Tag Archives: hadits

Dunia Adalah Penjara bagi Orang Beriman, Apa Maksudnya?


Jakarta

Terdapat sebuah hadits yang menyebutkan bahwa dunia adalah penjara bagi orang yang beriman. Lalu, apa maksud dari kalimat tersebut?

Hadits yang dimaksud adalah sabda Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat shahih sebagaimana dikutip dari Sunan at-Tirmidzi Jilid 3 terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Muhammad Mukhlisin, dan Andri Wijaya yang berbunyi:

عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: (( الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ)). وَفِي الْبَابِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو . هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


Artinya: Dari Qutaibah, dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari al-Ala bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR Tirmidzi)

Mengutip buku Ensiklopedia Mizanul Hikmah Kumpulan Hadits Nabi SAW Pilihan karya Muhammad M Reysyahri, terdapat riwayat lain dengan redaksi serupa. Berikut bunyinya,

رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ: الدُّنْيَا لَا تَصِفُو لِمُؤْمِنٍ، كَيفَ وَهِي سجنه و بلاؤه

Artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Dunia itu tidak akan menyenangkan bagi seorang mukmin. Bagaimana mungkin akan menyenangkan baginya, sementara ia adalah penjara dan musibah (bagi)nya?”

Dalam riwayat lain, disebutkan pula bahwa dunia ini merupakan surganya orang-orang kafir. Rasulullah SAW bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

Artinya: “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)

Dilansir buku Keindahan Surga dan Kengerian Siksa Neraka karya Abu Utsman Kharisman, Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits tersebut. Menurutnya, hadits itu menunjukkan setiap orang beriman ‘terpenjara’ dalam artian terlarang dari berbagai syahwat yang haram dan dibenci Allah SWT selama di dunia.

Orang yang beriman juga dituntut untuk berbuat ketaatan yang memberatkan bagi hawa nafsu. Bila orang beriman ini meninggal, ia baru akan beristirahat. Tidak ada tuntutan lagi untuknya. Sebaliknya, Allah SWT menyiapkan kenikmatan yang terus menerus dan tempat peristirahatan yang sempurna tanpa celah.

Di sisi lain, bagi orang kafir, mereka hanya mendapatkan nikmat dunia. Imam Nawawi menyebut padahal kenikmatan dunia sangat sedikit dan keruh dengan berbagai kesusahan.

“Jika orang kafir itu meninggal, ia berpindah menuju azab yang terus menerus dan penderitaan yang abadi.” demikian penjelasannya.

Lebih lanjut, Abu Fajar Al Qalami dalam buku Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar menambahkan dunia bak penjara bagi orang beriman dibandingkan dengan kenikmatan surga yang disediakan kelak ketika seseorang memasuki ‘kehidupan hakiki’.

Demikian pula sebaliknya, alam kematian di dunia ini merupakan surga bagi orang kafir dibandingkan dengan siksaan neraka yang kelak dihadapi dalam ‘kehidupan baru’. Kondisi orang-orang kafir di akhirat telah digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Muhammad ayat 12 yang berbunyi:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ

Artinya: “Adapun orang-orang yang kufur bersenang-senang dan makan-makan (di dunia) seperti halnya hewan-hewan. Nerakalah tempat tinggal bagi mereka.”

Orang Beriman Harus Tetap Menikmati Kehidupan

Kendati demikian, Haidar Bagir dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan berpendapat bahwa ada persepsi yang keliru di antara masyarakat muslim terhadap hadits, “Dunia merupakan penjara bagi orang mukmin.”

Persepsi yang dimaksud apabila muslim ingin bahagia di akhirat, maka harus hidup sengsara di dunia ini. Keyakinan ini tentu saja keliru. Tidak heran bila ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa orang yang imannya kuat haruslah berpenampilan muram atau melankolis.

Lebih lanjut, Haidar Bagir mencontohkan pula bagaimana seharusnya orang mukmin harus menjalani hidupnya di dunia ini dengan sukacita. Seperti kisah hidup Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW, yang dikenal memiliki penampilan yang rapi dan bersih, menawan dan elegan.

Singkatnya, karena penampilan beliau yang menarik, beliau menjadi sumber fitnah bagi orang-orang yang membencinya. Pernah suatu ketika seorang kafir yang membenci Hasan bin ‘Ali mencegatnya dan berkata, “Kakekmu (Nabi Muhammad) telah mengatakan, bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang beriman. Namun Anda tinggal di dalamnya dengan penuh sukacita.”

Kemudian, Hasan bin ‘Ali menjawab, “Hidupku, meski enak dan menyenangkan di dunia ini, bila dibandingkan dengan sukacita dan kebahagiaan yang akan kudapatkan di akhirat kelak, adalah ibarat neraka. Bayangkan betapa kesenangan yang akan kudapatkan bila aku masuk ke dalam surga Allah SWT? Sedangkan hidupmu, di dunia ini saja sudah sulit, sedang di akhirat nanti akan lebih sulit lagi!”

Kisah Terkait Hadits Dunia Adalah Penjara

Ada sebuah kisah serupa yang masih berkaitan dengan hadits mengenai dunia merupakan penjara bagi orang beriman, merangkum buku Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu oleh Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi terjemahan Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida serta buku Al-Anfal: Syarah Ijmal 300 Hadits Viral Mudah Dihafal karya H. Brilly El-Rasheed, berikut kisah menakjubkan Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan seorang Yahudi.

Dikisahkan pada suatu hari, Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah melewati sebuah pasar yang penuh keramaian, ia datang dengan pakaian yang begitu menawan (pakaian mewah). Kemudian orang Yahudi menyergapnya. Orang Yahudi tersebut merupakan penjual minyak panas, tak heran pakaiannya penuh dengan kotoran minyak.

Tampilan Yahudi tersebut usang dan penuh keprihatinan. Sambil memberhentikan laju kuda Ibnu Hajar, Yahudi tersebut berkata pada Ibnu Hajar, “Wahai Syaikhul Islam (Ibnu Hajar), engkau menyatakan bahwa Nabi kalian (Nabi umat Islam) bersabda, “Ad-dunya sijnul mukmin, wa jannatul kafır (dunia itu penjara bagi orang beriman dan Surga bagi orang orang kafir).” Bagaimana keadaanmu saat ini bisa disebut penjara, lalu keadaanku di dunia seperti ini disebut surga?”

