Tag Archives: haji wada

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad Saat Haji di Arafah, Ini Pesannya



Jakarta

Khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW sebelum wafat diserukan pada tahun ke-10 Hijriyah di Padang Arafah. Pada saat itu, beliau sedang menjalani ibadah haji yang disebut sebagai Haji Wada yang artinya perpisahan.

Haji Wada menjadi ibadah haji satu-satunya sekaligus terakhir kalinya yang beliau laksanakan pada tahun 10 H atau 632 M. Tiga bulan setelah melaksanakan haji tersebut, beliau dinyatakan wafat.

Diceritakan dalam buku Samudra Keteladanan Muhammad karya Nurul H. Maarif, Rasulullah SAW pada saat melaksanakan Haji Wada menyampaikan khutbah terakhirnya, yaitu berisi wasiat yang menggetarkan jiwa umat muslim.


Kala itu, Rasulullah SAW memanggil segenap kaum muslim setelah mengerjaan wukuf di Padang Arafah. Ia menyerukan kepada kaum muslimin yang hadir untuk berkumpul mengelilinginya.

Beliau menyerukan khotbahnya dari atas punggung untanya yang bernama Qashwa dan diulangi oleh Rabi’ah bin Umayyah bin Ghalaf dengan keras. Khotbah terakhir ini kemudian disebut sebagai khutbah wada’.

Lantas seperti apa isi khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW?

Isi Khutbah Terakhir Nabi Muhammad

Dilansir dari buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad karya Moenawar Khalil, berikut isi khutbah terakhir Nabi Muhammad yang diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh.

“Segala puji bagi Allah, kami memuji kepada-Nya, kami memohon pertolongan kepada-Nya, kami memohon ampun kepada-Nya dan kami bertobat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari segala kejahatan diri kami dan dari kejelekan-kejelekan perbuatan kami. Siapa-siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada orang yang dapat menunjukinya. Aku mengaku bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah sendirinya, tidak ada orang yang menyekutui-Nya, dan aku mengaku bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan pesuruh-Nya.”

“Aku berpesan kepada kalian, wahai hamba Allah, supaya berbakti kepada Allah dan aku menganjurkan kepadamu supaya menaati-Nya. Aku memulai pembicaraanku ini dengan yang baik.”

“Aku akan menerangkan kepadamu karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kamu sesudah tahun ini di tempatku berdiri.”

“Hai manusia, sesungguhnya segala darahmu dan segenap hartamu haram atas mu sampai kamu datang menghadap Tuhanmu, seperti haramnya harimu ini, dalam bulan mu ini, di negerimu ini, sesungguhnya kelak kamu akan menghadap Tuhanmu, kemudian Dia akan menanyakan kepadamu tentang amal-amal perbuatanmu. Adakah sudah kusampaikan? Ya Allah, saksikanlah.”

“Siapa pun yang diamanati dengan suatu amanat, hendaklah ia menyampaikan amanat itu kepada orang yang bersangkutan. Semua riba telah dihapuskan, tetapi kamu berhak menerima modal-modalnya kembali. Janganlah kamu menganiaya dan jangan pula lah kamu dianiaya. Allah telah memutuskan, riba tidak ada lagi, dan riba Abbas bin Abdul Muthalib telah dihapuskan semuanya. Semua darah yang tumpah pada masa jahiliah telah dihapuskan. Permulaan darah yang kuhapuskan itu ialah darah Ibnu Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muthalib.”

“Semua bekas peninggalan masa jahiliah telah dihapuskan kecuali sidanah (urusan menjaga keamanan Ka’bah) dan siqayah (urusan perairan di Mekah). Pembunuhan jiwa yang dilakukan dengan sengaja ada tuntutan balas (hukum bunuh), sedangkan pembunuhan seperti disengaja, yaitu terbunuh dengan tongkat atau batu, maka padanya didenda seratus ekor unta. Oleh sebab itu, siapa-siapa yang menambah, ia termasuk golongan orang jahiliah.”

“Hai manusia, setan itu telah putus asa, ia akan disembah di negeri kamu ini untuk selama-lamanya, tetapi jika ia diikuti selain yang demikian, ia suka dengan amalan yang demikian, yaitu amalan-amalan yang kamu pandang remeh atau amalan-amalan yang kamu pandang rendah. Oleh sebab itu, hendaklah kamu berhati-hati terhadap agamamu, agar kamu jangan mengikut kemauan setan.”

“Hai manusia, an-nasi (melambatkan waktu) menambah kepada kekufuran, dengan an-nasi itulah orang-orang kafir tersesat. Mereka menghalalkan satu tahun dan mereka mengharamkan pada tahun yang lain, untuk menginjak-injak apa-apa yang telah diharamkan Allah. Mereka halalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mereka haramkan apa-apa yang dihalalkan Allah. Masa itu beredar sejak Allah menjadikan langit dan bumi, dan bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan yang tersebut dalam Kitab Allah, sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Di antara dua belas bulan itu ada empat bulan yang diharamkan (yang mempunyai kehormatan), tiga yang berturut-turut dan satu yang tunggal, yaitu Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan Rajab yang terletak di antara bulan Jumadil akhir dan Sya’ban. Bukankah telah kusampaikan? Ya Allah, saksikanlah.”

“Hai manusia, bagimu ada hak atas istri-istrimu dan bagi mereka ada hak atas dirimu. Hak kamu atas mereka ialah bahwa mereka tidak mengizinkan seseorang yang tidak engkau sukai menginjak kakinya di atas tikar-tikar mu dan mereka tidak mempersilahkan seseorang yang tidak kamu sukai masuk ke dalam rumahmu, melainkan dengan izinmu, dan mereka tidak boleh berbuat serong dengan laki-laki lain secara terang-terangan. Jika tetap dilakukan, Allah telah mengizinkan kamu meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan.”

