Tag Archives: haram

Hukum Jual Beli Babi dalam Islam, Apakah Boleh?


Jakarta

Babi adalah hewan yang diharamkan dalam Islam. Terkait hal ini diterangkan dalam sejumlah dalil Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 173,

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٧٣


Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Lantas, bagaimana dengan hukum jual beli babi dalam Islam?

Jual Beli Babi dalam Islam Hukumnya Haram

Menukil dari buku Multilevel Marketing Syariah di Indonesia yang disusun Asyura dkk, jual beli babi berarti termasuk jual beli benda haram. Pada umumnya, benda yang diharamkan dibedakan menjadi dua, yaitu:

  • Benda yang haram karena substansi atau zatnya seperti darah, babi, anjing dan lain sebagainya karena barang-barang tersebut diharamkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya
  • Benda yang haram karena prosesnya, seperti kambing (hewan halal) yang disembelih tidak sesuai dengan syariah sehingga daging kambing tersebut haram dimakan, barang yang didapat dari hasil pencurian, korupsi, sogok-menyogok dan lain-lain sebagainya yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama

Ketentuan tersebut merujuk pada hadits Rasulullah SAW,

“Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Turut dijelaskan dalam buku Konsep Harta dalam Islam Kajian Turats dan Kontemporer susunan Eka Wahyu Hestya Budianto, transaksi jual beli khamar atau babi ianggap batil atau batal secara substansi dan fasid atau cacat hukum. Sebab, objeknya bertentangan dengan prinsip dasar syariat.

Selain itu, Imam Nawawi turut menyatakan bahwa larangan jual beli khamr dan babi telah menjadi ijma’ di kalangan ulama, utamanya pada jual beli babi antara umat Islam. Mayoritas ulama mengharamkan penjualan babi, baik kepada sesama muslim maupun nonmuslim.

Para ulama berpendapat bahwa nonmuslim termasuk dalam cakupan khithab syariat, sehingga memperjualbelikan babi kepada mereka tetap dianggap haram. Namun, mazhab Hanafi memiliki pandangan yang berbeda.

Mazhab Hanafi menilai meski hukum Islam melarang nonmuslim mengonsumsi babi, tetapi mereka tidak dilarang menjual babi. Alasannya karena nonmuslim tidak meyakini keharamannya, mereka menganggapnya sebagai harta yang bernilai dan Islam memerintahkan agar mereka dibiarkan menjalani keyakinannya sendiri.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Muslim Haram Makan Babi, Bagaimana Kalau Memegang Dagingnya?


Jakarta

Islam mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek kehidupan umatnya. Termasuk makanan dan minuman haram yang tidak boleh dikonsumsi lengkap dengan ciri-cirinya.

Salah satu jenis makanan yang diharamkan dalam Islam adalah daging babi. Larangan ini dibuat bukan tanpa dasar, melainkan perintah ini langsung dari Allah SWT dan termaktub di dalam Al-Qur’an.

Kenapa Babi Haram?

Larangan makan babi disebutkan dalam Al-Qur’an. Berikut penjelasan Al-Qur’an soal larangan makan babi untuk umat Islam:


1. Surah Al-Baqarah ayat 173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

2. Surah Al-Maidah ayat 3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

3. Surah An-Nahl ayat 115

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang sudah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa memakan babi hukumnya haram. Para ulama sepakat atas hal ini.

Disebutkan dalam buku Sains Al-Qur’an yang ditulis Dewi Nur Halim, daging babi tidak baik untuk kesehatan karena dalam kajian ilmiah ditemukan daging babi mengandung beberapa jenis cacing dan bakteri patogen.

Memegang Daging Babi, Bagaimana Hukumnya?

Dalam ajaran Islam, daging babi tidak hanya haram untuk dikonsumsi, tetapi juga termasuk najis tingkat berat (mughalladzah).

Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Taharah menjelaskan para ulama menyamakan najis babi dengan najis air liur anjing, yang keduanya digolongkan sebagai najis berat. Disebut demikian karena cara penyuciannya tidak cukup hanya dengan sabun atau cairan antiseptik, melainkan harus melalui tata cara tertentu. Najis mughalladzah hanya dapat disucikan dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, dan salah satunya menggunakan tanah.

Proses ini lebih bersifat ritual keagamaan daripada sekadar menjaga kebersihan fisik. Artinya, meskipun dibersihkan dengan alkohol atau sabun khusus, najis tersebut belum dianggap hilang secara syariat apabila tata cara penyuciannya tidak sesuai dengan ketentuan agama.

Dasar hukum mengenai hal ini berasal dari hadits Rasulullah SAW tentang air liur anjing. Beliau bersabda,

إِذَا وَلَعَ الْكَلْبُ فِي أَنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلُهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ

Artinya: “Apabila anjing menjilat tempat (bejana) salah seorang di antara kamu, maka hendaklah ia tumpahkan (buang isinya) kemudian dicuci tujuh kali.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa semua jenis najis berat, termasuk babi, harus disucikan dengan cara yang sama.

Tapi bagaimana jika memegang daging babi, terlebih lagi jika dilakukan untuk pekerjaan?

