Tag Archives: haji mabrur

Kisah Tukang Sol Sepatu, Jadi Haji Mabrur Padahal Tak Berhaji ke Makkah



Jakarta

Setiap umat Islam tentunya memiliki keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji dan mendapat predikat haji mabrur. Namun, tahukah detikers bahwa ada kisah seorang menyandang predikat haji mabrur, padahal dia tidak berangkat ke Baitullah di Makkah. Seperti apa kisahnya?

Kisah Seorang Haji Mabrur Padahal Tidak Berangkat ke Baitullah

Kisah ini dikutip dari Buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim tulisan Ahmad Saifudin dan tulisan Mahdi berjudul Kisah Diterimanya Ibadah Haji Seorang Hamba Meski Tidak Berangkat ke Tanah Suci dalam situs resmi Kemenag.

Kisah ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Mubarak, bahwa pada suatu masa setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, Abdurrahman Abdullah bin Al Mubarak beristirahat dan tidur. Saat tidur, dia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.


Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang datang untuk berhaji tahun ini?”.

“Mereka adalah enam ratus ribu jamaah,” jawab Malaikat yang ditanya.

Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa banyak dari mereka yang haji mereka diterima?”.

“Tidak ada satupun,” jawab Malaikat yang pertama.

Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa gemetar.

“Dalam mimpiku,” dia menangis, “Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?”.

Sambil gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat itu.

“Namun ada seseorang yang meskipun tidak berhaji, amal perbuatan hajinya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni. Berkat dia, seluruh jamaah haji diterima oleh Allah.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya Malaikat pertama.

“Itu adalah kehendak Allah.”

“Siapa orang itu?” tanya Malaikat pertama lagi.

“Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Damaskus.”

Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah pulang dari ibadah haji, dia tidak langsung kembali ke rumahnya, tetapi pergi langsung ke Damaskus, Syria. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.

Ketika dia sampai di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh Malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.

“Ada, di tepi kota,” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.

Setelah mencapai tempat itu, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. “Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?” tanya bin Al Mubarak.

“Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji yang diterima oleh Allah, padahal Anda tidak berangkat haji.”

“Saya sendiri tidak tahu, tuan.”

“Ceritakanlah kehidupan Anda selama ini.”

Ali bin Al Muwaffaq pun menceritakan, “Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk berhaji. Saya sudah siap untuk berangkat haji.”

“Tapi Anda tidak berangkat haji.”

“Benar.”

“Apa yang terjadi?”

“Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak berangkat, dia sangat mengidamkan aroma masakan yang lezat.”

“Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan yang sedap ini?”

“Iya, sayang.”

“Cobalah cari siapa yang memasak, aroma masakannya begitu lezat. Tolong mintakan sedikit untukku,” pintanya.

“Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya,” ungkap Ali bin Al Muwaffaq.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, “Tidak boleh, tuan.”

“Apa pun harganya, saya akan membelinya.”

“Makanan ini tidak dijual, tuan,” katanya sambil meneteskan air mata.

“Mengapa?” tanya Ali.

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, “Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan.”

Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal bagi dia, tapi haram bagi saya, padahal kita sama-sama muslim?” Karena itu, dia mendesaknya lagi, “Kenapa?”

“Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan,” janda itu menjelaskan dengan terisak.

Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

“Kami membawa makanan untukmu.”

Saya memberikan 350 dirham, uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, kepada mereka. “Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi.”

Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa’id bin Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haji Mabrur yang Tidak Pernah Berangkat ke Makkah



Jakarta

Setiap muslim pasti menginginkan untuk dapat melaksanakan ibadah haji dan mendapatkan predikat haji mabrur. Namun, ada sebuah kisah tentang seseorang yang disebut sebagai haji mabrur, meskipun dia tidak pernah pergi ke Baitullah, Makkah. Bagaimanakah kisahnya?

Kisah ini diambil dari buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim karya Ahmad Saifudin dan Mahdi dan laman resmi Kementerian Agama (Kemenag).

Kisah Seorang Haji Mabrur Tanpa ke Baitullah

Kisah ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Mubarak yang menceritakan bahwa setelah menyelesaikan ibadah haji, ia beristirahat dan tidur. Selama tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.


Salah satu malaikat bertanya kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang datang untuk menunaikan ibadah haji tahun ini?”

“Mereka berjumlah enam ratus ribu jemaah,” jawab malaikat yang ditanya.

Kemudian, malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima?”

“Tidak ada satu pun dari mereka,” jawab malaikat yang pertama.

Percakapan ini membuat Abdullah bin Al Mubarak merasa gemetar. Sambil menangis dia berkata, “Apakah semua orang ini datang dari tempat yang jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?”

Dengan gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat tersebut.

“Namun ada seseorang yang meskipun tidak melaksanakan haji, amal perbuatannya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni. Karena dia, seluruh jemaah haji diterima oleh Allah.”

“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” tanya malaikat pertama.

“Itu adalah kehendak Allah.”

“Siapakah orang tersebut?” tanya malaikat pertama lagi.

“Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu di Kota Damaskus.”

Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah bin Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah kembali dari ibadah haji, dia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan pergi langsung ke Damaskus, Suriah. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.

Ketika dia tiba di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.

“Iya, dia ada di tepi kota,” jawab salah satu tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya

Setelah sampai di tempat tersebut, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. “Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?” tanya Abdullah bin Al Mubarak.

“Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda layak menerima pahala haji yang diterima oleh Allah, padahal Anda tidak pergi menunaikan haji.”

“Saya sendiri tidak tahu, tuan.”

“Ceritakanlah kehidupan Anda selama ini.”

Ali bin Al Muwaffaq kemudian menceritakan, “Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saya sudah siap untuk berangkat haji.”

“Tapi Anda tidak pergi menunaikan haji.”

“Benar.”

“Apa yang terjadi?”

“Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak pergi, dia sangat menginginkan aroma makanan yang lezat.”

“Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan yang enak ini?”

“Iya, sayang.”

“Cobalah cari siapa yang memasak, aroma masakannya sangat harum. Tolong mintakan sedikit untukku,” pintanya.

“Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya memberitahunya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya,” ungkap Ali bin Al Muwaffaq.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, “Tidak boleh, tuan.”

“Apa pun harganya, saya akan membelinya.”

“Makanan ini tidak dijual, tuan,” katanya sambil meneteskan air mata.

“Mengapa?” tanya Ali.

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, “Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan.”

Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal baginya, tapi haram bagiku, padahal kita semua muslim?” Oleh karena itu, dia mendesaknya lagi, “Kenapa?”

“Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan,” janda itu menjelaskan sambil menangis.

Mendengar cerita itu, Ali bin Al Muwaffaq menangis dan pulang ke rumah. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada istrinya dan ia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

“Kami membawa makanan untukmu.”

Ali bin Al Muwaffaq memberikan 350 dirham, uang yang dikumpulkannya untuk pergi menunaikan haji, kepada mereka. “Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi.”

Mendengar cerita itu, Abdullah bin Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Ali bin Al Muwaffaq sehingga Allah SWT menerima amalan hajinya meskipun dia tidak mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com