Tag Archives: hukum

Apakah Resepsi Pernikahan Wajib dalam Islam?


Jakarta

Resepsi pernikahan menyajikan jamuan makanan yang dalam Islam disebut dengan walimah. Apakah acara perayaan ini wajib dalam Islam?

Menurut penjelasan dalam buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan dalam Islam tulisan Sakban Lubis dan Muhammad Yuan, pengertian walimah pernikahan berasal dari Arab yang artinya makanan pengantin atau makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan.

Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur Arab yang secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perkawinan.


Sedangkan walimatul ursy dijelaskan oleh Achmad Ngarifin dalam buku Fikih Pernikahan, secara bahasa “walimah” berarti hidangan, sedangkan “ursy” bermakna pernikahan, yang artinya adalah makanan dan yang dihidangkan karena ada sebuah acara pernikahan.

Menurut Imam As-Syafi’i walimah tidak hanya terkhusus pada pernikahan saja, akan tetapi setiap undangan yang dilaksanakan karena datangnya suatu kebahagiaan seperti khitan, dan juga kelahiran. Meskipun secara umum walimah hanya tertuju pada pernikahan saja.

Namun secara definisi, walimatul ‘ursy tidaklah jauh berbeda dengan acara resepsi yang biasa dilakukan oleh masyarakat karena di dalam acara tersebut pasti disediakan hidangan bagi para tamu yang hadir. Hanya saja kalau dalam acara resepsi pasti terdapat susunan acara sesuai dengan tradisi yang berkembang di berbagai kalangan.

Intinya selama di dalam acara tersebut terdapat hidangan yang disuguhkan bagi para tamu yang hadir sebagai bentuk rasa syukur atas datangnya suatu kebahagiaan maka hal itu sudah bisa dikatakan walimah.

Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 21 tentang pernikahan yang berbunyi:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Hukum Resepsi Pernikahan dalam Pernikahan Islam

Ada dalil yang mendasari resepsi pernikahan yang disebut jadi salah satu sunnah Rasulullah SAW karena beliau sendiri pernah mengadakan walimah setelah menikahi istri-istri beliau, seperti dalam riwayat:

أَنَّهُ أَوْلَمَ عَلَى بَعْضٍ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعْيْرٍ وَأَنَّهُ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَسَمِنٍ وَأَقِطٍ

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melaksanakan walimah atas sebagian istri-istri beliau dengan dua mud jagung, dan sesungguhnya Rasulullah juga melakukan walimah atas Shofiyah dengan kurma, samin dan aqith.” (HR Bukhari)

Hukum walimah menurut paham jumhur ulama adalah sunnah muakkad, bagi suami yang sudah rasyid, atau bagi wali dari suami yang belum rasyid jika harta diambil dari wali suami tersebut. Sedangkan jika harta tersebut diambil dari harta suami yang belum rasyid maka hukumnya haram mengadakan walimatul ‘ursy.

Adapun jika yang mengadakan walimatul ‘ursy dari pihak istri, hukumnya tetap sunnah selama atas izin dari suami. Seperti yang sering terjadi di sebagian kalangan masyarakat di mana prosesi akad nikah dilangsungkan di rumah mempelai wanita lalu dilanjutkan dengan acara resepsi. Kalau memang acara tersebut atas persetujuan dari mempelai pria maka sudah bisa dikatakan walimah dan mendapatkan kesunahannya dengan catatan acara yang dilangsungkan setelah prosesi akad nikah selesai.

Seseorang yang memiliki istri lebih dari satu walimah tersebut juga sunah dilakukan lebih dari satu kali, akan tetapi jika sang suami hanya mengadakan satu kali walimah untuk semua istrinya maka hukumnya boleh dan tetap mendapatkan kesunahan walimah.

Dalam melaksanakan walimah tidak ada batasan minimal untuk bisa mendapatkan kesunahan. Akan tetapi, jika mampu hendaknya minimal dengan satu ekor kambing karena satu ekor kambing adalah batas minimal kesempurnaan dalam kesunahan walimah.

Syarat Walimatul Urs’y

Ali Mansur dalam buku berjudul Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam menyebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan resepsi pernikahan, baik untuk orang yang akan menyelenggarakan (shahibul hajat) maupun bagi para undangannya:

1. Undangannya Harus Merata

Jika shahibul hajat termasuk orang yang mampu atau kaya, undangannya harus merata, terdiri dari semua lapisan masyarakat. Tidak boleh hanya orang-orang kaya yang diundang, tetapi orang-orang miskin juga harus diundang.

Hal ini berdasarkan hadits berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ: عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ : شَرَّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Artinya: “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Malik telah mengabarkan kepada kami: Dari Ibnu Syihab, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, sesungguhnya dia berkata: Seburuk-buruk makanan walimah ialah: Orang-orang kaya yang diundang, sedangkan orang-orang miskin ditinggalkan, dan barang siapa yang meninggalkan suatu undangan, maka sungguh dia telah meningkari Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari, no. 5177)

Adapun pemahaman penting yang bisa dipetik dari hadits tersebut, di antaranya:

  • Undangan tersebut bisa mempererat hubungan antar sesama muslim, yang terdiri dari berbagai strata dan status sosial, sehingga dapat mengurangi kesenjangan (gap) antara orang kaya dan orang miskin.
  • Jika ditinjau dari segi ekonomi, orang kaya itu secara materi sudah tercukupi semua kebutuhan pokoknya termasuk dalam perihal makanan, mereka setiap hari bisa makan makanan yang lezat dan bergizi, sedangkan bagi orang miskin belum tentu setiap hari bisa makan, apalagi untuk makan makanan yang lezat dan bergizi. Maka makanan yang dihidangkan dalam walimah tersebut bisa dinikmati oleh semua orang, sehingga tidak ada yang terbuang sia-sia (mubazir).
  • Dari segi komunikasi, agar pesan yang ingin disampaikan oleh shahibul hajat tentang adanya pernikahan bisa tercapai, karena dapat menjangkau semua lapisan masyarakat.
  • Doa orang miskin itu mustajab, sehingga kehadiran mereka di suatu acara walimah turut memberikan kontribusi doa kepada shahibul hajat, agar acara tersebut mendapatkan keberkahan dan keridhoan dari Allah Ta’ala.

Namun jika orang yang mempunyai hajat itu orang miskin, atau tidak mampu secara materi, atau situasi dan kondisinya sedang sulit, yang diundang boleh dibatasi, misalnya keluarga, tetangga dan teman dekat saja.