Dalam ceramah berjudul Menyentuh Daging Babi dalam Pekerjaan, Bagaimana Hukumnya? yang tayang di Al-Bahjah TV, Buya Yahya mengatakan jika untuk bekerja ada niat baik untuk keluarga biarpun dalam perjalanannya salah tetapi bukan karena untuk menantang Allah.

“Jika sudah terlanjur di situ, sebisa mungkin harus takutlah kepada Allah, perbanyak istighfar dan segeralah merencanakan bekerja di tempat aman yang tidak berhubungan dengan babi,” ujar Buya Yahya.

“Harus tetap waspada urusan kenajisan tadi, maka kalau bisa hindari tidak menyentuh daging babi dengan apa saja misalnya sarung tangan plastik. Karena saat bersentuhan dengan najis berdosa dan harus disucikan dengan tujuh kali basuhan salah satunya dengan debu,” tambah Buya Yahya.

detikHikmah telah mendapatkan izin dari tim Al-Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya di kanal tersebut.

(lus/kri)



Sumber : www.detik.com

Bekicot Halal atau Haram? Ini Penjelasan MUI


Jakarta

Bekicot adalah hewan sejenis siput yang sering dijumpai. Tak jarang bekicot menjadi bahan makanan untuk dikonsumsi di sejumlah daerah.

Olahan makanan dari bekicot bisa berupa sate, rica-rica, hingga goreng krispi. Sebagai muslim, pertanyaan tentang kehalalan bekicot sering jadi pembahasan.

Dalam Islam, sudah sepantasnya kita mengonsumsi makanan yang halal. Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 168,


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: “Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.”

Lalu, bagaimana hukum memakan bekicot bagi umat Islam?

Fatwa MUI Terkait Hukum Memakan Bekicot

Dilansir dari situs resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), berdasarkan Fatwa MUI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Hukum Mengonsumsi Bekicot, bekicot ditetapkan sebagai hewan yang masuk dalam kategori hasyarat. Hukum memakannya menurut jumhur ulama (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah) adalah haram.

Sementara itu, ulama Imam Malik menyatakan hukum memakan bekicot adalah halal jika ada manfaatnya dan tidak membahayakan. Selain yang disebutkan maka hukum memakan bekicot adalah haram, begitu pula dengan membudidayakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan konsumsi.

MUI secara tegas menyatakan haram hukumnya memakan bekicot. Fatwa tersebut mengimbau agar masyarakat lebih selektif memilih bahan pangan dan memastikan bahwa yang dikonsumsi sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Pendapat Ulama Soal Hukum Memakan Bekicot

Diterangkan dalam kitab Al Majmu’ Syarh Al-Muhadzab oleh Imam Nawawi terbitan Pustaka Azzam, Imam Nawawi menegaskan hukum memakan hewan kecil yang hidup di darat seperti bekicot adalah haram. Pandangan ini selaras dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Keharaman ini merujuk pada firman Allah SWT yang melarang memakan segala sesuatu yang dianggap khobaits (menjijikan). Ini termasuk hewan ular, tikus, kalajengking, kecoa, laba-laba, tokek, cacing dan bekicot.

Sementara itu, Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla menyebut bahwa bekicot termasuk kelompok hasyarat atau hewan melata kecil yang umumnya dianggap menjijikan. Karenanya, bekicot haram untuk dikonsumsi menurut pendapatnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hewan-hewan seperti tokek, kumbang, semut, ulat, lebah hingga serangga kecil lainnya tidak halal dimakan karena tidak memungkinkan untuk disembelih secara syariat. Dengan begitu, bekicot termasuk hewan yang tak bisa disembelih sesuai aturan Islam sehingga kehalalannya tidak terpenuhi.

Adapun terkait pendapat Imam Malik, ia menyatakan bekicot halal dalam kitab Al Mudawwanah dengan catatan hewan tersebut diambil dalam keadaan hidup. Bekicot lalu bisa direbus atau dipanggang seperti belalang.

Tetapi, apabila bekicot yang ditemukan sudah mati maka tidak diperbolehkan untuk mengonsumsinya. Pendapat tersebut membuka ruang perbedaan penetapan hukum, utamanya di kalangan mazhab Maliki.

Wallahu a’lam.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Hati-hati! Ini 5 Perkara yang Dapat Merusak Pahala Sedekah Muslim


Jakarta

Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berbagi, salah satunya dengan bersedekah. Amalan yang satu ini mengandung banyak keutamaan.

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya sedekah seseorang Islam itu memanjangkan umur dan mencegah daripada mati dalam keadaan konyol dan Allah SWT pula menghapuskan dengan sedekah itu sikap sombong, takabur dan membanggakan diri (dari pemberiannya)” (HR Bukhari)


Hukum sedekah sendiri adalah sunnah muakkad yang berarti sangat dianjurkan. Dikatakan dalam buku Fiqih tulisan Khoirun Nisa’ M Pd I, pada kondisi tertentu sedekah dapat berubah menjadi wajib.

Sebagai contoh, ada orang miskin datang kepada kita dalam kondisi kelaparan yang memprihatinkan. Jika tidak diberikan makan, maka nyawanya terancam padahal kita memiliki makanan yang cukup. Dalam hal ini, sedekah berubah hukumnya menjadi wajib.