Ibnu Hajar lalu menjawab, “Engkau dengan kesialan dan kenestapaanmu dianggap berada di surga, karena siksa yang jauh lebih pedih yang menantimu di akhirat, jika engkau mati dalam kondisi kafir.

Sedangkan aku dengan segala perlengkapan yang kumiliki yang merupakan kenikmatan duniawi dianggap sebagai penjara dibandingkan dengan kenikmatan yang menantiku di surga, jika Allah SWT memasukkanku ke dalam surga.”

Yahudi itu kembali bertanya, “Apakah benar demikian?”

Ibnu Hajar menjawab, “Ya.”

Lalu, Yahudi itu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Wallahu a’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Doa Haji Mabrur Sesuai Sunnah Arab, Latin dan Artinya


Jakarta

Doa haji mabrur adalah perwujudan harapan jemaah haji setelah merampungkan rangkaian ibadah haji di Tanah Suci. Bacaan doanya dapat merujuk dalam salah satu riwayat hadits.

Haji termasuk dalam amalan rukun Islam kelima. Hukum menunaikan ibadah haji wajib bagi yang mampu sebagaimana termaktub dalam surah Ali Imran ayat 97,

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ


Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Hal ini juga didukung dalam riwayat hadits yang menyebut kewajiban haji sekali seumur hidup bagi yang mampu. Berikut bunyi haditsnya,

خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – ” إِنَّ اَللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اَلْحَجَّ ” فَقَامَ اَلْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كَلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اَللَّهِ? قَالَ: ” لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ, اَلْحَجُّ مَرَّةٌ, فَمَا زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ ” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, غَيْرَ اَلتِّرْمِذِيِّ

Artinya: “Rasulullah SAW pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, ‘Allah telah mewajibkan haji pada kalian.’ Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, ‘Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?’ Beliau berkata, ‘Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunnah’.”

Apa Itu Haji Mabrur?

Dilansir buku Tuntunan Super Lengkap Haji & Umrah karya Sholihin As Suhaili, asal kata mabrur adalah barra yang diartikan mendapat kebaikan atau menjadi baik. Sementara itu, menurut Ibnu Mandzur dalam Lisananul Arab, mabrur mengandung dua makna baik, suci, dan bersih atau dapat merujuk juga pada maqbul atau mendapat rida Allah SWT.

Dengan kata lain, haji mabrur adalah amalan haji yang dikerjakan seorang muslim dengan membawa pulang dampak baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Hal ini menjadi bukti bahwa hajinya telah diterima dan mendapat rida di sisi Allah SWT.

Kemabruran ini juga dapat diraih dengan mengamalkan seluruh syarat dalam ibadah dengan sempurna dan menjauhi segala yang dilarang Allah SWT.

Doa Haji Mabrur Lengkap Arab, Latin dan Artinya

Tidak ada salahnya bagi jemaah haji untuk memohon kepada Allah SWT agar meraih kemabruran haji. Dinukil dari buku Untaian Mutiara Doa karya Ali Manshur, berikut bacaan doa haji mabrur.

اللهُمَّ اجْعَلْهَا حَاجًا مَبْرُوْرًا وَ ذَنْبًا مَغْفُوْرًا

Allaahummaj-‘alhaa hajjan mabruuran wa dzanban maghfuuraan.

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah ia (ibadah) sebagai ibadah haji yang mabrur dan dosa yang diampuni.”

Bacaan doa agar menjadi haji mabrur ini bersumber dari riwayat hadits Jarir, dari Laits, dari Muhammad bin Abdurrahman bin Yazid, dari ayahnya. Ia menceritakan saat dirinya bersama Abdullah lalu berhenti di Jumrah Aqabah, Abdullah pun meminta beberapa batu kepadanya hingga ia memberinya tujuh batu.

Lalu, Abdullah kembali meminta lagi padanya untuk diambilkan tali kekang unta.

Setelah itu, Abdullah kembali ke Jumrah Aqabah dan melemparnya dari perut lembah dengan tujuh batu kerikil sembari dia menunggangi untanya sambil bertakbir setiap kali melempar satu kerikil. Abdullah mengucapkan, ‘Ya Allah, jadikanlah ia (ibadah) sebagai ibadah haji yang mabrur dan dosa yang diampuni (doa haji mabrur).’ (HR Ahmad)

Tanda Haji Mabrur

Pada dasarnya, predikat haji mabrur adalah hak prerogatif dari Allah SWT. Namun, orang yang meraih haji mabrur dapat terlihat dari perubahan sikapnya.

Dilansir buku Fikih Kontemporer Haji dan Umrah karya Ahmad Kartono, perubahan sikap jemaah haji mabrur terlihat dari perubahan sikapnya yang lebih baik setiba jemaah tersebut sampai di rumah dibandingkan sebelum berangkat haji. Hal ini dituturkan oleh para ulama, salah satunya dalam kitab al-Qira Liqasidi Ummil Qira.

Tanda kemabruran haji seseorang juga dapat dilihat dari kepedulian sosial dan sifat kedermawanannya. Hal ini didasarkan dari salah satu riwayat Rasulullah SAW,

“Tidak ada balasan bagi haji yang mabrur selain surga.” Para sahabat bertanya, “Apa haji mabrur itu, wahai Rasulullah?”

Beliau pun menjawab, “Memberikan makan (sikap kedermawanan) dan menyebarkan kesejahteraan (kedamaian).” Adapun dalam riwayat lain, “Baik tutur katanya.”

