Tag Archives: hikmah

Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Haid, Nifas, dan Melahirkan


Jakarta

Mandi wajib adalah mandi yang dilakukan untuk mensucikan diri dari hadats besar menggunakan air bersih. Niat mandi wajib termasuk salah satu rukun yang tidak boleh ditinggalkan.

Perintah melaksanakan mandi wajib untuk mensucikan diri dari hadats besar telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman:

وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟


Artinya: “…dan jika kamu junub maka mandilah…”

Selain itu, anjuran mandi wajib bagi perempuan muslim juga diterangkan dalam hadits yang dinukil dari kitab Fikih Mazhab Syafi’i oleh Abu Ahmad Najieh, berdasarkan riwayat yang bersumber dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy RA:

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلَّيْ رواه البخارى

Artinya: “Bila darah haid datang, janganlah engkau lakukan sholat. Dan jika darah haid sudah habis, maka mandilah lalu sholatlah.” (HR Bukhari)

Sebelum mengetahui niat mandi wajib, perlu diketahui beberapa hal yang menjadi penyebab perempuan harus melaksanakan mandi wajib.

Sebab Mandi Wajib bagi Perempuan

Mengutip dari buku Fikih Wanita Praktis karya Darwis Abu Ubaidah, ada beberapa penyebab yang mengharuskan perempuan mandi wajib, antara lain sebagai berikut:

  • Berhubungan suami istri atau bertemunya dua khitan sekalipun air maninya tidak keluar
  • Keluarnya air mani dengan sebab apapun, baik karena mimpi, berhubungan badan, terangsang, atau sebab lainnya
  • Selesai dari masa haid atau menstruasi
  • Selesai dari masa nifas, yaitu keluarnya darah dari kemaluan perempuan setelah melahirkan
  • Wiladah, yaitu persalinan atau melahirkan. Termasuk ketika perempuan mengalami keguguran, meskipun yang keluar hanya segumpal darah atau daging, baik tanpa cairan maupun berbentuk cairan

Niat Mandi Wajib Perempuan dalam Arab, Latin, dan Artinya

Dilansir dari Buku Induk Fikih Islam Nusantara karya Imaduddin Utsman al-Bantanie, berikut bacaan niat mandi wajib perempuan yang dapat dilafalkan dari dalam hati saat hendak menyiramkan air ke seluruh tubuh.

  • Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Haid

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’i hadatsil haidi fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari haid fardhu karena Allah Ta’ala.”

  • Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Nifas

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ النِّفَاسِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’i hadatsin nifaasi fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari nifas fardhu karena Allah Ta’ala.”

  • Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Melahirkan (Wiladah)

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْوِلَادَةِ فَرْضًا اللَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’i hadatsil wiladati fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari wiladah fardhu karena Allah Ta’ala.”

Atau, secara umum dapat dilafalkan niat mandi wajib sebagai berikut,

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar fardhu karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Mandi Wajib bagi Perempuan

Adapun tata cara mandi wajib bagi perempuan pada dasarnya sama dengan sebab apapun, hanya saja berbeda dalam bacaan niatnya. Berdasarkan Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita oleh Abdul Syukur Al-Azizi, berikut ini urutan tata caranya.

  • Membaca niat mandi wajib dari dalam hati
  • Mencuci tangan sebanyak tiga kali sebelum mandi
  • Membersihkan kemaluan dan kotoran dengan tangan kiri
  • Mencuci tangan dengan sabun setelah membersihkan kemaluan
  • Berwudhu dengan sempurna seperti ketika hendak melaksanakan sholat
  • Menyela pangkal rambut dengan air menggunakan jari tangan hingga menyentuh kulit kepala (tidak wajib bagi perempuan untuk mengurai ikatan rambutnya)
  • Selanjutnya mengguyur kepala dengan air sebanyak tiga kali, pastikan pangkal rambut terkena air
  • Mengguyur air ke seluruh badan, dimulai dari sisi kanan dan dilanjutkan ke tubuh sisi kiri
  • Pastikan seluruh lipatan kulit, sela-sela anggota tubuh, dan bagian tersembunyi ikut dibersihkan
  • Melanjutkan mandi seperti biasa dan bilas hingga benar-benar bersih

Demikian bacaan niat mandi wajib perempuan setelah haid, nifas, dan melahirkan. Muslimah harus memastikan niat dan urutan mandi wajib yang benar agar tubuh suci dari hadas besar sehingga dapat mengerjakan ibadah secara sempurna.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hukum Memakai Kuteks dalam Islam, Muslimah Wajib Tahu!