“Jika mereka telah berhenti berbuat demikian, kewajibanmulah memberi mereka makanan dan pakaian dengan segala sopan santun. Berilah pelajaran-pelajaran yang baik kepada perempuan-perempuan itu karena mereka adalah pembantu-pembantumu. Mereka tidak mempunyai sesuatu untuk diri mereka, kamu telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah, dan telah kamu halalkan kehormatan mereka dengan nama Allah. Oleh sebab itu, takutlah kamu kepada Allah tentang perempuan-perempuan itu dan hendaklah kamu memberi pelajaran yang baik kepada mereka. Bukankah telah kusampaikan? Ya Allah, saksikanlah.”

“Perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia, karena telah kusampaikan. Sesungguhnya, telah aku tinggalkan kepadamu sesuatu yang jika engkau berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang nyata, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”

“Hai manusia, dengarlah apa yang kukatakan agar kamu hidup bahagia.”

“Hai manusia, dengarlah apa yang akan kukatakan kepadamu dan kamu perhatikanlah ia, kamu akan mengerti bahwa tiap-tiap orang Islam bersaudara dengan orang Islam yang lain dan setiap orang Islam itu bersaudara, tidaklah halal bagi seseorang dari saudaranya kecuali apa-apa yang telah diberikan kepadanya, yang timbul dari hati yang baik dari saudaranya itu. Janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri. Bukankah telah kusampaikan? Ya Allah, saksikanlah.”

“Hai manusia, janganlah kamu kembali menjadi kafir sesudahku, yang segolongan memerangi golongan yang lain. Ketahuilah, yang datang hendaklah menyampaikan kepada yang tidak datang. Mungkin saja orang yang menyampaikannya lebih memelihara dirinya daripada orang yang mendengarkannya. Bukankah telah kusampaikan? Ya Allah, saksikanlah.”

“Hai manusia, Tuhanmu satu dan orang tuamu satu, kamu semua dari Adam, sedang Adam itu dari tanah. Semulia-mulia kamu pada sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kamu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang-orang yang bukan Arab, melainkan karena takwa kepada-Nya. Bukankah sudah kusampaikan? Ya Allah, saksikanlah. Hendaklah yang datang menyampaikan kepada yang tidak datang.”

“Hai manusia, Allah telah membagikan kepada masing-masing waris bagian-bagian yang diwarisinya, maka tidak boleh bagi ahli waris menuntut wasiatnya dan tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga. Bagi anak hasil dari zina adalah milik ayahnya dan yang berzina dikenakan hukum rajam. Barangsiapa yang mendakwahkan atau mengaku orang lain yang bukan bapaknya sebagai bapaknya atau menetapkan majikan yang bukan majikannya, ia berhak menerima laknat Allah, laknat malaikat, dan laknat manusia seluruhnya, tidak akan diterima dari padanya tebusan darinya dan tidak pula penggantian. Kesejahteraan dan rahmat Allah serta berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadamu.”

Demikianlah isi khutbah Nabi Muhammad SAW di hadapan kurang lebih 140.000 kaum muslimin. Rabi’ah berulang kali mengulangi khutbah beliau sehingga segenap umat muslim yang hadir dapat mendengar dan mengerti.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW, Berisi Pesan untuk Umat Islam



Jakarta

Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah terakhir di Arafah pada 632 Masehi. Khutbah dilakukan ketika Nabi Muhammad SAW menjalani ibadah haji pertama dan terakhir yang dikenal dengan haji wada atau haji perpisahan.

Nabi Muhammad SAW mengerjakan ibadah haji satu kali dalam seumur hidupnya. Tiga bulan setelah ibadah haji ini, beliau wafat di usianya yang 63 tahun.

Mengutip buku Khutbah Nabi: Terlengkap dan Terpilih karya Muhammad Khalil Khathib, sebelum wafat, Rasulullah SAW telah banyak menunjukkan tanda bahwa dirinya menyampaikan tanda perpisahan. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,


“Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di dalam genggaman-Nya, pastilah akan datang suatu hari pada salah seorang di antara kalian, dan pada hari itu orang tersebut tidak dapat melihat diriku, sehingga seandainya ia melihat diriku pastilah akan lebih ia sukai melebihi kesukaannya kepada keluarga dan harta yang miliknya.” (HR Bukhari Muslim)

Dari ucapan ini, orang-orang menakwilkan bahwa dengan ucapannya itu, Rasulullah SAW sedang mengabarkan berita kematian beliau dengan memberitahukan kepada para sahabat tentang apa yang akan terjadi setelah beliau wafat. Yaitu kabar ketika muncul begitu banyak orang amat mendambakan perjumpaan dengan Rasulullah SAW di saat beliau sudah tiada, karena sebelumnya mereka dapat menyaksikan sebagian keberkahan Rasulullah SAW.

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW

Melansir laman Kementerian Agama (Kemenag), Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan sekitar 114.000 umat Islam. Setelah melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji, Nabi Muhammad SAW mengumpulkan umat Islam di Arafah.

Beliau melakukan seruan dari atas punggung untanya yang bernama al-Qushwa. Di atas punggung unta inilah Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah terakhirnya.

Prof. Osman Raliby dalam tulisannya di Majalah Suara Masjid mengatakan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW berisi pesan untuk seluruh umat Islam.

“Segala puji adalah bagi Allah. Kita memuja dan memuji Dia dan memohon pertolongan kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung pada Allah dari kejahatan-kejahatan diri kita dan dari segala perbuatan yang buruk. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka takkan ada siapapun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tak ada siapa pun yang dapat menunjukkan jalan baginya.

Aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Maha Esa Ia, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku naik saksi, bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Wahai manusia, dengarkanlah pesanku baik-baik.