Sedekah harus dilandasi dengan rasa ikhlas, jika tidak maka pahala yang harusnya diganjar justru hilang. Karenanya, muslim perlu memahami sejumlah hal yang dapat mengakibatkan hilangnya pahala sedekahnya.

Menukil dari buku Perintah & Larangan Dalam Surat Al-Baqarah Oleh dan Bagi Pemula tulisan Dede R.U Widodo Suryasoemirat dan buku 100 Kesalahan dalam Sedekah susunan Reza Pahlevi Dalimuthe, berikut sejumlah hal yang harus dihindari ketika bersedekah agar mendapat pahala yang utuh.

5 Perkara yang Dapat Merusak Pahala Sedekah Seseorang

1. Mengambil Sedekah yang Sudah Diberikan

Ketika seseorang bersedekah, jangan sampai ia mengambil atau meminta kembali apa yang telah diberikan. Imam at-Tirmidzi melalui kitab Sunan-nya menuliskan sebuah hadits tentang larangan tersebut.

Dari Harun bin Ishaq al- Hamdani, dari Abdurrazzaq, dari Ma`mar, dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar, bahwa ia menyerahkan seekor kuda untuk keperluan jihad fi sabilillah. Lalu ia melihat kuda itu dijual, dan ia ingin membelinya. Kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Janganlah engkau mengambil kembali sesuatu yang telah engkau sedekahkan.” Hadits ini merupakan hasan shahih.

2. Sedekah dengan Harta yang Haram

Sia-sia sedekah seseorang jika harta yang diberikan berasal dari rezeki yang haram. Alih-alih mendapat kebaikan, ia justru akan diganjar dengan dosa.

Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadits dari Umar RA,

“Tidak akan diterima salat tanpa thaharah (bersuci), dan tidak akan diterima pula sedekah dari harta ghulul.” (HR Muslim)

Maksud ghulul ini adalah mencuri harta rampasan perang sebelum dibahagiakan. Harta ghulul dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak halal sebagaimana dijelaskan dalam Syarah Shahih Muslim.

3. Menyakiti Hati Penerima Sedekah

Menyakiti hati penerima sedekah juga termasuk ke dalam perkara yang dapat menghilangkan pahala sedekah seseorang. Hal ini dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 264,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

4. Menyebut-nyebut Sedekah yang Dikeluarkan

Pahala sedekah seseorang juga dapat rusak jika ia menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan. Larangan ini juga dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 264.

Apabila bersedekah dengan hati yang lapang dan ikhlas, maka perihal sedekah tersebut (apapun bentuknya dan kapan dilakukannya) maka tidak akan ada pembahasan yang diungkit-ungkit kembali.

Hendaknya, setelah bersedekah hanya berserah diri kepada Allah dengan menguatkan niat bahwa harta yang disedekahkan di jalan Allah juga berasal dari Allah (rezeki). Oleh karenanya, tidak pantas apabila sedekah itu dibesar-besarkan atau dihitung-hitung.

5. Membesar-besarkan Sedekah

Membesar-besarkan sedekah yang telah diberikan termasuk ke dalam perbuatan sum’ah. Amirulloh Syarbini melalui karyanya yang berjudul Sedekah Mahabisnis dengan Allah mendefinisikan sum’ah sebagai melakukan amal perbuatan agar orang lain mendengar apa yang diperbuat lalu mereka berujung memuji dan membuatnya tenar.

Hal tersebut dilarang dalam Islam karena termasuk ke dalam perilaku tercela. Begitu pula dalam perkara sedekah. Jika haus pujian, ia akan bersedekah dengan alasan agar orang lain kagum atau hormat padanya.

Demikian pembahasan mengenai 5 perkara yang dapat merusak pahala sedekah seorang muslim. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari hal tersebut, naudzubillah min dzaalik.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Ini Sedekah yang Hukumnya Haram, Muslim Wajib Tahu!



Jakarta

Sedekah adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Sedekah bisa dilakukan kapan dan dimanapun.

Anjuran sedekah termaktub dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 261,

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١


Artinya: Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.

Namun, tidak selamanya bersedekah hukumnya sunnah atau wajib. Ada beberapa jenis sedekah yang dinyatakan haram dalam Islam.

Dikutip dari buku Dikejar Rezeki dari Sedekah karya Fahrur Muis, hukum sedekah yang mutlaknya sunnah atau wajib akan berubah menjadi haram jika orang yang bersedekah mengetahui bahwa orang yang akan menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan.

Sedekah yang Hukumnya Haram

Dikutip dari buku Di Bawah Naungan ‘Arsy karya Rizem Aizid, terdapat dua bentuk sedekah yang hukumnya haram, yaitu,

1. Dari Segi Penerima

Allah SWT mengharamkan sedekah jika sedekah tersebut diberikan kepada orang yang ahli maksiat dan harta sedekah tersebut digunakan untuk bermaksiat.

2. Dari Segi Asal Harta

Sedekah akan menjadi haram jika harta sedekah dihasilkan dari cara-cara yang haram seperti korupsi, menipu, memeras, dan sebagainya.

Jenis Sedekah yang Hukumnya Haram

1. Bersedekah kepada Orang Kafir

Menurut Manshur Abdul Hakim dalam bukunya Buku Saku Terapi Bersedekah, bersedekah kepada orang kafir hukumnya haram karena mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah SWT.