Jakarta

Kuteks atau pewarna kuku telah menjadi bagian dari perhiasan wanita. Dengan menggunakan kuteks, wanita bisa menghias kukunya dan berharap untuk bisa tampil lebih cantik dan menarik.

Saat ini banyak wanita muslimah yang memakai kuteks kuku karena ikut-ikutan trend yang sedang marak. Meskipun dianggap sebagai hiasan, ada aturan dalam penggunaan kuteks bagi muslimah.

Perlu diketahui bahwa Allah SWT tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Termaktub dalam surah Al A’raf ayat 31,


۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ ٣١

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”

Lantas, apakah memakai kuteks termasuk sesuatu yang berlebihan? Bagaimana hukum memakai kuteks dalam Islam? Berikut hukum dan penjelasan terkait penggunaan kuteks dalam Islam yang harus diketahui oleh setiap muslimah.

Hukum Memakai Kuteks dalam Islam

Merujuk pada buku Fikih Wanita Sepanjang Masa karya Muiz al Bantani, hukum memakai kuteks dalam Islam bisa menjadi ibadah sunnah sekaligus bisa menjadi haram. Hukum pemakaian kuteks tergantung pada niat dan tujuan pemakaiannya.

Memakai kuteks hukumnya sunnah jika kecantikan kuku muslimah dihadapkan di depan suaminya. Hal demikian akan menarik perhatian suaminya dan suaminya akan menjadi senang kepadanya, hal tersebut ada pahala dan ganjaran dari Allah SWT.

Namun perlu diwaspadai bahwa hukum memakai kuteks adalah haram jika tujuannya digunakan untuk menggoda laki-laki yang bukan mahramnya sehingga menimbulkan zina mata. Maka muslimah akan mendapatkan dosa dan ancaman siksa di neraka.

Bukan hanya bentuk tabarruj, kuteks juga dapat menghalangi air wudhu. Umumnya kuteks merupakan zat pewarna yang membentuk lapisan kedap air. Sehingga air tidak bisa membasahi kukunya ketika wudhu.

Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah tumit-tumit kalian (yang tidak kena air wudhu) masuk api neraka.” (HR Bukhari)

Padahal syarat sahnya salat adalah berwudhu atau suci dari hadats. Sehingga jika berwudhu dalam memakai kuteks, jelas tidak sah wudhunya, salatnya pun juga tidak akan sah.

Mengutip buku Fiqih Remaja Kontemporer karya Abu Al-Ghifari, sebagai muslimah setiap hari harus melaksanakan salat lima waktu dan harus berwudhu. Apakah mungkin jika akan wudhu kutek itu dihilangkan dulu kemudian dioleskan lagi sehabis wudhu. Jelas hal ini merupakan tindakan yang mubadzir.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Kaum wanita kami memakai pacar dengan sebaik-baiknya, mereka memakai pacar sesudah salat Isya dan mencabutnya sebelum Subuh.”

Solusi Menggunakan Pewarna Kuku Selain Kuteks

Dirangkum dari buku Tanya Jawab Fikih Wanita Empat Mazhab karya A. R. Shohibul Ulum, selain penggunaan kuteks, sebenarnya ada pewarna kuku yang lebih alami, yaitu henna. Muslimah sering menyebutnya dengan istilah “pacar kuku”.

Dalam sebuah riwayat menyatakan, “Empat hal yang termasuk sunnah para rasul ialah memakai pacar, memakai parfum, bersiwak, dan menikah.” (HR Tirmidzi)

Berbeda dengan kuteks, henna tidak membentuk lapisan kedap air di atas permukaan kuku. Sebaliknya, justru masuk ke dalam pori-pori kuku, sehingga berwarna merah, namun tidak menghalangi masuknya air wudhu.