Syarif Hidayatullah dalam buku 65 Kultum Kamtibmas menyimpulkan setidaknya ada tiga ciri dari muslim yang tergolong haji mabrur, yaitu:

  • Santun dalam berkata atau thayyibul kalam
  • Menebarkan kedamaian atau ifsya’us salam
  • Memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar atau ith’amut tha’am

Keutamaan Haji Mabrur

Haji mabrur disebut sebagai salah satu amalan yang utama. Dikutip dari Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq terjemahan Abu Aulia dan Abu Syauqina, sebuah hadits dari Abu Hurairah RA yang mengutip sabda Rasulullah SAW menjelaskan sebagai berikut.

Rasulullah SAW pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Yaitu beriman kepada Allah dan rasul-Nya.”

Beliau ditanya lagi, “Setelah itu apa?” Rasulullah SAW menjawab, “Berjihad di jalan Allah haji mabrur.” (HR Bukhari)

Ustaz A. Solihin As Suhaili dalam buku Tuntunan Super Lengkap Haji & Umrah menyebutkan dalam sebuah hadits, bagi mereka yang mendapat gelar haji mabrur maka mendapat ganjaran berupa surga. Hal ini dijelaskan dalam salah satu sabda Rasulullah SAW,

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Artinya: “Tidak ada balasan (yang layak) bagi jamaah haji mabrur selain surga.” (HR Bukhari)

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com

Seperti Apa Aroma Surga? Begini Penjelasannya Menurut Hadits


Jakarta

Surga adalah tempat yang penuh kebahagiaan dan kedamaian abadi. Penghuni surga kekal di dalamnya dan terbebas dari segala penderitaan serta kesulitan.

Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 13,

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ


Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang dialiri sungai-sungai, di mana mereka akan kekal di dalamnya. Itu adalah kemenangan yang besar.”

Selain itu, pada beberapa hadits turut diterangkan tentang aroma surga. Seperti apa aromanya?

Aroma Surga Seperti Wangi Kasturi

Menukil dari buku Megahnya Surga oleh Abdullah Syafi’ie, wangi surga diibaratkan seperti aroma kasturi. Ini sesuai dengan hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Tanah surga berwarna putih, halamannya berupa batuan marmer. Ia dikelilingi kasturi seperti tuangan pasir. Di dalamnya terdapat sungai-sungai yang tersusun. Di sana penghuni surga dari tingkatan yang rendah dan tinggi bersua lalu saling berkenalan. Allah lalu menghembuskan angin rahmat, lalu tersebarlah wangi kasturi. Seorang laki-laki pulang menemui istrinya dalam keadaan yang semakin anggun dan wangi.”

Pada riwayat lainnya dikatakan wangi kasturi merupakan aroma debu dari surga. Nabi SAW bersabda,

“Ketika aku berjalan ke surga, aku melihat sungai yang di kedua tepinya terdapat gundukan mutiara. Aku bertanya kepada Jibril, ‘Apakah ini, wahai Jibril?’ Lalu, Jibril menjawab, ‘Ini adalah telaga Kautsar yang Allah berikan untukmu.’ Ternyata, debu surga adalah kasturi yang murni dan sangat wangi.” (HR Bukhari)

Dua Macam Aroma Surga

Sementara itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam karyanya yang bertajuk Hadiul Arwah ila Biladil Afrah terjemahan Fadhli Bahri menjelaskan bahwa ada dua macam wangi surga. Aroma pertama yaitu bisa ditemui dan dihirup oleh selain arwah, sehingga manusia yang masih hidup tidak dapat mencium wangi ini.

Sementara itu, aroma surga kedua dapat dideteksi dengan panca indra khususnya penciuman seperti aroma bunga dan sebagainya. Aroma jenis kedua dapat dijangkau seluruh penghuni surga di akhirat, baik dari tempat jauh maupun dekat.

Aroma surga dapat dicium dari jarak perjalanan puluhan hingga ratusan tahun. Ada yang menyebut 40 tahun, 50 tahun, 500 tahun, dan 1000 tahun perjalanan.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Nabi SAW bersabda,

“Barangsiapa mengaku bernasab kepada selain ayahnya sendiri, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu benar-benar bisa tercium dari jarak perjalanan 50 tahun.” (HR Ahmad)

Wallahu a’lam

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Hadits Larangan Meminta Jabatan, Pemimpin Harus yang Dicintai dan Mencintai Rakyat



Jakarta

Larangan meminta jabatan dijelaskan dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. Seorang calon pemimpin dilarang untuk meminta jabatan karena hal tersebut dapat membawa pada kesesatan.

Menjabat posisi sebagai pemimpin bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan sosok yang cerdas, kuat, bijaksana serta adil agar dapat menjalankan tanggung jawabnya secara amanah.

Seorang pemimpin hendaknya memiliki rasa cinta kepada rakyatnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits,


“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim).

Hadits Larangan Meminta Jabatan

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang larangan meminta jabatan. Dari Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi SAW berkata,

عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Artinya: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR. Bukhari).

Dalam buku 100 Hadits Pilihan (Materi Hafalan, Kultum dan Ceramah Agama) karya Muhammad Yunan Putra, Lc., M.HI. hadits ini memiliki kandungan bahwa pemimpin adalah orang yang diberikan amanah dan menaungi kehidupan orang banyak, tidak hanya bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup masyarakatnya (kemakmuran) tapi juga melindungi dari segala yang membahayakan mereka. Seorang pemimpin adalah orang yang menempakan kaki kanannya berada di surga dan kaki kirinya berada di neraka; artinya sedikit saja ia tergelincir maka neraka adalah tempat mereka namun apabila mereka adil terhadap rakyatnya, maka surgalah tempatnya.

Maka dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kandungan, diantaranya:

1. Larangan meminta untuk ditunjuk atau dipilih menjadi seorang pemimpin, namun larangan ini tidak bersifat mutlak; artinya seseorang boleh saja meminta meminta namun dengan syarat hendaknya ia benar-benar mampu dalam segala hal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf ketika ia meminta untuk ditunjuk menjadi seorang bendahara negara.

2. Terdapat juga kisah seorang sahabat yang meminta jabatan, namun ditolak oleh Rasulullah SAW karena dianggap tidak mampu dan Rasulullah mengkhawatirkan akan menjerumuskannya dalam neraka.