Para ulama juga menyepakati bahwa orang-orang kafir tidak berhak menerima sedekah.

2. Bersedekah dari Hasil Usaha yang Haram

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah 2 menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan menerima sedekah dari hasil usaha yang haram.

Rasulullah SAW bersabda,

“Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada para rasul. Allah berfirman, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik, dan lakukanlah amal kebaikan. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dan Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” Kemudian menceritakan tentang seorang yang lama berkelana, dengan rambut kusut dan berdebu serta menengadahkan dua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Tuhanku, ya Tuhanku.” Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dibesarkan dengan yang haram, maka bagaimana mungkin doanya itu diperkenankan.” (HR Muslim)

3. Bersedekah dengan Tujuan Riya’

Masih mengutip dari sumber buku yang sama, bahwa orang yang bersedekah dilarang menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan karena akan menyakiti hati orang yang menerima sedekah dan menimbulkan sifat riya’.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 264,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ٢٦٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”

Rasulullah SAW juga bersabda,

“Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak akan diperhatikan, tidak akan disucikan, dan bagi mereka siksa yang pedih.” Abu Dzar berkata, sungguh malang dan merugi mereka. Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “Orang yang memanjangkan pakaiannya (karena sombong), orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang menawarkan barang perniagaannya dengan sumpah palsu. (HR Muslim)

4. Bersedekah dengan Sesuatu yang Haram

Dikutip dari buku Fiqh Muamalat karya Abd. Rahman Ghazaly, menyedekahkan benda yang secara zat dihukum haram seperti babi dan anjing, maka hukum sedekah tersebut menjadi haram.

Sedekah adalah salah satu tindakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua bentuk sedekah diterima di sisi Allah SWT.

Oleh karena itu, sebelum memberikan sedekah, penting untuk memastikan niat yang benar, serta memastikan bahwa harta yang digunakan untuk sedekah berasal dari sumber yang halal. Dengan cara ini, sedekah akan menjadi ibadah yang diterima oleh Allah SWT dan membawa berkah dalam kehidupan kita.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

3 Jenis Sedekah yang Tidak Diterima Allah SWT


Jakarta

Sedekah merupakan salah satu perbuatan baik yang sangat dianjurkan dalam Islam. Memberikan sedekah adalah tindakan kebaikan yang akan mendatangkan berbagai keberkahan dan pahala bagi yang melakukannya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat hendak melakukan sedekah. Dalam Al-Quran dan hadits disebutkan tentang sedekah yang tidak diterima oleh Allah SWT.

Dalil tentang Perintah Bersedekah

Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan umat muslim untuk menjalankan sedekah, ungkap Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah.


Surah Al Hadid ayat 7,

اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَاَنْفَقُوْا لَهُمْ اَجْرٌ كَبِيْرٌۚ ٧

Artinya: “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari apa yang Dia (titipkan kepadamu dan) telah menjadikanmu berwenang dalam (penggunaan)-nya. Lalu, orang-orang yang beriman di antaramu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang sangat besar.”

– Surah Ali Imran ayat 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ٩٢

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.”

– Hadits Riwayat Tirmidzi

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sedekah dapat meredam kemurkaan Tuhan, dan menolak mati dalam keadaan su’ul khatimah.” (HR Tirmidzi)

– Hadits Riwayat Muslim

Rasulullah SAW bersabda, “Tiada suatu hari pun di mana umat manusia bangun di waktu pagi melainkan dua malaikat turun, lalu salah satu dari mereka berdua mengucapkan (doa); ya Allah, berilah ganti (harta) bagi orang berinfak. Sementara yang lain mengucapkan; ya Allah, berilah kebinasaan bagi orang yang menahan (hartanya).” (HR Muslim)

Jenis Sedekah yang Tidak Diterima Allah SWT

Meskipun sedekah adalah perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, terdapat beberapa jenis sedekah yang tidak diterima Allah SWT menurut Reza Pahlevi Dalimuthe dalam buku 100 Kesalahan dalam Sedekah, yaitu:

1. Karena Riya’

Allah SWT tidak akan menerima sedekah dari hamba-Nya yang riya’ atau mengharap pamrih dari orang yang diberi sedekah atau orang lain yang menyaksikan serah terima sedekah.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 264,

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ٢٦٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”

2. Tidak beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat

Allah SWT akan memberikan ganjaran kepada hamba-Nya yang memiliki keimanan dan kepercayaan kepada Allah SWT dan hari kiamat. Namun jika seseorang tidak beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat, maka Allah SWT tidak akan menerima sedekah tersebut.

Karena orang-orang akan hanya terfokus pada objek sedekah (banyak tidaknya materi yang diberikan), bahkan meskipun ia bersedekah, ia tetap melakukan perbuatan maksiat.