2. Diutamakan dari Orang-orang yang Terdekat dan Kenalan

Diutamakan dari keluarga terdekat, tetangga dan teman-teman terdekat, serta siapa saja yang dikenal. Hal ini berdasarkan hadits:

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ : عَنْ بَيَانٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُوْلُ : بَنَى
النَّبِيُّ عَ بِإِمْرَأَةٍ ، فَأَرْسَلَنِي فَدَعَوْتُ رِجَالًا إِلَى الطَّعَامِ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Artinya: “Malik bin Isma’il telah menceritakan kepada kami: Zuhair telah menceritakan kepada kami: Dari Bayan, dia berkata; Aku mendengar Anas berkata; Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi seorang wanita, lalu beliau mengutusku, maka aku mengundang beberapa orang untuk makan-makan.” (HR Bukhari, no. 5170)

3. Hidangannya Halal dan Baik

Halal menyangkut pada semua bahan dan proses pengolahan, serta penyajiannya, sedangkan baik berkaitan dengan adat dan kemaslahatan (kesehatan) masyarakat.

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 88,

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ تُؤْمِنُوْنَ (۸۸)

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”

4. Hidangannya Berupa Makanan Pokok Masyarakat Setempat

Hidangannya lebih baik berupa makanan pokok yang telah dimasak (siap makan), sehingga orang yang diundang bisa langsung memakannya.

Hal ini berdasarkan hadits berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ: عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ: أَوْ لَمَ النَّبِيُّ عَلَى بَعْضٍ نِسَائِهِ بِمُدَّتَيْنِ مِنْ شَعِيرٍ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Artinya: “Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Sufyan telah menceritakan kepada kami: Dari Manshur bin Shafiyah, dari Ibunya Shafiyah binti Syaibah, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengadakan walimah untuk sebagian istri-istrinya dengan dua mud gandum.” (HR Bukhari, no. 5172)

Bagi orang yang mampu, hendaknya memberikan hidangan masakan daging, namun jika tidak mampu, cukup seadanya, disesuaikan dengan kemampuan shahibul hajat. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ: عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: مَا أَوْ لَمَ النَّبِيُّ هِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبٍ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Artinya: “Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami: Hammad telah menceritakan kepada kami: Dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah mengadakan walimah yang lebih baik terhadap istri-istrinya sebagaimana beliau mengadakan walimah atas Zainab, beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR Bukhari, no. 5168)

5. Tidak Ada Hal-Hal yang Dilarang Syari’at

Meliputi segala aspek yang berkaitan dengan walimah secara umum, misalnya tidak ada unsur syirik dalam waktu penyelenggaraan walimah, dengan percaya terhadap ramalan dukun yang menetapkan pelaksanaanya berdasarkan weton. Sehingga terkadang waktu-waktu yang baik dalam Islam malah dianggap buruk, dan tidak boleh menyelenggarakannya.

Hal ini berdasarkan surah Al-Maidah ayat 2,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا شَهْرَ الْحَرَامِ … (۲)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram…”

6. Shahibul Hajat Harus Mempersiapkan Walimah dengan Baik

Penyelenggara hajat tentu harus mempersiapkan dengan baik. Meliputi berbagai hal yang diperlukan dalam acara walimatul ursy, sehingga bisa terlaksana dengan baik, misalnya hidangannya, tempatnya, perlengkapannya, dan yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits berikut:

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: عَنْ جَابِرٍ، عَنِ الشَّعْبِي، عَنْ مَشْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ وَأُمُّ سَلَمَةَ قَالَتَا أَمَرَ نَا رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نُجَهْزَ فَاطِمَةَ حَتَّى نَدْخُلَنَا عَلَى عَلِيّ. فَعَمَدْنَا إِلَى الْبَيْتِ. فَفَرَ شُنَاهُ تُرَابًا لَيْنَا مِنْ أَعْرَاضِ الْبَطْحَاءِ. ثُمَّ خَشَوْنَا مِرْ فَقَتَيْنِ لِيْفًا، فَنَفَشْنَاهُ بِأَيْدِيْنَا. ثُمَّ أَطْعَمْنَا تَمْرًا وَزَبِيْبًا وَسَقَيْنَا مَاءً عَذْبًا وَعَمَدْنَا إِلَى عُوْدٍ، فَعَرَضْنَاهُ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ لِيُلْقَى عَلَيْهِ الثَّوْبُ وَيُعَلَّقُ عَلَيْهِ السِّقَاءُ فَمَا رَأَيْنَا عُرْسًا أَحْسَنَ مِنْ عُرْسِ فَاطِمَةَ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ)

Artinya: “Suwaid bin Said telah menceritakan kepada kami: Al-Fadlal bin Abdullah telah mengabarkan kepada kami: Dari Jabir, dari Syu’bi, dari Masyruq, dari Aisyah dan Umu Salamah, keduanya berkata: Rasulullah memerintahkan kami untuk mempersiapkan Fathimah hingga kami mempertemukannya dengan Ali. kami pergi ke rumah dan membentangkan tanah lunak dari sisi saluran air, kemudian kami mengisi dua bantal dengan serabut dan kami ratakan dengan tangan-tangan kami. Setelah itu kami hidangkan kurma dan kismis, kami beri minum dengan air yang segar, lalu kami mengambil sebatang kayu dan kami pasang di sisi rumah untuk menyentelkan baju dan menggantungkan tempat air minum. Kami tidak pernah melihat pesta pernikahan yang seindah dari pesta pernikahan Fathimah.” (HR Ibnu Majah)

7. Waktu Penyelenggaraannya Tidak Melebihi Dua Hari

Karena dikhawatirkan menimbulkan sifat sum’ah bagi shahibul hajat, sehingga niatnya sudah bergeser menjadi ingin mendapat pujian dari orang lain. Sebaiknya waktu penyelenggaraan acara tidak melebihi dua hari.

Hal ini berdasarkan hadits berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْبَصْرِيُّ: أَخْبَرَنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: أَخْبَرَنَا عَطَاءُ بنُ السَّائِبِ: عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله : طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ وَمَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ. رَوَاهُ التَّرْمِذِيُّ)

Artinya: “Muhammad bin Musa Al-Bashri telah menceritakan kepada kami: Ziyad bin Abdullah telah mengabarkan kepada kami: Atha’ bin Sa’ib telah mengabarkan kepada kami: Dari Abu Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Makanan walimah pada hari pertama adalah wajib, dan pada hari kedua adalah sunnah, dan pada hari ketiga adalah sumah (ingin didengar). Barang siapa yang sumah, maka Allah akan menjadikannya sumah.” (HR Tirmidzi)

(lus/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Arisan Online dengan Sistem Denda bagi yang Telat Bayar


Jakarta

Arisan merupakan salah aktivitas sosial yang cukup mengakar kuat di masyarakat Indonesia sebagai bentuk kebersamaan dan tolong-menolong. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara berkala oleh kelompok tertentu untuk saling memberikan giliran menerima sejumlah uang.

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet, arisan kini banyak dilakukan secara online melalui media sosial dan aplikasi digital. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan, terutama terkait hukum arisan online dalam Islam, termasuk praktik pemberian denda bagi peserta yang telat membayar iuran.