Ia adalah Abu Dzar RA, seorang sahabat yang meminta jabatan kepada Nabi SAW, lalu nabi menolaknya:

يَا رسول الله، ألا تَسْتَعْمِلُني؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبي، ثُمَّ قَالَ: ((يَا أَبَا ذَرٍّ، إنَّكَ ضَعِيفٌ، وإنّها أمانةٌ، وَإنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلا مَنْ أخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا)). رواه مسلم.

Dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (Muslim)

3. Pemimpin yang diangkat bukan karena meminta maka akan ditolong oleh Allah SWT, berbeda dengan pemimpin yang ditunjuk karena meminta jabatan, mereka akan ditelantarkan oleh Allah SWT.

4. Ketika seorang pemimpin tidak mampu menunaikan janji yang mereka ucapkan, maka wajib membayar kafarat sumpah (kafaratul yamin). Kafarat sumpah ini bersifat umum, tidak hanya sumpah atau janji yang dilakukan oleh para pemimpin namun kepada siapa saja yang telah melakukan sumpah, janji atau bernazar terhadap sesuatu.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Al-Abbas pernah meminta kepada Rasulullah SAW jabatan sebagai gubernur Makkah dan Thaif atau Yaman, maka beliau bersabda kepadanya, “Hai paman, satu jiwa yang engkau selamatkan lebih baik dari kekuasaan yang tidak dapat engkau pertanggungjawabkan.”

Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abbas pamanku, dan Shafiyah bibiku, serta Fatimah binti Muhammad, aku sama sekali tidak dapat menjadi jaminan keselamatan bagi kalian di hadapan Allah nanti. Bagiku mal ibadahku dan bagi kalian amal ibadah kalian.”

Hadits Pemimpin yang Memberikan Jabatan pada Orang yang Tidak Amanah

Mengutip buku 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah karya Imam Ibnul Jauzi, jabatan bisa menjadi sebuah cobaan, jika pemimpin tidak amanah maka langit dan bumi serta gunung, niscaya semuanya enggan menerimaya dan merasa berat.

Yazid bin Jabir meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Amrah Al-Anshari, bahwa Umar bin Khattab mempekerjakan seorang lelaki dari Anshar untuk mengurus sedekah, kemudian dia melihatnya setelah beberapa hari berdiam dir rumah. Dia pun berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak pergi ke tempat kerjamu? Apakah engkau tidak tahu bahwa dengan bekerja engkau akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah?”

Dia menjawab, “Saya tidak tahu. Mengapa bisa seperti itu?”

Lalu dia melanjutkan, “Saya mendengar kabar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja pemimpin yang memegang suatu jabatan mengurus urusan manusia, niscaya dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan terikat tangannya ke lehernya. Kemudian dia dihentikan di jembatan neraka, dan jembatan itu pun bergerak keras sehingga seluruh bagian tubuh orang itu terlepas dari tempatnya. Kemudian bagian-bagian tubuhnya itu dikembalikan ke tempatnya. Dam, dia pun diperhitungkan perbuatannya. Jika dia berbuat baik, maka dia selamat dengan perbuatan baiknya itu. Sedangkan jika dia berbuat buruk, maka jembatan itu akan terbakar membakar dirinya, dan dia pun jatuh ke neraka yang dalamnya tujuh puluh tahun.”

Mendengar hadits ini, Umar RA yang memberikan jabatan kepada orang yang tidak amanah tersebut lantas berucap, “Duhai malangnya Umar, bukankah ia adalah orang yang memegang tampuk kekuasaan umat dengan segala tanggung jawabnya?”

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pemimpin adalah al huthamah.” Dia adalah orang yang binasa.

Al-huthamah adalah pemimpin yang tegas dan keras terhadap pegawainya, namun memberikan kelonggaran bagi dirinya sendiri untuk bertindak korupsi.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Kebanyakan Penghuni Surga Adalah Orang Miskin?


Jakarta

Kemiskinan sering kali dipandang sebagai ujian berat dalam kehidupan. Namun, Rasulullah SAW memandangnya berbeda, beliau justru pernah berdoa agar dijadikan orang miskin.

Rasulullah SAW bersabda,

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Artinya: “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin, dan matikan aku juga sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku pada hari Kiamat bersama-sama orang-orang miskin.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Meskipun orang miskin diuji dengan kekurangan harta, mereka justru mendapatkan keutamaan besar di akhirat. Bahkan, orang miskin disebut sebagai penghuni surga paling banyak. Lantas, benarkah kebanyakan penghuni surga adalah orang miskin? Inilah penjelasan selengkapnya.

3 Keutamaan Orang Miskin

Rasulullah SAW pernah memberitakan bahwa kaum miskin merupakan kaum yang dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Reuni Ahli Surga yang ditulis oleh Ahmad Abi Al-Musabbih, suatu ketika terdapat kaum miskin mengutus utusannya untuk mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadukan perkara, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan dari orang-orang miskin kepadamu.”

“Selamat datang engkau dan yang mengutusmu, engkau datang dari kaum yang dicintai Allah,” sambut Rasulullah SAW dengan hangat.

Kemudian sahabat itu melanjutkan keluhannya, “Wahai utusan Allah, para orang miskin mengeluhkan sesungguhnya golongan orang kaya telah memborong semua amal baik, mereka mampu berhaji sedang kami tidak. Mereka mampu bersedekah, sedang kami tidak. Jika sakit mereka mengirim uang dari tabungan mereka.”

Selanjutnya Rasulullah SAW pun bersabda, “Sampaikan pesanku kepada orang-orang miskin barang siapa yang bersabar karena mengharap pahala, maka ia akan mendapatkan tiga macam yang tidak didapatkan orang-orang kaya.

Pertama, sesungguhnya di surga ada ruangan dari yaqut merah yang para penghuni surga memandang kepadanya seperti memandang bintang. Ruangan tersebut tidak bisa dimasuki kecuali oleh Nabi yang miskin, orang syahid yang miskin, dan orang mukmin yang miskin.

