Tag Archives: haji

Kusembah Engkau Karena Kucinta



Jakarta

Cerita cinta. Cerita yang tak pernah ditutup bukunya. Ia dinovelkan, ia dilagukan, ia disyairkan.

Tak terhitung jumlah judul lagu yang selalu hits, jika bertemakan cinta. Begitu juga judul film, judul novel, termasuk judul-judul puisi. Bahkan, berbagai perusahaan jasa, termasuk layanan perbankan dan perhotelan. Meninggikan kalimat cinta. Kalimat umum sebagai isyarat pelayanan unggulan. Kalimat itu bisa berujar, “Kami melayani dengan cinta”.

Cinta, menguatkan siapa saja. Kekuatan yang bahkan di luar logika. Cinta, sulit dinarasikan dengan kata-kata!


Orang yang sedang dimabuk cinta, tampak baginya keindahan dalam segala. Jika yang dicinta seorang wanita atau pria, maka dari seluruh detailnya, semuanya tampak memesona. Dari rasa cinta, muncul ungkapan kekaguman, pujian, ingatan tak berkesudahan, kerinduan, dan perasaan berbunga-bunga ketika berjumpa.
Bukankah setiap kita pernah merasakannya?

Rabi’ah al-Adawiyah. Siang itu Rabi’ah al-Adawiyah berlari-lari di Kota Baghdad. Di tangan kanannya ada setimba air. Tangan kirinya memegang obor api. Melihat yang tak biasa masyarakat betanya-tanya, ada apa?

Tak mereka duga, Rabi’ah menjawab ‘sekenanya’, “mau membakar surga dan menyiram neraka”.
Andai saja kita di sana, boleh jadi kita menduga Rabi’ah berbicara tanpa logika?

Rupanya Rabi’ah mengikuti kata hatinya. Agar siapa pun yang menyembahNya bukan mengharap surga, atau sekedar takut dari siksa neraka. Menurutnya, karena itu membuat umat Islam menyembahNya tanpa dasar cinta.

Menyembah demi cinta, pasti tak kan pernah dibutakan atas keinginan surga, atau ketakutan akan neraka.

Sangat mungkin suasana hati Rabi’ah sesuai dengan informasi dalam Zabur, kitab yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Daud as. “Siapakah yang lebih kejam dari orang yang menyembahKu karena surga atau neraka. Apakah jika Aku tidak membuat surga dan neraka, maka Aku tidak berhak untuk disembah.”

Cinta hamba, dalam lirik lagu. “Jika surga dan neraka tak pernah ada”.
Lebih sepuluh tahun lalu. Lagu tentang cinta tulus hamba kepada Tuhannya menempati papan atas tangga lagu hits di Indonesia. Perhatikanlah sebagian liriknya:

“Apakah kita semua
Benar-benar tulus
Menyembah padaNya
Atau mungkin kita hanya
Takut pada neraka
Dan inginkan surga

Jika surga dan neraka tak pernah ada

Masihkan kau bersujud kepadaNya
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut namaNya”.

Di hati seorang hamba. “Sungguh tak peduli aku. Ke manakah yang Engkau rela. Yang kuberatkan jika aku masuk neraka, karena aku durhaka. Betapa nestapanya?

Bukankah perintahMu adalah nikmat. Bukankah melanggarmu adalah kerugian yang fakta. Bagaimana bisa memilih celaka daripada bahagia, jika aku memiliki logika.

Betapa maksiyat kepadaMu adalah pengkhianatan kasat mata. Atas sejati cintaMu kepadaku. Tidak tahu malu, jauh dari kata setia. Tak pantas menjadi manusia!

Andai memilih taat daripada durhaka tak pernah ada pahalanya. Logika sehatku pasti memaksa untuk memilih taat kepadaMu. Betapa tidak, karena taat itu keuntungan yang sangatlah berbukti fakta.

Maha Suci Engkau dari memerintahkan untuk celaka. Pastilah perintahMu untuk selamat dan bahagia. Maha Suci Engkau dari melarang untuk bahagia. Pastilah laranganMu untuk menghindar dari bahaya nyata. Celaka tak ada duanya.

Lalu apa kepentinganku terhadap pahala. Kecuali itu hanya karena anugerah rahmatMu saja kepada siapa pun hambaMu. Duh, hanyalah Dia yang benar-benar haq untuk dicinta, dengan segala puja.

Kalimat Maha Puja Menandai Puncaknya Cinta. Kalimat puja

dan puji untuk hamba-hambaNya. Diuntai berjalin dalam kekaguman tak berhingga. Inikah dia?

1. Bismillaahirrahmaanirraahiim
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
2. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin
Segala puji hanya bagi Engkau Tuhan seru sekalian alam
3. Ar-Rahmaanirraahiim
Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
4. Maaliki yaumiddiin
Maha Raja di hari pembalasan

Nabi Daud as. menerima wahyu dalam Zabur, “Sesungguhnya orang yang sangat Aku kasihi adalah orang yang beribadah bukan karena imbalan. Tapi semata, karena Aku berhak untuk disembah.”

Duhai Allah. Hamba berdoa dan berdoa. Agar setiap masa yang sedang dan akan tiba. Tak ada secelah pun padanya. Kecuali hamba menyembahMu sedang hati selalu dimabuk cinta. Cinta hanya kepadaMu saja.
Kabulkanlah Rabb!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Rahasia 100.000 Pahala di Masjidil Haram



Jakarta

Salat itu ibadah unggulan. Begitu tinggi maqamnya, hingga banyak ibadah lain “sepertinya” bersifat derivatif dari salat. Nyaris semua kegiatan harian kita, ada “penawarnya” lewat salat. Selain salat sunah rawatib, ada banyak ibadah maknawiyah yang menggandeng salat.

Contoh; wudhu ada salatnya, hajat ada salatnya, mohon petunjuk ada salatnya, safar ada salatnya. Ada salat sunah ihram, salat tawaf, minta hujan, salat gerhana, salat taubat, dan salat lainnya.

Bahkan, ada salat yang tidak bergantung pada momentum apa pun. Kapan saja (selain waktu terlarang) dan di mana saja, kita bisa langsung salat. Namanya salat mutlaq.


Dus, salat adalah fasilitas paling formal yang didisain oleh agama agar umat dapat setiap saat berasyik masyuk dengan Tuhan. Konon, salat pula yang pertama-tama akan dihitung di Yaumil Hisab sebelum jenis ibadah lain. Jika salatnya baik, ibadah lain diyakini akan beroleh “syafaat” dari salat.

Nah, salat juga merupakan salah satu peluang investasi terbesar kita. Ia menampung keuntungan sangat besar. Keuntungan berupa pahala. Pahala adalah manfaat dari perbuatan yang bisa dipetik. Ibarat perusahaan, agama Islam menyediakan dua formula untuk menghitung benefit.

Ia menyediakan pahala bagi yang amal ibadahnya baik dan menyiapkan dosa bagi yang sebaliknya. Pahala berupa manfaat, sedang dosa memberinya mudarat. Inilah reward dan punishment.

Pahala dan dosa berimplikasi pada wujudnya manfaat dan mudarat bagi kita. Bukan bagi Allah. Setiap amar-Nya akan mendatangkan manfaat dan tiap nahyun–larangan-Nya, jadi penyebab kemudaratan bagi kita.

Maka, siapa yang salatnya baik, memenuhi rukun, syarat wajib, syarat sah dan syarat diterimanya, maka ia akan beroleh manfaat, yaitu selalu ingat Allah dan jauh dari mungkar serta fakhsya’. Yang lalai akan beroleh sebaliknya; lupa kepada Allah dan diancam dengan kenistaan hidup.

Meditasi Energi

Kini, mari mencoba menyimak “dalil” alam semesta lewat postulat fisika. Dengan rumus ini, kita berharap dapat memandang salat dari sisi lain. Yaitu salat sebagai sebuah meditasi energi. Kenapa disebut meditasi, karena salat yang “benar” akan meniscayakan suasana khusyu’.

Persis meditasi. Khusyu’ (dalam salat) dan meditasi adalah safar hati. Kian sublim hati seseorang, akan kian jernih hatinya. Jika mencapai kejernihan tertentu, hati akan mampu beresonansi.

“Dalil” lain dari ilmu pengetahuan alam menyebutkan bahwa jika sebuah benda mengandung listrik–dan begitu juga tubuh manusia, bergerak-gerak dengan cara berputar, dalam waktu tertentu akan bisa memproduksi energi.

Dan kaifiyat salat terdiri atas gerakan berputar yang dimaksud. Takbiratul ihram adalah gerakan tangan dari pinggang hingga telinga. Ia bergerak 180 derajat. Rukuk juga gerakan berputar 90 derajat. I’tidal ke sujud bergerak 180 derajat. Dan sujud ke duduk juga gerakan 90 derajat.

Lebih dari itu, salat adalah kegiatan yang tidak pernah berhenti hingga Hari Kiamat. Siang ini salat duhur di Makkah, semenit lalu duhur yang sama di tempat lain. 9 jam lalu duhur itu juga di Jakarta. 10 jam sebelumnya di Bali. Sejam lalu di Papua.