Hukum Arisan Online

Mengutip laman Kemenag, arisan dengan sistem undian dan giliran dianggap sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Hal ini merujuk pada pendapat Imam Al-Iraqi yang dikutip dalam kitab Hasyiah Al-Qalyubi wa Umairah bahwa praktik arisan semacam ini tidak bertentangan dengan prinsip syariah.


الْجُمُعَةُ الْمَشْهُورَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِأَنْ تَأْخُذَ امْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ أَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ، إلَى آخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ.

Artinya: “Adapun perkumpulan yang umum di antara sekelompok perempuan di mana seorang perempuan mengambil sejumlah uang tertentu dari setiap anggota perempuan dalam perkumpulan tersebut, yang kemudian diberikan kepada anggota lain secara bergantian, maka hukumnya boleh.”

Mengenai arisan online, pada prinsipnya sama saja. Selagi ada kesepakatan, keikhlasan, serta keadilan dari semua pihak yang mengikuti arisan online, maka hukumnya adalah boleh. Bahkan, konsep arisan ini bisa dibilang seperti menabung.

Dikutip dari jurnal berjudul Perberlakuan Denda dalam Arisan Online Perspektif Fikih Muamalah oleh Alfi Atuz dari UIN Malang, hukum arisan online dalam Islam berkaitan erat dengan konsep qardh atau utang. Dalam pandangan syariah, qardh merupakan bentuk akad sosial yang bertujuan memberikan bantuan kepada sesama.

Tujuan utama dari qardh adalah menolong orang lain dengan cara meminjamkan sebagian harta kepada saudaranya. Akad ini tidak bersifat komersial dan tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan.

Dalam konteks arisan online, prinsip qardh diterapkan karena peserta saling memberikan dana dalam bentuk giliran. Artinya, peserta yang belum mendapat giliran pada dasarnya sedang meminjamkan uangnya kepada peserta yang sudah menerima arisan.

Qardh memiliki tiga rukun utama yang harus dipenuhi dalam akadnya. Pertama adalah sighot (ucapan), yakni adanya ijab dan qabul yang menunjukkan kesepakatan antar pihak yang terlibat.

Kedua, harus ada pihak yang berakad, yaitu muqridh (pemberi pinjaman) dan muqtaridh (peminjam). Ketiga adalah ma’qud ‘alaih, yaitu harta atau dana yang menjadi objek pinjaman; dalam hal ini adalah uang arisan yang diberikan secara bergiliran. Arisan online sudah memenuhi rukun-rukun ini.

Hukum Pemberlakuan Denda dalam Arisan

Masih dikutip dari jurnal yang sama, penerapan denda dalam arisan online yang meskipun nantinya didistribusikan ke semua anggota dianggap mengandung unsur riba jahiliyah dan riba qardh, sehingga bertentangan dengan prinsip fikih muamalah yang melarang riba dan menuntut keadilan.

Praktik pemberian denda dalam arisan online dapat digolongkan sebagai bentuk riba. Ini karena adanya tambahan pembayaran yang dibebankan kepada anggota yang terlambat, melebihi jumlah iuran yang seharusnya.

Tambahan tersebut tidak dilandaskan pada prinsip keadilan dalam transaksi dan tergolong sebagai manfaat berlebih yang termasuk kategori riba. Terlebih lagi, sistem denda harian mencerminkan pola yang mirip dengan riba jahiliyyah yakni utang akan terus bertambah jika tidak segera dilunasi.

Dalam perspektif ini, praktik denda seperti itu berpotensi menekan atau mengeksploitasi peserta yang mengalami keterlambatan. Hal ini menjadi lebih tidak adil jika keterlambatan terjadi karena alasan yang tidak disengaja, seperti lupa atau kesulitan ekonomi.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Menjual Barang Pre-order yang Belum Dimiliki


Jakarta

Sistem jual beli telah mengalami perkembangan pesat dari masa ke masa. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat.

Salah satu metode yang kini menjadi tren di kalangan masyarakat modern adalah sistem pre-order, yang memungkinkan pembeli memesan barang sebelum barang tersebut tersedia secara fisik.

Namun, sistem pre-order ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslimin mengenai keabsahannya menurut hukum Islam. Banyak yang bertanya-tanya, apakah sistem jual beli seperti ini sah dilakukan menurut syariat? Bagaimana Islam memandang transaksi barang yang belum dimiliki saat akad dilakukan?


Hukum Pre-Order dalam Islam

Pre-order adalah sistem jual beli yang dilakukan dengan cara memesan dan membayar barang terlebih dahulu sebelum barang tersebut tersedia atau diproduksi. Penjual kemudian menyiapkan dan mengirimkan barang sesuai kesepakatan waktu dan spesifikasi yang telah ditentukan saat pemesanan.

Menurut Buya Yahya di dalam kanal YouTube-nya, metode jual beli pre-order hukumnya adalah boleh atau tidak haram. Dalam Islam, transaksi seperti ini dinamakan dengan akad salam.

Akad salam merupakan salah satu bentuk transaksi dalam Islam yang berupa pembayaran dilakukan di awal, sementara barang diserahkan di kemudian hari. Transaksi ini didasarkan pada kesepakatan waktu dan spesifikasi barang yang jelas sejak awal akad.

Saat akad, pembeli langsung melunasi harga barang. Sementara penjual memiliki kewajiban untuk menyerahkan barang pada waktu yang telah disepakati. Jenis transaksi ini memberikan kepastian bagi kedua belah pihak dalam hal hak dan kewajiban masing-masing.

Ini sejalan dengan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa saat Rasulullah SAW tiba di Madinah, penduduknya telah menerapkan akad salam untuk hasil panen yang akan datang dalam kurun waktu satu, dua, atau tiga tahun. Kemudian, Rasulullah bersabda,

من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم إلى أجل معلوم (مُتَّفَق عليه)

Artinya: “Barang siapa melakukan akad salam dalam suatu barang, hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan waktu penyerahan yang jelas.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem pre-order, Buya Yahya menjelaskan bahwa penjual wajib memberikan deskripsi yang jelas dan rinci tentang barang yang ditawarkan. Selain itu, penjual juga harus memastikan untuk memproduksi dan menyerahkan barang tersebut sesuai kesepakatan yang telah dibuat dengan pembeli.

Syarat Pre-order dalam Islam

Dalam transaksi pre-order yang termasuk ke dalam akad salam, terdapat beberapa hal-hal yang harus dipenuhi. Berikut ini adalah syarat akad salam.

1. Syarat Pelaku Akad (al-‘Aqidain)

  • Sama seperti jual beli biasa, para pelaku akad wajib balig, berakal, serta punya kemampuan untuk memilih (ikhtiar).
  • Akad salam boleh dilakukan oleh orang buta, karena barang yang dijual (muslam fih) bersifat utang yang dideskripsikan, bukan barang yang harus dilihat secara langsung seperti pada jual beli biasa.

