Tag Archives: hafsah binti umar

Ada Peran Wanita dalam Proses Penyusunan Al-Qur’an Pertama Kali



Jakarta

Salah satu istri Rasulullah SAW disebut memegang peranan penting dalam penyusunan dan kodifikasi Al-Qur’an yang dapat dibaca muslim saat ini. Hal ini disebut dalam salah satu jurnal penelitian dari seorang profesor di Claremont Graduate University, Ruqayya Khan.

Jurnal penelitian tersebut bersumber dari Journal of the American Academy of Religion Volume 82, Nomor 1 yang terbit pada Maret 2014. Jurnal dengan 43 halaman ini diterbitkan oleh Oxford University Press.

Menurut Khan dalam Medievalist, informasi mengenai periode awal Islam cenderung terlalu berfokus pada kaum pria yang menjadi pengikut Rasulullah SAW. Padahal, sejarawan menemukan beberapa wanita yang mengambil peran penting pada era tersebut seperti, penyusunan dan kodifikasi Al-Qur’an.

Melalui penelitiannya yang berjudul “Did a Woman Edit the Qur’an? Hafsa’s Famed Codex“, Khan menyebut Hafsah RA memegang peranan tersebut. Dia adalah putri dari salah satu sahabat nabi, Umar bin Khattab RA.


Hafsah binti Umar RA merupakan istri ke-4 Rasulullah SAW. Keduanya menikah pada sekitar tahun 625 M atau tahun ke-3 Hijriah.

Pernikahan ini bertujuan untuk mengikatkan tali persaudaraan antara Rasulullah SAW dengan Umar bin Khattab RA. Hal ini juga ditujukan sebagai penghormatan, kesejatian, dan simbol kekuatan.

Di antara para istri Rasulullah SAW hanya Hafsah RA saja yang pandai membaca dan menulis. Karena kecerdasannya pula, Hafsah RA bahkan pernah menantang Rasulullah SAW terkait relevansi dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Berkaitan dengan itu, Hafsah RA mulai mengambil perannya dalam membuat salinan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW hidup. Khan kemudian meneliti bagaimana Al-Qur’an mulai dibukukan menjadi dokumen tertulis pada pertengahan abad ketujuh.

Menurut Khan, setidaknya ada dua hadits utama yang menjelaskan bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an yang sebagian besar ditransmisikan secara lisan di kalangan muslim saat itu, kemudian dikodifikasi menjadi versi tertulis.

Khan kemudian mengutip sumber dari Abdullah Ibn Wahb RA dan menggabungkan sumber dari ‘Urwa bin al-Zubair, seorang ahli hukum Madinah yang terkenal dan pelopor dalam penulisan sejarah. Hasilnya, Khan menemukan bahwan Hafsah RA memang sosok wanita yang digambarkan sebagai sosok yang pandai membaca, membaca, menulis, dan menyusun surat-surat Al-Qur’an agar runut.

“Rasulullah SAW juga dikisahkan pernah mengajarkan Al-Qur’an pada Hafṣah serta menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an untuknya,” tulis Khan.

Untuk itulah, ayahnya, Umar bin Khattab RA, mempercayakan Hafsah RA sebagai sosok penyusun Al-Qur’an baik dalam bentuk lisan dan tulisan. Umar bin Khattab RA bahkan kerap mencari Hafsah RA dalam memilah bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang benar di tengah banyaknya bacaan yang keliru pada masa itu.

Salah satunya yang pernah dilakukan Umar bin Khattab RA saat mencari kebenaran untuk potongan ayat dari surah Al Bayyinah ayat 1. “Jadi Umar bin Khaṭṭab datang ke Hafṣah, (membawa bersamanya secarik) kulit (adīm). Dia berkata: Ketika Rasulullah datang kepadamu, mintalah dia untuk mengajarimu (potongan surah Al Bayyinah ayat 1). Dan katakan padanya untuk menuliskannya untukmu di (potongan) kulit ini,”

“Dia melakukan (ini), dan dia (yakni, Muhammad) menulisnya untuknya. Bacaan ini menjadi umum dan tersebar luas (‘āmma).” bunyi tulisan dari Khan.

Riwayat hadits lainnya menjelaskan, pada masa pemerintahan khalifah pertama, Abu Bakar RA, ia dan Umar memutuskan untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk dokumen tertulis setelah kematian sejumlah besar para penghafal Al-Qur’an.

Naskah tersebut kemudian dipegang pertama kalinya oleh Abu Bakar RA. Kemudian, naskah Al-Qur’an itu diserahkan pada Umar RA, hingga akhirnya disimpan oleh Hafsah RA sendiri setelah ayahnya wafat.

Hingga sekitar tahun 650-an M, Ustman bin Affan RA yang menjabat sebagai khalifah selanjutnya pun mengirim utusan pada Hafsah RA. Utsman RA berencana untuk menyusun ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk kitab utuh seperti yang kita kenal sekarang.

“Kirimkan kami lembaran (ṣuḥuf) agar kami dapat menyalinnya menjadi mushaf dan kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu,” demikian isi pesan dari Utsman RA kepada Hafsah.

Menurut Khan, hal ini menunjukkan bahwa Hafsah RA adalah sosok yang hati-hati dalam menjaga lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dimilikinya. Selain itu, hal ini menunjukkan Hafsah RA sebagai pemegang kunci dari penyusunan Al-Qur’an pada masa awal Islam.