Aku akan menyampaikan kepadamu satu keterangan (sebagai wasiat), karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku akan bertemu lagi dengan kamu sesudah tahun ini di tempat aku berdiri (sekarang) ini.

Wahai manusia, Sesungguhnya darahmu (jiwamu), harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci dan haram (dilarang diganggu), sebagaimana suci dan haramnya bulan ini (bulan haji), sampai kamu kelak menghadap Tuhan. Sungguh kamu pasti akan menemui (menghadap) Tuhan, di mana Ia pasti akan menanyakan tentang segala amal perbuatanmu.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!)

Maka barangsiapa ada amanat di tangannya, hendaklah disampaikannya kepada orang yang memberikan amanat itu kepadanya.

Ingatlah, tak seorang pun yang melakukan tindak pidana melainkan ia sendiri yang bertanggungjawab atasnya. Tidak ada anak bertanggungjawab terhadap tindak pidana ayahnya, pun juga tidak seorang ayah bertanggungjawab terhadap tindak pidana anaknya.

Wahai manusia, dengarkanlah kata-kataku ini dan pahamkan semuanya.

Sesungguhnya seorang muslim dan muslim lainnya adalah umat yang bersaudara. Tidak ada sesuatu yang halal bagi seorang muslim dari saudaranya melainkan apa yang telah direlakan kepadanya. Maka janganlah kamu menzalimi dirimu sendiri.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!).”

Khutbah Wada’ mendeklarasikan prinsip-prinsip Islam tentang persamaan hak dan martabat manusia tanpa memandang ras, suku bangsa dan warna kulit. Pada bagian lain khutbah yang monumental itu ditekankan beberapa hal, yaitu:

“Sesungguhnya riba sudah dihapuskan. Tapi kamu akan memperoleh modal saham kamu. Maka janganlah kamu berlaku zalim agar kamu pun tidak dizalimi orang.

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa (Satu), dan nenek moyangmu adalah satu. Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab melainkan dengan takwa itulah. Dan jika seorang budak hitam Abyssinia sekalipun menjadi pemimpinmu, dengarkanlah dia dan patuhlah padanya selama ia tetap menegakkan Kitabullah.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!).

Wahai manusia, takutlah kepada Allah. Kerjakanlah shalat yang lima waktu, lakukanlah puasa, berhajilah ke Baitullah dan tunaikanlah zakat hartamu dengan sukarela serta patuhlah atas apa yang aku perintahkan. Kamu pasti kelak akan bertemu dengan Tuhanmu, dan Ia pasti akan menanyakan kepadamu tentang segala perbuatanmu.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!)

Sesungguhnya zaman itu beredar, musim berganti.

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya setan itu sudah putus harapan akan (terus) disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi sesungguhnya dia puas dengan ditaati dalam hal-hal selain daripada itu (disembah), yakni dalam perbuatan-perbuatan yang kamu (sebenarnya) benci, maka waspadalah terhadap tipu daya (setan) yang akan merugikan agamamu.”

“Camkanlah perkataanku ini, wahai manusia! Sesungguhnya telah kusampaikan kepadamu, dan sesungguhnya aku sudah meninggalkan untuk kamu sekalian sesuatu, yang bila kamu berpegang teguh kepadanya, pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni sesuatu yang terang dan nyata, Kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.”

Rasulullah menutup Khutbah Wada’ dengan pernyataan dan pertanggungjawaban terbuka kepada Allah SWT,

“Wahai Tuhanku! Persaksikanlah, persaksikanlah wahai Tuhanku.

Maka hendaklah yang telah menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barang siapa yang menyampaikan akan lebih mendalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya. Mudah-mudahan bercucuranlah rahmat Allah dan berkat-Nya atas kamu sekalian!”

Setelah mengucapkan khutbah perpisahan, beliau turun dari untanya Alqashwa. Usai menunaikan salat Zuhur dan Ashar yang dijama’ secara berjamaah, Rasulullah menuju suatu tempat yang bernama Sakhrat. Di sana disampaikannya ayat Al-Quran yang baru saja diwahyukan Allah untuk penghabisan kali sebagai penutup risalah kenabian yakni surat Al Maidah ayat 3,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Perkiraan Lebaran Haji 2025, Ini Versi Pemerintah dan Muhammadiyah


Jakarta

Lebaran Haji 2025 yang juga dikenal sebagai Hari Raya Idul Adha adalah salah satu momen yang paling dinantikan umat Islam di seluruh dunia. Momen istimewa ini tidak hanya perayaan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai pengabdian kepada Allah SWT melalui ibadah haji dan pengorbanan.

Berdasarkan kalender hijriah, Lebaran Haji diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah, beriringan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah. Dalam Al-Qur’an, perintah untuk melaksanakan ibadah haji telah termaktub dalam Surah Al-Hajj ayat 27, di mana Allah SWT berfirman:

وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ


Artinya: “(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Perkiraan Lebaran Haji 2025

Lebaran Haji 2025 diperkirakan akan jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah 1446 Hijriah, yang bertepatan dengan tanggal 6 Juni 2025. Perkiraan ini berdasarkan sistem penanggalan Hijriah yang digunakan oleh Ummul Qura Arab Saudi. Namun, tanggal pasti perayaan ini masih menunggu keputusan sidang isbat Kemenag RI yang akan menentukan awal bulan Dzulhijjah. Sidang isbat tersebut dijadwalkan berlangsung pada beberapa hari sebelum bulan Dzulhijjah dimulai.

Menurut kalender yang digunakan oleh PP Muhammadiyah, perhitungan ini sejalan dengan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Kalender tersebut telah Hari Raya Idul Adha tahun 2025, atau yang sering disebut sebagai Lebaran Haji 2025, jatuh pada hari Jumat, 6 Juni 2025. Informasi ini dapat menjadi acuan awal bagi umat Islam dalam mempersiapkan diri menyambut perayaan besar ini.

