hari Jumat.

Mengutip buku Superberkah Shalat Jumat: Menggali dan Meraih Keutamaan dan Keberkahan di Hari Paling Istimewa karya Firdaus Wajdi dan Luthfi Arif dijelaskan bahwa Jumat menjadi simbol hari berkumpul dalam sosialisasi umat Islam.


Hal ini sesuai dengan makna “Jumat” itu sendiri yang secara etimologis berasal dari kata jama’a – yajmau- jama’ah yang berarti “berkumpul”. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, kata al-jum’atu berarti al-majmu’atu yang bermakna “kumpulan”.

Menurut Ibnu Sirin, yang pertama kali menyebut ‘Jumat’ adalah kaum Anshar. Ketika itu, penduduk Madinah (Anshar) berkumpul di hari ‘Arubah sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah). Mereka berkata, “Dalam satu minggu umat Yahudi memiliki satu hari khusus untuk berkumpul, yaitu hari Sabtu. Umat Nasrani juga memiliki hari khusus, yakni hari Ahad. Mari kita berkumpul untuk menciptakan satu hari khusus, yang pada hari itu kita berzikir dan berdoa kepada Allah.”

Mereka berkata, “Sabtu adalah harinya umat Yahudi. Ahad adalah harinya umat Nasrani. Maka, mari jadikan ‘Arubah hari khusus bagi kita’. Mereka lalu berkumpul untuk menemui As’ad bin Zurarah atau yang dikenal dengan sebutan Abu Umamah. Mereka shalat dua rakaat dengan As’ad bin Zurarah sebagai imam.

Dalam pertemuan itu, Asad juga menyembelih seekor kambing untuk hidangan makan siang setelah shalat. Sejak saat itulah ‘Arubah dinamakan Jumat, yang secara harafiah berarti ‘hari berkumpul’.

Hadits tentang Keutamaan Sholat Jumat

Buku Rahasia Kedahsyatan Hari Jumat Berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah karya Nur Aisyah Albantany menjelaskan sholat Jumat memiliki banyak keutamaan. Sebut saja mulai dari cara bersuci yang sangat dianjurkan untuk mandi besar sebagaimana mandi janabat, cara berpakaian yang dianjurkan memakai pakaian terbagus dan menggunakan wewangian.

Berikut ini beberapa dalil hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan sholat Jum’at.

1. Pahala besar bagi yang datang awal ke masjid

Diriwayatkan dari Aus bin Aus r.a, berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 1077, al-Nasai no. 1364 Ahmad no. 15585).

2. Amalan yang dicatat malaikat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda:
“Jika tiba hari Jumat, maka para Malaikat berdiri di pintu-pintu masjid, lalu mereka mencatat orang yang datang lebih awal sebagai yang awal. Perumpamaan orang yang datang paling awal untuk melaksanakan shalat Jumat adalah seperti orang yang berkurban unta, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban sapi, dan yang berikutnya seperti orang yang berkurban kambing, yang berikutnya lagi seperti orang yang berkurban ayam, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban telur. Maka apabila imam sudah muncul dan duduk di atas mimbar, mereka menutup buku catatan mereka dan duduk mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Ahmad dalam Musnadnya no. 10164)

3. Diampuni dosa di antara dua Jumat

Diriwayatkan dari Salman r.a, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyaknya atau mengoleskan minyak wangi yang di rumahnya, kemucian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan khutbah dengan seksama ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya, no. 859)

4. Pahala mendengarkan khutbah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:

“Jika engkau berkata pada temanmu pada hari Jum’at, “diamlah!” sewaktu imam berkhutbah, berarti kamu telah berbuat sia-sia.” (Muttafaq ‘Alaih, lafadz milik Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 859)

Dalam riwayat Ahmad, dari lbnu ‘Abbas r.a, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang berbicara pada hari Jumat, padahal imam sedang berkhutbah, maka dia seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Dan orang berkata kepada (saudara)-nya, “diamlah!”, tidak ada Jumat baginya.” (HR. Ahmad).

Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa sholat Jumat memiliki pahala besar. Barangsiapa melaksanakannya sesuai dengan syarat-syaratnya, tata tertibnya, sunnah-sunnahnya, maka dia akan memperoleh banyak pahala dan keutamaan sebagai berikut:

– Setiap langkah dari rumahnya menuju ke masjid mendapatkan pahala seperti pahala puasa dan pahala sholat malam setahun penuh.

– Mendapatkan pahala seperti orang yang berqurban unta, atau sapi, atau kambing, atau ayam, atau telur, sesuai seberapa awal ia berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat.

– Mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang telah ia lakukan hingga tiba shalat Jumat berikutnya dan tambahan tiga hari menurut sebagian riwayat.

– Malaikat mencatat pahala shalat Jumatnya di dalam catatan mereka, selain catatan malaikat yang bertugas menuliskan amal.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com