Demikianlah sepanjang 24 jam, duhur berputar berganti asar, lalu salat maghrib, lalu isya, dan akhirnya subuh. Kondisi ini akan terus berlanjut, sebab matahari tak pernah berhenti mengitari bumi. Miliaran orang melakukan salat.

“Waktu” bertambah padat dan tebal jika banyak orang melengkapinya dengan salat sunnah. Kini kita dapat membayangkan, betapa telah terjadi ketegangan medan elektromagnetik pada satu titik.

Di mana ‘kah titik itu? Di ka’bah. Mengapa? Sebab semua gerakan salat mengarah pada satu titik, yaitu ka’bah. Rumah Tuhan itu membara karena menjelma konduktor raksasa. Titik itu menjadi kiblat hati dari miliaran manusia.

Dalam satu waktu, miliaran hati berkirim resonansi cahaya. Sebab, hati yang yang menampung doa, ayat-ayat Alquran, selawat, wirid, dzikir, bacaan talbiyah dan bersatu dalam susunan kalimah tayyibah yang sakral, akan memunculkan cahaya/nur.

Allah juga menyebut Alquran sebagai “nuron mubina”–cahaya yang nyata. Nur itu adanya di hati yang lembut. Jika sampai pada kejernihan tertentu, hati akan menularkan cahaya ke sekitar. Sebab, hati yang yang lembut, mengandung frekuensi tinggi dan amplitudo rendah.

Dari mana rumusnya? Saat mengisi pengajian di kantor daerah kerja (daker) Makkah tempo hari, konsultan ibadah di PPIH Arab Saudi, KH Abdul Moqsith Ghazali berkisah soal Nabi Ibrahim.

Katanya, sangat bisa jadi tempat “ngaji” itu adalah jalan-jalan yang dulu pernah dilalui Nabi Ibrahim As. Dan Ibrahim As dikonstatasi Allah sebagai nabi berhati jernih dan lembut. “Inna Ibraahima La’awwaahun haliim–Sungguh (Nabi) Ibrahim itu lembut hati dan penyantun.”

Maka, kata Kiai Moqsith, salat di tanah suci (di mana pun di Makkah) berarti salat di Tanah Haram. Salat di tanah haram juga berarti salat di Masjidil Haram. Salat di Masjidil Haram berarti salat di sekitar ka’bah. Sebuah locus yang menapaktilasi jejak Ibrahim, Ismail, Siti Sarah.

Disinari Multazam, hijir dan maqam, diselimuti jejak spiritual jutaan orang tawaf berputar, miliaran kaum muslimin salat di seluruh punggung bumi, maka miliaran hati itu berkirim cahaya ke satu titik, yakni ka’bah. Dan, terbentuklah Gelombang Cahaya!

Cahaya itu sudah tertanam dalam waktu sangat panjang, puluhan ribu tahun lamanya. Cahaya itu membilas hati jemaah haji, pelaku salat, jemaah tawaf. Jiwa dan hati yang lembut dan jernih, akan berkonsekuensi pada terciptanya batin yang tenang.

Cahaya itu akan mengantarkan bisikan jiwa, suara batin, dan munajat menuju Robbil Izzati. Secepat cahaya. Secepat 300.000 km perdetik. Itulah batas kecepatan cahaya. Kecepatan tercepat di alam semesta ini. Mengalahi kecepatan suara.

100.000 Pahala

Doa yang tiba cepat. Super ekspres. Secepat kilat. Tahu-tahu sudah di tangan malaikat. Tahu-tahu malaikat sudah menyerahkannya kepada Tuhan YME.

Jika Baginda Rasul diriwayatkan pernah bersabda bahwa salat di Masjidil Haram akan beroleh pahala berkelipatan 100.000 kali, itu amat ma’qul alias masuk akal. Bahkan, kita bisa meyakini itu cara Nabi menjelaskan betapa besar nilai dan derajatnya sehingga beliau sampai pada angka 100.000. Amboooi!!!

Seratus ribu kali lipat pahala adalah 100.000 lipat manfaat. Manfaat sebagai akibat dari pahala salat. Manfaat itu berupa kesempatan “ingat Allah” selama 100.000 kali dalam sekali salat. Dan salat kita adalah 5 kali sehari semalam plus salat sunnah rawatib dan salat-salat sunnah pelengkap lainnya.

Maka, siapa gerangan yang tidak merasa beruntung ingat dan diingat Allah sepanjang usia di dunia menuju akhiratnya? Ia akan dijaga agar terhindar dari munkar-fakhsya’.

100.000; deretan angka yang tak akan mampu dilampaui ukuran usia manusia mana pun!!!

Ishaq Zubaedi Raqib

Petugas PPIH Arab Saudi sublayanan MCH Daker Makkah Al Mukarramah

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Ziarah Madinah dan Tradisi Arba’in



Jakarta

Salah satu tahapan dari penyelenggaraan ibadah haji adalah ziarah kota Madinah. Agenda di kota Madinah memang bersifat komplementer atau melengkapi agenda utama haji di kota Mekah. Destinasi utama dari fase ritual Madinah adalah Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah dan tempat mustajab untuk berdoa, yakni Raudah atau rawdhah min riyadh al-jannah, demikian kata Rasulullah menunjuk space antara posisi mimbar dan kediaman beliau.

Sensasi Ziarah Nabawi

Rasanya tidak ada jemaah yang tidak tertarik untuk menziarahi makam Rasulullah. Ziarah makam Rasulullah pastinya akan melepas kerinduan kita terhadap insan agung pilihan Allah. Bagi jemaah yang terbiasa dengan tradisi wisata ziarah di tanah air ziarah Madinah menjadi momentum sangat istimewa. Tentu sensasinya jauh lebih dahsyat dan syahdu melebihi suasana ziarah makam wali atau ulama-ulama saleh lainnya. Air mata akan mudah bercucuran karena kerinduan yang membuncah.


Menziarahi makam Rasulullah adalah impian setiap Muslim Indonesia. Meski tak lagi mungkin berjumpa secara visual dengan Rasulullah, paling tidak, hadir di dekat pusaranya menjadi penanda bahwa kita berkesempatan untuk berdekatan dengan beliau. Tentu, kita jangan membayangkan bisa duduk sila berlama-lama sembari merapal semua wirid dan doa di hadapan makam Rasulullah, seperti halnya ketika berzikir di sejumlah destinasi wisata ziarah di tanah air. Otoritas keamanan masjid Nabawi sangat membatasi pergerakan dan gerak-gerik peziarah yang melintas area makam Rasulullah.

Kita tidak bisa berlama-lama berdiam atau berdoa di sekitar makam Rasulullah. Kita pasti akan segera digiring oleh para Askar bertampang sangar, lantas diarahkan untuk bergeser meninggalkan area makam Rasulullah menuju sisi utara masjid Nabawi. Walhasil kita hanya bisa melintas, atau sejenak menyapa Rasulullah dan sejumlah Sahabat yang juga dikubur di samping beliau, menyampaikan selawat sebisanya, dan semua permohonan yang dipanjatkan.

Beberapa tahun terakhir, otoritas Nabawi membuat terobosan baru dalam rangka mengurai kepadatan jemaah yang berkerumun atau berebut mendapatkan tempat berdoa di Raudah. Untuk dapat menikmati syahdunya “taman surga” Nabawi, jemaah harus mendapatkan tasrih atau semacam legalitas mendapatkan tempat atau kuota berdoa di Raudah. Tanpa itu, jangan berharap bisa masuk dan berdoa di arena masjid berkarpet warna hijau, sebagai penciri area antara mimbar dan rumah Rasulullah.

Dengan kebijakan ini maka jemaah tak perlu lagi berdesakan, berebut antar sesama jemaah, memonopoli kesempatan di Raudah, atau sebaliknya jemaah dengan keterbatasan fisik atau risiko tinggi tak bisa menikmati spiritualitas Raudah. Panitia haji Indonesia bersama otoritas Nabawi tentu sudah mengatur dan menyiapkan tasrih Raudah untuk para jemaah. Tinggal diatur jadual kedatangan ke lokasi secara bersamaan. Tentu harus disiplin mengikuti jadual yang ditentukan. Jika tidak maka kesempatan emas itu akan berlalu begitu saja. Jadi jemaah haji juga tak perlu risau karena semua akan diberi kesempatan untuk berdoa di Raudah.

Kebijakan ini patut diapresiasi karena memenuhi asas keadilan dan pemerataan kesempatan. Saya pun berpikir, andaikan kebijakan ini diberlakukan untuk jemaah yang ingin mencium “Hajar Aswad”. Mungkin tidak akan terjadi ‘anarkisme’ di seputaran Kakbah. Saya termasuk yang menyimpan perasaan risih bahkan miris menyaksikan ketidaktertiban dan gesekan keras yang terjadi untuk sekadar mencium “Hajar Aswad”. Tentu kita berharap otoritas masjid Haram memikirkan solusi terbaik mengatasi sengkarut mencium “Hajar Aswad” sehingga jemaah bisa menikmati ritual ini dengan aman dan damai.

Berburu Salat 40 Waktu

Halawah lain yang masih dalam lingkup ziarah Madinah adalah salat “Arba’in”. Ini popular di kalangan jemaah haji Indonesia, meski saat ini tidak lagi menjadi agenda prioritas. Jemaah haji Indonesia bisa melakukan ritual Arba’in jika situasi dan skema jumlah hari memungkinkan. Jika tidak maka tentu jemaah tidak perlu risau atau galau. Tidak mendapatkan Arba’in tidak lantas mendegradasi kualitas ibadah haji. Sama sekali tidak.