Perlu diketahui, sebelum tibanya Lebaran Haji, jemaah haji yang berada di Tanah Suci akan melaksanakan wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah 1446 H, yang diperkirakan jatuh pada tanggal 5 Juni 2025. Setelahnya, hari tasyrik akan berlangsung pada tanggal 7, 8, dan 9 Juni 2025. Hari tasyrik adalah momen istimewa untuk menyempurnakan ibadah kurban dan berdzikir sebagai bagian dari ibadah Idul Adha.

Walau demikian, perlu dicatat bahwa penetapan tanggal tersebut bisa berubah menyesuaikan hasil sidang isbat yang mengacu pada rukyat hilal. Oleh karena itu, umat Islam disarankan untuk terus memantau informasi resmi dari Kementerian Agama RI terkait untuk memastikan waktu yang tepat.

Sejarah Lebaran Haji

Lebaran Haji atau Idul Adha dikenal sebagai salah satu hari besar dalam Islam yang erat kaitannya dengan ibadah haji. Sejarah ibadah haji sendiri memiliki akar yang sangat mendalam, bahkan sudah ada sejak zaman Nabi Adam AS.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Shaykh Saalih al-Munajjid dalam buku Al-Bait: Misteri Sejarah Ka’bah dan Hilangnya Di Akhir Zaman karangan Brilly El-Rasheed, Allah SWT telah mensyariatkan ibadah haji tidak hanya kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada nabi-nabi sebelumnya, termasuk Nabi Adam AS sebagai manusia pertama. Namun, bentuk pelaksanaannya mungkin berbeda di setiap zaman.

Berdasarkan mayoritas ulama, kewajiban haji dalam syariat Islam baru ditegaskan pada tahun ke-9 Hijriah. Hal ini didasarkan pada turunnya ayat Al-Qur’an dalam surah Ali Imran ayat 97, yang secara tegas menjadikan haji sebagai syariat Islam.

Namun, meskipun kewajiban tersebut sudah ditetapkan, Rasulullah SAW dan para sahabat belum dapat menunaikan ibadah haji pada saat itu. Hal ini disebabkan kondisi Makkah yang masih berada di bawah kekuasaan kaum musyrik. Baru setelah Makkah berhasil dibebaskan pada tahun ke-8 Hijriah, kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji dibuka.

Rasulullah SAW akhirnya dapat menunaikan ibadah haji pada tahun ke-10 Hijriah, kurang dari tiga bulan sebelum beliau wafat. Haji ini dikenal sebagai haji wada’ atau haji perpisahan, karena menjadi ibadah haji pertama sekaligus terakhir yang beliau lakukan.

Amalan Sunnah Untuk Lebaran Haji 2025

Dalam rangka menyambut hari besar Lebaran Haji 2025, terdapat berbagai amalan yang dianjurkan untuk menambah keberkahan. Berikut adalah amalan sunnah yang bisa dilakukan menjelang dan selama Lebaran Haji 2025 seperti yang dikutip dari buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun yang disusun oleh Ustadz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid.

1. Berpuasa selama 9 hari pertama Dzulhijjah

Salah satu amalan yang sangat dianjurkan adalah berpuasa selama sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah, mulai dari tanggal 1 hingga 9.

2. Memperbanyak takbir dan dzikir

Pada bulan Dzulhijjah, dianjurkan untuk memperbanyak takbir, tahlil, tahmid, tasbih, istighfar, dan doa.

3. Berqurban pada hari raya Idul Adha

Melaksanakan qurban pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan sebagai bagian dari ajaran Nabi Ibrahim AS.

4. Bertobat dari segala kesalahan

Momentum bulan Dzulhijjah adalah waktu yang tepat untuk bertobat dan memohon ampun atas segala dosa.

5. Puasa arafah (9 Dzulhijjah)

Puasa Arafah dianjurkan bagi umat Islam yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Puasa ini memiliki keutamaan besar, termasuk pengampunan dosa yang telah dilakukan sebelumnya.

6. Melaksanakan shalat Idul Adha

Pada tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan shalat Idul Adha.

Keutamaan Lebaran Haji

Lebaran Haji 2025 memiliki keutamaan yang sangat istimewa bagi umat Islam. Keutamaan ini terletak pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai hari terbaik dalam setahun seperti yang dikutip dari buku Yang Sering Ditanya Seputar Kurban karya Ahmad Anshori.

Dalam surah Al-Hajj ayat 28 Allah SWT berfirman,

لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ ٢٨

Artinya: “(Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir.”

Rasulullah SAW juga menekankan keutamaan sepuluh hari ini dalam haditsnya. Beliau menyatakan bahwa tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah SWT selain sepuluh hari awal Dzulhijjah, bahkan lebih utama dibanding jihad kecuali seseorang yang berjihad dengan seluruh hartanya dan tidak kembali.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini (10 awal Dzulhijjah pen).”

“Apakah juga lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah Ya Rasulullah?” tanya para sahabat.

Beliau shallallahu’alaihi menjawab, “lya. Bahkan lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah. Kecuali seorang yang berangkat berjihad dengan harta dan jiwa raganya, lalu dia tidak pernah kembali lagi (mati syahid).” (HR. Bukhori)

Para ulama menambahkan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu terbaik sepanjang tahun. Dibandingkan sepuluh hari terakhir Ramadan, sepuluh hari Dzulhijjah memiliki keunggulan tersendiri karena mencakup ibadah haji, dan ibadah sunnah lainnya yang disebutkan diatas. Dalam momen ini, ibadah seperti puasa, salat, dan sedekah sangat dianjurkan sekali untuk diamalkan.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haji Pertama Rasulullah Sekaligus yang Terakhir



Jakarta

Rasulullah SAW melaksanakan haji sekali seumur hidup. Beliau menunaikan haji pertama sekaligus terakhirnya pada 10 H.