Maka, menggunakan henna lebih praktis daripada kuteks. Apalagi kuteks merupakan buatan pabrik yang terbuat dari berbagai macam zat kimia. Jika terlalu sering digunakan juga akan berdampak negatif untuk kesehatan kuku dan bagian tubuh lainnya.

Seperti yang kita ketahui, segala sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain itu hukumnya terlarang. Wallahu a’lam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Wanita Mendapat Jatah Warisan Lebih Sedikit dalam Hukum Islam?



Jakarta

Dalam Islam, pembagian warisan diatur dalam Al-Qur’an. Kedudukan hukum waris sangat penting, sebab hal ini dialami oleh semua orang sehingga harus ada pembagian yang adil.

Menukil buku Hukum Waris dalam Islam susunan Dr Iman Jauhari SH M Hum dan Dr T Muhammad Ali Bahar SH MKn, pembagian warisan harus berdasarkan ilmu karena ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi secara syariat. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraid) adalah setengah ilmu dan dia (faraid) itu akan dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali tercabut (hilang) dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan Daaru Quthni)


Dalam Al-Qur’an tercantum penjelasan tentang harta waris yang termaktub dalam surat An-Nisa Ayat 11:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Mengutip buku Pembagian Warisan Menurut Islam oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, dijabarkan pembagian warisan berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Alasan Kaum Wanita Mendapat Warisan Lebih Sedikit dari Laki-laki

Abdul Syukur Al-Azizi melalui Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita menuturkan bahwa masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi wanita yang hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki memiliki alasan tersendiri. Laki-laki memperoleh beban dan tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada keluarganya, karenanya pembagian warisan bagi laki-laki mendapat bagian yang melebihi wanita.

Jika tidak demikian, maka hal itu akan menzalimi kaum laki-laki. Meski warisan bagi wanita lebih sedikit, hal ini ditutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi haknya dari sang suami.

Selain itu, tidak selamanya dalam pembagian waris wanita selalu mendapat bagian yang kecil daripada laki-laki. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi wanita sama besarnya dengan warisan laki-laki.

Bahkan, ada juga kondisi yang menyebabkan bagian wanita lebih banyak daripada laki-laki. Dalam hal ini contohnya seperti seorang wanita anak tunggal yang ditinggal mati oleh ayahnya, memiliki setengah dari harta waris ayahnya, atau dua orang anak wanita yang ditinggal mati oleh sang ayah yang mana berhak mewarisi dua pertiga dari harta ayahnya apabila tidak memiliki saudara laki-laki.

Rincian Pembagian Harta Warisan

Merujuk pada buku Pembagian Warisan Menurut Islam, berikut rincian pembagian harta warisan.

1. Setengah (1/2)

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.

2. Seperempat (1/4)

Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.

3. Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

4. Duapertiga (2/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

5. Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.

6. Seperenam (1/6)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.

detikHikmah sendiri menyediakan fitur Kalkulator Waris Islam untuk membantu perhitungan warisan sesuai syariat. Cek fiturnya DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

4 Amalan Hari Jumat bagi Muslimah, Salah Satunya Bersholawat


Jakarta

Jumat disebut sebagai hari mulia dan istimewa bagi kaum muslimin. Pada hari itu, pria muslim juga diwajibkan untuk menunaikan salat Jumat.

Komaruddin Ibnu Mikam melalui buku Rahasia & Keutamaan Hari Jumat menerangkan bahwa Jumat juga dikatakan sebagai hari rayanya umat Islam. Dulunya, orang-orang diperintahkan mengadakan perkumpulan pada tiap pekan, kaum Yahudi hari Sabtu, Nasrani hari Minggu dan Islam hari Jumat.

Adapun, terkait dalil perintah salat Jumat dijelaskan dalam surah Al Jumu’ah ayat 9,


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,”

Perlu dipahami, amalan salat Jumat hanya diperuntukkan bagi lelaki muslim. Lantas bagaimana dengan wanita muslim? Adakah amalan yang dapat dikerjakan di hari Jumat?

Amalan Hari Jumat bagi Muslimah

Menyadur buku Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih Wanita Terlengkap susunan Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, berikut beberapa amalan yang dapat dikerjakan wanita muslim pada hari Jumat.

