Tag Archives: Hafshah RA

Saat Rasulullah Sempat Talak Hafshah hingga Didatangi Jibril


Jakarta

Kesedihan pernah melanda hati Hafshah RA kala itu. Tepatnya saat Rasulullah SAW menjatuhkan talak padanya hingga membuat Malaikat Jibril datang untuk meminta keduanya rujuk.

Hafshah RA adalah salah satu istri Rasulullah SAW. Ia sangat terkenal karena kedermawanannya dan Malaikat Jibril mengabarkan bahwa ia akan menjadi istri Rasulullah SAW di surga nanti.

Dikatakan dalam buku Wanita-Wanita Teladan di Zaman Rasulullah karya Desita Ulla R, Hafshah RA adalah putri dari Umar bin Khattab RA. Nama lengkapnya adalah Hafshah binti Umar bin Khattab RA.


Hafshah RA lahir lima tahun sebelum tahun kenabian dari ibu yang bernama Zainab binti Maz’un bin Wahab, saudara dari Utsman bin Maz’un.

Hafshah RA meninggal pada bulan Jumadil Awal tahun 45 H. Ia meninggal di usianya yang ke-63 tahun. Namun, sebagian ulama berpendapat Hafshah RA meninggal pada bulan Syakban tahun 41 H di usianya yang ke-60 tahun. Ada juga pendapat yang menyebut Hafshah RA wafat pada 47 H pada era Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Kala itu, Hafshah binti Umar bin Khattab RA meninggal di Madinah dan jenazahnya dimakamkan di Baqi’. Ia dimakamkan bersama dengan Ummul Mukminin lainnya.

Lalu bagaimana kisah pernikahan dan saat Rasulullah sempat talak Hafshah RA?

Kisah Pernikahan Hafshah RA dengan Rasulullah SAW

Hafshah binti Umar bin Khattab RA sebelumnya adalah istri dari Sayidina Khunais bin Khuzafah As Sahmi. Kala itu keduanya menikah di Makkah dan menjadi keluarga yang harmonis dan taat kepada Allah SWT beserta Rasul-Nya.

Khunais bin As Sahmi sendiri termasuk dalam salah satu golongan sahabat yang pertama masuk Islam. Ia dan istrinya, Hafshah RA, juga turut ikut hijrah ke Madinah imbas kekejaman dari para kafir Quraisy.

Khunais RA juga merupakan sahabat Rasulullah SAW yang ikut berjihad dalam Perang Uhud dan Perang Badar. Saat itu pula dirinya gugur dalam salah satu pertempuran dan meninggalkan istrinya.

Umar bin Khattab RA juga merasakan kesedihan atas kepergian menantunya. Ia pun berusaha mencarikan suami untuk putrinya. Umar RA pun menawarkan kepada Abu Bakar RA dan Utsman bin Affan RA, namun keduanya menolak tawaran tersebut.

Umar RA pun sangat kecewa dan pergi mengadu kepada Rasulullah SAW. Beliau pun menjawab aduan Umar RA dengan berkata, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman. Sedangkan Utsman akan menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah.” (HR Bukhari)

Tak disangka-sangka, yang menikahi Hafshah RA setelah kepergian Khunais RA adalah Rasulullah SAW sendiri. Hafshah RA menjadi Ummul Mukminin pada tahun ketiga Hijriah.

Saat Rasulullah SAW Talak Hafshah

Istri Rasulullah SAW, Hafshah binti Umar bin Khattab RA adalah seorang perempuan yang sangat suka menyedekahkan hartanya, sehingga ia dikenal sebagai orang yang dermawan.

Hafshah RA juga banyak menyerap ilmu dari Rasulullah SAW, sehingga membuat dirinya sebagai seorang murid yang cerdas dan memiliki peran besar dalam menyebarkan hukum Islam, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Selebihnya, Hafshah RA juga merupakan seorang ahli ibadah yang selalu melakukan zuhud terhadap perkara duniawi. Ketika malam ia jarang tidur dan lebih memilih melakukan melakukan ibadah malam, sedangkan siangnya ia habiskan untuk berpuasa.

Namun, Hafshah pernah merasakan kesedihan yang sangat mendalam untuk kedua kalinya. Yaitu saat Rasulullah SAW menalaknya atau menceraikannya.

Diceritakan dalam buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya Mahdi Rizqullah Ahmad, sebuah riwayat menuturkan, Rasulullah SAW pernah menalak Hafshah RA sekali.