Sebelum itu, belum diwajibkan dan Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah melaksanakan haji setelah Haji Wada. Hal itu sebagaimana dijelaskan Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah.

Sementara itu, dalam Jawami as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hazm al-Andalusi dikatakan, Rasulullah SAW berhaji dan berumrah berkali-kali sebelum kenabian dan setelahnya, tetapi sebelum hijrah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau hanya berhaji satu kali.


Para sahabat menyebut haji yang dilaksanakan Rasulullah SAW sebagai Hajjatul Islam (haji pertama dalam Islam) atau Hajjatu Rasulillah (haji wajib yang dilaksanakan Rasulullah SAW).

Kisah haji pertama dan terakhir Rasulullah SAW yang juga disebut dengan Haji Wada ini juga dijelaskan dalam Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dan Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.

Diceritakan, memasuki bulan Zulkaidah, Rasulullah SAW bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji dan memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan perbekalan.

Ibnu Ishaq mendengar dari Abdurrahman bin Qasim, dari ayahnya, Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, istri Nabi yang mengatakan, “Rasulullah berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tanggal 25 Zulkaidah.”

Pada saat itu, Rasulullah SAW mengangkat Abu Dujanah as-Saidi sebagai pemimpin sementara di Madinah. Pendapat lain mengatakan bahwa yang ditunjuk adalah Siba bin Urfuthah al Ghifari.

Allah SWT menghendaki Rasulullah SAW bisa menyaksikan buah dakwah yang beliau perjuangkan melawan beragam kesulitan selama lebih dari dua puluh tahun. Maka beliau mengumpulkan berbagai kabilah Arab di pinggiran Kota Makkah untuk ditanyai tentang syariat dan hukum-hukum agama.

Beliau minta persaksian mereka bahwa beliau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, dan menasihati umat. Nabi mengumumkan niatnya untuk melaksanakan Haji Wada yang mabrur.

Mendengar pengumuman itu, orang-orang berdatangan ke Madinah Mereka semua ingin ikut bersama Rasulullah SAW. Pada hari Sabtu, lima hari sebelum berakhirnya bulan Zulkaidah, Nabi berkemas siap untuk berangkat. Beliau menyisir rambut, memakai jubah, dan memakai minyak wangi. Beliau membawa unta dan berangkat selepas zuhur

Setelah fajar menyingsing, beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Malam ini aku didatangi oleh utusan Tuhanku. la berkata, ‘Salatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan, umrah beserta haji.'” (HR Bukhari dari Umar)

Sebelum salat Zuhur, beliau mandi untuk berihram. Aisyah RA lalu memercikkan minyak dzariyah dan minyak yang bercampur kesturi di tubuh dan kepala Nabi Muhammad SAW hingga kilaunya terlihat di kening dan jenggot beliau.

Wewangian itu dibiarkan saja dan tidak dibasuh. Setelah itu, beliau memakai jubah dan selendang. Perjalanan Rasulullah sampai di dekat Makkah. Beliau bermalam di Dzu Thuwa lalu memasuki Makkah setelah shalat subuh dan mandi pada hari Ahad 4 Zulhijah 10 H.

Perjalanan ini ditempuh selama delapan hari, setelah memasuki Masjidil Haram, beliau tawaf di Baitullah dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.

Beliau tidak bertahallul karena yang dilakukan adalah haji qiran. Dalam rombongan itu digiring pula hewan-hewan kurban. Selanjutnya beliau beristirahat di Hajun dan tidak lagi melakukan thawaf kecuali thawaf untuk haji.

Para sahabat yang tidak membawa hewan kurban diperintahkan agar menjadikan ihramnya sebagai umrah. Lalu mereka melakukan tawaf berkeliling Ka’bah, disusul melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah kemudian bertahallul dengan sempurna.

Setelah itu, Rasulullah SAW melanjutkan ibadah hajinya, memperlihatkan kepada mereka tata cara ibadahnya, mengajari mereka sunnah-sunnah haji, dan berpidato di depan orang banyak untuk menjelaskan segala sesuatu yang perlu dijelaskan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kondisi Kesehatan Rasulullah Sepulang Haji Wada Menurun, Begini Kisahnya


Jakarta

Haji wada adalah haji pertama dan terakhir Rasulullah SAW. Beliau berangkat haji pada tahun ke-10 Hijriah. Kondisi kesehatan Rasulullah SAW sepulang haji wada menurun.

Haji wada Rasulullah SAW dikisahkan dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, dari Abdurrahman bin Qasim, dari Qasim bin Muhammad, dari Aisyah RA, ia berkata,

“Rasulullah berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tanggal 25 Zulkaidah.” (HR Bukhari dan Muslim)


Kondisi Kesehatan Rasulullah Sepulang Haji Wada

Mengutip buku Tapak Sejarah Seputar Mekah-Madinah karya Muslim H. Nasution, Rasulullah SAW menyiapkan pasukan untuk melawan Romawi sekembalinya dari haji wada. Pasukan yang dibentuk Rasulullah SAW bergerak di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, putra Zaid bin Haritsah.

Akan tetapi, sementara pasukan muslimin mulai bergerak meninggalkan Madinah, terdengar berita bahwa Rasulullah SAW jatuh sakit. Sakit Rasulullah SAW pada awalnya dirasakan di bagian kepala, kemudian berkembang menjadi demam. Sehari sebelum jatuh sakit, beliau sempat berziarah ke Pemakaman Baqi’ dan mendoakan orang-orang yang dikuburkan di sana.

Dikisahkan dalam Sirah Nabawiyah bahwa Rasulullah SAW pergi ke Pemakaman Baqi’ bersama Abu Muwaihibah. Diriwayatkan dari Ubaid bin Jubair, dari Abdullah bin Umar, dari Ibnu Ishaq, dari Abdullah bin Amru bin Ash, dari Abu Muwaihibah, ia berkata,

“Rasulullah SAW mengutusku pada tengah malam, Beliau bersabda, ‘Abu Muwaihibah, aku diperintahkan untuk memintakan ampunan bagi penghuni Baqi’. Mari pergi bersamaku’.”