Salat Arba’in adalah menunaikan salat fardu lima waktu secara berjamaah di masjid Nabawi di Madinah. Salat berjamaah tersebut dijaga sampai 40 kali salat berturut-turut secara konsisten. 40 kali salat berjamaah lima waktu kurang lebih selama 8 hari (5 salat/hari X 8 hari = 40 hari). Ini tentu tidak mudah. Perlu kesiagaan penuh dan komitmen tinggi. Dibutuhkan kesehatan prima mengingat mobilitas hotel-mesjid cukup tinggi dan kontinou.

Salat berjamaah 40 kali ini memiliki keutamaan, seperti terekam dalam sebuah Hadis yang sejatinya masih diperdebatkan kesahihannya. Hadis ini menyebutkan bahwa salat tersebut menjadi sebab seseorang selamat dari neraka, siksa, dan kemunafikan. Seperti ini redaksi Hadisnya:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “مَنْ صَلَّى في مَسجدِيْ أَرْبَعين صلاةً لَا يَفُوْتُهُ صلاةٌ؛ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِن النَّارِ، ونَجَاةٌ من الْعذَابِ، وَبَرِيئٌ مِنَ النِّفَاقِ”. رواه الإمام أحمد والطبراني في معجمه الأوسط.

Dalam Kitab Hadis al-Musnad karya Imam Ahmad ibn Hanbal dan juga dalam Mu’jam al-Awsath karya al-Thabrani (Juz III/h. 325, No. Hadis: 5444) diriwayatkan suatu Hadis dari jalur Anas ibn Malik, dari Nabi Saw. bahwasanya beliau bersabda, “Siapa saja yang salat di masjidku sebanyak 40 salat, dan tidak luput darinya satu salatpun, maka dia dicatat terbebas dari api neraka, selamat dari azab dan terbebas dari kemunafikan.”

Imam al-Haitami dalam kitabnya, al-Majma’, menyatakan bahwa perawi Hadis ini adalah termasuk orang-orang yang tsiqqah. Imam al-Mundziri menyatakan dalam kitabnya, at-Targhib, bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui para perawinya yang shahih. Namun, di sisi lain, Hadis ini dianggap dha’if, sebab dalam rangkaian perawinya terdapat sosok Nubayth yang dianggap majhul.

Dengan begitu, kekuatan Hadis ini diperdebatkan oleh para ulama. Sebagian menyatakan Hadis ini shahih, sementara yang lain mengatakan tidak. Namun, kalaupun di anggap dha’if, perlu diingat penjelasan Imam al-Nawawi dalam kitabnya, al-Taqrib, bahwa Hadis dha’if dapat diamalkan dalam ranah fadha’il al-a’mal (untuk amaliah tambahan) dengan beberapa syarat. Pertama, Hadis tersebut tidak terlalu lemah. Kedua, Hadis tersebut tidak berkaitan dengan akidah, hukum halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan hukum yang mengikat. Ketiga, Hadis tersebut tidak bertentangan dengan Hadis shahih atau prinsip dasar syariah.

Dalam pandangan para ahli, Hadis tersebut tidak bertentangan dengan Hadis shahih dan tidak terlalu dha’if karena ada ulama yang menganggapnya shahih dan Hadis tersebut dalam kerangka fadha’il al-a’mal. Oleh karena itu, Hadis tersebut secara substansial dapat diamalkan, sehingga melaksanakan salat Arba’in adalah masyrū’ atau memiliki legalitas berdasarkan Hadis tersebut.

Tak Perlu Ngoyo

Namun perlu dicatat bahwa salat Arba’in bukan salat khusus atau berbeda dari salat lainnya. Salat Arba’in adalah salat fardu biasa. Perbedaannya terletak pada komitmen dan kesungguhan untuk menunaikannya secara berjamaah, di suatu tempat yang afdal, yaitu di masjid Nabawi. Komitmen itu dijaga selama 40 kali salat berturut-turut.

Oleh karena itu, jika seseorang atau jemaah haji memiliki kesempatan atau kelonggaran tinggal di Madinah selama 8 sampai 9 hari, ada baiknya mengupayakan salat berjamaah setiap waktu salat di Masjid Nabawi, sehingga mendapatkan keutamaan Arba’in. Namun, jika dalam kondisi tertentu hal mana tidak memiliki kesanggupan secara fisik maupun waktu yang tidak memungkinkan maka tentu tidaklah mengapa. Tak perlu merasa risau atau berdosa karena tidak mampu melaksanakan ritual salat Arba’in.

Berdasarkan evaluasi penyelenggara haji Indonesia, aktivitas padat di Madinah ternyata cukup signifikan menyumbang angka kematian jemaah haji Indonesia. Ini tentu harus menjadi perhatian para jemaah haji. Energi yang terkuras selama pelaksanaan puncak haji di Armuzna menyebabkan penurunan stamina dan daya tahan tubuh jemaah haji, terlebih pada saat cuaca ekstrem seperti musim haji tahun ini.

Beraktivitas padat tanpa kendali pasca Armuzna seringkali membuat jemaah tidak menyadari keterbatasan imunitas dan daya tahan tubuhnya sehingga berdampak buruk pada kesehatannya hingga berujung kematian. Oleh karena itu, jemaah haji perlu bijak dan mampu mengukur kesiapan fisik untuk menghadapi aktivisme ziarah Madinah. Kita nikmati suasana Madinah yang syahdu dengan ibadah yang khusyuk dan tenang. Tidak perlu memaksakan diri berburu kuantitas ibadah. Yang lebih penting adalah menciptakan spiritualitas yang bermutu meski kuantitas tidak harus selalu banyak.

Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Tim Monev Haji Indonesia 2024

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Haji Lansia di Hati Semua



Jakarta

Jauh pun bisa dekat. Apalagi yang dekat. Itu terjadi saat semua kita diikat oleh satu nilai. Namanya kemanusiaan. Maka, di mana pun berada, perhatian tak berbeda. Ekspresi diri menjadi bukti keberadaannya. Ada pikiran. Juga perasaan. Ada pula tindakan. Semua menjadi bagian dari bentuk ekspresi diri yang teraktualisasikan. Nah, media menyambungkan antara yang jauh dan yang dekat. Antara yang terlihat dekat dan yang tampak lamat-lamat. Ekspresi nilai kemanusiaan pun menjadi semakin meningkat.

Itulah yang sedang dibawa oleh media sosial. Pertukaran informasi tanpa perlu dimoderatori. Orang bisa mengirim pesan sesuka hati. Bisa dalam bentuk teks, suara atau gambar yang disenangi. Keberadaan video semakin membuat pesan teks, suara dan gambar terkirim dengan jernih. Sehingga pesan yang tercetak-tersurat atau yang tersirat pun bisa ditarik, dibaca dan dimaknai. Begitu pula yang terdengar atau terlihat. Semua bisa diberi makna sesuai sudut pandang yang dimiliki.

Beredarlah sebuah video di kanal TikTok. Dibuat oleh seseorang yang mengambil nama maya Dave Parfum. Dia mengirim pesan dalam caption pada video itu. Bunyi begini: “Selalu setia dan bergandengan tangan sampai maut memisahkan. Semoga jadi haji mabrur. Amin.” Pesan dalam caption itu menunjuk kepada kesetiaan tanpa batas. Antara suami dan isteri. Latar belakang video itu adalah bergeraknya sepasang kakek-nenek suami isteri yang menjadi jemaah haji Indonesia tahun 1445 H/2024 M ini. Mereka berjalan kaki. Menyusuri jalanan untuk kegiatan ibadah haji.


Tampak dalam video itu, sepasang kakek-nenek jemaah haji itu sedang menempuh perjalanan untuk menunaikan ibadah lempar jumrah di Jamarat, Mina, Makkah. Sang nenek berjalan lebih di depan, dan sang kakek di belakangnya samping kiri. Tangan kiri sang nenek menggenggam tangan kanan sang kakek. Karena sang nenek posisinya lebih ke depan, maka dia tampak sedang menggandeng sang kakek dari depan. Jadi, melihat video ini, siapapun segera bisa menarik pesan kontan: kesetiaan hidup bersama dalam rumah tangga hingga masa tua.

Apalagi, video itu diunggah dengan diberi musik latar belakang (background music) dari lagu berjudul Cinta Kita. Lagu ini dibawakan oleh sepasang artis muda, Shireen Sungkar dan Tengku Wisnu. Lagu ini pernah nge-hits tahun 2010. Karena menjadi soundtrack sinetron Cinta Fitri yang juga dibintangi oleh keduanya. Begini bagian lirik lagu yang dijadikan sebagai musik latar belakang itu:

/Biar cinta kita tumbuh harum mewangi/
/Dan dunia menjadi saksinya/
/Untuk apa kita membuang-buang waktu?/
/Dengan kata, kata perpisahan/

Pesan pun semakin konkret. Bahwa sepasang kakek-nenek jemaah haji Indonesia itu adalah teladan kesetiaan. Hingga kegiatan haji yang menuntut fisik yang prima pun dijalani bersama. Berjalan berkilo-kilo meter pun dianggap bukan kendala. Semua dijalani dengan gembira. Bergandengan tangannya keduanya mengirimkan pesan bahwa tak akan ada yang dapat memisahkan keduanya. Kecuali maut yang tak bisa ditolak adanya. Maka, wajar saja jika caption dalam video TikTok di atas di antaranya berbunyi “Selalu setia dan bergandengan tangan sampai maut memisahkan”. Latar belakang ibadah haji menjadikan semakin kuatnya pesan kesetiaan dan ketidakterpisahan di antara keduanya.