Pada saat itu, Umar RA masuk ke bilik Hafshah dan menemukan putrinya sedang menangis. Umar RA lalu bertanya kepada Hafshah RA,

“Apa yang membuatmu menangis? Apakah karena Rasulullah telah menceraikanmu? Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah memang telah menceraikanmu, tetapi sekarang sudah merujukmu kembali demi aku. Demi Allah, seandainya beliau menjatuhkan talak kepadamu lagi, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun kepadamu selamanya!”

Sumber sebelumnya menyebutkan malaikat Jibril bahkan sampai datang kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perkara ini. Maka, malaikat Jibril berkata,

“Allah SWT memerintahkan agar engkau merujuk Hafshah, karena ia orang yang ahli puasa dan salat malam. Serta untuk menjaga perasaan Umar.”

Jibril berkata, “Dia (Hafshah) adalah seorang ahli puasa dan salat. Dia adalah istrimu di surga.” (HR Abu Daud)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Itikaf bagi Wanita Menurut Mazhab Syafi’i, Bolehkah?



Jakarta

Itikaf adalah amalan di bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di masjid. Bagaimana hukum itikaf bagi wanita?

Menurut bahasa, itikaf memiliki arti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang beritikaf disebut mu’takif.

Anjuran Itikaf

Merujuk dari Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, dianjurkan bagi kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.


Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan mendapatkan malam lailatul qadar. Karena itulah, seorang suami dianjurkan untuk membangunkan istrinya pada malam-malam tersebut untuk melaksanakan salat malam.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau akan beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah RA lalu meminta izin kepada beliau untuk beritikaf dan beliau pun mengizinkannya.

Aisyah juga berkata, “Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Itikaf bagi Wanita

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengatakan, menurut mazhab Syafi’i hukum itikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan mapun di bulan lainnya, dan sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Adapun, hukum itikaf bisa menjadi wakib ketika hal itu dinazarkan oleh seseorang. Maka, wajib baginya melakukan itikaf.

Namun, apabila tidak dinazarkan, semua ulama sepakat bahwa itikaf hukumnya mutlak disunnahkan. Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Menurut mazhab Syafi’i apabila seorang wanita melakukan itikaf tanpa seizin dari suaminya, maka itikaf itu tetap sah meskipun dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Dimakruhkan pula bagi wanita yang berparas cantik untuk melakukan itikaf meskipun dia diberikan izin oleh suaminya.

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan hukum itikaf bagi seorang wanita:

1. Seorang wanita tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin dari suaminya

Wanita hanya boleh keluar rumah dengan izin suaminya. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA dan begitu pula Hafshah RA meminta izin dari Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf.

2. Apabila seorang suami telah mengizinkan istrinya untuk beritikaf maka:

  • Jika itikafnya adalah itikaf sunnah, maka ia boleh mengeluarkan istrinya dari itikafnya itu. Ketika Aisyah RA meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf dan kemudian Zainab, beliau khawatir jika itikaf mereka itu tidak lagi didasari dengan keikhlasan, namun hanya karena ingin dekat dengan beliau, yang didorong oleh rasa cemburu mereka terhadap beliau, maka beliau mengeluarkan mereka dari itikaf mereka dan berkata, “… Apakah mereka benar-benar mengharapkan kebaikan? Aku tidak akan beritikaf….”
  • Dan apabila itikafnya adalah itikaf wajib (seperti untuk memenuhi nazar misalnya, maka nazarnya itu tidak terlepas dari dua macam: pertama ia bernazar untuk beritikaf secara berturut-turut (ia bernazar untuk beritikaf pada sepuluh hari terakhir), dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh mengeluarkannya dari itikafnya itu. Namun, jika ia tidak menyebutkan di dalam nazarnya untuk beritikaf secara berturut-turut, maka suaminya boleh mengeluarkannya, dan di kemudian hari ia dapat menyempurnakan nazarnya tersebut.

Syarat Itikaf

Masih di dalam buku yang sama, berikut syarat itikaf:

  • Beragama Islam.
  • Mumayiz, bisa membedakan antara yang benar dan salah.
  • Melaksanakannya di dalam masjid.

Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, niat merupakan salah satu rukun utkaf, bukan hanya sekadar syarat, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Adapun menurut mazhab Syafi’i tidak disyaratkan pula dalam berniat untuk dilakukan ketika sudah berdiam diri di dalam masjid.

Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk itikaf dalam keadaan datang dan pergi (bolak-balik) di masjid tersebut, maka niat itikafnya juga dianggap sah, bahkan orang yang hanya sekedar melewati masjid saja lalu meniatkan diri untuk beritikaf, maka niat dan itikafnya itu dianggap sah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com