Abu Muwaihibah pun berangkat bersama beliau. Setibanya di pekuburan, Rasulullah SAW bersabda,

“Assalamu’alaikum, wahai penghuni kubur. Berbahagialah kalian dengan apa yang kalian rasakan dari apa yang dirasakan manusia. Berbagai fitnah datang laksana kepingan malam gelap. Fitnah terakhir menyusul fitnah pertama, dan fitnah yang terakhir lebih buruk daripada yang pertama.”

Beliau kemudian menengok ke arah Abu Muwaihibah dan bersabda, “Abu Muwaihibah, sesungguhnya aku diberi kunci harta dunia dan keabadian di dalamnya, sesudah itu surga. Aku diberi pilihan di antara itu atau bertemu dengan Tuhanku dan surga.”

Abu Muwaihibah berkata, “Demi ayah bundaku, ambillah kunci harta dunia, hidup langgeng di dalamnya, lalu surga.”

Rasulullah SAW pun bersabda, “Tidak, demi Allah, Abu Muwaihibah, aku sudah memilih kembali kepada Tuhanku dan surga.”

Rasulullah kemudian memintakan ampunan bagi penghuni Baqi’ dan pulang. Semenjak itu, Rasulullah SAW mulai menderita sakit yang menyebabkannya meninggal dunia. (HR Ahmad)

Diriwayatkan dari Ya’qub bin Utbah, dari Muhammad bin Muslim az-Zuhri, dari Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud, dari Aisyah RA, ia berkata,

“Rasulullah pulang dari Baqi’, lalu menemuiku. Saat itu aku sedang sakit kepala. Aku mengerang, ‘Aduh, kepalaku sakit sekali’.”

Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, justru kepalaku lebih sakit, Aisyah.” Selanjutnya beliau bersabda, “Apa salahnya seandainya engkau mati mendahuluiku sehingga aku mengurusmu, mengkafanimu, menyalatkanmu, dan menguburkanmu?”

Aisyah RA berkata, “Demi Allah, jika itu yang terjadi padaku, begitu engkau selesai mengurusku, engkau akan kembali ke rumahku dan bermesraan dengan salah satu istrimu.”

Rasulullah SAW pun tersenyum. Sejak saat itu, sakit Rasulullah SAW semakin parah hingga beliau wafat pada 12 Rabiul Awal tahun ke-11 Hijriah. (HR Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Muhammad Singkat dari Lahir sampai Wafat


Jakarta

Nabi Muhammad SAW adalah pembawa risalah Islam, hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kisah hidupnya yang penuh hikmah, perjuangan, dan keteladanan, menjadi panduan bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan di dunia dan mencapai kebahagiaan di akhirat.

Kisah hidup Nabi Muhammad SAW, dari kelahiran hingga wafatnya, sarat dengan pelajaran berharga bagi umat manusia. Beliau adalah teladan dalam keimanan, ketaatan, dan juga akhlak yang mulia.

Kisah Nabi Muhammad

Berikut adalah riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang mengacu pada Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, serta dirangkum dari kitab Al Wafa karya Ibnul Jauzi, Ar-Rahiq al-Makhtum Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, dan Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad karya Moenawar Chalil.


1. Lahir pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah

Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, menurut pendapat mayoritas. Para sejarawan menyebutkan bahwa Tahun Gajah bertepatan dengan tahun 570 atau 571 M.

Nama Tahun Gajah berasal dari serbuan pasukan gajah yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Najasyi dari Habasyah di Yaman, bernama Abrahah bin Shabah. Pasukan tersebut datang ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah sekitar 50 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW lahir sebagai yatim, karena ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib, meninggal ketika beliau masih dalam kandungan ibunya, Aminah binti Wahb.

2. Dibersihkan Hatinya oleh Malaikat

Pada masa kecil, Nabi Muhammad SAW mengalami kejadian luar biasa saat tinggal bersama ibu susunya, Halimah. Ketika Rasulullah SAW dan anak Halimah, Abdullah, sedang menggembala kambing, tiba-tiba dua malaikat mendekatinya, membawa Nabi Muhammad SAW agak jauh dari tempat menggembala, lalu membelah dadanya dan membersihkan hatinya.

Abdullah yang berada dalam keadaan tergopoh-gopoh dan menangis, menceritakan kepada ibunya bahwa Rasulullah SAW ditangkap oleh dua orang berpakaian putih yang kemudian membaringkannya dan membelah perutnya.

3. Umur 6 Tahun Yatim Piatu

Saat Nabi Muhammad SAW berusia 6 tahun, ibunya wafat. Sehingga, beliau menjadi yatim piatu. Menurut riwayat Ibnu Abbas, ibunda Nabi Muhammad SAW wafat dalam perjalanan pulang ke Makkah setelah mengunjungi paman-pamannya dari Bani Adi bin An-Najjr di Madinah, tempat ayahnya dimakamkan.

4. Diasuh Kakeknya selama 2 Tahun

Setelah menjadi yatim piatu, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, selama sekitar dua tahun. Kemudian, Abdul Muthalib juga wafat.

5. Diasuh Pamannya dan Ikut Berdagang

Nabi Muhammad SAW setelah itu diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Bersama pamannya, beliau belajar ketekunan dan kerja keras, bahkan ikut berdagang keluar Makkah.