2. Syarat Lafal (Shighat Ijab Qabul)

  • Ijab dan qabul harus dilakukan dalam satu majelis dan ada kesesuaian antara penawaran dan penerimaan.
  • Akad harus diucapkan dengan lafal “salam” atau “salaf”; lafal lain tidak sah.
  • Tidak diperbolehkan adanya khiyar syarat, karena hal ini menunda penyerahan harga di majelis akad, dan hal tersebut dilarang dalam akad salam.

3. Syarat Modal (Ra’sul Mal)

  • Kedua belah pihak harus mengetahui dengan jelas jumlah serta sifat modal atau pembayaran.
  • Pembayaran harus dilakukan tunai saat akad dan di majelis akad, sebelum kedua pihak berpisah secara fisik, agar tidak termasuk transaksi utang dengan utang yang dilarang dalam Islam.

4. Syarat Barang yang Dijual (Muslam Fih)

  • Harus bisa dideskripsikan dengan jelas, sehingga tidak menimbulkan ketidakjelasan (gharar).
  • Jenis, kualitas, kuantitas, dan sifat barang harus diketahui oleh kedua belah pihak.
  • Harus dari satu jenis saja, tidak boleh dicampur dengan jenis lain, seperti biji gandum dengan jenis lain, atau parfum misk dengan ambar.
  • Barang yang dijual harus berupa utang dalam tanggungan, bukan barang yang sudah ditentukan wujudnya. Jika wujud barang sudah ditentukan, akad salam menjadi tidak sah.
  • Barang harus diserahkan sesuai jenis dan waktu yang telah disepakati, tidak boleh diganti dengan barang lain (misalnya: gandum diganti dengan mentega).
  • Waktu penyerahan barang harus ditentukan secara jelas. Tidak sah jika waktunya samar, seperti “sampai panen” atau “sampai seseorang datang dari perjalanan.”
  • Tempat penyerahan juga harus ditentukan, terutama jika tempat akad tidak memungkinkan untuk penyerahan atau jika ada biaya tambahan untuk pengiriman.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membeli Emas Secara Cicilan dalam Islam


Jakarta

Cicilan biasanya menjadi pilihan saat seseorang ingin membeli barang tetapi uang yang dimiliki belum mencukupi. Cicilan memang terkesan memudahkan pembelian berbagai barang, termasuk emas, yang nilainya cukup tinggi.

Praktik pembelian dengan sistem cicilan sudah cukup umum dilakukan, untuk berbagai kebutuhan, termasuk membeli emas. Bahkan kini tersedia layanan cicilan online yang semakin mempermudah proses transaksi.

Namun, dalam transaksi kredit atau cicilan, biasanya terdapat tambahan biaya dari harga asli barang yang dibeli. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam tentang hukum membeli emas secara cicilan menurut syariat.


Hukum Cicilan dalam Islam

Dalam kajian fikih, sistem pembayaran secara angsuran dikenal dengan istilah jual beli taqsith. Transaksi ini dilakukan terhadap suatu barang dengan metode pembayaran bertahap sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan bahwa transaksi kredit atau cicilan kerap dikaitkan dengan unsur riba. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba diartikan sebagai tambahan (ziyadah) tanpa adanya imbalan (‘iwadh) yang timbul akibat penundaan pembayaran (ziyadah al-ajal) sebagaimana disepakati sejak awal. Jenis ini dikenal sebagai riba nasi’ah.

MUI menilai bahwa praktik pembungaan uang yang terjadi saat ini telah memenuhi unsur-unsur riba sebagaimana yang dilarang pada masa Rasulullah SAW, yaitu riba nasi’ah.

Oleh karena itu, aktivitas pembungaan uang termasuk dalam kategori riba dan hukumnya adalah haram dan tidak diperkenankan dalam Islam. Larangan ini berlaku untuk semua bentuk lembaga keuangan baik bank, asuransi, pasar modal, koperasi, hingga individu yang melakukan praktik serupa.

Membeli Emas dengan Cicilan

Menurut Buya Yahya dalam video Hukum Kredit Emas di kanal YouTube Al Bahjah TV, transaksi jual beli emas harus dilakukan secara tunai. Artinya, emas dan uang sebagai alat tukar harus diserahkan di waktu yang bersamaan.

Jika emas sudah diterima terlebih dahulu sedangkan pembayaran belum dilakukan secara penuh, maka transaksi tersebut termasuk dalam kategori riba yad. Praktik ini dilarang dalam ajaran Islam.

Secara definisi, riba yad adalah riba yang terjadi akibat adanya penundaan dalam penyerahan salah satu dari dua barang yang diperjualbelikan. Meskipun tidak melibatkan tambahan harga, bentuk penundaan ini tetap tergolong riba.

Buya Yahya menjelaskan bahwa dalam praktik riba yad, tidak ada unsur pembungaan atau keuntungan sepihak secara nominal. Namun, karena terjadi penundaan penyerahan antara dua barang yang ditukar, hukumnya tetap haram.

Apalagi jika transaksi tersebut melibatkan tambahan nilai atau bunga dari salah satu pihak, seperti pemberi utang yang mensyaratkan pembayaran lebih dari jumlah yang dipinjam. Jenis riba seperti ini jelas termasuk riba yang diharamkan dalam Islam.

Dalam konteks jual beli emas secara cicilan, Buya Yahya menekankan pentingnya menghindari bentuk transaksi yang mengandung riba yad maupun riba nasiah. Oleh karena itu, pembayaran cicilan setelah menerima emas tidak diperbolehkan.

Sebagai solusi agar terhindar dari riba, Buya Yahya menyarankan agar pembeli menampung uangnya terlebih dahulu ke si penjual hingga jumlah harga emas terpenuhi. Setelah uangnya terkumpul, barulah melakukan transaksi jual beli emas.

Dengan skema seperti itu, transaksi menjadi seperti menabung, bukan utang-piutang. Selama tidak ada tambahan biaya atau pembungaan, dan tidak ada pihak yang dirugikan, maka transaksi tersebut diperbolehkan secara syariah.

Misalnya, seseorang ingin membeli emas seberat 10 gram dengan harga Rp 10 juta, namun belum memiliki dana penuh. Ia kemudian menyepakati dengan penjual untuk membayar secara bertahap dengan niat menabung tanpa menerima emas tersebut terlebih dahulu.

Setiap bulan, ia membayar Rp 2 juta hingga lima bulan kemudian total Rp 10 juta. Setelah seluruh pembayaran selesai, barulah penjual menyerahkan emas 10 gram tersebut kepada pembeli tanpa tambahan biaya apa pun. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam karena tidak mengandung riba.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Menabung Emas Digital Tanpa Serah Terima Fisik


Jakarta

Dalam beberapa tahun terakhir, menabung emas secara digital menjadi tren investasi yang populer di kalangan masyarakat. Layanan ini umumnya ditawarkan oleh berbagai lembaga keuangan seperti bank syariah, maupun platform fintech berbasis syariah.