1. Beristighfar

Pada hari Jumat, Allah SWT melipatgandakan pahala bagi siapa pun yang datang dengan membawa amalan-amalan sholeh. Karenanya, Rasulullah SAW tidak pernah sekali pun lalai dalam beristighfar setiap hari.

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sesungguhnya hatiku tidak pernah lalai dari dzikir kepada Allah. Sesungguhnya aku beristighfar seratus kali dalam sehari.”

2. Membaca Sholawat

Sebetulnya, membaca sholawat bisa dilakukan setiap hari. Namun, bersholawat pada hari Jumat menjadi lebih istimewa sebagaimana diterangkan dalam hadits yang berbunyi,

“Perbanyaklah sholawat kepadaku pada setiap hari Jumat. Karena sholawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jumat. Barangsiapa yang banyak bersholawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR Al-Baihaqi)

3. Membaca Surah Al Kahfi

Amalan selanjutnya yang dapat dikerjakan oleh wanita muslim ialah membaca surah Al Kahfi. Hal ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat akan diberikan cahaya baginya diantara dua Jumat.” (HR Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

4. Perbanyak Berbuat Kebaikan

Berbuat baik pada hari Jumat akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak sepuluh kali. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Musayyab bin Rafi’, Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan pada hari Jumat maka akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat dari hari yang lain, dan barangsiapa berbuat kejelekan maka juga demikian (dilipatgandakan dosanya sepuluh kali lipat). Dan disamakan hari, yaitu malam, sebab tidak ada perbedaan sama sekali.” (HR Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Mussayyab).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wudhu bagi Wanita Haid, Haram atau Diperbolehkan?


Jakarta

Perempuan beriman yang sedang haid, kadang merindukan untuk melakukan wudhu sebagaimana hendak mendirikan salat. Namun, apa hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah diperbolehkan atau malah dilarang? Berikut pembahasannya.

Wudhu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap muslim ketika hendak salat. Umat Islam melakukan wudhu minimal lima kali dalam sehari, belum lagi jika ditambah salat-salat sunah.

Bagi wanita beriman yang selalu menunaikan ibadah salat, tentunya akan merasa rindu untuk berwudhu dan mendirikan salat. Namun di saat yang sama, dirinya sedang berhadats besar, yakni haid.


Lalu, bagaimana hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah dibenarkan dalam agama Islam? Berikut penjelasannya.

Masaji Antoro menyebutkan dalam buku yang berjudul Tanya Jawab Islam: Piss KTB, TIM Dakwah Pesantren yang disusun oleh Kyai Abdullah Afif dan Kyai Masaji Antoro (Gus Tohir), hukum wudhu bagi wanita haid ada tiga, yaitu:

1. Haram

Kyai Masaji Antoro menjawab mengenai persoalan ini dengan tiga hukum yang berbeda. Hukum wudhu bagi wanita haid yang pertama adalah haram dan tidak boleh dilakukan.

Wudhu bagi wanita haid ini haram apabila ia mempunyai tujuan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah seperti halnya salat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “tanaaqud dan talaa’ub”

Tanaaqud sendiri maksudnya fungsi wudhu bertentangan dengan keadaan yang sedang terjadi. Di mana, wanita tersebut sedang berhadats besar yang tentu saja tidak akan bisa kembali suci hanya dengan melakukan wudhu.

Sementara itu, talaa’ub berarti mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya.

Oleh sebab itu, hukum wudhu bagi wanita haid bisa saja haram jika tujuannya adalah agar bisa melakukan sebuah ibadah tertentu.

2. Sunah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang kedua adalah sunah. Hal ini bisa terjadi apabila wanita tersebut mempunyai tujuan bahwa wudhu yang ia lakukan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah haid.

Dalam keadaan seperti ini, fungsi wudhu akan berubah menjadi taqlil alhadats, yaitu meringankan dan mengecilkan hadats yang sedang dialami.

Selain itu, wudhu ini juga memiliki fungsi lain yaitu nasyaath ghusli atau untuk merangsang badan agar bisa segera mandi besar dan kembali melakukan ibadah kepada Allah SWT tanpa halangan apa pun.