6. Menikah dengan Khadijah pada Usia 25 Tahun

Pada usia 25 tahun, Nabi Muhammad SAW menikah dengan saudagar Khadijah binti Khuwailid bin Asad. Khadijah RA adalah wanita bijaksana, cerdas, dan dihormati. Menurut Ibnu Hisyam, mahar pernikahan mereka berupa 20 ekor unta betina muda. Khadijah RA adalah istri pertama Rasulullah SAW dan beliau tidak menikah lagi sampai Khadijah wafat.

7. Menerima Wahyu Pertama pada Usia 40 Tahun

Pada usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW melakukan uzlah di Gua Hira. Dalam kesendirian tersebut, Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu pertama, yang menurut beberapa pendapat terjadi pada 17 Ramadan. Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah AW adalah surah Al Alaq ayat 1-5.

8. Dakwah Sembunyi-sembunyi selama 3 Tahun

Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW berdakwah secara sembunyi-sembunyi di Makkah selama tiga tahun, mengajak orang-orang terdekat untuk memeluk Islam. Golongan pertama yang memeluk Islam adalah Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar as-Siddiq, yang kemudian dikenal sebagai as-sabiqunal awwalun.

9. Dakwah Terang-terangan di Makkah selama 10 Tahun

Rasulullah SAW kemudian diperintahkan berdakwah secara terang-terangan. Beliau memulai dakwah kepada Bani Hasyim dan di Bukit Shafa. Kaum kafir Quraisy dengan keras menolak dakwah beliau, mengejek, menghina, dan menyebut beliau sebagai orang gila. Kaum muslim juga mendapat serangan dari kaum kafir Quraisy.

10. Peristiwa Isra’ Miraj

Pada akhir masa dakwah di Makkah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan spiritual bersama Malaikat Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian ke Sidratul Muntaha. Peristiwa ini dikenal sebagai Isra’ Miraj. Rasulullah SAW menerima kewajiban salat lima waktu dalam perjalanan tersebut.

11. Hijrah ke Madinah

Melihat situasi yang semakin tidak aman, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk hijrah atas perintah Allah SWT. Hijrah pertama kaum muslim ke Habasyah, dan kemudian dalam jumlah besar ke Madinah pada Jumat, 12 Rabiul Awal 1 H atau 622 M. Ada juga yang berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi pada 2 Rabiul Awal.

12. Dakwah di Madinah selama 10 Tahun

Di Madinah, Rasulullah SAW berdakwah selama 10 tahun dengan strategi berbeda. Beliau membangun masjid sebagai pusat dakwah, membuat perjanjian dengan kaum Yahudi, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansar, serta membangun ekonomi rakyat dengan mendirikan pasar.

14. Melakukan Haji Wada pada 10 Hijriah

Rasulullah SAW melaksanakan haji pertama dan terakhir yang dikenal sebagai haji Wada pada tahun 10 H. Beliau juga menyampaikan khutbah terakhirnya pada haji itu.

15. Sakit Menjelang Wafat

Rasulullah SAW jatuh sakit tak lama setelah kembali dari haji Wada. Lima hari sebelum wafat, sakit beliau semakin parah dengan suhu tubuh yang tinggi dan rasa sakit yang amat dahsyat. Pada saat-saat menjelang wafat, beliau memberikan sejumlah wasiat kepada umat Islam.

16. Wafat pada Usia 63 Tahun

Pada usia 63 tahun, Nabi Muhammad SAW wafat di pangkuan istrinya, Sayyidah Aisyah. Menurut Tarikh Khulafa karya Imam as-Suyuthi, beliau wafat pada 12 Rabiul Awal tahun 11 H. Ada pula pendapat yang menyebut tahun wafatnya adalah 10 H.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Rasulullah SAW, Peristiwa Penuh Duka dalam Sejarah Islam


Jakarta

Rasulullah SAW adalah sosok teladan bagi umat Islam, sebagai nabi terakhir yang membawa wahyu dan petunjuk hidup dari Allah SWT.

Kehilangan ini tidak hanya dirasakan oleh para sahabat dan pengikutnya, tetapi juga meninggalkan dampak yang luas bagi seluruh umat manusia. Berikut adalah kisah wafatnya Rasulullah SAW.

Kisah Wafatnya Rasulullah SAW

Wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H, menandakan berakhirnya periode kenabian dan menyisakan warisan ajaran Islam hingga saat ini.


Wasiat Rasulullah SAW saat Melaksanakan Haji Wada’

Diceritakan dalam buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik karya Faisal Ismail, pada tahun tahun 10 H atau 32 M, Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai haji Wada’, bersama kaum muslimin yang berjumlah sekitar seratus ribu orang.

Di hadapan ribuan jamaah haji itu, Rasulullah SAW mengucapkan pidato penting yang mempunyai arti bagi kaum muslimin, yang tidak hanya pada waktu itu, tetapi bagi kaum muslimin sesudahnya, kini, dan yang akan datang. Pidato yang diberikan Rasulullah SAW ini seperti menunjukkan adanya wasiat didalamnya.

“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku ini. Aku tidak dapat memastikan apakah aku akan dapat bertemu lagi atau tidak dengan kamu sekalian di tempat seperti ini sesudah tahun ini. Wahai manusia, sesungguhnya kamu haram menumpahkan darah, dan haram mengganggu hartamu, kecuali ada hak. Riba semuanya telah dibatalkan, kamu hanya berhak atas uang pokok. Dengan demikian, kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya. Penumpahan darah yang dilakukan di masa Jahiliah tidak ada diyat (denda)-nya lagi. Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di muka bumi, akan tetapi ia masih menginginkan yang lain dari itu. Sebab itu, awaslah selalu terhadapnya. Wahai manusia, Tuhanmu hanyalah satu, dan asalmu dari tanah. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Orang Arab tidak ada kelebihan atas orang non Arab, dan orang non Arab pun tidak ada pula kelebihannya atas orang Arab, kecuali karena takwanya.”