Video itu mendapatkan respon yang sangat baik dari para netizen. Hingga tulisan ini dibuat, Jumat (28/06/2024) jam 19:10 WAS (Waktu Arab Saudi) atau 23:10 WIB, sudah muncul 719K netizen dengan jumlah komentar yang mencapai 25.4 K, dan like sebesar 40.1K. Tentu, angka-angka ini menunjukkan bahwa para netizen mengapresiasi positif konten yang ada pada video tersebut. Lihatlah respon para netizen atas video TikTok itu. Seperti yang di antaranya dikutip di bawah. Hampir semuanya tidak ada yang nyinyir. Alih-alih, apresiasi tinggi justeru mengalir.
Kekaguman memang menjadi komponen utama dari apresiasi di atas. Ribuan memang komentar yang muncul dan diberikan ke tayangan video di atas.

Itu menunjukkan betapa tingginya perhatian publik pada muatan materi yang ada pada konten video dimaksud. Namun secara garis besar, respon kekaguman netizen di atas bisa diklasifikasikan ke dalam dua jenis: satu, berisi kekaguman yang disertai doa untuk sang kakek-nenek, dan kedua, kekaguman yang disertai doa untuk diri netizen sebagai implikasi balik dari kemuliaan pasangan kakek-nenek itu.

Kategori pertama bisa dicontohkan dengan kalimat-kalimat ungkapan netizen berikut: “videonya cuma jalan, tapi gak tahu kenapa air mataku keluar” oleh pemilik akun bernama vadilla, serta “kok aku mewek sih, ya Allah berikan kesehatan untuk uti dan kakung aamiin” oleh akun greenbee10. Adapun kategori kedua bisa dicontohkan dengan ungkapan-ungkapan seperti berikut: “Bismillah Allahumma Sholli ala sayydina Muhammad ya Allah jadikan gambaran ini seperti aku sama isteriku suatu saat nanti waktu pas haji/umrah Amien ya rabbalalim” oleh pemilik akun bernama Master konteng. Juga ada “Masyaalah..aq nangis meliat ini..semoga aq dan suami biss seperti ini, aamin” oleh pemilik akun bernama chylaNada.

Marshall McLuhan (1964), ahli komunikasi dari Kanada, melalui teorinya the media is the message menyatakan bahwa media komunikasi dan bukan pesan itu sendiri yang akan bisa mempengaruhi pemahaman dan kesadaran masyarakat. Melalui apa? Melalui kekuatan kontennya. Video termasuk bagian dari media. Dalam kasus video kakek-nenek jemaah haji lansia di atas, keberadaannya juga bisa menumbuhkan pemahaman tentang kesetiaan hidup suami-isteri. Juga, video itu bisa menyulut kesadaran baru tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan berdua suami-isteri melalui kesetiaan sejati. Bahkan, doa pun mengalir untuk kebaikan diri mereka sendiri yang melihatnya.

Kalau netizen saja bisa meneteskan air mata saat melihat bagaimana jemaah haji lansia menjalani rangkaian kegiatan ibadah haji, apalagi para petugas haji Indonesia yang memang melakukan pelayanan langsung di lapangan. Mereka memang ditugaskan untuk semata-mata memberikan pelayanan terbaik kepada jemaah haji Indonesia di Arab Saudi. Termasuk di antaranya kategori lansia. Tentu emosi, pikiran, perasaan, batin dan jiwa menyatu dalam nafas para petugas pelayanan haji itu.

Lihatlah perempuan petugas haji yang memberikan testimoni pada kegiatan malam khidmat bertajuk Menteri Menyapa dan Mengapresiasi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji 1445 H/2024 M Arab Saudi di Makkah. Namanya Siti Qomala Hayati. Acara itu sendiri dilaksanakan di Hotel Wehda Mutammayez (602) pada Hari Rabu (19/06/2024). Perempuan petugas haji itu diminta tampil untuk memberikan testimoni di hadapan Menteri Agama RI dan seluruh anggota amirul hajj, mustasyar dini dan seluruh petugas haji Indonesia di Arab Saudi.

Dalam testimoninya, Qomala Hayati itu bilang: “Kami mandikan beliau. Kami gantikan pampersnya. Kami suapin. Kami gendong. Padahal kami tidak pernah kenal sebelumnya pada ibu jemaah haji yang kami layani itu.” Suasana pun hening. Terhanyut oleh kata-kata bijak untuk melukiskan praktik mulia oleh para petugas perempuan haji Indonesia. Sangat heart-touching. Menyentuh hati. Air mata pun membasahi pipi. Sambil tak sanggup menahan makin derasnya air mata yang terus mengaliri. Sesenggukan pun juga tak kuasa untuk terkendali.

Testimoni Qomala Hayati di atas melengkapi testimoni sebelumnya yang disampaikan oleh petugas laki-laki haji Indonesia. Substansinya kurang lebih sama. Tapi, yang disampaikan Qomala Hayati itu lebih menyentuh hati dan jiwa. Bahkan menyayat nurani bersama. Karena perempuan petugas haji itu mampu melukiskan situasi layanan itu dengan contohnya. Konkret pula. Mulai dari menggantikan popok, memandikan hingga menyuapi. Ditambah dengan tangis yang tak kuasa dia tahan, seperti dijelaskan sebelumnya.

Semua pun lantas merespon kagum tetsimoni Qomala Hayati itu. Mulai dari Habib Hilal dari PBNU, Buya Anwar Abbas dari MUI, hingga bahkan Mengerti Agama RI sendiri. Semua dalam kata dengan suara dan tone yang sama: tak mampu menilai kemuliaan yang sudah diberikan oleh para petugas haji Indonesia kepada seluruh jemaah haji. Termasuk dan utamanya adalah lansia. Maka, suksesnya jemaah haji lansia dalam beribadah haji tidak bisa dipisahkan dari kemuliaan layanan yang telah dilakukan oleh petugas haji.

Netizen memang jauh dari praktik layanan jemaah haji Indonesia di Arab Saudi. Tapi, hati mereka diikat secara sama dan satu oleh nilai kemanusiaan yang tumbuh dalam layanan haji lansia. Begitu pula para petugas haji. Maka, jauh dan dekat kini hanya soal jarak fisik. Namun, kemanusiaan mengikat dan menyatukan beda jarak itu ke dalam satu detak nafas yang sama. Layanan jemaah haji lansia menjadi pemantiknya. Bentuk dan kata kuncinya adalah, melayani ibadah itu sekaligus melayani kemanusiaan.

Akh. Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Menuju Arafah, KepadaNya Kita Berpasrah



Jakarta

Ramai menjadi bahan perbincangan. Di sebuah group WhatsApp masyarakat terpandang. Terpandang dari tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pemahan agama. Maklum, para mereka golongan masyarakat yang strata pendidikannya memerlukan kualitas logika yang menantang.

“Kalau saya lebih baik duit digunakan untuk membantu masyarakat Palestina, atau masyarakat kurang mampu yang masih membutuhkan”, ujar salah seorang mengomentari anggota group yang berulang ke tanah haram. “Daripada mengunjungi tanah haram berulang-ulang. Bukankah kewajiban haji hanya sekali seumur hidup?” lanjutnya meminta persetujuan para anggota group sekalian.

“Ia, padahal masyarakat kita masih banyak yang membutuhkan. Bukankah uang segitu banyak, lumayan untuk memberi para mereka makan. Menutup berbagai kebutuhan?” sambut yang lain.


Rupanya yang ditujukan kepadanya komentar tak beranjak dari diam. Ia seolah pasrah dijadikan pesakitan. Menundukkan pandangan. Terus fokus memohon ridlo Tuhan. Agar ibadahnya bisa terus mudah, lancar. Tak bermaksud menuai pujian. Juga tidak menghindar dari olokan teman.

Satu, dua, tiga, lagi dan lagi. Kok bisa? Sekian banyak sudah komentar para kawan agar menggeser saja dana untuk ibadah ke tanah haram untuk membantu saudara-saudara di Palestina. Atau untuk kemanfaatan yang lebih besar. Di

dalam negeri kan lebih utama. Terlebih bagi keluarga dekat, tetangga, para masyarakat yang terhadap kebutuhan masih sangat berminat.

Logika simple yang sederhananya harus dibenarkan. Tapi eh tunggu dulu. Coba kita simak pengalaman salah seorang jemaah. Begini kisahnya.

Ia merasa berulang terheran-heran. Mengapa dirinya sering memandang dari arah belakang. Terhadap sekian orang dalam sekian kali pengamatan. Orang-orang yang tidak asing karena menggunakan atribut merah putih. Masyarakat negara asalnya. Bukan negara tetangga.