Kedua, orang-orang miskin lebih dulu masuk surga daripada orang-orang kaya sekadar setengah hari yaitu kira-kira lima ratus tahun lamanya, mereka lebih dulu bersenang-senang dalam surga. Sebagaimana Nabi Sulaiman bin Daud AS yang masuk surga setelah para nabi yang lain, kira-kira 40 tahun setelahnya karena kerajaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya di bumi.

Ketiga, jika orang miskin melafalkan, “Subhanallah wahamdulillah wala ilaaha illaallaha wallahu akbar” dengan hati ikhlas dan orang kaya juga membacanya seperti itu juga, maka orang kaya tidak bisa mengejar orang fakir meskipun ditambah dengan sedekah 10 ribu dirham. Begitu juga amal kebaikan yang lainnya.”

Benarkah Kebanyakan Penghuni Surga Adalah Orang Miskin?

Rasulullah SAW pernah melihat kebanyakan penghuni surga adalah orang miskin. Ibnu Katsir dalam kitab An Nihayah: fitan wa ahwal akhir az zaman terjemahan H. Anshori Umar Situnggal mengutip sebuah riwayat Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَقُمْتُ عَلَى بَاب النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ.

Artinya: “Aku pernah berdiri di pintu surga, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Dan aku telah berdiri di pintu neraka, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah kaum wanita.”

Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ إِطَّلَعَ فِي النَّارِ فَرَأَى أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ وَاطَّلَعَ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَى أَكْثَرُ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءِ.

Artinya: “Rasulullah telah memeriksa keadaan neraka, dan ternyata beliau melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Dan beliau telah memeriksa pula keadaan surga, dan ternyata beliau melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir.”

Disebutkan pula bahwa orang miskinlah yang pertama kali memasuki surga sebelum orang kaya. Jarak waktunya 500 tahun. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ مائة عام.

Artinya: “Orang-orang fakir dari kaum muslimin masuk surga setengah hari, yaitu lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya dari mereka.”

Riwayat-riwayat di atas menyatakan orang-orang miskin memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allah SWT dan mereka adalah sebagian besar penghuni surga.

Meski demikian, mengutip buku Qirā’ah mubādalah yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir, para ulama memandang seseorang tidak hanya bisa masuk surga atau neraka karena faktor kemiskinan atau kekayaan semata, tetapi juga karena sifat dan kebiasaan yang dimilikinya.

Orang miskin cenderung memiliki sifat-sifat seperti mudah menerima, sabar, tenggang rasa, ramah, baik hati, dan rela berbagi harta untuk kebaikan orang lain. Amal perbuatan inilah yang dapat membawanya masuk surga.

Sebaliknya, kekayaan bukanlah satu-satunya faktor yang menjadikan seseorang penghuni neraka. Sifat-sifat buruk seperti serakah, sombong, dan menghalalkan segala cara justru dapat menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka.

Namun, sifat-sifat ini bisa berlaku sebaliknya. Orang kaya yang bersabar, tenggang rasa, ramah, baik hati, dan mau berbagi harta untuk sesama juga dapat meraih surga. Begitu pula, orang miskin pun bisa terjerumus dalam neraka jika ia serakah, tamak, dan perilaku yang menghalalkan segala cara.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ada 4 Golongan Orang yang Dirindukan Surga, Ini Amalannya


Jakarta

Surga adalah tempat yang penuh keindahan dan kebahagiaan abadi, menjadi balasan bagi mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Menurut sebuah hadits, surga merindukan empat golongan orang di dunia.

Empat golongan yang dirindukan surga ini adalah mereka yang memiliki amal dan keutamaan luar biasa. Siapakah empat orang yang dirindukan surga? Apa yang membuat mereka begitu mulia hingga dirindukan oleh tempat termulia ini? Berikut penjelasannya.

4 Golongan Orang yang Dirindukan Surga

Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA menyebutkan ada empat golongan yang dirindukan surga. Beliau SAW bersabda,


الْجَنَّةُ مُشْتَاقَةٌ اِلَى أَرْبَعَةِ نَفَرٍ : تَالِى الْقُرْانِ, وَحَافِظِ اللِّسَانِ, وَمُطْعِمِ الْجِيْعَانِ, وَصَا ئِمٍ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ

Artinya: “Surga merindukan empat golongan: orang yang membaca Al-Qur’an, menjaga lisan (ucapan), memberi makan orang lapar, dan puasa di bulan Ramadan.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits tersebut juga terdapat dalam buku What Is Next? karangan Mukhammad Yusuf dengan redaksi berikut,

Rasulullah SAW bersabda, “Surga sangat rindu terhadap empat golongan, yaitu: Pembaca Al-Qur’an, pemelihara lisan dari ungkapan keji dan mungkar, pemberi makan orang yang lapar, serta mereka yang ahli puasa di bulan Ramadan.” (HR Abu Daud)

Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa empat orang yang dirindukan surga adalah pembaca Al-Qur’an, menjaga lisan, pemberi makanan dan orang yang berpuasa pada bulan Ramadan. Berikut penjelasannya.

1. Pembaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an tidak hanya membawa pahala besar, tetapi juga berbagai keutamaan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT di balik setiap huruf dan ayatnya. Dalam Al-Qur’an, tersimpan rahmat, petunjuk, dan hikmah dari Allah SWT untuk dijadikan pedoman kehidupan dunia dan akhirat.

Allah SWT berfirman dalam surah Fathir ayat 29-30,

اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَۙ ٢٩ لِيُوَفِّيَهُمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ اِنَّهٗ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ ٣٠

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an), menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan pernah rugi. (Demikian itu) agar Allah menyempurnakan pahala mereka dan menambah karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”

Keutamaan membaca Al-Qur’an tidak hanya berfokus pada aktivitas membaca semata. Rasulullah SAW menegaskan pentingnya mengajarkan dan mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pembaca Al-Qur’an termasuk empat orang yang dirindukan surga.