3. Mubah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang terakhir menurut Masaji Antoro adalah boleh atau mubah. Atau dalam buku tersebut disebutkan bahwa hukumnya adalah tetap sunah.

Apabila wudhu seorang wanita haid itu tidak bertujuan untuk menghilangkan hadats atau ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk ‘aadah/kebiasaan seperti Tabbarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan), maka hukumnya menjadi sunah atau mubah.

Hal ini diperbolehkan karena fungsi rof’i al hadats (menghilangkan hadats) atau taqlii al hadats (meringankan atau mengecilkan) hadats tidak terjadi dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi) wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats.)

Sunah Berwudhu Sebelum Tidur untuk Wanita Haid

Wudhu tidak hanya dilakukan ketika seseorang hendak melakukan salat saja, namun wudhu juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dikerjakan sebelum tidur.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Fakta Ilmiah Amal Sunnah Rekomendasi Nabi karya Haviva.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tempat tidur), hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lalu, apakah hukum wudhu bagi wanita haid ketika ia hendak melakukan sunah ini?

Dinukil dari buku Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam karya PISS-KTB, wanita yang sedang haid tidak disunahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti.

Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata,

“Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasannya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak akan berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallahu ‘Alam.” (Syarh An-Nawawi ala Al-Muslim)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid, Muslimah Pahami Ya!


Jakarta

Wanita haid diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Namun, ada sejumlah ketentuan yang perlu diperhatikan saat hendak ziarah.

Haid atau nifas bukan halangan bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, ziarah kubur tidak dapat disamakan seperti ibadah salat, puasa, dan lain sebagainya yang harus suci dari nifas, sebagaimana dikutip dari buku Adab Berziarah Kubur untuk Wanita tulisan Mutmainah Afra Rabbani.

Adapun, dalil yang menjadi rujukan diizinkannya wanita dalam keadaan haid untuk berziarah kubur mengadu pada hadits yang berbunyi:


“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barang siapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (HR Muslim)

Menukil dari buku Kitab Fikih Wanita 4 Mazhab oleh Muhammad Utsman Al-Khasyt, pemberian izin pada hadits di atas ditujukan bagi umat Islam secara umum, baik itu wanita maupun pria.

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid

Dijelaskan dalam buku JABALKAT I Jawaban Problematika Masyarakat susunan Tim Kodifikasi ANFA Purna Siswa MHM 2015, ada sejumlah adab yang harus diperhatikan oleh wanita haid ketika melaksanakan ziarah kubur.

Pertama, ketika membaca tahlil, surah Yasin dan surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an tidak boleh diniati membaca Al-Qur’an. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang berbunyi,

“Seorang yang junub atau haid tidak diperkenankan membaca ayat Al-Qur’an.” (HR Ahmad)

Meski demikian, banyak wanita yang menunggu hingga haid atau nifasnya selesai untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, pandangan di kalangan masyarakat ialah tidak diperkenankan bagi wanita haid untuk ziarah kubur.

Walau diperbolehkan, sebaiknya wanita tidak boleh terlalu sering melakukan ziarah kubur. Masih dari sumber yang sama, dikatakan bahwa melakukan ziarah kubur maka akan membawa penyalahgunaan hak suami, karena wanita tersebut lebih sering keluar rumah dan dilihat orang lain. Apalagi ziarah tersebut disertai dengan ratapan berlebihan seperti menangis atau meraung.

Selain itu, wanita memiliki kelemahan dan kelembutan tapi tidak kesabaran. Dikhawatirkan wanita tersebut akan berkata atau melakukan perbuatan yang salah saat melakukan ziarah kubur.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

5 Kriteria Muslimah yang Dirindukan oleh Surga, Apa Saja?


Jakarta

Surga merupakan tempat yang dijanjikan oleh Allah SWT bagi siapa saja yang taat kepada-Nya semasa hidup. Dalil terkait keberadaan surga tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, salah satunya surah An Nisa ayat 13.

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar,”


Dalam sebuah riwayat, setidaknya ada empat wanita yang dijamin masuk surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabrani, Abu Daud, dan Al-Hakim)

Selain keempat wanita yang dijelaskan dalam hadits tersebut, ada juga kriteria muslimah yang dirindukan oleh surga. Seperti apa? Berikut pemaparannya yang dinukil dari buku Reuni Ahli Surga susunan Ahmad Abi Al-Musabbih.