Terlihat padanya, entah di ujung escalator, entah selama berjalan menuju lokasi shalat di dalam masjid. Entah juga di beberapa lokasi yang padat lalu-lalang orang.
Tak sengaja dilihatnya tangan-tangan mereka lincah menyampaikan uang real. Yang terbanyak receh 10an real. Konversi rupiahnya hampir 50 ribuan.

Mereka sisipkan kepada cleaning service, atau kepada siapa pun yang mereka pandang berpeluang memperoleh sumbangan pendapatan.
Baju sederhana, tampilan bukan orang berada, tapi soal menyodorkan uang, mereka tidak kesulitan.

Timbul gumam dalam hatinya. Jangan-jangan para jemaah yang seperti ini yang sering berulang beribadah ke tanah haram. Kedermawanannyakah yang mengantar mereka berpeluang datang berulang-ulang. Ke Madinah, Makkah,

Arafah dan Mina? Boleh jadi ibadah bagi-bagi uang, sambil sembunyi tangan itu. Merupakan bukti mereka benar-benar rajin sembahyang. Betapa tidak, bukankah shalat, atau sembahyang harus menghasilkan bukti jiwa yang gemar menyenangkan orang di jalan Tuhan?

Kepo atas kedermawanan orang. Ia mendekatinya dengan sopan, sambil bertanya. Tentang apa yang telah diperhatikannya sejak tadi.
Alhamdulillah, kepo-nya ternyata bisa dibuang. Ketika yang ditanya berkenan menerangkan.
Bahwa, upaya untuk menghadirkan kedermawanan. Memang sudah diniatkannya sejak dari tanah air. Semenjak dirinya meniatkan untuk memenuhi undangan Tuhan.

Uang yang dia bagikan itu, adalah bagian yang akan ditebarkannya di tanah haram.
Untuk di Indonesia. Hasil usahanya dibaginya begini. Separuh lebih untuk berbagai keperluan di jalan Tuhan. Membantu saudara, kerabat, tetangga, yatim, piatu, orang-orang miskin, dan kegiatan yang semacam. Selebihnya ia kumpulkan untuk keperluan keluarganya. Sebagian dari itu diupayakannya untuk menghadirkan dirinya, saudara-saudarannya, karyawannya, bahkan tetangganya, beribadah ke tanah haram. Makkah dan Madinah.

Oh, ternyata dia bukan orang yang seringkali disangka tak memiliki perhatian. Terhadap kepentingan orang-orang yang membutuhkan.

Ia meneruskan lamunan bayangnya sambil menyimpan kekaguman mendalam.”

Duhai saudaraku yang sama memiliki pandangan. Boleh jadi karena kegigihannya membelanjakan uang di jalan Tuhan. Yang Maha Pemurah mengundangnya berulang ke tanah haram. Dengan gampang.
Bukankah ini satu pilihan dalam memandang kawan yang berulang beribadah di tanah haram?

Boleh jadi sejak sekarang, mari kita kembangkan. Perilaku dermawan yang tak perlu dipublikasikan. Agar para kita pun sama berpeluang. Mudah menunaikan ibadah ke tanah haram. Sedang Tuhan terus melimpahkan ridloNya kepada setiap kita. Karena semuanya berpacu di dalam kebaikan.

Rabb, hari Arafah ini dekat. Hanya kepada Engkau kami berpasrah dan memohon selamat. Jauhkan kami dari simpulan yang belum tentu tepat.

Semoga setiap siapa pun yang beribadah haji di tahun 1445 H. ini, mampu menempuh Jalan Cerah Menuju Arafah. Memperoleh predikat haji mabrur di dalam ridloi Allah SWT., aamiin.

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Inovasi Dalam Layanan dan Manasik Haji



Jakarta

Setiap tahun, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, selalu menghadirkan hal-hal baru dalam pelayanan kepada jemaah haji Indonesia. Makan tiga kali sehari selama tinggal di Makkah, merupakan kebijakan yang pertama kali diluncurkan pada dua tahun lalu. Sebelumnya, Jemaah haji hanya mendapatkan dua kali makan.

Keputusan penting dalam hal konsumsi ini sangat membantu Jemaah. Mereka dapat fokus dalam hal ibadah dan tidak direpotkan dengan tetek bengek urusan perut. Beban logistik yang biasa memenuhi koper jemaah, secara signifikan terkurangi. Mereka cukup membawa lauk spesial tambahan saja, tanpa harus membawa beras, lauk pauk, dan peralatan masak. Resiko kebakaran akibat memasak di kamar hotel juga tidak terjadi.

Tahun 2024, kebijakan konsumsi untuk jemaah kembali diperbaiki dan disempurnakan. Tahun lalu, dua hari sebelum dan tiga hari setelah puncak ibadah haji, jemaah haji tidak mendapatkan konsumsi karena faktor distribusi yang tidak mungkin dilakukan. Kota Makah sangat macet.


Tahun ini, Jemaah haji mendapatkan konsumsi di tanggal 7 dan pagi hari di tanggal 8 Dzul Hijjah. Selebihnya mendapatkan konsumsi di Arafah. Begitu pula konsumsi pasca puncak haji, yaitu tanggal 12 siang dan malam serta tanggal 13 Dzul Hijjah pagi hari, Jemaah haji mendapatkan lauk dan atau makanan siap saji di hotel. Selebihnya, konsumsi regular untuk jemaah haji sudah dapat diberikan secara normal seperti biasa.

Haji ramah lansia (HRL) menjadi prioritas haji 2023 dan tahun ini dilanjutkan dan disempurnakan. Fakta bertahun-tahun menyatakan lebih dari 30% jemaah lansia. Tentu saja ini bukan salah jemaah tetapi karena panjangnya antrian haji. Jemaah lansia memiliki Riwayat penyakit yang beragam dan tergolong jemaah dengan resiko tinggi (risti), termasuk tingkat kematian. HRL merupakan terobosan penting dalam pelayanan, pembinaan dan pelindungan jemaah dengan kategori khusus.

Puluhan tahun, fakta ini dilihat sebagai given saja dan tidak mendapat perhatian yang serius. Dampak kebijakan HRL sangat signifikan dan diharapkan dapat mengurangi jumlah angka kematian. Kebijakan HRL ini juga dibarengi dengan kebijakan istitha’ah (kemampuan atau al-iradah al-muqtadhiyah lil qudrah) kesehatan yang diperketat. Screening kesehatan jemaah haji dilakukan sebanyak dua kali, setelah dinyatakan lolos baru dilakukan pelunasan biaya haji. Bukan sebaliknya, lunasi dulu baru screening kesehatan.

Pada tahun yang sama, Menteri Agama RI juga gelisah dengan ekonomi haji yang sangat besar, namun kecil sekali yang kembali ke tanah air. Indonesia hanya mendapatkan sangat sedikit bagian dalam putaran uang yang nilainya puluhan triliun rupiah saat musim haji berlangsung.
Maskapai penerbangaan nasional hanya sanggup melayani separuh dari total jemaah yang berangkat ke tanah suci. Hanya transportasi udara saja, yang mampu dikapitalisasi itupun tidak maksimal. Selebihnya, kita hanya menjadi konsumen dan bahkan penonton saja, mulai dari konsumsi dan bahan mentahnya, hingga transportasi, akomodasi dan berbagai kebutuhan haji lainnya.

Menteri Agama RI melakukan banyak inisiatif dan pertemuan dengan kementerian dan pihak terkait untuk memastikan bahwa Indonesia harus mendapatkan manfaat ekonomi dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji. Tahun ini, inisiatif itu mulai membuahkan hasil.

Sekarang semua pengusaha katering di Saudi Arabia wajib menggunakan bumbu, makanan dan lauk siap saji yang didatangkan dari Indonesia. Di berbagai hotel di Makkah yang menjadi tempat menginap jemaah, tersedia makanan khas nusantara yang disediakan pengusaha Indonesia. Tentu saja masih sangat sedikit bagian dari ekonomi haji yang seharusnya dapat dimaksimalkan manfaatnya oleh pengusaha nasional. Ke depan, inisiatif ini harus dilanjutkan dan semestinya lebih baik lagi.

Terobosan yang diambil oleh Menteri Agama RI juga menyentuh aspek petugas yang melayani Jemaah. Sejak tahun pertama penyelenggaraan haji di bawah Gusmen, ada nomenklatur baru dalam struktur PPIH untuk memperkuat layanan ibadah kepada jemaah. Struktur baru itu, ada yang disebut konsultan ibadah dan adapula musytasyar dini (penasihat keagamaan).

Khusus musytastar dini, mereka terdiri dari para ahli agama (ulama) yang bertugas membuat analisis, memberikan arahan dan kajian serta rekomendasi terkait aspek ibadah dan manasik haji. Untuk kebutuhan internal dalam rangka mendisplinkan petugas, tahun 2024 ini juga dilahirkan istilah pengendalian petugas (dalgas).