3. Bersedekah dengan uang haram

Dari sumber sebelumnya, Sayyid Sabiq menambahkan jika seseorang bersedekah namun dia bersedekah dengan uang haram, maka Allah SWT tidak akan menerima sedekahnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bersedekah setara dengan satu butir kurma dari hasil usaha yang baik, sementara Allah tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian Allah merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang di antara kalian merawat anak hewan ternaknya, hingga menjadi seperti gunung.” (HR Bukhari)

Dengan mengetahui jenis sedekah yang tidak diterima Allah SWT, semoga kita senantiasa dijauhkan dari perbuatan buruk. Usahakan untuk selalu memberikan sedekah dengan segala hal yang terbaik.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hukum Sedekah Bisa Berubah Jadi Haram, Ini Sebabnya


Jakarta

Sedekah adalah amalan yang dianjurkan. Hukum sedekah adalah sunnah menurut ijma ulama. Namun, bisa menjadi haram karena kondisi tertentu.

Diterangkan dalam buku Fiqh Muamalat karya Abdul Rahman Ghazaly dkk, dalil yang dijadikan dasar hukum sedekah adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 280 dan 261.

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٨٠


Artinya: “Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).” (QS Al-Baqarah: 280)

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 261)

Dalil sedekah juga bersandar pada sejumlah hadits. Rasulullah SAW bersabda,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بشق تمرة (متفق عليه)

Artinya: “Lindungilah dirimu semua dari siksa api neraka dengan bersedekah meskipun hanya dengan separuh biji kurma.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعفو إِلَّا عِرًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (رواه مسلم)

Artinya: “Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim)

Hukum Sedekah yang Haram

Hukum sedekah bisa berubah menjadi haram apabila mengetahui barang yang akan disedekahkan itu akan digunakan untuk kejahatan dan maksiat. Demikian seperti dijelaskan dalam buku Fiqh karya M. Aliyul Wafa dkk.

Dalil yang menguatkan hal ini adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 272,

۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ ٢٧٢

Artinya: “Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi.”

Dalam Kitab Terlengkap Biografi Empat Imam Mazhab karangan Rizem Aizid turut dijelaskan, hukum sedekah bisa menjadi haram apabila diniatkan sebagai uang sogok.

Kebolehan Sedekah dengan Harta Haram

Sedekah dengan harta haram diperbolehkan untuk kondisi tertentu. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan, sedekah dengan harta haram boleh dilakukan semata-mata hanya untuk melepaskan diri dari kezaliman. Harta haram, kata Imam al-Ghazali, hukumnya menjadi halal bagi orang lain, namun bagi yang bersangkutan tetap haram.

“Itu karena harta yang haram tersebut jelas haram bila dipakai untuk diri sendiri, dan sayang bila disia-siakan atau dibuang ke laut. Maka yang terbaik adalah disedekahkan untuk kemaslahatan kaum muslim,” jelas Imam al-Ghazali seperti diterjemahkan Purwanto.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Bayar Utang atau Sedekah Dulu, Mana yang Lebih Utama? Ini Penjelasannya


Jakarta

Di antara banyak amalan dalam Islam, membayar utang dan bersedekah adalah dua perbuatan yang sangat dianjurkan. Keduanya pun sama-sama mendatangkan pahala.

Namun, muncul pertanyaan yang sering diperdebatkan: Bayar utang dulu atau sedekah dulu? Mari kita simak penjelasannya berikut ini.

Mana yang Lebih Utama, Bayar Utang Dulu atau Sedekah?

Dalam Islam, ada perdebatan yang cukup panjang mengenai bayar utang dulu atau sedekah dulu. Walaipun keduanya sama-sama utama tapi terdapat keduanya memiliki nilai dan prioritas tersendiri.


Membayar Utang Lebih Dulu Karena Sifatnya Wajib

Syaikh Utsmainin dalam buku Kumpulan Fatwa Ulama tentang Zakat yang disusun oleh Abdul Bakir dkk., menjelaskan bahwa membayar utang adalah prioritas karena sifatnya yang wajib, sedangkan sedekah adalah amalan sunnah.

Prinsip dasar yang dipegang adalah bahwa hal-hal yang wajib harus lebih diutamakan daripada yang sunnah. Apabila seseorang memiliki utang yang cukup besar hingga hampir menghabiskan seluruh hartanya, maka langkah bijak yang dianjurkan adalah melunasi utang tersebut terlebih dahulu sebelum melakukan sedekah. Hal ini mencegah seseorang dari kesulitan finansial yang bisa timbul akibat menunda pembayaran utang.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang dikutip dari buku Mengapa Sedekahku Tak Dibalas? karya Ust. Ahmad Zacky el-Syafa, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa menunda-nunda pelunasan utang padahal mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. “Menunda-nunda melunasi utang padahal mampu adalah perbuatan zalim.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hal ini menunjukkan bahwa membayar utang adalah sebuah tanggung jawab besar yang tidak boleh diremehkan. Selain itu, dalam ajaran Islam, berutang juga menimbulkan beban sosial dan moral. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan agar seseorang yang mampu segera melunasi utangnya tanpa menunda-nunda.