Menariknya, dalam riwayat lain dari Abdullah bin Wahb RA, Khan menemukan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang diminta oleh Utsman RA pada Hafsah RA justru dalam bentuk mushaf bukan suhuf. Berikut bunyinya,

“Utsman mengirim pesan pada Hafsah agar mengirimkan (mushaf) padanya. Hafsah berkata, ‘Dengan syarat dikembalikan lagi padaku. Utsman pun mengiyakan.”

Untuk itulah, setelah menyusun isi Al-Qur’an, Anuwar Ismail dalam buku 10 Wanita Kesayangan Nabi, Hafsah RA kemudian mengambil peranan sebagai penjaga mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an itu selalu dijaga dengan baik oleh Hafsah RA.

Bahkan saat Gubernur Madinah saat itu, Marwan bin Hakam meminta mushaf tersebut diserahkan padanya, Hafsah RA menolak. Marwan diketahui harus menanti hingga Hafsah RA wafat pada 665 M untuk mengambil alih mushaf tersebut.

Meski demikian, sebelum meninggal dunia, Hafsah RA sempat mewasiatkan mushaf pertama itu kepada Abdullah bin Umar RA seorang pemuda yang senantiasa meneladani Rasulullah SAW.

(rah/nwk)



Sumber : www.detik.com

Hafsah binti Umar, Wanita Mulia Penjaga Al-Qur’an



Jakarta

Hafsah binti Umar RA merupakan istri ke-4 Rasulullah SAW. Ia merupakan putri dari Umar bin Khattab RA.

Merujuk dari buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni, setelah menikah dengan Aisyah RA, Rasulullah SAW menikah dengan Hafsah binti Umar RA.

Pernikahan ini bertujuan untuk mengikatkan tali persaudaraan antara Rasulullah SAW dengan Umar bin Khattab RA. Hal ini juga ditujukan sebagai penghormatan, kesejatian, dan simbol kekuatan.


Pernikahan Rasulullah SAW dengan Hafsah RA menjadi suatu penghargaan beliau terhadap Umar RA, sahabat yang mendedikasikan secara keseluruhan hidupnya untuk Islam.

Terlebih Hafsah RA merupakan seorang janda dari mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami yang sangat dihormati, berjasa, dan dikasihi oleh Rasulullah SAW.

Hafsah RA adalah seorang wanita berkulit hitam seperti ayahnya. la adalah wanita yang tegas, pemarah, dan bersedia menggertak orang lain. Sangat mirip dengan tabiat ayahnya. Namun, ia adalah wanita yang sangat baik.

la adalah wanita salihah yang sangat taat pada agama. Sebagai istri Rasulullah SAW, hubungan Aisyah RA dan Hafsah RA tidaklah ada masalah. Keduanya selalu bekerja sama mengatur rumah tangga mereka dengan Rasulullah SAW.

Mereka juga selalu bersepakat dan bertukar pikiran tentang pengaturan rumah Rasulullah SAW. Mereka seperti dua sahabat yang selalu memberikan masukan terbaik satu sama lain dalam urusan rumah tangga, juga agama.

Namun, mereka tetaplah wanita yang tidak dengan mudah membagi hati mereka. Baik Aisyah RA ataupun Hafsah RA, sama-sama berlomba-lomba untuk menjadi istri Rasulullah SAW yang paling unggul. Mereka yang bisa dikatakan sebaya, selalu berlomba-lomba menarik perhatian Rasulullah SAW lewat sikap sikap terbaik mereka sebagai seorang istri.

Sebenarnya, Umar bin Khathab RA amatlah tahu bahwa Aisyah RA mendapatkan kedudukan tinggi di hati Rasulullah SAW. Mereka juga tahu, siapa pun yang menyebabkan kemarahan Aisyah RA, maka sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah SAW.

Siapa pun yang ridha terhadap Aisyah RA, berarti ridha terhadap Rasulullah SAW. Karena itu, Umar RA berpesan kepada putrinya, agar selalu menghormati dan membina hubungan yang baik dengan Aisyah RA. Hafsah RA diminta untuk menjaga tingkah lakunya di depan Aisyah RA agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hafsah RA pun bergabung dengan istri istri Rasulullah SAW dan ummahatul mukminin yang suci, Aisyah RA. Di dalam rumah tangga nubuwwah, ada istri selain Hafsah RA, yakni Sa’udah RA dan Aisyah RA. Dengan usaha yang besar Hafsah RA mencoba mengerti betapa penting posisi Aisyah RA seperti yang dipesankan ayahnya kepadanya.

Anuwar Ismail dalam buku 10 Wanita Kesayangan Nabi turut menceritakan kisah Hafsah binti Umar RA. Setelah Rasulullah SAW wafat, Hafsah binti Umar RA mengambil peranan sebagai penjaga mushaf Al-Qur’an.

Hal itu berkaitan dengan naskah pertama dari salinan yang telah dibuat sebelumnya. Di antara para istri Rasulullah SAW hanya Hafsah binti Umar RA saja yang pandai membaca dan menulis.

Mushaf Al-Qur’an itu selalu dijaga dengan baik oleh Hafsah binti Umar RA, hingga pada masa khalifah Utsman bin Affan RA memintanya untuk membuat salinan mushaf tersebut.

Sebelum meninggal dunia, Hafsah binti Umar RA mewasiatkan mushaf pertama itu kepada Abdullah bin Umar RA seorang pemuda yang senantiasa meneladani Rasulullah SAW.

Lalu, Abdullah bin Umar RA menyerahkannya kepada keluarga yang mempunyai ketakwaan yang tinggi hal tersebut juga disetujui oleh kaum muslimin yang lain.

Semasa hidupnya, Hafsah binti Umar RA telah berhasil meriwayatkan hadits Rasulullah SAW sebanyak 60 hadits.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com