2. Menjaga Lisan

Menjaga lisan adalah salah satu karakter penting yang harus dimiliki setiap muslim. Dalam kehidupan sehari-hari, lisan memiliki pengaruh besar terhadap orang lain dan diri sendiri. Allah SWT minta hamba-Nya menjaga lisan, sebagaimana Dia berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 70,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ٧٠

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”

Adapun dalam hadits dikatakan, satu kalimat buruk yang tidak dipikirkan dampaknya bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka jahanam.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka jahanam.” (HR Al-Bukhari)

Peringatan ini menunjukkan bahwa lisan tidak hanya alat komunikasi, tetapi juga alat yang dapat menentukan nasib seseorang di akhirat. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa seorang muslim yang tidak menjaga lisannya hingga mengganggu orang lain, belum sempurna keislamannya.

3. Pemberi Makanan

Memberi makanan kepada orang yang kelaparan adalah salah satu ciri akhlak mulia seorang muslim. Perbuatan ini tidak hanya mencerminkan kepedulian sosial, tetapi juga mendatangkan kemuliaan yang sebanding dengan keadaan mereka di akhirat kelak.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat satu kamar yang luarnya bisa dilihat dari dalamnya dan dalamnya bisa dilihat dari luarnya. Abu Malikal-Asy’ari berkata, ‘Bagi siapakah kamar ini wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Untuk yang baik perkataannya, suka memberikan makanan, dan senantiasa bangun di malam hari pada saat manusia tertidur.” (HR Ath-Thabrani)

Allah SWT juga memberikan janji balasan kepada mereka yang telah memberikan makanan bagi yang kelaparan seperti orang miskin, kelaparan dan tawanan perang. Sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Insan ayat 8-12,

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا ٨ اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا ٩ اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا ١٠ فَوَقٰىهُمُ اللّٰهُ شَرَّ ذٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ ١١ وَجَزٰىهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَّحَرِيْرًاۙ ١٢

Artinya: “Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.” Maka, Allah melindungi mereka dari keburukan hari itu dan memberikan keceriaan dan kegembiraan kepada mereka. Dia memberikan balasan kepada mereka atas kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutra.”

Keutamaan ini menjadi bukti bahwa setiap tindakan memberi makanan yang dilakukan dengan niat tulus akan menjadi salah satu sebab seorang muslim dirindukan oleh surga.

4. Berpuasa pada Bulan Ramadan

Berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban yang harus dijalankan setiap muslim yang telah baligh. Bulan suci ini menyimpan kemuliaan yang begitu besar, sehingga menjadi salah satu momen yang dirindukan oleh umat Islam setiap tahunnya. Tidak hanya itu, menjaga puasa selama Ramadan dengan keikhlasan dan penuh keimanan menjadi salah satu sebab seorang Muslim dirindukan oleh surga.

Rasulullah SAW menyampaikan keutamaan puasa Ramadan dalam hadits, “Siapa saja yang melaksanakan qiyam Ramadan atas dasar keimanan dan semata-mata karena Allah, maka akan diampuni dosanya-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)

Empat golongan ini adalah teladan bagi umat Islam dalam menjaga hubungan dengan Allah SWT dan berbuat kebaikan kepada sesama. Mereka mengabdikan hidupnya untuk amal yang membawa kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Keselamatan Manusia Tergantung Kemampuan Jaga Lisan


Jakarta

Menjaga lisan adalah perkara yang penting dalam Islam. Baginda Nabi Muhammad SAW berulang kali berpesan agar seseorang hati-hati dengan lisannya.

Dalam sebuah hadits, beliau bersabda,

سلامة الإنسان في حفظ اللسان


Artinya: “Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (HR Bukhari)

Imam an-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin turut memaparkan hadits serupa dari Uqbah bin Amir RA, ia berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: «أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعُكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ رَوَاهُ التَّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ

Artinya: “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang menyebabkan keselamatan?’ Beliau menjawab, ‘Kenanglah lidahmu, tetaplah dalam rumahmu, dan tangisilah dosamu’.” (HR At-Tirmidzi dan ia menyatakannya hasan)

Penerjemah lainnya mengartikan kata أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ sebagai “jagalah lisanmu”.

Menurut penjelasan dalam Syarah Riyadhus Shalihin yang diterjemahkan Misbah, hadits tersebut mengandung anjuran menjaga lisan dan sibuk dengan urusan pribadi apabila ia tidak sanggup memberikan manfaat bagi orang lain atau khawatir agama dan dirinya rusak ketika bergaul dengan banyak orang.

Imam at-Tirmidzi dalam kitab Zuhud bab Menjaga Lisan juga memaparkan hadits urgensi menjaga lisan demi keselamatan. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dari Nabi SAW yang bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ النِّسَانَ، تَقُولُ : اِتَّقِ اللَّهَ فِينَا، فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ: فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا رَوَاهُ التَّرْمِذِيُّ.

Artinya: “Apabila datang waktu pagi, maka semua anggota badan manusia memperingatkan lidahnya, di mana anggota-anggota badan itu berkata, ‘Takutlah kepada Allah dalam memelihara keselamatan kami, karena nasib kami tergantung kamu. Bila kamu lurus, maka kami pun lurus. Dan bila kamu bengkok, maka kami pun bengkok’.” (HR At-Tirmidzi)

Pensyarah kitab Riyadhus Shalihin Imam an-Nawawi mengatakan, menjaga lisan penting demi keselamatan seseorang karena lisan merupakan delegasi dan penerjemah hati. Dua anggota tubuh itu bisa menentukan selamat tidaknya seseorang.

“Manusia itu bergantung pada dua benda kecil pada tubuhnya, yaitu lidah dan hatinya. Anggota badan itu terpengaruh secara negatif oleh dosa dan maksiat yang dilakukan anggota badan lain,” jelas pensyarah.

Bahaya Lisan

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas bahaya lisan. Kitab tersebut berjudul Afat al-Lisan.

Di antara bahaya lisan itu adalah berbincang tentang kebatilan. Maksud kebatilan, kata Imam al-Ghazali, adalah berbicara tentang maksiat seperti menceritakan masalah wanita, tempat-tempat minuman keras, orang fasik, kemewahan orang kaya, dan tingkah laku yang tidak baik lainnya.