Namun masih ada beberapa kalangan yang mempertanyakan hukum menabung emas digital. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Dikutip dari buku Ringkasan Shahih Bukhari 2 karya M. Nashiruddin al-Albani, Rasulullah SAW pernah menjelaskan terkait jual beli logam mulia berupa perak dan emas. Dalam sabdanya. beliau berkata,


لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

Artinya; “Janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama dengan sama, dan janganlah kalian melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual salah satunya yang tidak ada (ghā’iban) dengan yang ada (nājizan).” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa emas dan perak harus ditukar dengan sesamanya secara setara dan langsung (yadan bi yadin) jika jenisnya sama.

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,

“Emas dengan emas adalah riba kecuali hā’a wa hā’a (tunai)”

Para ulama menegaskan bahwa agar transaksi jual beli emas bebas dari unsur riba, maka transaksi tersebut wajib dilakukan secara langsung dan tunai. Artinya, emas harus diserahkan kepada pembeli di saat dan tempat yang sama saat akad dilakukan.

Jika emas hanya tercatat dalam sistem tanpa bukti keberadaan fisik dan tanpa kemampuan untuk ditarik oleh pemiliknya, maka hal ini bisa menimbulkan unsur gharar (ketidakjelasan) dan berpotensi haram.

Prinsip serah terima langsung ini, yang dikenal dengan istilah taqabudh. Jika proses taqabudh tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dapat masuk dalam kategori riba, yang jelas dilarang dalam syariat Islam.

Hukum Jual Beli Emas Digital

Dilansir dari laman MUI, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menegaskan bahwa kepemilikan emas digital pada dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Emas digital bisa menjadi instrumen investasi yang sah dalam Islam, selama memenuhi rukun dan syarat jual beli menurut ketentuan syariah.

Meskipun diperbolehkan secara syariat, Muhammad Faishol, Lc, MA, anggota Badan Pelaksana Harian DSN-MUI menegaskan untuk tetap memperhatikan berbagai ketentuannya.

Dalam Fatwa MUI 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, yaitu: “Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murābahah, hukumnya boleh (mubāh, jā’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).”

Fatwa ini dapat menjadi landasan bahwa jual beli emas dalam bentuk digital ataupun cicilan (pada saat jual beli berlangsung emas fisik tidak tersedia, melainkan dalam bentuk digital/cicilan) dimungkinkan secara syar’i walaupun jual beli dilakukan tidak secara tunai selama emas bukan alat tukar (uang) yang resmi di sebuah negara.

Di zaman modern ini, mata uang resmi sudah tidak lagi menggunakan emas, melainkan uang fiat (mudahnya, uang fiat: uang kertas dan digital saat ini). Di Indonesia sendiri mata uang resminya adalah Rupiah, bukan emas.

Sayangnya, masih banyak praktik jual beli emas digital yang berisiko dan belum sepenuhnya sesuai dengan syariat, terutama terkait aspek kepemilikan fisik. Transaksi seperti inilah yang dilarang secara syariat.

Dalam beberapa kasus, perusahaan menawarkan emas digital kepada masyarakat, tetapi emas tersebut tidak benar-benar tersedia atau tidak pernah diserahkan kepada pembeli.

Akibatnya, banyak investor mengalami kerugian karena tidak mendapatkan hak mereka, bahkan tidak jarang emas yang dijanjikan hilang begitu saja tanpa ada penggantian.

Menabung emas digital secara prinsip dibolehkan dalam Islam, namun tetap harus memenuhi syarat yang ketat agar tidak jatuh dalam praktik yang merugikan atau melanggar syariat.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Merdeka Sekarang atau 300 Tahun Lagi



Jakarta

Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran para ulama. Mereka mendesak Soekarno memproklamasikan kemerdekaan pada Jumat Legi, 9 Ramadan 1364 H yang bertepatan dengan 17 Agustus 1945.

Dalam buku Sejarah Hukum Indonesia karya Prof Sutan Remy Sjahdeini, beberapa ulama Indonesia seperti KH Abdul Mukti, Syekh Musa, dan KH Hasyim Asy’ari berpendapat proklamasi kemerdekaan merupakan desakan para ulama. Mereka berpendapat, Soekarno kala itu tidak mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia karena dihalangi Inggris yang menyebut akan dibuat seperti Hiroshima dan Nagasaki.


Namun, para ulama mendorong dan mendesak Soekarno berani memproklamasikan kemerdekaan. Jika tidak dilakukan sekarang, kata mereka, Indonesia harus menunggu 300 tahun lagi untuk bisa merdeka.

“Menurut pendapat para ulama saat itu (bertepatan dengan hari Jumat Legi tanggal 9 Ramadan 1364 H bertepatan tanggal 17 Agustus 1945 M), karena apabila tidak segera memproklamirkan kemerdekaan negara dan bangsa kita sekarang, maka kita harus menunggu kemerdekaan negara dan bangsa ini selama 300 tahun mendatang,” tulis keterangan dalam buku tersebut.

detikHikmah belum menemukan narasi utuh untuk desakan itu. Namun, yang pasti, Soekarno minta nasihat dari para ulama untuk menentukan tanggal kemerdekaan Indonesia.

“Soekarno yang senantiasa meminta pendapat dan sumbang para ulama ketika hendak melakukan hal-hal penting, maka terkait dengan tanggal kemerdekaan Indonesia ia meminta nasihat kepada KH Hasyim Asy’ari mengenai waktu dan tanggal yang baik untuk proklamasi kemerdekaan,” tulis Rizem Aizid dalam buku Selayang Pandang K.H. Hasyim Asy’ari.

KH Hasyim Asy’ari kemudian menyarankan tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal itu bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadan 1364 H. Pemilihan hari ini juga merupakan hasil istikharah para ulama, termasuk dari KH Hasyim Asy’ari sendiri.

“Hari Jumat dipilih karena merupakan penghulu atau rajanya hari dalam seminggu, tanggal 9 merupakan angka tertinggi dalam hitungan Jawa, sedangkan bulan Ramadan menjadi ‘rajanya’ bulan dalam setahun, karena bulan ini penuh maghfirah dan bulan yang mulia dalam Islam,” jelas Rizem Aizid.

Usulan tersebut kemudian dilaksanakan Soekarno. Pada Jumat pagi pukul 10.00 WIB, dalam kondisi puasa, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat. Ia didampingi Mohammad Hatta saat membacakan teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik.

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05.
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Sholat Dhuha Tidak Boleh Dikerjakan Rutin Tiap Hari?


Jakarta

Sholat Dhuha menjadi amalan sunnah yang dianjurkan bagi umat Islam. Sholat yang dikerjakan pagi hari ini juga menjadi amalan untuk melancarkan rezeki. Namun, benarkah sholat Dhuha tidak boleh dikerjakan setiap hari?

Dalil tentang anjuran sholat Dhuha berasal dari hadits riwayat Abu Hurairah,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: أَوْصَانِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ. (رواه مسلم)


“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kawan karibku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga hal: Puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain dari Abu ad-Dardak,

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: أَوْصَانِى حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ. (رواه مسلم

“Dari Abu ad-Dardak (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu” (HR. Muslim).