Kriteria Muslimah yang Dirindukan Surga

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits,

“Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad)

Berdasarkan riwayat tersebut, berikut kriteria muslimah yang dirindukan surga.

1. Menjaga Salat Lima Waktu

Sebagaimana yang kita ketahui, salat fardhu adalah kewajiban setiap umat Islam. Amalan ini juga menjadi yang pertama kali dihisab pada hari akhir kelak. Tak heran, muslimah yang menjaga salat lima waktunya akan dirindukan oleh surga.

2. Berpuasa di Bulan Ramadan

Puasa termasuk ke dalam rukun Islam. Tidak hanya laki-laki, wanita sekalipun juga wajib melaksanakan puasa Ramadan. Meski ada halangan biologis karena haid, mereka masih diberi kesempatan untuk melunasi hutang puasanya di luar bulan Ramadan.

3. Menghindari Zina

Zina adalah perbuatan dosa besar dan dilarang keras dalam Islam. Karenanya, wanita yang menghindari zina termasuk ke dalam golongan orang yang dirindukan surga.

4. Taat pada Suami

Setelah menikah, seorang muslimah harus taat pada suaminya. Namun perlu dipahami, suami yang dimaksud ialah yang dapat menuntun keluarganya menuju kebaikan, baik dari segi agama maupun kehidupan sosial.

5. Wanita yang Sabar

Terkait kriteria ini, dalam surah Al Ahzab ayat 35 Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa ada sejumlah kriteria untuk mereka yang ingin mendapat ampunan dan pahala yang besar, termasuk wanita yang sabar. Dengan demikian, sabar akan mengantarkan pada ampunan Allah SWT dan dari ampunan itu maka seseorang bisa mendapat rahmat-Nya yang berupa surga.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Wanita yang Dinikahi Rasulullah pada Bulan Syawal



Jakarta

Syawal termasuk bulan yang baik untuk menikah karena Rasulullah SAW meminang istri-istrinya pada bulan tersebut. Menurut sejarah, ada dua wanita yang beliau nikahi pada bulan Syawal tapi dalam tahun yang berbeda.

Sebenarnya di dalam Islam tidak ada waktu khusus untuk melangsungkan pernikahan. Semua hari tidak ada yang memiliki larangan untuk melangsungkan pernikahan selama sesuai dengan syariat Islam.

Dalam sejumlah Kitab Sirah dikatakan, Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan dengan Aisyah RA pada bulan Syawal. Menurut Sirah Aisyah Ummul Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi, pernikahan itu terjadi di Makkah 2 tahun sebelum hijrah, ada yang berpendapat 3 tahun sebelum hijrah.


Pada saat itu, Aisyah RA berusia 6 tahun dan ada yang berpendapat 7 tahun. Rasulullah SAW mulai tinggal serumah dengan istri ketiganya itu pada bulan Syawal setelah Perang Badar tahun ke-2 H.

Yola Hemdi dalam buku Rahasia Rumah Tangga Rasulullah, menjelaskan mengenai Rasulullah SAW yang melangsungkan pernikahannya pada bulan Syawal.

Rasulullah SAW melangsungkan pernikahannya di bulan Syawal dengan Aisyah RA bertujuan untuk melakukan pendobrakan atas tradisi Arab sebelum Islam yang menganggap bahwa Syawal merupakan bulan sial untuk melangsungkan akad tertentu, termasuk menikah.

Nabi Muhammad SAW menepis anggapan masyarakat jahiliyah pada masa itu dengan cara menikahi Aisyah RA dan menghapus ajaran yang salah tentang kesialan apabila menikah pada bulan Syawal.

Beberapa keutamaan menikah di bulan Syawal antara lain menepis anggapan orang jahiliyah bahwa kesialan akan menghantui hidup bagi siapa yang menikah pada bulan Syawal dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang juga melangsungkan pernikahan pada bulan itu.

Hal itu juga dijelaskan oleh Weda S. Atmanegara dalam buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah.