Selain itu, lisan juga bisa memicu pertengkaran, saling hujat, dendam, dan kejahatan lain akibat berbantahan dan berdebat. Menurut Imam al-Ghazali, cara paling efektif mengatasi sifat buruk yang timbul dari lisan adalah menghancurkan kesombongan diri yang mendorong untuk selalu menampakkan kelebihannya.

“Kemudian menghancurkan sifat kebinatangan yang selalu ingin menjatuhkan orang lain di depan umum. Sesungguhnya cara yang paling mudah untuk mengobati penyakit adalah dengan memberantas dan menghindari berbagai sebab yang menimbulkannya,” jelas Imam al-Ghazali seperti diterjemahkan Fuad Kauma.

Lidah termasuk anggota tubuh yang harus dilindungi dari dosa bersama dengan mata, telinga, hati, dan perut. Salah satu cara menjaga lisan adalah dengan diam. Rasulullah SAW bersabda,

النَّاسُ ثَلَاثَةٌ غَانِمٌ وَسَالِمٌ وَشَاحِبٌ فَالْغَانِمُ الَّذِي يَذْكُرُ اللَّهَ وَالسَّالِمُ السَّاكِتُ وَالشَّاحِبُ الَّذِي يَخُوضُ فِي الْبَاطِلِ

Artinya: “Manusia itu ada tiga macam: (1) orang yang memperoleh kemenangan, (2) orang yang selamat, (3) orang yang binasa. Orang yang memperoleh kemenangan adalah orang yang berzikir kepada Allah. Orang yang selamat adalah orang yang diam. Sedangkan orang yang binasa adalah orang yang banyak bicara tentang kebatilan.” (HR Thabrani dan Abu Ya’la)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Simpanan Pahala bagi Orang yang Berdoa tapi Tak Kunjung Dikabulkan


Jakarta

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dan Dia akan mengabulkan setiap permintaan. Janji Allah SWT ini disebutkan dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam surah Gafir ayat 60,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖࣖࣖ ٦٠


Artinya: Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”

Menurut Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, melalui surah Gafir (Al Mu’min) ayat 60 Allah SWT menyeru agar berdoa dan memohon kepada-Nya. Dalam berdoa, ada sejumlah adab yang perlu dijaga.

Pertama, kata Buya Hamka, hendaklah ikhlas hati kepada-Nya. Kedua, percaya bahwa permohonan niscaya akan dikabulkan. Ketiga, menanamkan kepercayaan penuh bawa tawajjuh berdoa adalah taufik atau bimbingan dari Allah SWT yang keuntungannya adalah mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun apabila terkabul itu adalah karunia kedua.

Namun, tak semua doa langsung dikabulkan, ada kalanya itu menjadi simpanan pahala di akhirat. Imam Bukhari dalam kitab Shahih Adabul Mufrad yang ditakhrij Syekh Al-Albani dan diterjemahkan Abu Ahsan memaparkan sejumlah riwayat yang menerangkan hal ini.

Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri, dari Nabi SAW,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو لَيْسَ بِإِثْمٍ وَلَا بِقَطِيْعَةِ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ يَعْجَلَ لَهُ دَعْوَتَهُ وَإِمَّا أَنْ يُدَخِّرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَدْفَعَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلِهَا قَالَ إِذَا يُكَفِّرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ

Artinya: “Tiada seorang muslim yang berdoa, selagi tidak untuk berbuat dosa atau memutuskan silaturrahim, kecuali Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: Adakalanya doanya dikabulkan segera. Adakalanya doa itu sebagai simpanannya untuk besok di akhirat. Adakalanya Allah akan menolak kejelekan sebesar permintaannya.” Abu Said berkata, “Jika demikian, maka kita perbanyak doa!” Nabi menjawab, “Allah lebih banyak.”

Hadits tersebut shahih. Terdapat dalam kitab Takhrijut-Targhibi juga diriwayatkan at-Tirmidzi dalam kitab Ad-Da’awaah dari Ubadah bin Shamit.

Doa yang tak segera dikabulkan dan adakalanya menjadi simpanan di akhirat juga diterangkan melalui hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW yang bersabda,

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ صَبَّ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ يَسْأَلَهُ مَسْأَلَةً إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهَا إِمَّا عَجَّلَهَا لَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِمَّا ذَخَرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مَا لَمْ يَعْجَلْ قَالُوا يَا رَسُولُ اللَّهِ وَمَا عَجَلْتُهُ قَالَ يَقُوْلُ دَعَوْتُ وَدَعَوْتُ وَلَا أَرَاهُ يُسْتَجَابُ لِي

Artinya: “Tiada seorang mukmin yang mengangkat mukanya kepada Allah seraya memohon, kecuali Allah pasti akan mengabulkannya. Adakalanya dikabulkan dengan disegerakan-Nya di dunia, dan adakalanya dijadikan simpanan baginya besok di akhirat selama ia tidak tergesa-gesa.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?” Nabi menjawab, “Dia berkata, ‘Saya telah berdoa, dan berdoa tapi tidak pula dikabulkan-Nya’.”

Hadits tersebut shahih dari sumber yang sama. Selain Bukhari, Abu Daud dan Muslim juga meriwayatkannya.

Waktu Mustajab Berdoa

Berdoa bisa dilakukan kapan saja. Namun, ada sejumlah waktu yang disebut mustajab atau besar kemungkinan doa yang dipanjatkan akan dikabulkan. Salah satu waktu mustajab ini adalah di sepertiga malam terakhir.

Hal tersebut mengacu pada sabda Rasulullah SAW, “Pada setiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia), ketika tinggal sepertiga malam yang akhir Dia berfirman, ‘Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barang siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Hadits Memuliakan Tamu dan Adabnya dalam Islam


Jakarta

Dalam Islam, muslim dianjurkan untuk memuliakan tamu. Ketika seseorang bertamu, maka kita harus menjamunya dengan cara-cara yang baik.

Anjuran memuliakan tamu juga termaktub dalam surah Al-Hasyr ayat 9. Allah SWT berfirman,

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ ٩


Artinya: “Orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.”