Hukum Sholat Dhuha Tiap Hari

Dikutip dari buku Sholat Dhuha Dulu, Yuk karya Imron Mustofa, ada perbedaan pedapat di kalagan ulama mengenai pelaksanaan sholat Dhuha. Menurut jumhur ulama, sholat Dhuha boleh dan sunnah dikerjakan setiap hari. Mereka berdasar pada hadits berikut,

“Amal yang paling dicintai oleh Allah ialah amal yang kontinyu, walaupun sedikit.” (HR Muslim)

Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat Dhuha tidak boleh dikerjakan setiap hari karena Rasulullah SAW sama sekali tidak mencontohkannya. Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW rajin mengerjakan sholat Dhuha sehingga para sahabat mengira bahwa beliau tidak pernah meninggalkannya. Kemudian, beliau tidak terlihat lagi mengerjakan sholat tersebut sehingga para sahabat pun menyangka bahwa beliau tidak mengerjakannya lagi.

Pendapat bahwa sholat Dhuha tidak boleh dikerjakan setiap hari juga berasal dari hadits dari Aisyah RA, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah, “Apakah Nabi SAW selalu melaksanakan sholat Dhuha?” Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali beliau baru tiba dari perjalanannya” (HR. Muslim)

Dilansir dari laman Muhammadiyah, Selasa (19/8/2025), Rasulullah SAW melakukan sholat Dhuha pada sebagian waktu karena keutamaannya dan beliau meninggalkannya pada waktu lain karena takut akan difardhukan.

Nabi SAW tidak melakukan sholat Dhuha terus-menerus sebab beliau khawatir akan dijadikan fardhu. Namun ini adalah untuk beliau.

Adapun untuk umat Islam, disunnahkan untuk terus-menerus melakukannya sebagaimana dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu ad-Dardak.

Dalam hadits riwayat Abu Dzar disebutkan,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. (رواه مسلم)

Artinya : Dari Abu Dzarr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: “Hendaklah setiap pagi setiap sendi salah seorang di antara kamu melakukan sedekah. Setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, amar ma’ruf itu sedekah, nahi munkar itu sedekah. Semua itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha” (HR. Muslim).

Wallahu a’lam.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Program Sejuta Sertifikat Halal Gratis Mudahkan Pengusaha Warung Makan



Jakarta

Program Sejuta Sertifikat Halal Gratis (Sehati) mendapat sambutan antusias dari pengusaha warung makan. Mereka mengaku terbantu karena kini tidak lagi perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat halal.

Kebijakan ini berjalan setelah Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Ahmad Haikal Hasan menetapkan Keputusan Nomor 146 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Layanan Sertifikasi Halal bagi Usaha Mikro dan Kecil. Aturan tersebut diteken pada 8 Juli 2025.

Melalui aturan ini, pelaku usaha mikro dan kecil seperti warung tegal, warung padang, hingga warung sunda bisa mendapatkan Sertifikat Halal Self Declare tanpa dipungut biaya.


Salah satu yang merasakan manfaat adalah Komariyadin, pemilik warung makan Penyetan Djoeragan Ertiga di Jawa Timur. Ia mengaku bersyukur bisa memperoleh sertifikat halal secara gratis.

“Saya mengucapkan terima kasih yang pertama kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto. Sekarang warung saya bisa memiliki sertifikat halal secara gratis,” ujar Komariyadin, dalam keterangan tertulis, Minggu (24/8/2025).

Komariyadin juga menyampaikan apresiasi kepada Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Ahmad Haikal Hasan (Babe Haikal) atas program fasilitasi yang diberikan.

Ia juga menyampaikan terima kasih kepada Pendamping Proses Produk Halal (P3H) Muhammad Sholeh yang berasal dari Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H) Halal Center Cendekia Muslim, yang telah mendampingi pengurusan sertifikat halal tersebut.

“Untuk UMK seluruh Indonesia, ayo segera urus serrtifikat halal mumpung gratis. Ayo semangat terus berkembang, cintai produk lokal buatan Indonesia,” ajak Komariyadin.

Sejumlah pemilik warung makan lainnya pun mengaku merasakan manfaat nyata dari sertifikat halal. Menurut mereka, adanya sertifikasi ini bukan hanya meningkatkan kepercayaan konsumen, tetapi juga menambah jumlah pelanggan dan mendukung kemajuan usaha.

Mereka pun berharap agar program Sejuta Sertifikat Halal Gratis dapat terus berlanjut di tahun-tahun mendatang. Kebijakan ini resmi berjalan setelah Babe Haikal mengeluarkan Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Nomor 146 tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Layanan Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang Disadarkan atas Pernyataan Halal Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, yang ditetapkan pada 8 Juli 2025 lalu.

Keputusan tersebut memberikan kemudahan bagi pengusaha warung makan skala kecil untuk memperoleh Sertifikat Halal Self Declare melalui Program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati).

Menanggapi hal tersebut, Babe Haikal menegaskan sertifikasi halal tidak hanya memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat, tetapi juga menambah nilai ekonomi bagi pelaku usaha.

“Halal itu standar yang mencerminkan kualitas produk. Halal itu sehat, higienis, bersih, dan tentu saja berkualitas,” tegas Babe Haikal.

“Silahkan pegiat warung makan warteg, warsun, Warung Padang, dan sejenisnya, segera manfaatkan kesempatan mengurus sertifikat halal gratis ini mumpung masih tersedia kuota gratis dari Pemerintah,” lanjutnya.

Dengan program ini, Pemerintah berharap semakin banyak pelaku usaha yang memperoleh manfaat, sehingga ekosistem produk halal di Indonesia semakin kuat, inklusif serta produktif.

(akn/ega)



Sumber : www.detik.com

Keunggulan, Legalitas, dan Praktiknya di Indonesia



Jakarta

Sebagai seorang muslim, pasti sahabat sudah sangat familiar dengan istilah wakaf bukan? Selain wakaf secara tunai, barang, dan aset, di Indonesia terdapat pula wakaf saham.

Wakaf saham mungkin belum begitu familiar dibandingkan jenis wakaf lainnya. Namun, di Indonesia wakaf saham mulai menjadi topik yang terus digaungkan literasinya. Adapun di luar negeri seperti Turki, wakaf dengan model seperti ini sudah banyak diketahui dan dipraktikkan oleh umat Islam di sana.

Untuk mengetahui lebih jelas, mari kita bahas satu persatu mulai dari wakaf secara umum.


Pengertian Wakaf Secara Umum

Wakaf pada dasarnya adalah bentuk dari sedekah jariyah, yaitu memberikan sebagian harta yang kita miliki untuk digunakan bagi kepentingan umat atau kemaslahatan umat. Ibadah wakaf menjadi hal yang istimewa karena dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW,

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputus lah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Nasai).