Rasulullah SAW Sempat Sakit Sebelum Meninggal Dunia

Sekitar tiga bulan setelah menunaikan haji Wada’ itu, Rasulullah SAW mengalami demam yang berat hingga tidak mampu keluar untuk menjadi imam salat. Beliau menyuruh Abu Bakar RA untuk menggantikannya menjadi imam.

Kaum Muslimin saat itu cemas terhadap penyakit yang diderita Rasulullah SAW. Pada suatu hari, Rasulullah SAW dijemput oleh paman beliau, Abbas dan Ali bin Abi Thalib, untuk keluar menemui kaum muslimin yang sedang berkerumun di masjid dengan sorotan wajah sedih yang ikut merasakan penyakit beliau.

Rasulullah SAW duduk di mimbar, tepatnya pada anak tangga pertama, yang dikerumuni oleh kaum muslimin Anshar dan Muhajirin, dan beliau pun menyampaikan sebuah amanat,

“Wahai manusia, aku mendengar kamu sekalian cemas kalau nabimu meninggal dunia. Pernahkah ada seorang nabi yang dapat hidup selama-lamanya? Kalau ada, aku juga akan dapat hidup selama-lamanya. Aku akan menemui Allah, dan kamu akan menyusulku.”

Dalam buku Kisah Manusia Paling Mulia di Dunia karya Neti S, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW sakit selama 13 atau 14 hari. Beliau sempat mengerjakan salat bersama para sahabat dalam keadaan sakit selama 11 hari.

Penyakit yang diderita Rasulullah SAW semakin lama semakin berat, dan beliau meminta untuk berada di rumah Aisyah pada hari-hari terakhirnya.

Kemudian dua hari atau sehari sebelum wafat, beliau keluar untuk menunaikan salat Dzuhur dan minta didudukkan di samping Abu Bakar.

Rasulullah SAW juga memerdekakan budak-budaknya, bersedekah dengan enam atau tujuh dinar yang beliau miliki, dan memberikan senjata-senjatanya kepada kaum muslimin.

Menjelang wafat, Rasulullah SAW menyampaikan wasiatnya. Beliau berkata bahwa “laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”

Beliau juga berkata, “Jagalah shalat! Jagalah shalat! Jangan sekali-kali telantarkan budak-budak kalian.” Wasiat tersebut diulang-ulang hingga beberapa kali.

Reaksi Para Sahabat saat Rasulullah SAW Wafat

Pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H, tepatnya pada tanggal 8 Juni 632 M, Rasulullah SAW berpulang ke Rahmatullah di usianya yang menginjak 63 tahun.

Merujuk kembali pada buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik, berita wafatnya Rasulullah SAW diterima di kalangan sebagian kaum muslimin dengan keraguan dan seakan-akan mereka tidak percaya jika hal itu terjadi.

Umar bin Khattab pun berdiri di depan umum sambil mengatakan:

“Ada orang mengatakan bahwa Muhammad telah wafat. Sesungguhnya, demi Allah, beliau tidak wafat, hanya pergi menghadap Allah, sebagaimana Nabi Musa pun pergi menghadap Allah. Demi Allah, Nabi Muhammad SAW akan kembali.”

Setelah itu, Abu Bakar segera masuk ke kamar Rasulullah SAW untuk menjenguk beliau. Dan terlihat oleh Abu Bakar, beliau sedang terbaring wajahnya yang ditutupi oleh kain, kemudian Abu Bakar pun membuka kain penutup wajah beliau, sambil berkata:

“Alangkah baiknya engkau di waktu hidup dan di waktu mati. Jika seandainya engkau tidak melarang kami menangis, akan kami curahkan seluruh air mata kami.”

Kemudian Abu Bakar keluar, mendatangi orang-orang yang sedang berkerumun, mencoba menenangkan mereka dan menghilangkan kebingungan yang mereka rasakan dengan mengatakan di hadapan mereka,

“Wahai manusia, barang siapa memuja Muhammad, Muhammad telah mati. Tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tiada mati-matinya.”

Abu Bakar juga membacakan ayat Al-Qur’an untuk memperingatkan semua orang, yang tercantum dalam surah Ali Imran ayat 144,

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔاۗ وَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ ۝١٤٤

Arab Latin: wa mâ muḫammadun illâ rasûl, qad khalat ming qablihir-rusul, a fa im mâta au qutilangqalabtum ‘alâ a’qâbikum, wa may yangqalib ‘alâ ‘aqibaihi fa lay yadlurrallâha syai’â, wa sayajzillâhusy-syâkirîn

Artinya: Muhammad itu hanyalah seorang rasul, telah berlalu beberapa orang rasul sebelumnya. Sekiranya Muhammad itu mati atau dibunuh orang, apakah kamu akan kembali menjadi kafır (murtad). Barang siapa kembali menjadi kafır, ia tidak akan mendatangkan bahaya kepada Tuhan sedikit pun.”

Mendengar pernyataan dari Abu Bakar yang tegas ini, umat Islam yang sedang berkerumun itu menjadi sadar dan menerima bahwa Rasulullah SAW memang telah wafat.

Saat itu, banyak orang yang berkumpul untuk menyalatkan beliau. Rasulullah SAW dimakamkan, dengan diantar dan disaksikan oleh kaum muslimin yang melepasnya ke tempat peristirahatan terakhir dalam suasana damai, menghadap Allah SWT.

Kepemimpinan Umat Islam pasca Wafatnya Rasulullah SAW

Mengutip buku Mencintai Keluarga Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Nur Laelatul Barokah, sepeninggalan Rasulullah SAW, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Mereka dikenal dengan nama Khulafaur Rasyidin.

Berbeda dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman, Ali Bin Abi Thalib dilantik menjadi Amirul Mukminin atau pemimpin umat Islam di depan umum. Hal ini merupakan permintaan Ali Bin Abi Thalib sebagai bukti bahwa dia ditunjuk oleh semua golongan kaum muslim.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com