Awalnya bangsa Arab menganggap bahwa menikah dengan putri teman yang telah dianggap saudara sendiri adalah perbuatan terlarang. Itulah yang terjadi ketika Abu Bakar RA merasa ragu menerima pinangan Rasulullah SAW yang disampaikan melalui Khaulah.

Maka Rasulullah SAW kemudian menjelaskan bahwa Aisyah RA halal untuk beliau nikahi, bahwa hubungan persaudaraan antara beliau dan Abu Bakar RA adalah ikatan persaudaraan seagama.

Bangsa Arab juga tidak mau menikah atau menikahkan putri mereka di bulan Syawal. Mereka terpengaruh akan adanya mitos penyakit sampar yang melanda pada bulan Syawal. Maka, Rasulullah SAW berniat untuk menghilangkan kepercayaan tidak berdasar ini dan menikahi Aisyah RA di bulan Syawal.

Aisyah RA sendiri menganjurkan kepada keluarganya untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawal. Ia berkata, “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal. Kami juga mulai hidup bersama pada bulan Syawal. Adakah istri Rasulullah SAW yang lebih beruntung dibandingkan aku?” (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, dan Baihaqi)

Bangsa Arab juga terbiasa untuk menyalakan api di hadapan mempelai. Seorang suami juga mendatangi istrinya pertama kali dengan ditandu. Dalam riwayat Imam Bukhari dan Qustulani kemudian menyatakan bahwa Rasulullah SAW menghapus kebiasaan tersebut.

Selain Aisyah RA, Rasulullah SAW juga menikahi Ummu Salamah pada bulan Syawal.

Merujuk pada Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kelengkapan Tarikh Rasulullah, Rasulullah SAW menikah dengan Ummu Salamah pada bulan Syawal tahun 4 H. Ummu Salamah memiliki nama lengkap Hindun binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib.

Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah merupakan istri dari Abu Salamah bin Abdul Asad. Ia merupakan istri Nabi Muhammad SAW yang paling akhir meninggal dunia.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membayar Utang Puasa Ramadan bagi Wanita



Jakarta

Bagi setiap muslim yang baligh dan berakal wajib untuk melaksanakan puasa Ramadan, tidak terkecuali seorang wanita. Apabila seorang wanita memiliki udzur diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan dihitung sebagai utang puasa.

Syaikh Ali Raghib dalam buku Ahkam Ash-Sholah: Panduan Lengkap Hukum-Hukum Seputar Sholat mengatakan, keringanan meninggalkan puasa bagi wanita ini bersandar pada hadits yang berbunyi,

“Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dari shaum dan sebagian salatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya.” (HR Bukhari dan Muslim)


Dijelaskan lebih lanjut, wanita yang meninggalkan puasa memiliki kewajiban membayar utang tersebut di luar bulan Ramadan. Dalam hal ini, hukum membayar utang puasa Ramadan bagi wanita adalah wajib.

Adapun, bagi wanita hamil dan menyusui juga memiliki kewajiban untuk meng-qadha puasa yang ditinggalkannya. Hal itu didasarkan pada alasan karena mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara diqadha.

Ketetapan ini disampaikan oleh Ibn Abbas RA yang menyatakan,

اِنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أتِي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: اَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنُ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ أُمَك

Artinya: “Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya? Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim)

Abdul Syukur al-Azizi dalam buku Lengkap Fiqh Wanita: Manual Ibadah dan Muamalah Harian Muslimah Shalihah turut menjelaskan kewajiban membayar utang puasa bagi wanita.

Dikatakan, bagi wanita yang meninggalkan puasa karena haid dan nifas wajib meng-qadha puasa dan tidak perlu membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) setelah berakhirnya bulan Ramadan hingga bulan Sya’ban.

Dalam membayar utang puasanya, seorang wanita boleh melakukannya pada hari di mana pun ia mampu berpuasa, boleh mengakhirkannya selama belum datang bulan Ramadan berikutnya. Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah RA yang berkata, ” Aku punya utang puasa Ramadan dan aku tidak mampu membayarnya, kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim)

Menurut Imam Ibnu Qudamah, andaikan mengakhirkan membayar utang puasa Ramadan boleh lewat Ramadan berikutnya, tentulah akan dikerjakan oleh Aisyah RA.