Adapun yang membedakan wakaf dengan sedekah lainnya adalah nilainya yang tidak boleh berkurang dan tidak boleh juga diwariskan. Harta yang sudah diserahkan untuk wakaf akan dikelola oleh nadzir wakaf. Nadzir wakaf akan menjaga, merawat, bahkan mengembangkan harta wakaf tersebut agar berkembang dan manfaatnya lebih banyak lagi.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika memberikan arahan kepada Umar bin Khattab. Beliau bersabda “Tahanlah barang pokoknya dan sedekahkan hasilnya”.

Sehingga, bisa kita pahami bahwa prinsip wakaf adalah prinsip keabadian (ta’bidul ashli) dan prinsip kemanfaatan (tasbilul manfaah). Untuk itu, nadzir wakaf haruslah lembaga yang dipercaya, legal secara hukum, dan benar-benar memahami seluk beluk tentang syariat Islam.

Lebih baik lagi jika nadzir wakaf (orang-orang dalam lembaga wakaf) tersebut memiliki kemampuan untuk mengelola aset ekonomi dan mengembangkannya supaya tetap terjaga pokoknya dan menghasilkan surplus yang akan disalurkan kepada penerima manfaat (mauquf alaih).

Seputar Wakaf Saham

Untuk bisa berwakaf kita harus memiliki harta atau aset yang bisa diwakafkan. Misalnya uang tunai, rumah, lahan, tempat atau fasilitas umum, dan lainnya. Saham adalah salah satu hal yang bisa menjadi aset wakaf dengan jenis objek wakaf berupa aset tidak bergerak.

Secara mekanisme, pelaksanaan wakaf saham sama seperti objek wakaf lainnya. Perbedaannya hanya pada jenis objeknya saja yang berupa saham. Wakif bisa mewakafkan seluruh harta, namun tetap mempertahankan pokoknya sebagian dari wakaf. Pemanfaatannya akan disesuaikan dengan akad wakaf.

Undang-Undang Wakaf Saham di Indonesia

Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai wakaf sudah diatur dalam PP No.42 Tahun 2006, tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. Sedangkan dalam Peraturan Menteri No. 73 Tahun 2013 juga sudah disebutkan tentang cara perwakafan benda tidak bergerak dan benda bergerak selain uang. Begitupun mengenai wakaf uang sudah disebutkan dalam Fatwa MUI.

Wakaf saham sudah diakui di Indonesia dan objek wakaf saham tersebut terdiri dari:

  1. Saham Syariah yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI);
  2. Keuntungan investasi saham syariah (capital gain & dividen) dari investor saham.

Pada model yang pertama, sumber wakaf berasal dari saham syariah yang dibeli investor syariah, bukan dari keuntungan. Saham syariah yang akan diwakafkan kemudian disetor ke lembaga pengelola investasi.

Sedangkan, keuntungan yang berasal dari pengelolaan saham syariah tersebut akan disetor ke lembaga pengelola wakaf oleh pengelola investasi. Saham syariah yang sudah diwakafkan tidak bisa diubah oleh pengelola wakaf tanpa seizin pemberi wakaf dan disebutkan dalam perjanjian wakaf.

Sementara pada model yang kedua, wakaf bersumber dari keuntungan investor saham syariah. Model wakaf ini akan melibatkan AB-SOTS (Anggota Bursa Syariah Online Trading System) sebagai institusi yang melakukan pemotongan keuntungan.

Nantinya keuntungan ini akan disetor kepada lembaga pengelola wakaf. Lalu, pengelola wakaf akan mengkonversi keuntungan tersebut menjadi aset produktif seperti masjid, sekolah, lahan produktif,dan lain sebagainya.

Skema Wakaf Saham di Indonesia

Metode wakaf saham yang berkembang di Indonesia saat ini sangat memungkinkan untuk semua orang menjadi investor saham dan mewakafkan sahamnya. Model ini diklaim oleh beberapa ahli sebagai yang pertama di dunia karena bisa melibatkan semua orang, bukan hanya perusahaan saja.

Karena setiap orang bisa menjadi investor wakaf saham, investor ini kemudian disebut sebagai wakif (yang mewakafkan sahamnya). Untuk bisa berwakaf, maka harus ada akta ikrar atau akad atau pernyataan. Jenis akadnya adalah wakalah dan dikeluarkan oleh nadzir wakaf.

adv dompet dhuafa

Berdasarkan IDX 6th Indonesia Sharia Economic Festival tahun 2019, Indonesia sudah memiliki skema dan cara lengkap investasi syariah dalam bentuk wakaf saham. Di Pasar Saham Indonesia, saham harus berpindah melalui anggota bursa.

Hal itu harus dilakukan melalui perusahaan efek dan broker saham. Untuk itu, investor yang ingin mewakafkan sahamnya harus memiliki akun di perusahaan efek. Hal yang sama juga berlaku pada nadzir yang akan mengelola wakaf saham tersebut.

Broker saham berfungsi sebagai pihak yang mewakili nadzir untuk menerima wakaf saham dan mewakili investor untuk menyerahkan wakaf saham tersebut. Transaksi yang terjadi adalah investor bertemu dengan nadzir, namun diwakili oleh broker.

Hal ini sudah menjadi regulasi tersendiri di Indonesia. Apabila wakaf saham yang dikelola oleh nadzir sudah besar, maka nadzir bisa membentuk pengelola investasi dan harus memenuhi syarat khusus. Hasil dari pengelolaan itu akan disalurkan penerima manfaat atau menjadi program produktif yang maslahat untuk umat. Sehingga, aset tidak akan hilang, malah akan berkembang, dan bentuknya tetap saham.

Wakaf Saham dalam Syariat Islam

Dalam sebuah kolom syariah yang disampaikan Ustadz Oni Sahroni, wakaf saham diperbolehkan dalam Islam, dengan syarat bahwa saham yang diwakafkan adalah Saham Syariah. Kesimpulan mengenai hukum wakaf saham ini juga menjadi keputusan Standar Syariah Internasional AAOIFI.

Saat ini pilihan Saham Syariah pun semakin beragam. Data dari IDX menunjukkan dari sisi transaksi, per 9 September 2024 secara year-to-date, rata-rata harian volume transaksi dari saham yang masuk ke dalam Indeks Saham Syariah Indonesia adalah sebesar 76%. Dari total volume transaksi di BEI, rata-rata harian nilai transaksi dari saham syariah adalah sebesar 58% dari total nilai transaksi di BEI.

Rata-rata harian frekuensi transaksi dari saham syariah adalah sebesar 71%, sementara kapitalisasi pasar dari saham yang masuk ke dalam Indeks Saham Syariah Indonesia mencapai 54% dari total kapitalisasi pasar seluruh memiliki pertumbuhan yang sangat signifikan.