Kebijakan Murur

Insiden Muzdalifah pada penyelenggaraan haji 2023 memberikan banyak pelajaran, khususnya pada manasik haji. Waktu itu, jemaah terlambat didorong ke Mina karena faktor kemacetan di Muzdalifa-Mina yang sangat parah. Paling akhir jam 8 pagi 10 Dzulhijjah, seharusnya semua jemaah sudah meninggalkan Muzdalifah. Tetapi kenyataannya, sebagian jemaah masih banyak yang tertinggal di sana, bahkan hingga siang hari. Padang Muzdalifah sangat panas dan tanpa tenda.
Puncak haji yang dimulai dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan di Mina merupakan waktu dan situasi yang kritis (critical momentum), baik dari segi syariah maupun pelayanan kepada jemaah. Dibandingkan Arafah dan Mina, mabit di Muzdalifah memiliki critical point yang khas, utamanya soal sempitnya lahan dan fasilitas di Muzdalifah yang tidak ada apa-apa, kecuali toilet saja. Tidak ada tenda dan sangat panas, jika jemaah terlambat didorong ke Mina.

Menurut hitungan Ditjen PHU Kemenag RI, luas lahan Muzdalifah untuk jemaah haji Indonesia (213.320 jemaah ditambah petugas 2.747 orang) hanya sekitar 82.350 m2. Itupun sekarang dikurangi untuk toilet seluas 20.000 m2. Praktis, perjemaah hanya mendapat 0,29 m2. Nyaris hanya cukup untuk menaruh pantat saja.
Atas dasar ini, Menteri Agama RI mengeluarkan kebijakan murur di Muzdalifah untuk lansia, jemaah sakit atau risti dan penyandang disabilitas serta pendampingnya. Tentu saja, kebijakan ini dirilis setelah mendengar masukan dan pandangan fiqh dari para ulama, baik dari musytasyar diny maupun kalangan ormas Islam.

Murur merupakan makharij fiqhiyyah dalam fikih manasik haji. Murur sesuai dengan prinsip maqashid al-syariah (tujuan ditetapkannya Syariat Islam), khususnya dalam menjaga jiwa jemaah (hifz al-nafs). Kebijakan murur baru saja dilaksanakan dalam penyelenggaraan haji 2024 ini. Dengan penuh syukur, pada pukul 07.34 WAS, seluruh jemaah sudah keluar dari Muzdalifah dan berada di Mina.

Fiqh Alternatif

Salah satu wajib haji adalah mabit (bermalam) di Muzdalifah. Sebagian ulama tidak menyebut mabit melainkan al-wujud (berada) di sana (al-Sayyid Muhammad, 2003: 63). Dua istilah ini, memiliki konsekuensi yang berbeda, setidaknya seperti terlihat dalam arti literalnya. Jemaah yang meninggalkan wajib haji, maka hajinya tetap sah namun wajib menyembelih dam.

Di kalangan ulama mazhab, terdapat perbedaan pendapat tentang mabit di Muzdalifah. Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Malik, hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat ulama mazhab Syafi’i, mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Bagi yang meninggalkannya, tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Bahkan siapapun boleh murur, apalagi yang sedang sakit, lansia atau penyandang disabilitas.
Bagi ulama yang mewajibkan mabit di Muzdalifah, murur yang dilakukan oleh lansia, orang yang sakit atau risti, penyandang disabilitas dan pendamping merupakan rukhsah (keringanan) bagi mereka. Hajinya sah dan tidak dikenakan dam. Pendapat ulama musytasyar dini dan ulama ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, MUI, Persis dan lain-lain, membolehkan murur seperti di atas. Hal ini makin meyakinkan jemaah bahwa meskipun murur, haji mereka tetap sah dan tidak membayar dam.

Pada masa depan, jika tidak ada perubahan yang signifikan di Muzdalifah, murur mungkin saja bukan hanya menjadi rukhsah (keringanan) bagi jemaah lansia, sakit dan ristis, penyandang disabilitas serta pendamping, tetapi dapat menjadi ‘azimah (hukum yang berlaku umum) dalam pelaksanaan manasik haji. Murur dapat menjadi fikih alternatif dan kini menjadi istilah baru dalam manasik haji yang lahir dari fukaha Indonesia. Murur selain hajinya sah juga menyelamatkan jemaah.

Abu Rokhmad

Penulis adalah Koordinator Tim Monev PPIH 2024
Staf Ahli dan Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Bekal Berhaji, Bekal Taqwa Itu Pilihan!



Jakarta

Kisah Viral

Viral ketika seorang presenter senior ternama di Indonesia melansir kisahnya. Kisah heroik, kisah spirit, disampaikan apa adanya. Begini sekelumit kisahnya itu;

‘Ketika itu ia mengikuti antrian panjang untuk memasuki Raudhah. Tempat mustajabah di masjid Nabawi, Madinah. Demi melihat antrian sangat panjang, dirinya bingung apa yang hendak dimunajatkan. Terbetik di hatinya akankah keluar saja dari antrian. Paling tidak dirinya akan mengurangi jatah antrian orang lain yang memang benar-benar memiliki kepentingan.


Tiba-tiba dilihatnya ada tempat kosong. Agak aneh karena di sekitarnya orang-orang berjejal-jejal. Dirinya masuk ke situ lalu berulang timbul kebingungan. Doa apakah yang akan dipanjatkan. Kembali dirinya ingin berbagi kesempatan. Kepada orang-orang yang sedang berjejalan.

Sebelum tiba-tiba ada orang berwajah tampan. Menyapanya dengan bahasa Palembang. Padahal dia jelas orang Arab tampan yang beraroma semerbak harum.

Tak cukup menyapa, ia memberikan buku kumpulan doa mustajabah khusus Raudhah. Berbahasa Indonesia yang gampang.

Namun sayang. Ketika dirinya pulang ke Indonesia. Bukunya tak lagi ditemukan.
Alamat orang tampan yang di Palembang pun ternyata bukan alamat betulan’.

Mengapa disebut heroik? Karena setiap kali dirinya enggan melanjutkan upaya penuh jerih payah. Adalah perasaan jangan-jangan orang lain kurang peluang. Hanya karena dirinya merasa, jangan-jangan ia menjadi penghalang orang lain untuk menemukan kelapangan tempat. Heroik, karena dirinya tidak egois. Heroik karena perhatiannya yang lebih kepada bukan dirinya.

Mengapa disebut spirit? Karena semuanya serba di luar logika normal. Ada orang tampan beraroma harum. Langsung menyapanya padahal belum pernah kenalan. Di tempat yang pastinya penuh kesulitan untuk mendapatkan lokasi walau hanya sejengkal. Di Raudhah. Tempat yang diagungkan. Bagi yang berumrah mau pun berhaji.

Orang tampan itu berkebangsaan Arab tapi fasih berbahasa Palembang. Segera menyerahkan buku berbahasa nasional. Bahasa Indonesia yang gampang. Buku yang berisikan doa-doa sesuai kebutuhan di tempat yang bersangkutan.

Orang tampan mengajukan alamat yang tak disebutkan lisan. Alamat yang tercantum di halaman buku. Setelah dicek ternyata alamatnya bukan alamat betulan. Bukunya pun tak dapat lagi ditemukan.

Ketika yang bersangkutan sampai di negara asal. Banyak sudah urutan alasan yang tak satu pun bisa dipecahkan dengan logika yang wajar. Semuanya di luar nalar yang normal.

Sungguh belum mudah dinalar. Ia pergi ke suatu tempat mustajabah (Raudhah), tanpa persiapan pemahaman. Awam dari bahasa Arab terkait doa. Awam tentang permohonan apa yang sewajarnya dipanjatkan. Entah awam apalagi yang semuanya menjadi alasan untuk membalikkan badan. Batal munajat walau sudah terlanjur lewati antrian sangat panjang.

Kebaikan Langka Yang Termasuk Taqwa. Mengutamakan orang lain daripada dirinya, adalah perilaku yang selalu disanjung pujian dalam Islam. Ada ayat alQuran yang jelas menyanjung ulung mereka yang mampu melakukannya (al Hasyr: 9) “Mereka lebih mengutamakan (orang lain) daripada dirinya, sekalipun mereka sendiri butuh.”

Pernah di masa Rasulullah saw. seorang perantauan kehabisan bekal. Ia datang
ketika hari petang menjelang malam. Bukan hanya habis bekal. Ia pun mengeluh
lapar.

Demi di rumah Rasulullah tidak tersedia makanan. Beliau menawarkan kepada para sahabatnya siapa yang berkenan menjamu musafir itu.

Spontan satu orang mengacungkan tangan, Abu Thalhah al-Anshari. Ia berkenan menyiapkan makan untuk sang musafir.

Diajaklah orang asing itu ke rumahnya. Sesampai di rumah, ia menyampaikan pesan kepada istrinya, Ummu Sulaim agar menyiapkan makan.

Namun sayang, istrinya bilang makanan yang ada hanya cukup untuk satu orang. Untuk anaknya yang juga belum makan.

Sontak Abu Thalhah menyiapkan strategi pengamanan. Istrinya diminta menidurkan putranya lebih awal. Agar ketika sampai jam makan, putranya sudah ketiduran.

Piring satu disiapkan untuk tamu. Abu Thalhah siapkan piring tampa isi makanan. Ada sendok sebagai strategi pengaburan.

Agar berbunyi seolah dirinya menemani makan sang musafir yang telah diundangnya makan.

Lampu dimatikan. Strategi gampang agar tak menjadikan tamu paham kalau tuan rumah siapkan piring tampa isi makanan.

Tamu lahap menyantap hidangan. Sementara Abu Thalhah, istrinya, berikut putranya lewatkan malam tampa secuil makanan.

