Tag Archives: hati nabi muhammad saw

Sosok Ini Setia Bela Nabi Meski Tak Pernah Masuk Islam


Jakarta

Pada fase awal dakwah, Rasulullah SAW selalu mendapatkan tindakan diskriminatif dari kaum kafir Quraisy, Tak tinggal diam, seluruh keluarga Rasulullah SAW selalu mendukung dan melindungi beliau, termasuk sang paman, meski hingga akhir hayatnya tidak juga memeluk Islam.

Paman yang setia membela Rasulullah SAW ini bernama Abu Thalib. Dijelaskan dalam buku Ali Bin Abi Thalib karya Sayyid Sulaiman Nadwi, Abu Thalib merupakan salah seorang tokoh yang paling berpengaruh dan terhormat di Makkah.

Rasulullah SAW tumbuh besar di pelukan kasih sayang dan tangan Abu Thalib. Abdul Muthalib, kakek dan pelindung Rasulullah SAW, telah menitipkan Rasulullah SAW kepada Abu Thalib, putranya.


Awal periode kehidupan Nabi Muhammad SAW berlalu di rumah pamannya ini. Abu Thalib juga membawa Nabi Muhammad SAW berdagang ke Syam. Nabi Muhammad SAW kecil telah merasakan kasih sayang serta perlindungan yang ikhlas dan tulus dari Abu Thalib.

Meski tetap memeluk agama nenek moyangnya, hal itu tidak mengurangi kasih sayang yang dia berikan kepada Nabi Muhammad SAW. Telah berkali-kali orang musyrik Mekah melaporkan kepada Abu Thalib ingin mengenyahkan Nabi Muhammad SAW dari muka bumi. Meskipun telah diminta berkali-kali agar berhenti memberikan perlindungan kepada keponakannya itu, Abu Thalib tidak pernah meninggalkannya.

Sang paman juga tidak malu untuk menunjukkan pengorbanan diri di jalan ini. Berbagai penganiayaan yang dilakukan musyrik Quraisy, dengan memboikot Abu Thalib dan keluarganya, memutuskan segala hubungan, dan mengucilkan mereka, tidak menghentikan keputusan Abu Thalib untuk melindungi Nabi Muhammad SAW.

Abu Thalib Sebagai Pelindung Nabi Muhammad SAW

Dikisahkan dalam buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustazah Azizah Hefni, suatu hari, Rasulullah SAW datang menemui Abu Thalib dengan wajah yang dipenuhi kesedihan. Melihat kondisi keponakan tercintanya, Abu Thalib yang merasa cemas segera bertanya tentang apa yang telah terjadi. Rasulullah SAW kemudian menceritakan bahwa saat sedang bersujud di Ka’bah, beliau dilempari kotoran dan darah oleh orang-orang Quraisy. Mendengar hal ini, kemarahan Abu Thalib pun membuncah.

Dengan segera, Abu Thalib bangkit sambil menggenggam sebilah pedang di tangan kanannya, dan tangan kirinya menggandeng Rasulullah SAW. Mereka berdua bergegas menuju Ka’bah. Sesampainya di sana, mereka mendekati gerombolan kaum kafir Quraisy. Dengan suara lantang, Abu Thalib berkata, “Demi Dzat yang diimani Muhammad! Jika ada di antara kalian yang berani berdiri, aku akan segera menghabisi kalian dengan pedangku!”

Kemudian, dengan penuh kasih sayang, Abu Thalib mengusap kotoran dan darah yang masih menempel di tubuh Rasulullah SAW, dan melemparkannya ke wajah para pelaku. Wajah-wajah para kafir Quraisy yang telah menghina Rasulullah SAW seketika menjadi kotor. Mereka dihina dan ditertawakan oleh semua orang yang berada di sekitar Ka’bah.

Dalam buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik karya Faisal Ismail, dikisahkan pula para pemuka Quraisy pernah datang menemui Abu Thalib sambil membawa seorang pemuda tampan bernama Umarah bin Walid bin Mughirah. Mereka menawarkan Umarah sebagai anak angkat bagi Abu Thalib, dengan syarat Abu Thalib harus menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka. Namun, Abu Thalib dengan tegas menolak tawaran tersebut.