Tetap Boleh Bersedekah Walau Memiliki Utang

Di sisi lain, menurut buku JABALKAT II: Jawaban Problematika Masyarakat yang disusun oleh Purnasiswa 2015 MHM Lirboyo memberikan penjelasan bahwa bersedekah tetap boleh dilakukan meski seseorang memiliki utang, selama kondisi keuangan orang tersebut tidak dalam kesulitan yang mendesak. Ini berarti, apabila seseorang mampu bersedekah tanpa mengabaikan kewajiban utangnya, maka sedekah tetap menjadi amal yang baik dan dianjurkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Andaikata aku punya emas sebesar bukit Uhud, maka akan membahagiakanku jika tidak terlewat tiga hari dan emas itu telah habis (untuk beramal baik), kecuali sedikit emas yang aku simpan (persiapkan) untuk melunasi utang.” (HR. Bukhari)

Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Islam bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (menerima), yang menunjukkan bahwa Islam menghargai amal kebaikan dalam bentuk apa pun, selama tidak membahayakan.

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya bila kamu menyerahkan kelebihan sesuatu adalah lebih baik bagimu. Namun bila kamu mengekangnya maka hak itu buruk bagimu. Dan tidak tercela orang yang memenuhi kebutuhan dan mulailah dari orang yang menjadi tanggung jawabmu. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, penting untuk diingat bahwa jika seseorang berniat bersedekah tetapi seluruh hartanya habis untuk utang, maka sebaiknya ia memprioritaskan utang tersebut terlebih dahulu.

Kesimpulannya, bagi yang memiliki utang besar dan kondisi finansial yang terbatas, sebaiknya fokus pada pelunasan utang sebagai bentuk pemenuhan kewajiban utama. Namun, jika keadaan keuangan stabil, maka bersedekah tetap menjadi amal yang baik dan dapat mendatangkan pahala serta keberkahan.

Hukum Utang-piutang dalam Islam

Mengutip dari buku Ringkasan Fikih Lengkap II tulisan Syaikh Dr. Shalih, konsep utang atau yang dikenal dengan istilah “al-qardhu” memiliki makna “memotong” karena seseorang yang meminjamkan hartanya seolah-olah sedang “memotong” sebagian dari miliknya untuk diberikan kepada orang lain yang membutuhkan.

Secara syar’i, al-qardhu berarti memberikan harta kepada orang lain dengan tujuan untuk membantu dan di kemudian hari harta tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.

Memberikan pinjaman adalah tindakan yang sangat dianjurkan, terutama karena membantu meringankan beban saudara seiman. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,

“Pada malam ketika aku menjalani Isra’, aku melihat di pintu surga tertulis, “Pahala sedekah 10 kali lipat dan pahala pemberi utang 18 kali lipat.” Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala yang diperoleh bagi mereka yang memberi bantuan kepada orang yang sedang kesulitan, baik melalui sedekah maupun memberi pinjaman.”

Di hadits lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitannya di dunia, Allah akan menghilangkan satu kesulitan dari berbagai kesulitannya pada hari Kiamat. “

Memberikan pinjaman adalah salah satu cara untuk menolong, apalagi dalam kondisi mendesak dan sulit. Namun, Islam juga menetapkan syarat-syarat tertentu bagi orang yang memberikan utang.

Di antaranya, pemberi utang adalah orang yang sah atas hartanya bukan harta orang lain, peminjam tidak boleh meminta pinjaman lebih dari apa yang diperlukan dan tidak boleh menunda pembayaran jika sudah mampu membayarnya, karena ini termasuk perilaku zalim. Para ulama juga melarang penambahan jumlah pembayaran sebagai bentuk “balas jasa” karena ini termasuk riba, yang haram hukumnya.

Selain itu, jika peminjam memiliki niat untuk mengembalikan lebih sebagai bentuk kebaikan tanpa syarat dari pemberi pinjaman, hal ini diperbolehkan. Tindakan ini dinilai sebagai amalan baik, selama tidak menjadi beban atau paksaan.

Hukum tentang Sedekah

Sedekah memiliki kedudukan yang penting dalam Islam, dan hukum pemberiannya bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi penerima serta niat pemberi. Berdasarkan buku Cara Berkah Lunas Amanah (Hutang) karangan Budhi Cahyono, berikut adalah macam-macam hukum dari bersedekah:

1. Sunnah

Pada dasarnya, bersedekah adalah sunnah. Artinya, jika dilakukan, pelaku akan memperoleh pahala dari Allah SWT. Tetapi, jika tidak dilaksanakan, maka tidak ada dosa yang menimpa.

2. Haram

Sedekah menjadi haram jika seseorang mengetahui bahwa harta atau bantuan yang diberikan akan digunakan oleh penerimanya untuk berbuat maksiat atau melanggar aturan agama.

3. Wajib

Sedekah dapat berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu. Misalnya, jika seseorang memiliki makanan atau kebutuhan pokok yang cukup, sementara di hadapannya ada orang yang kelaparan atau sangat membutuhkan bantuan, maka wajib baginya untuk bersedekah. Selain itu, sedekah juga menjadi wajib jika seseorang telah bernazar untuk melakukannya, sehingga harus dipenuhi.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Cinta Harus Memiliki, Belajar Ikhlash Dari Wali



Jakarta

Santri laki sangat ingin menikahi putri Kyai. Naluri wajar yang jarang dijumpai. Tapi itulah situasi yang pernah terjadi. Di sebuah pondok pesantren di masa teknologi masih belum semaju saat ini.

Pada saat itu mengisi bak mandi masih menggunakan air yang harus dibeli. Dari penjual air yang berlokasi di sekitar rumah. Masih di dalam satu kampung yang sama.