Tata Cara Qadha Puasa bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Masih di dalam buku yang sama, bagi wanita hamil dan menyusui waktu meng-qadha puasa, harus melaksanakannya antara bulan Ramadan yang sudah dijalani sampai datang bulan Ramadan berikutnya. Akan tetapi, cara meng-qadha puasa bagi wanita hamil dan menyusui berbeda dengan wanita haid. Berikut penjelasannya,

  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila berpuasa, maka ia hanya wajib meng-qadha puasa tanpa harus membayar fidyah pada hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.

Kondisi ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 184,

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah hatinya, hanya diwajibkan untuk meng-qadha puasa tanpa harus membayar fidyah. Ia hanya wajib mengganti puasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan ketika telah sanggup melaksanakannya. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i sepakat dengan hal tersebut.
  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan buah hati saja, maka diperbolehkan untuk meninggalkan ibadah puasa. Terkait kondisi ini beberapa ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat hanya wajib qadha saja tanpa membayar fidyah.

Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang hanya mengkhawatirkan bayinya, wajib meng-qadha puasa sekaligus membayar fidyah.

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas RA berkata, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR Abu Dawud yang dishahihkan oleh Syekh Albani dalam Irwa’ul Ghalil)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Wanita Muslimah Diwajibkan Memakai Jilbab?



Yogyakarta

Dalam Islam, seringkali dikatakan bahwa wanita sebaiknya menggunakan jilbab. Apa alasannya?

Jilbab merupakan bagian dari hijab (pakaian wanita) yang menutupi dari kepala hingga badan. Wanita dianjurkan untuk menggunakan jilbab untuk menutupi auratnya.

Disebutkan dalam buku Wanita, Jilbab & Akhlak oleh Halim Setiawan, semua badan wanita adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangannya. Seorang wanita muslimah yang sengaja membuka auratnya pada orang bukan muhrimnya, maka ia telah berbuat dosa.


Karena itulah, menutup aurat dihukumi wajib dan biasanya mengenakan jilbab bagi wanita muslimah sama halnya seperti kewajiban-kewajiban lain seperti sholat, puasa, dan zakat.

Kewajiban Menggunakan Jilbab dalam Al-Qur’an dan Hadits

Kewajiban berjilbab dalam Al-Qur’an salah satunya diterangkan dalam surat Al-Ahzab ayat 59, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab: 59).

Melalui ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum perempuan hendaknya mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya ketika keluar rumah. Hal yang demikian itu dilakukan supaya mereka berbeda dari budak perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Zaitunah Subhan dalam buku Al-Qur’an dan Perempuan.

Tentunya, mengenakan jilbab juga disertai dengan pakaian yang sesuai dengan tuntunan syariat, seperti menutup aurat, tidak menerawang, dan tidak ketat yang menampakkan lekuk tubuh perempuan.

Selain itu, perintah mengenakan jilbab dalam Al-Qur’an juga dijelaskan dalam surat An-Nur ayat 31, sebagaimana firman Allah SWT:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS An-Nur: 31).

Ayat tersebut secara jelas menunjukkan ketidakbolehan menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki yang bukan mahram sekaligus dalil tentang wajibnya menggunakan jilbab.

Sementara itu, hadits yang menjelaskan bahwa wanita sebaiknya menggunakan jilbab diterangkan dalam sebuah riwayat dari Ummu ‘Athiyyah, beliau berkata:

“Kamu diperintahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha agar menyuruh keluar mereka, yaitu gadis-gadis muda, perempuan-perempuan yang sedang haid, dan perempuan-perempuan pingitan. Adapun perempuan-perempuan yang sedang haid mereka menjauhi tempat sholat, mereka menyaksikan kebaikan dan undangan kaum muslimin.”

Beliau berkata lagi, “Wahai Rasulullah! Seseorang di antara kami tidak memiliki jilbab.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia miliki.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Hajar, hadits tersebut menjadi dalil dilarangnya perempuan keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab.

Dengan demikian, alasan wanita sebaiknya menggunakan jilbab yaitu karena anjuran tersebut telah diperintahkan dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai hal yang wajib dilakukan oleh kaum perempuan baligh untuk menutup auratnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com