Merasa tidak berhasil, para pembesar Quraisy itu kembali menemui Abu Thalib, dengan nada yang lebih keras, mereka berkata, “Engkau adalah orang yang terhormat di kalangan kami. Kami telah meminta agar engkau menghentikan keponakanmu itu, namun kau tidak melakukannya. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang menghina nenek moyang kami, tidak menghargai harapan-harapan kami, dan mencela berhala-berhala kami. Suruh dia diam atau kita akan melawan dia sampai salah satu pihak binasa.”

Abu Thalib berada dalam dilema yang berat. Di satu sisi, ia merasa berat hati untuk bermusuhan dengan kaumnya. Namun di sisi lain, ia tidak tega untuk menyerahkan keponakannya, Nabi Muhammad SAW, kepada para pemuka Quraisy.

Setelah desakan yang terus-menerus, Abu Thalib memanggil Nabi Muhammad SAW. Ia menceritakan maksud para pembesar Quraisy dan berkata, “Jagalah aku, begitu juga jagalah dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”

Nabi Muhammad SAW, dengan keteguhan hatinya, menjawab, “Paman, demi Allah! Walaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

Sesudah mengucapkan pernyataan yang bernada puitis itu, Nabi Muhammad SAW dengan ekspresi sedih menundukkan wajah seraya menangis meneteskan air mata. Ketika Nabi Muhammad SAW membalikkan badan hendak pergi, Abu Thalib memanggil, “Menghadaplah kemari, Anakku!”

Nabi Muhammad SAW pun menghadap ke arah Abu Thalib. Berkatalah pamannya kepada beliau, “Pergilah dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kamu kepada mereka karena alasan apa pun untuk selama-lamanya.” Pernyataan Abu Thalib ini sangat membesarkan dan meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW untuk secara konsisten melaksanakan gerakan dakwahnya.

Abu Thalib Tidak Memeluk Islam hingga Akhir Hayatnya

Kembali merujuk buku Ali bin Abi Thalib, menjelang wafat, Rasulullah SAW sangat berharap pamannya tercinta mengucapkan kalimat syahadat. Namun, Abu Thalib khawatir kaum Quraisy akan menuduhnya takut mati sehingga mengubah agamanya.

Meski ada riwayat lemah dari Paman Nabi, Abbas, yang menyebut Abu Thalib mengucapkan syahadat di akhir hayatnya, kemungkinan besar ia memilih menyembunyikan keislamannya. Sebab bila Abu Thalib menerima Islam secara terbuka, posisinya di kalangan Quraisy akan terancam, dan ia tidak akan bisa melindungi Rasulullah SAW sekuat sebelumnya. Pengorbanan, kesabaran, dan keberanian Abu Thalib dalam melindungi Rasulullah tetap dikenang dengan hormat dalam sejarah Islam.

Karena tak mengakui keesaan Allah SWT hingga wafat, Abu Thalib termasuk ke dalam golongan kafir dan neraka merupakan tempat kembali baginya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Abu Thalib mendapat siksa yang paling ringan di neraka. Hal ini berkat syafaat Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari, Al-Abbas bin Abdul Muththalib RA bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah pertolonganmu (manfaat) bagi Abu Thalib yang telah mengasuh dan membelamu, bahkan ia marah karenamu?”

Nabi SAW menjawab, “Ia kini berada di atas permukaan neraka, dan andaikan bukan karena aku niscaya ia berada di neraka paling bawah.” (HR Bukhari)

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pembelahan Dada Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril


Jakarta

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat mulia dan menjadi teladan dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Hati beliau sangat suci, bebas dari segala sifat buruk seperti kesombongan, iri, dengki, dan syirik.

Sejak kecil, Allah SWT telah membersihkan hati Nabi Muhammad SAW dengan cara yang luar biasa. Salah satunya melalui kisah pembelahan dada Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril berikut ini.