Peristiwa itu terjadi di salah satu pondok pesantren (Ponpes) di Makkah. Ponpes itu menampung putra-putri. Tentu saja santri putra dan santri putri berbeda lokasi. Sehingga mereka pasti tidak dapat saling menemui.


Sang Syech atau Kyai memiliki seorang putri. Kecantikannya banyak dikenali masyarakat sekitar. Banyak pemuda yang ingin menikahi. Termasuk salah seorang santri Kyai.

Jangankan melihat putri Kyai, melihat santri putri saja pasti harus dijauhi.
Namun santri satu ini sangat punya nyali. Ada saja akal pikiran yang dipunyai. Ia berusaha berjualan air. Tujuannya pasti agar bisa mudah, masuk lokasi putri. Karena penjual air bila mengisi air ke dalam bak mandi harus mengantarnya sendiri. Usaha itu dalam upayanya bisa kenal dengan putri Kyai. Bukankah putri Kyai juga memiliki lokasi, belajar dan beraktifitas di sekitar lokasi santri putri.

Bisa diduga bahwa tujuan santri berjualan air bukan tujuan asli. Apalagi untuk Kyai ia mematok diskon tinggi. Lebih aneh lagi ia tidak menjual air kecuali hanya kepada Ponpes Kyai.

Beberapa waktu berlalu. Rupanya sang Kyai memahami. Boleh jadi karena beliau seorang wali. Bahwa santri laki itu berjualan air tapi punya maksud mengincar putri Kyai. Lalu beliau Kyai memanggil santri laki itu sambil berujar, “Nak, apakah kamu sengaja berjualan air hanya ke sini saja. Tidak kepada keluarga lain. Hanya karena ingin kenal putriku. Lalu bisa menjadi menantuku?”
“Inggih (ya) Kyai,” jawab santri itu polos.

Baiklah. Kalau kamu berniat sungguh-sungguh ingin memiliki putriku, menikahinya, boleh. Tidak harus melalui berjualan air ke sini.” Sambung Kyai dengan ramah dan tenang.
“Terus saya harus bagaimana Kyai?” Tanya santri itu dengan hati yang berbunga-bunga karena begitu bahagianya. Betapa tidak, sang Kyai seolah begitu saja dengan mudah akan “merestui”. Sedang dirinya hanyalah seorang santri yang bukan keturunan Kyai. Ada juga perasaan belum wajar, tetapi bagaimana lagi. Demi keinginan sejati menikahi putri Kyai.

“Kalau kamu sungguh-sungguh, mulai besok datanglah ikut berjemaah di masjidil haram. Kamu wajib ada di shaf pertama.” Lanjut Kyai sambil menatap santri itu meyakinkan.
“Itu harus kamu lakukan selama empat puluh hari tampa putus, terus menerus.” Lanjut beliau sambil menekankan suaranya. Tanda serius.

“Baik Kyai, insyaAllah akan segera saya laksanakan mulai besok hari.” Secepat kilat santri itu menjawab. Seolah merasa sarat yang diberikan Kyai akan bisa dengan mudah dia lalui. Tidak harus lebih dulu menjadi wali. Tidak juga harus punya duit banyak sekali. Bukan itu semua. Hanya ikut shalat berjemaah di shaf awal di masjidil Haram. Mudah sekali. Gumamnya di dalam hati.
Segera santri itu menyiapkan diri untuk menyanggupi seluruh yang dipesankan Kyai.

Esok harinya santri itu mulai berjemaah di shaf pertama. Niatnya antara lain pasti supaya keinginannya terpenuhi. Menikahi putri Kyai. Yang kecantikannya sulit ditandingi. Satu hari, dua hari, tiga sampai sepuluh hari. Bayangan bisa menyunting putri Kyai masih membayangi. Walau tak sepenuh bayangan pertama kali mengikuti shalat berjemaah di shaf awal itu.

Setelah masuk hari ke sebelas, dua belas, terus sampai lewat empat puluh hari. Bayang keinginan menikahi putri Kyai, berganti dengan kenikmatan shalat berjemaah di shaf awal. Kenikmatan yang selama ini belum pernah ia alami.

Melewati empat puluh hari sesuai janji. Kyai menjemputnya, menggandengnya pulang demi menepati janji. Menikahkan putrinya dengan si santri. Namun apa yang terjadi?

Ketika Kyai berkata kepada santri,”Nak, hayo pulang. Sesuai dengan janjiku tempo hari. Sekarang sudah selesai sarat yang aku ajukan. Sekarang waktunya aku nikahkan engkau dengan putriku.” Ujar Kyai penuh yakin.

Sebaliknya. Jawaban santri itu ternyata di luar ekspektsi Kyai. “Mboten (tidak) Kyai, kenikmatan shalat jemaah di shaf awal di masjidil haram, mboten saged (tidak bisa) ditukar dengan hanya sekedar seorang putri. Mboten.” Santri itu menolak sopan ajakan Kyai.

Rupanya. Berawal dari niat ingin menikahi putri Kyai, lalu menekuni shalat berjemaah di lokasi paling diminati (dekat Ka’bah di shaf awal) secara istiqamah. Bergeser menjadi perbuatan ikhlash. Ikhlash menuntunnya untuk nikmat mencintaiNya. Cinta yang tak mungkin ditukar dengan apa pun selainNya. Termasuk cinta kepada putri Kyai.