Esok harinya Abu Thalhah menuju Rasulullah untuk melaporkan kejadian semalam. Namun sebelum Abu Thalhah berbincang kejadian semalam. Sambil tersenyum
Rasulullah berujar, “Wahai Abu Thalhah, Allah SWT kagum dengan perbuatanmu menjamu tamu semalam.”

Allah berkenan kepada Abu Talhah dan keluarganya atas perbuatan mereka tadi malam. Malaikat Jibril as. menyampaikan
berita itu kepada Rasulullah sebelum Abu Thalhah datang.

Karakter, akhlak biasa mendahulukan kepentingan orang lain dalam kebaikan, adalah perbuatan taqwa. Bekal taqwa menjadikan orang terselamatkan. Siapa yang berbekal taqwa mudah menggapai tujuan, mudah memperoleh bantuan tepat pada waktu yang dibutuhkan di mana pun dan kapan pun. Tidak harus melalui logika yang biasa dipahamkan orang. Presenter senior kenamaan itu menceritakan bukti apa adanya.

Perilakunya selaras dengan tauladan Abu Thalhah dan keluarganya. Gemar mendahulukan orang lain, menjadi dasar perilaku shalehnya. Perilaku taqwa. Perilaku yang diridlai Tuhan. Ia memperoleh sekian banyak kemudahan yang sulit dilogikakan.

Siapa pun kita, kemana pun arah kita menuju, taqwa adalah pilihan utama sebagai bekal. Terlebih dalam berhaji, bekal taqwa merupakan bekal yang dipilihkan Tuhan.

Hayo kita upayakan, untuk selalu berbekal taqwa dalam setiap perjalanan. Utamakan orang lain daripada diri sendiri untuk setiap keperluan maslahat di jalan Tuhan.

Kita berlatih dan terus latihan. InsyaAllah kita pun bisa disayang Tuhan. Ditolong Tuhan kapan pun kita memerlukan!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Tiga Apresiasi Manajemen Haji Saudi



Jakarta

Ibadah haji bagi saya merupakan even terbesar di dunia. Sebab ibadah ini diikuti oleh sekitar dua juta Jemaah dari mancanegara. Even sekelas Olimpiade atau Piala Dunia pun rasanya tak sebesar ini jumlah pesertanya. Karena itu saya sangat terkesan mengikuti rangkaian ibadah ini:

Pertama dari sisi Kerajaan Saudi. Mereka benar benar telah berupaya keras meningkatkan pelayanan kepada Jemaah. Dengan digitalisasi (Nusuk), smart card. Kartu ini fungsinya antara lain menscreening Jemaah yang tidak punya visa haji agar tak bisa masuk ke Mekkah, khususnya saat wukuf di Arafah yang areanya memang terbatas.

Kedua adalah crowd management yang luar biasa dijalankan aparat di lapangan mulai askar, polisi, hingga tentara dan pasukan khusus. Terutama saat di Masjidil Haram, bagaimana mereka mengatur Jemaah untuk mengisi ruang-ruang di sekeliling masjid tanpa harus terjadi gesekan antar Jemaah yang sangat mungkin menimbulkan korban. Begitu pun sebaliknya usai pelaksanaan ibadah atau salat dan rukun haji/umrah dilaksanakan agar tidak terjadi crash antar Jemaah.


Petugas di lapangan menyiapkan barikade untuk membuka-tutup akses masuk-keluar masjid. Mereka sangat disiplin dan tegas menerapkannya, tak bisa dinego oleh Jemaah yang ingin mengambil jalan pintas. Dengan sistem buka-tutup jalur atau Traffic Management yang luar biasa ini juga demi kebaikan Jemaah, meskipun sebagian yang tak paham semula akan nggerundel, kecewa, marah.

Ketiga terkait Safety Management. Aparat keamanan bahu-membahu dengan petugas kesehatan dan para petugas haji. Di berbagai tempat banyak sekali petugas emergency (petugas kesehatan maupun polisi). Hal ini karena selain begitu banyaknya orang, juga cuaca panas yang eksterm. Ketika Wukuf di Arafah suhu hampir mencapai 50 derajat Celsius. Di sana kami melihat para petugas dengan sigap menyemprotkan air, begitu juga dengan para petugas emergency room terlihat siap siaga membantu para Jemaah yang membutuhkan bantuan.

Setiap hari saya selalu menyempatkan untuk berbincang dengan teman-teman sesama Jemaah haji, baik regular maupun khusus. Dari mereka ada sejumlah hal positif yang kami rasakan bersama, bahwa pemerintah cukup banyak membuat inovasi dan terobosan dalam melayani Jemaah haji.

Tagline haji ramah lansia antara lain dapat dirasakan dari menu makanan uang disuguhkan. Ada perbedaan antara tingkat kelembutan menu untuk lansia dan Jemaah dewasa pada umumnya. Dari sisi pemondokan, terutama di Madinah juga cukup dekat dengan Masjid Nabawi sehingga Jemaah nyaman untuk beribadah. Selain itu juga ada aplikasi yang memudahkan Jemaah untuk mengakses informasi.

Di Mekkah, pemerintah juga menyiapkan bus shalawat untuk mengantar jemput Jemaah dari pondokan yang ingin beribadah ke Masjidil Haram. Ini layanan bus gratis selama 24 jam yang cuma dapat dinikmati Jemaah asal Indonesia. Pemerintah negara lain tak menyiapkan hal sejenis bagi Jemaah mereka.

Para petugas PPIH pun saya lihat sangat banyak. Mereka ditempatkan atau bertugas di hampir semua titik yang biasa dikunjungi Jemaah. Mereka petugas gabungan dari berbagai unit, baik itu Kesehatan, keamanan, para wartawan, dan lainnya. Semua saling bahu – membahu bertugas untuk melayani Jemaah.

Saya betul-betul terharu melihat bagaimana mereka mengantar Jemaah yang tersesat kembali ke penginapannya, atau mengantar ke tempat yang akan dituju Jemaah. Tak sedikit pula petugas yang dengan khidmat mendorong kursi roda Jemaah lansia di bawah sengatan matahari yang luar biasa. Singkatnya, kehadiran para petugas itu hingga batas tertentu tentunya sangat membuat nyaman para Jemaah.

Kalau pun kemudian masih ditemukan kekurangan di sana-sini, saya piker wajar dan tidak bisa dihindari pula mengingat jumlah Jemaah kita yang begitu besar: hampir 250 ribu orang di atas jumlah Jemaah asal Pakistan maupun India.

Atas dasar itu semua, kita patut berterima kasih kepada pemerintah yang telah berupaya memberikan pelayanan secara optimal. Karena saya termasuk kelompok haji khusus melalui Biro Maktour, tentu juga ada catatan tersendiri.

Secara umum biro yang telah berpengalaman melayani Jemaah haji dan umrah selama hampir 40 tahun ini sangat well organized dan punya tradisi hospitality yang luar biasa. Jemaah sangat terbantu dan merasa nyaman dalam setiap tahap pelayanan mulai keberangkatan dari tanah air hingga tiba di Madinah, selama di Madinah, selama di Makkah, Wukuf di Arafah, di Mina, da seterusnya hingga Kembali lagi ke tanah air.

Para muthowif atau pemandu yang memang rata-rata punya jam terbang selama belasan tahun dalam mendampingi Jemaah, benar-benar memberikan panduan seperti yang diharapkan. Kami tak cuma diajari atat cara ibadah, melainkan juga diberi pengetahuan seputar makna dari setiap ibadah yang dilakukan berikut dalil-dalil pendukungnya. Hal tersebut tentu saja membuat kami merasa mantap, khusuk dan menghayati betul setiap langkah dari ibadah yang dijalani.

Dinar Fiskiawan

Jemaah Haji Indonesia 2024
Bekerja di Bank Indonesia

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Catatan (Kesuksesan) Pelaksanaan Ibadah Haji 2024



Jakarta

Haji merupakan salah satu ibadah yang termasuk ke dalam Rukun Islam yang kelima. Salah satu syarat melaksanakan ibadah haji adalah sebuah kemampuan, baik secara finansial, fisik, dan mental. Meski dengan syarat tersebut, setiap tahun, jutaan jemaah haji berdatangan ke tanah suci Mekkah, Arab Saudi, untuk melaksanakan ibadah tahunan ini, yang hanya wajib dilakukan oleh seorang Muslim satu kali dalam seumur hidupnya.

Pelaksanaan ibadah haji dikoordinir oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) bekerjasama dengan pihak penyelenggara haji dari Kementerian Haji Kerajaan Arab Saudi. Pada tahun ini saya berkesempatan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci dan menyaksikan bagaimana panitia haji yang disebut dengan Daerah Kerja (Daker) Kemenag RI ini bekerja hampir 24 jam selama pelaksanaan ibadah haji dipimpin langsung oleh Menteri Agama RI. Para petugas haji ini begitu antusias, semangat, dan sukses dalam menjalankan tugasnya.