Menukil dari buku Pendidikan Agama Islam oleh Bachrul Ilmy, Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan umatnya untuk memuliakan tamu. Hal ini disebutkan dalam beberapa hadits.

Hadits Anjuran Memuliakan Tamu

Diterangkan dalam Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah oleh Imam Muhyidin An-Nawawi terjemahan Salafuddin Abu Sayyid, terdapat beberapa hadits yang membahas tentang memuliakan tamu. Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Muslim).

Kemudian dalam hadits lainnya Nabi SAW berkata,

“Jibril masih saja mewasiatkan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga sehingga aku menyangka bahwa ia akan menjadi ahli waris atas tetangganya yang lain.” (HR Bukhari)

Penghormatan terhadap tamu adalah bagian dari ajaran Islam. Bahkan, memuliakan tamu termasuk akhlak para nabi dan orang-orang saleh.

Sebagian ulama mewajibkan hal ini, namun kebanyakan berpendapat sebagai bagian dari kemuliaan akhlak. Memuliakan tamu merupakan bagian dari ibadah yang tidak boleh dikurangi nilainya, entah yang bertamu orang biasa atau orang kaya.

Muslim hendaknya tidak memiliki rasa malu untuk menghidangkan makanan yang dimiliki kepada tamu. Selain itu, cara memuliakan tamu lainnya dengan memasang wajah ceria untuk menyambut mereka. Begitu pun dengan berbicara yang baik dan menyenangkan.

Adab Menerima Tamu

Menurut Buku Pintar 50 Adab Islam karya Arfiani, berikut beberapa adab menerima tamu yang bisa diperhatikan oleh muslim.

  • Tidak berlebihan dalam menjamu
  • Berbuat baik kepada tamu selama berada di rumah
  • Tidak mengunci pintu kecuali setelah tamu pergi
  • Tempatkan tamu di tempat yang layak
  • Memuliakan dan menyuguhkan hak tamu

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Amalan Terbaik, Paling Suci dan Bisa Mengangkat Derajat Seseorang


Jakarta

Ada satu amalan yang disebut paling suci di sisi Allah SWT dan terbaik bagi manusia. Amalan ini juga bisa mengangkat derajat seseorang.

Amalan ini disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Beliau bersabda,

ألا أنبئكُم بِخَيْرٍ أَعمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِندَ مليككُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ من أنفاق الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَنَضْرِبُوا أَعْنَا فَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَا فَكَمْ؟ قَالُوا بَلَى ، قَالَ ذِكْر اللَّهِ تَعَالَى . رواه الترمذي عن أبي الدرداء .


Artinya: “Maukah kalian aku beritahukan tentang amalan yang paling baik, paling suci di sisi Tuhanmu, paling dapat mengangkat derajatmu, yang lebih baik bagimu daripada infak emas dan perak, dan lebih baik bagimu daripada jika kalian menjumpai musuh lalu kalian tebas leher-leher mereka atau mereka memenggal leher-leher kalian? Para sahabat menjawab: “Baiklah”, Rasulullah bersabda: “Berzikirlah kepada Allah.” (HR Tirmidzi dari Abu Darda’)

Hadits tersebut terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab ad-Da’awat an Rasulillah.

Menurut penjelasan dalam buku Keutamaan Doa dan Dzikir untuk Hidup Bahagia Sejahtera karya M. Khalilurrahman al Mahfani terkait hadits tersebut, zikir kepada Allah SWT (termasuk doa) adalah amalan yang paling utama di sisi Allah SWT. Bahkan, zikir lebih baik daripada menginfakkan emas dan perak atau jihad di jalan Allah SWT.

“Hal ini dapat dimaklumi karena zikir merupakan media komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Dengan zikir, seorang hamba merasa dekat dengan Allah dan merasa selalu dalam perlindungan serta pengawasan-Nya,” jelas buku tersebut.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Fawaaidul Adzakaar yang diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani dan Budi Musthafa menukil pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah yang mengatakan zikir kepada Allah SWT merupakan perkara yang paling besar dari apa pun. Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang dikeluarkan at-Tirmidzi tadi.

Ibnu Abi ad-Dunya menyebutkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika seseorang bertanya kepadanya, “Amal apakah yang paling utama?” Dia menjawab, “Zikir kepada Allah lebih besar dari seluruh perkara.”

Keutamaan zikir mengingat Allah SWT telah banyak disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. Salah satunya dalam surah Al Baqarah ayat 152. Allah SWT berfirman,

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ ١٥٢

Artinya: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”

Menurut penafsiran Ibnu Qayyim, kedudukan Allah SWT mengingat hamba-Nya lebih besar daripada hamba mengingat Allah SWT.

Bacaan Zikir yang Bisa Jadi Benteng Setan Seharian Penuh

Ulama kelahiran Baghdad yang hidup pada abad ke-14, Ibnu Rajab, dalam kitab Jamiul Ulum wal Hikam fi Syarhi Haditsi Sayyidil Arab wal Ajm yang diterjemahkan Fadhli Bahri, memaparkan sebuah hadits tentang bacaan zikir yang bisa menjadi benteng setan. Zikir ini juga bisa menghapus 100 kesalahan, dituliskan 100 kebaikan dan setara memerdekakan 10 budak.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa berkata, ‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tanpa ada sekutu bagi-Nya, kerajaan milik-Nya, pujian milik-Nya, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu’ sebanyak seratus kali, maka itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan dihapus darinya, kalimat tersebut adalah benteng baginya dari setan sejak siangnya hingga sore hari, dan tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang ia bawa kecuali orang yang mengerjakan yang lebih banyak darinya.”

Hadits tersebut dikeluarkan Imam Bukhari, Muslim, Imam Ahmad, Imam Malik, at-Tirdmidzi, dan Ibnu Majah.

Bacaan zikir yang dimaksud adalah sebagai berikut,

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ

Laa ilaahaillallah wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa alaa kulli syain qadiiru.

Wallahu a’lam.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com