Merasa bertambah kagum kepada si santri. Kyai mencoba merendah dan mengulangi ajakannya kembali. “Nak, hayo pulang dulu. Saya sangat ingin dan sangat butuh orang yang ikhlash menjadi menantuku.”
Demi tersentuh kata-kata ikhlash. Yang pasti berbeda terbalik dengan niat santri pertama kali pergi shalat jemaah di shaf awal. Santri itu terlihat tidak tega menolak ajakan Kyai.

“Injih Kyai, kalau karena ikhlash saya bersedia menikahi.” Terlihat wajah Kyai itu seketika berganti cerah. Secerah sinar mentari yang mulai beranjak tinggi. Lalu mereka bersama-sama pergi menuju rumah Kyai.

Ikhlash memang bukan perbuatan ringan seringan jatuhnya rintik hujan dari awan. Tapi ikhlash ternyata bisa ditimbulkan melalui kebiasaan. Kebiasaan melakukan kebaikan berulang-ulang. Kebaikan yang dilakukan secara istiqamah. Terus menerus sampai lupa ingatan terhadap maksud kurang ikhlash sebagaimana niat di awal perbuatan. Sampai muncul kenikmatan tak tergantikan. Kenikmatan mampu merasakan nikmatnya cinta Tuhan.

Jangankan shalat jemaah istiqamah di shaf awal. Menyiapkan makanan kucing, hewan-hewan peliharaan. Bukan karena ingin supaya si hewan membalas kebaikan tuannya, taat, nurut kepada pemiliknya. Tapi niat hanya demi Tuhan, itu pun bisa mengundang ikhlash. Sebutan yang kebanyakan orang menganggapnya sulit didapatkan.

Menahan membuang sampah di jalan. Bukan takut dikira kurang mengerti kebersihan. Juga bukan karena takut kelihatan orang. Namun demi menjaga kebersihan sesuai amanat Tuhan. Itu bisa menjadi ikhlash yang sering di luar perhatian.

Berusaha secara istiqamah menahan diri dari ujaran yang menimbulkan kegelisahan, ujaran yang kurang wajar. Menggantinya dengan ujaran baik yang selalu bermakna kebaikan di jalan Tuhan. Itu pula menjadi jalan ikhlash yang sangat mengundang tingginya kehormatan. Kehormatan di sisi Tuhan. Kehormatan di antara seluruh makhluk Tuhan.

Cinta santri laki itu kepada putri Kyai. Ternyata memang berakhir dengan memilikinya. Kisah perjalanan ikhlash salah seorang wali.

Semoga setiap kita berkenan berlatih untuk menikmati jalan ikhlash. Jalan mencapai cinta sejati kepadaNya, sampai mampu memiliki cintaNya, aamiin!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih-Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Bus Shalawat Terakhir Beroperasi Hari Ini



Makkah

Masa operasional penyelenggaraan ibadah haji di Daerah Kerja (Daker) Makkah berakhir hari ini, Sabtu (13/7/2024). Bersamaan dengan itu, layanan Bus Shalawat yang biasanya mengantar jemaah dari pemondokan menuju Masjidil Haram dan sebaliknya, juga akan berakhir.

“Layanan Bus Shalawat akan diberhentikan total Sabtu, 13 Juli 2024 pukul 12.00 WAS, yaitu waktu salat zuhur. Setelah itu tidak ada layanan Bus Shalawat lagi,” ujar Kepala Seksi Transportasi Daker Makkah, Syarif Rahman di Makkah, Jumat (12/7/2024).

Penghentian Bus Shalawat ini dilakukan karena seluruh jemaah haji Indonesia seluruhnya sudah bergerak ke Madinah. Syarif menjelaskan, ada 15 kelompok terbang (kloter) yang rencananya akan diberangkatkan hari ini dari Makkah ke Madinah.


“Rencananya ada 15 kloter dilakukan pendorongan dari Makkah ke Madinah,” katanya.

Diketahui saat masa puncak haji terdapat 22 rute Bus Shalawat yang dioperasikan. Sebanyak 16 rute beroperasi di terminal Syib Amir, sedangkan sisanya sebanyak enam rute beroperasi di terminal Jiyad. Jumlah Bus Shalawat yang beroperasi pada masa puncak haji mencapai 425 bus per hari.

Adapun 12 rute Bus Shalawat yang masih beroperasi hingga berakhirnya masa pelayanan Daker Makkah, sebagai berikut:

1. Rute 1 (Syisyah – Syib Amir)
2. Rute 2 (Syisyah – Syib Amir)
3. Rute 4 (Syisyah – Syib Amir)
4. Rute 7 (Raudhah – Syib Amir)
5. Rute 12 (Jarwal – Syib Amir)
6. Rute 14 (Jarwal – Syib Amir)
7. Rute 15 (Jarwal – Syib Amir)
8. Rute 16 (Jarwal – Syib Amir)
9. Rute 17 (Misfalah – Jiyad)
10. Rute 18 (Misfalah – Jiyad)
11. Rute 20 (Rei Bakhas – Jiyad)
12. Rute 21 (Rei Bakhas – Jiyad)

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com