Kesuksesan pelaksanaan haji ini terlihat dari berbagai hal, pertama, adalah controlling secara online. Era digital ini mensyaratkan kita untuk melakukan sesuatu yang bukan hanya dilaksanakan secara luring, namun juga di waktu yang sama dilaksanakan dengan cara daring. Petugas haji Indonesia, melakukan kontrol terhadap banyak aspek dengan cara online. Sehingga kemudian di waktu yang bersamaan, jika terjadi masalah dapat langsung diselesaikan dengan cepat dan tepat. Sistem Risk Management diterapkan dengan sangat baik, sehingga pelaksanaan ibadah haji tahun ini sukses.


Kedua, petugas haji Indonesia melaksanakan pelayanan kepada para jemaah haji Indonesia dengan sangat prima dan sepenuh hati. Para petugas haji ini melaksanakan pendampingan, pengawasan, dan pelayanan kepada para jemaah haji asal Indonesia dengan telaten dan penuh tanggungjawab. Saya pikir, tidak ada negara lain yang memberikan pelayanan sebaik petugas haji Indonesia.

Ketiga, pemenuhan gizi dan konsumsi yang memperhatikan cita rasa khas masakan Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama musim haji, Kemenag RI sebagai koordinator pelaksanaan haji, mengirim para koki yang ahli untuk menyiapkan menu makanan yang terbaik untuk para tamu Allah ini. Sehingga pemenuhan gizi tercukupi dan konsumsi sangat baik untuk dinikmati oleh para jemaah haji Indonesia.

Keempat, negosiasi dan komunikasi yang ideal dilakukan Kemenag RI dengan Kerajaan Arab Saudi. Hubungan diplomasi antara Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi sudah terjalin cukup lama dan sangat baik. Apalagi Indonesia sebagai salah satu negara Muslim terbesar di dunia menjadi pengirim jemaah haji terbanyak ke Arab Saudi. Komunikasi yang baik dan negosiasi yang ekstra dilakukan oleh Kemenag RI dalam rangka pemenuhan dan penambahan kuota untuk jemaah haji Indonesia, sehingga kuota haji Indonesia cukup banyak untuk tahun ini.

Kesuksesan ini dapat diraih dengan kepemimpinan Menteri Agama RI beserta jajarannya yang menyiapkan pelayanan haji jauh hari sebelum pelaksanaan ibadah haji. Kemenag RI melakukan monitoring dan evaluasi di akhir pelaksanaan ibadah haji tahun lalu sebagai acuan untuk pelaksanaan ibadah haji tahun ini, sehingga dapat meminimalisir kekurangan pada tahun lalu. Kesuksesan pelaksanaan tahun ini menjadi acuan untuk pelayanan haji lebih baik lagi pada tahun-tahun mendatang. Semoga!

Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D.

Penulis adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW, Berisi Pesan untuk Umat Islam



Jakarta

Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah terakhir di Arafah pada 632 Masehi. Khutbah dilakukan ketika Nabi Muhammad SAW menjalani ibadah haji pertama dan terakhir yang dikenal dengan haji wada atau haji perpisahan.

Nabi Muhammad SAW mengerjakan ibadah haji satu kali dalam seumur hidupnya. Tiga bulan setelah ibadah haji ini, beliau wafat di usianya yang 63 tahun.

Mengutip buku Khutbah Nabi: Terlengkap dan Terpilih karya Muhammad Khalil Khathib, sebelum wafat, Rasulullah SAW telah banyak menunjukkan tanda bahwa dirinya menyampaikan tanda perpisahan. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,


“Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di dalam genggaman-Nya, pastilah akan datang suatu hari pada salah seorang di antara kalian, dan pada hari itu orang tersebut tidak dapat melihat diriku, sehingga seandainya ia melihat diriku pastilah akan lebih ia sukai melebihi kesukaannya kepada keluarga dan harta yang miliknya.” (HR Bukhari Muslim)

Dari ucapan ini, orang-orang menakwilkan bahwa dengan ucapannya itu, Rasulullah SAW sedang mengabarkan berita kematian beliau dengan memberitahukan kepada para sahabat tentang apa yang akan terjadi setelah beliau wafat. Yaitu kabar ketika muncul begitu banyak orang amat mendambakan perjumpaan dengan Rasulullah SAW di saat beliau sudah tiada, karena sebelumnya mereka dapat menyaksikan sebagian keberkahan Rasulullah SAW.

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW

Melansir laman Kementerian Agama (Kemenag), Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan sekitar 114.000 umat Islam. Setelah melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji, Nabi Muhammad SAW mengumpulkan umat Islam di Arafah.

Beliau melakukan seruan dari atas punggung untanya yang bernama al-Qushwa. Di atas punggung unta inilah Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah terakhirnya.

Prof. Osman Raliby dalam tulisannya di Majalah Suara Masjid mengatakan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW berisi pesan untuk seluruh umat Islam.

“Segala puji adalah bagi Allah. Kita memuja dan memuji Dia dan memohon pertolongan kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung pada Allah dari kejahatan-kejahatan diri kita dan dari segala perbuatan yang buruk. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka takkan ada siapapun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tak ada siapa pun yang dapat menunjukkan jalan baginya.

Aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Maha Esa Ia, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku naik saksi, bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Wahai manusia, dengarkanlah pesanku baik-baik.

Aku akan menyampaikan kepadamu satu keterangan (sebagai wasiat), karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku akan bertemu lagi dengan kamu sesudah tahun ini di tempat aku berdiri (sekarang) ini.

Wahai manusia, Sesungguhnya darahmu (jiwamu), harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci dan haram (dilarang diganggu), sebagaimana suci dan haramnya bulan ini (bulan haji), sampai kamu kelak menghadap Tuhan. Sungguh kamu pasti akan menemui (menghadap) Tuhan, di mana Ia pasti akan menanyakan tentang segala amal perbuatanmu.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!)

Maka barangsiapa ada amanat di tangannya, hendaklah disampaikannya kepada orang yang memberikan amanat itu kepadanya.

Ingatlah, tak seorang pun yang melakukan tindak pidana melainkan ia sendiri yang bertanggungjawab atasnya. Tidak ada anak bertanggungjawab terhadap tindak pidana ayahnya, pun juga tidak seorang ayah bertanggungjawab terhadap tindak pidana anaknya.

Wahai manusia, dengarkanlah kata-kataku ini dan pahamkan semuanya.

Sesungguhnya seorang muslim dan muslim lainnya adalah umat yang bersaudara. Tidak ada sesuatu yang halal bagi seorang muslim dari saudaranya melainkan apa yang telah direlakan kepadanya. Maka janganlah kamu menzalimi dirimu sendiri.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!).”

Khutbah Wada’ mendeklarasikan prinsip-prinsip Islam tentang persamaan hak dan martabat manusia tanpa memandang ras, suku bangsa dan warna kulit. Pada bagian lain khutbah yang monumental itu ditekankan beberapa hal, yaitu:

“Sesungguhnya riba sudah dihapuskan. Tapi kamu akan memperoleh modal saham kamu. Maka janganlah kamu berlaku zalim agar kamu pun tidak dizalimi orang.

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa (Satu), dan nenek moyangmu adalah satu. Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab melainkan dengan takwa itulah. Dan jika seorang budak hitam Abyssinia sekalipun menjadi pemimpinmu, dengarkanlah dia dan patuhlah padanya selama ia tetap menegakkan Kitabullah.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!).

Wahai manusia, takutlah kepada Allah. Kerjakanlah shalat yang lima waktu, lakukanlah puasa, berhajilah ke Baitullah dan tunaikanlah zakat hartamu dengan sukarela serta patuhlah atas apa yang aku perintahkan. Kamu pasti kelak akan bertemu dengan Tuhanmu, dan Ia pasti akan menanyakan kepadamu tentang segala perbuatanmu.

Ingatlah, bukankah sudah aku sampaikan? (Umat: sudah-sudah! Nabi: Ya Allah, persaksikanlah!)

Sesungguhnya zaman itu beredar, musim berganti.

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya setan itu sudah putus harapan akan (terus) disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi sesungguhnya dia puas dengan ditaati dalam hal-hal selain daripada itu (disembah), yakni dalam perbuatan-perbuatan yang kamu (sebenarnya) benci, maka waspadalah terhadap tipu daya (setan) yang akan merugikan agamamu.”

“Camkanlah perkataanku ini, wahai manusia! Sesungguhnya telah kusampaikan kepadamu, dan sesungguhnya aku sudah meninggalkan untuk kamu sekalian sesuatu, yang bila kamu berpegang teguh kepadanya, pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni sesuatu yang terang dan nyata, Kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.”

Rasulullah menutup Khutbah Wada’ dengan pernyataan dan pertanggungjawaban terbuka kepada Allah SWT,

“Wahai Tuhanku! Persaksikanlah, persaksikanlah wahai Tuhanku.

Maka hendaklah yang telah menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barang siapa yang menyampaikan akan lebih mendalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya. Mudah-mudahan bercucuranlah rahmat Allah dan berkat-Nya atas kamu sekalian!”

Setelah mengucapkan khutbah perpisahan, beliau turun dari untanya Alqashwa. Usai menunaikan salat Zuhur dan Ashar yang dijama’ secara berjamaah, Rasulullah menuju suatu tempat yang bernama Sakhrat. Di sana disampaikannya ayat Al-Quran yang baru saja diwahyukan Allah untuk penghabisan kali sebagai penutup risalah kenabian yakni surat Al Maidah ayat 3,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com