Jumlah investor Saham Syariah dalam lima tahun terakhir, sejak tahun 2018, telah meningkat 240%. Dari yang sebelumnya berjumlah 44.536 investor, menjadi 151.560 investor pada Juli 2024.

Meningkatnya angka saham syariah ini menjadi pendorong untuk menumbuhkan tingkat wakaf saham di kalangan masyarakat. Berikut adalah beberapa aturan syariah mengenai wakaf saham.

1. Saham Syariah

Syarat pertama dalam berwakaf saham adalah saham syariah. Saham Syariah dibuktikan dengan kepemilikan atas suatu perusahaan yang jenis usaha, produk, dan akadnya sesuai dengan syariah dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa (saham preferen atau golden stocks atau golden shares).

Jenis saham yang halal telah diatur dalam Fatwa DSN MUI No. 40/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Modal dan pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal dan Standar Syariah Internasional.

Saham sendiri ditegaskan tidak bertentangan dengan prinsip syariah karena saham merupakan surat berharga bukti penyertaan modal dari investor kepada perusahaan. Kemudian investor akan mendapatkan bagi hasil atau dividen. Tentu saja, Islam tidak melarang model seperti ini, karena sama dengan kegiatan musyarakah atau syirkah.

Saat ini Dompet Dhuafa berkolaborasi dengan beberapa Sekuritas untuk penerimaan wakaf saham, salah satunya adalah PT Phillip Sekuritas Indonesia dan PT Panin Sekuritas.

2. Jelas Secara Objek dan Nilainya

Sebelum diwakafkan, maka saham harus jelas objek dan nilainya. Misalnya saja kejelasan tentang berapa lembar saham, nilai, dan termasuk apakah yang diwakafkan tersebut sahamnya atau hanya manfaat dari sahamnya.

3. Wakaf Adalah Milik Mustahik

Sejak harta diwakafkan, maka ia adalah milik mustahik atau penerima manfaat. Nantinya dikuasakan kepada nazir untuk dikelola sehingga hasilnya lebih bermanfaat dan produktif dalam artian yang luas.

Itulah beberapa penjelasan dari wakaf saham dan penerapannya di Indonesia. Selain program wakaf saham, berbagai inovasi kebermanfaatan telah Dompet Dhuafa wujudkan melalui portofolio wakaf seperti Rumah Sakit, sekolah, masjid, greenhouse produktif, serta fasilitas umum lainnya.

Untuk berwakaf melalui Dompet Dhuafa yang memiliki berbagai program produktif, berbagai program wakaf produktif ini bisa dicek melalui https://digital.dompetdhuafa.org/wakaf.

(Content Promotion/Dompet Dhuafa)



Sumber : www.detik.com

Pengertian, Hukum, Unsur-unsur dan Keutamaannya



Jakarta

Dakwah umumnya digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam kepada orang lain, dan bertujuan untuk mengajak mereka memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama. Namun, apa sebenarnya arti dakwah?

Pengertian Dakwah

Dikutip dari buku Sejarah Dakwah karya Jamaluddin secara etimologi kata dakwah berasal dari bahasa arab دَعَا يَدْعُوا دَعْوَةً (da’a yad’u da’watan) yang berarti memanggil, mengajak, menyeru, dan meminta.

Menurut istilah, pengertian dakwah ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana menuju jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT demi kebahagiaan dunia dan akhirat.


Salah satu pengertian dakwah secara etimologi adalah menyeruh manusia kejalan keselamatan, ini sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 25,

وَ اللَّهُ يَدْعُوْا إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Arab Latin: wallâhu yad’û ilâ dâris-salâm, wa yahdî may yasyâ’u ilâ shirâthim mustaqîm

Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”

Menurut buku Pengantar Studi Ilmu Dakwah karya Abu Al-Fath Al -Bayanuni, para ulama bersepakat tentang kewajiban berdakwah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah.”

Dikutip dari buku pengantar Ilmu Retorika Dakwah karya Ahmad Hawassy, tujuan utama dan satu-satunya dakwah adalah agar umat manusia beribadah hanya kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun selain-Nya, dengan meniti syariat sesuai perintah Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup mereka.

Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Sufyan bin Harb kepada Kaisar,

“Dia (Nabi Muhammad SAW) memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan ia melarang kami menyembah apa-apa yang biasa disembah oleh nenek moyang kami….”

Unsur-unsur Dakwah

Adapun unsur-unsur dakwah yang dikutip dari sumber sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Dai: Juru dakwah yang berperan sebagai penyampai ajaran, pemimpin, dan penasihat yang memberikan nasihat dengan baik.

2. Maddatu Al Dakwah (Pesan Ilahi): Ajaran Islam yang diambil dari Al-Quran dan hadits, serta rumusan para ulama, yang harus disampaikan oleh dai.

3. Tariqatu Al Dakwah (Metode): Cara-cara yang digunakan dai untuk berdakwah, yang berlandaskan hikmah dan kasih sayang.

4. Wasilah (Media): Sarana yang digunakan untuk berdakwah, baik langsung (tatap muka) maupun jarak jauh (telepon, televisi, radio, dan sebagainya.)

5. Mad’u (Sasaran Dakwah): Individu atau kelompok yang menjadi target dakwah.

6. Atsar (Efek): Dampak yang ditimbulkan pada mad’u setelah menerima dakwah.

Keutamaan Berdakwah

Masih merujuk pada buku Pengantar Ilmu Retorika Dakwah, dakwah memiliki berbagai keutamaan, di antaranya adalah:

1. Dakwah Adalah Muhimmatur Rusul (Tugas Utama Para Rasul)

Para rasul adalah orang yang diutus oleh Allah SWT untuk melakukan tugas utama mereka yakni berdakwah. Keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja dakwah ini pada manusia yang paling utama dan mulia yaitu Rasulullah SAW dan saudara-saudara beliau para nabi dan rasul.

2. Dakwah adalah Ahsanul A’mal (Amal yang terbaik)

Dakwah adalah amal yang terbaik, karena dakwah memelihara amal islami dalam pribadi dan masyarakat.

Membangun potensi dan memelihara amal saleh adalah amal dakwah, sehingga dakwah merupakan aktivitas dan amal yang mempunyai peranan penting di dalam menegakkan Islam. Tanpa dakwah ini maka amal saleh tidak akan berlangsung.

3. Para Dai Akan Memperoleh Balasan Yang Besar Dan Berlipat Ganda

Sabda Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib,

“Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang dengan (dakwah)mu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah”. (Bukhari, Muslim & Ahmad)

Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’ï menyampaikan hidayah kepada seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah SWT, lebih besar dan lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan merah miliknya.

4. Dakwah Dapat Menyelamatkan Manusia dari Azab Allah (An-Najatu Minal ‘Adzab)

Dakwah yang dilakukan oleh seorang dai akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum manfaat itu dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dakwah. Manfaat itu antara lain adalah terlepasnya tanggung jawabnya dihadapan Allah SWT sehingga ia terhindar dari azab Allah SWT.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com