Kisah Pembelahan Dada Nabi Muhammad SAW

Diceritakan dalam buku Kisah Manusia Paling Mulia yang disusun oleh Neti S, pada masa kecilnya, Nabi Muhammad SAW menghabiskan waktunya di pedalaman Bani Sa’ad ikut ibu sepersusuannya. Beliau tumbuh menjadi anak yang sehat, berhati baik, dan fasih dalam berbahasa.


Nabi Muhammad SAW hidup dengan rukun dan penuh kasih sayang bersama saudara sepersusuannya. Kesehariannya, mereka bermain dan menggembala kambing bersama di padang penggembalaan Bani Sa’ad.

Pada suatu ketika, saat Nabi Muhammad SAW menggembala kambing bersama saudara sepersusuannya, datanglah Malaikat Jibril menghampiri Nabi Muhammad SAW dalam wujud manusia. Malaikat Jibril lantas memegang tangan mungil Nabi Muhammad SAW, hingga membuat beliau terkejut dan pingsan.

Malaikat Jibril kemudian meletakkan Nabi Muhammad SAW yang tak sadarkan diri di atas batu. Di saat ini pula, Jibril mulai membelah dada Nabi SAW. Jibril mengeluarkan segumpal darah hitam dari hati beliau yang telah dibelah, kemudian membuangnya.

Setelah itu, hati Nabi Muhammad SAW dibersihkan dengan air zamzam yang disimpan dalam wadah emas. Setelah hati Nabi Muhammad SAW bersih, Jibril meletakkannya kembali ke tempat semula.

Melihat kejadian ini, para saudara persusuan Nabi Muhammad SAW sangat ketakutan. Mereka kemudian berlari pulang dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya, Halimah.

“Ibu…ibu…Muhammad….dibunuh! Muhammad dibunuh!” kata mereka dengan menjerit-jerit.

“Ada apa dengan saudaramu?” tanya Halimah cemas.

“Muhammad…. ada orang yang ingin melukainya,” jawab mereka dengan terbata-bata.

Halimah yang terkejut dan cemas setelah mendengarnya, segera mendatangi padang gembalaan tempat Nabi Muhammad SAW berada.

Sesampainya di sana, Halimah melihat Nabi Muhammad SAW sedang menggembalakan kambing dalam kondisi yang baik-baik saja dan tidak ada luka atau goresan yang mengkhawatirkan pada diri anak susuannya itu. Bahkan, wajah Nabi Muhammad SAW terlihat lebih cerah dari biasanya.

“Apa yang telah terjadi padamu, wahai anakku?” tanya Halimah.

“Dua orang laki-laki berjubah putih telah mengambil sesuatu dari tubuhku,” Nabi Muhammad SAW menjawab dengan polosnya.

“Apa itu?” tanya Halimah dengan wajah khawatir. “Aku tidak tahu,” jawab Nabi Muhammad SAW.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Halimah sambil memeriksa tubuh Nabi Muhammad SAW untuk memastikan kembali keadaan anak susuannya itu. Namun, ia tetap tidak menemukan tanda-tanda yang mengkhawatirkan pada diri Nabi Muhammad SAW.

Halimah pun segera membawa Nabi Muhammad SAW dan anak-anaknya pulang dengan rasa waswas akan keselamatan anak susuannya tersebut. Peristiwa pembelahan dada Nabi Muhammad SAW di padang gembalaan itu benar-benar telah mengganggu pikiran Halimah.

Dalam beberapa riwayat, yang dikutip dari buku The 10 Habits of Rasulullah karya Rizem Aizid, air yang digunakan untuk membersihkan hati Rasulullah SAW tersebut bukan air zamzam, melainkan air dari surga. Peristiwa pembelahan dada ini pun terjadi dua kali, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW berusia empat tahun dan sepuluh tahun.

Dalam buku Meneladani Rasulullah melalui Sejarah karya Sri Januarti Rahayu disebutkan bahwa, tidak lama setelah kejadian pembelahan dada Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril, Halimah mengembalikan beliau kepada sang ibu, Aminah.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW merasakan kebahagiaan karena bisa hidup bersama ibunda. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama, karena sang ibu, Aminah, meninggal dunia saat Nabi Muhammad SAW berusia enam tahun.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com