Tag Archives: ibnu qayyim

Mau Dosa Setahun Dihapus? Jangan Lewatkan Puasa Asyura!


Jakarta

Bulan Muharram adalah awal tahun baru Hijriah. Bulan ini penuh keberkahan dan kesempatan untuk mengumpulkan pahala.

Puasa Asyura yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan di bulan ini. Puasa ini punya keutamaan luar biasa sebagai penghapus dosa.

Dalam sebuah hadits riwayat oleh Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda:


صَوْمُ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ، سَنَةٍ قَبْلَهُ وَسَنَةٍ بَعْدَهُ

Artinya: “Puasa Asyura menghapus dosa setahun dan puasa Arafah menghapus dosa dua tahun: setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR Muslim dan At-Tirmidzi)

Dalam redaksi lain, disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: “Puasa tersebut dapat melebur dosa setahun yang lalu.” (HR Muslim)

Subhanallah! Ini adalah kesempatan emas untuk membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan yang mungkin telah kita lakukan.

Dosa Apa Saja yang Dihapus dengan Puasa Asyura?

Imam Baihaqi dalam kitab Fadha’ilul Auqat (terjemahan Muflih Kamil) menjelaskan bahwa keutamaan puasa Asyura sebagai penghapus dosa berlaku bagi mereka yang menjalankannya dan memiliki dosa-dosa yang memang perlu diampuni. Namun, bagaimana jika seseorang berpuasa tanpa membawa dosa yang perlu dikaffarahkan? Imam Baihaqi menyebut bahwa mereka tetap akan memperoleh ganjaran berupa derajat yang dilipatgandakan.

Meski demikian, ada satu hal penting yang perlu dicermati. dalam kitab al-Da’ wa al-Dawa’, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa meskipun puasa Asyura memiliki keutamaan menghapus dosa secara umum sesuai dengan janji Allah SWT, hal itu tetap memiliki syarat dan penghalang.

Salah satu penghalang utama terhapusnya dosa dengan puasa Asyura adalah kebiasaan melakukan dosa besar secara terus-menerus. Jika seseorang belum meninggalkan dosa besar, maka puasa tidak akan memberikan efek pengampunan sebagaimana yang dijanjikan.

Hal ini juga berlaku pada puasa Ramadan dan salat lima waktu, yang baru akan menghapus dosa-dosa kecil apabila diiringi dengan usaha meninggalkan dosa besar.

Ibnu Qayyim menyandarkan pendapatnya pada Surah An-Nisa ayat 31:

اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا ٣١

Artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang (mengerjakan)-nya, niscaya Kami menghapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami memasukkanmu ke tempat yang mulia (surga).”

Ibnu Qayyim menambahkan, “Dari sini dapat diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab penghapus dosa tidak menghalanginya untuk bekerja sama dengan sebab lain dalam menghapus dosa. Dua sebab penghapus dosa tentu lebih kuat dan lebih sempurna daripada hanya satu sebab. Ketika sebab penghapus dosa semakin kuat, daya hapusnya pun menjadi lebih kuat, lebih sempurna, dan lebih luas.”

Ini berarti, puasa Asyura adalah pelengkap dan penyempurna bagi upaya kita dalam menjauhi dosa-dosa, terutama dosa besar.

Puasa Asyura Warisan Umat Nabi Musa AS

Puasa Asyura yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada umat Islam ternyata sudah lebih dulu dilakukan oleh umat Nabi Musa AS. Dalam Mukasyafatul Qulub karya Imam al-Ghazali (terjemahan Jamaluddin), disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA terkait hal ini.

Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi tengah melaksanakan puasa pada hari Asyura. Beliau kemudian bertanya tentang puasa tersebut.

Mereka menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Nabi Musa dan Bani Israil menang melawan kaum Firaun. Jadi, kami berpuasa sebagai bentuk pengagungan kepada Nabi Musa.”

Mendengar itu, Nabi SAW bersabda, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”

Nabi SAW kemudian memerintahkan umatnya untuk berpuasa hari Asyura. Sebagai pembeda dengan kaum Yahudi, Rasulullah SAW menganjurkan puasa Asyura diiringi dengan puasa Tasu’a sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari sesudahnya (11 Muharram).

Dengan demikian, puasa Asyura bukan hanya amalan yang mulia dengan keutamaan penghapus dosa. Tetapi juga merupakan bagian dari sejarah panjang ibadah para Nabi.

Niat Puasa Asyura

Dikutip dari buku Meraih Surga dengan Puasa karya H Herdiansyah Achmad, berikut niat puasa Asyura:

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَأَ سُنَّةَ لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma yauma ‘asyûra-a sunnata-lillâhi ta’âla.

Artinya: “Saya berniat puasa Asyura sunnah karena Allah Ta’ala.”

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

5 Kultum Singkat tentang Bersyukur beserta Dalilnya


Jakarta

Saat digelar kegiatan keagamaan, kultum singkat seringkali disampaikan. Salah satu topik kultum yang kerap dipilih yaitu tentang bersyukur.

Kultum perlu disampaikan dengan benar, karena umumnya menyertakan dalil Al-Qur’an maupun hadits. Hal itu agar mendukung topik yang dibahas sehingga pendengar bisa memahami isi kultum dengan baik.

Sebagian orang yang tidak biasa memberikan kultum mungkin akan kesulitan untuk membuat materi yang pas. Namun tenang saja, detikers dapat temukan contoh teks kultum singkat tentang bersyukur di bawah ini.


Kultum Singkat tentang Bersyukur

Berikut sejumlah ceramah singkat tentang bersyukur yang dapat dijadikan referensi:

1. Bersyukur

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat berkumpul pada pagi hari ini ditempat yang Insyaallah dirahmati Allah dalam keadaan tak kurang suatu apapun sehat jasmani maupun rohani.

Tak lupa sholawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan atau jahiliyah menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mendapat syafaatnya di yaumul akhir.

Teman-teman semua marilah kita selalu bersyukur atas semua nikmat yang diberikan Allah kepada kita semua. Banyak sekali nikmat yang sering tidak kita sadari yang telah Allah berikan kepada kita seperti nikmat makan, nikmat bernafas, nikmat berjalan, bahkan nikmat bias menggerakkan anggota tubuh pun termasuk nikmat yang begitu besar yang perlu kita syukuri. Jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang sedang sakit saat ini untuk makan pun susah, ada juga yang tidak bisa berjalan semudah kita bahkan menggerakkan anggota badan seperti tangan saja susah.

Dengan demikian masihkah kita tidak bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan kepada kita? Sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 152, yang berbunyi:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Bagaimana cara bersyukur? bersyukur dapat dilakukan dengan cara:

1. Dengan Niat
Meyakini dengan sungguh-sungguh di dalam hati bahwa semua nikmat yang kita peroleh semua dari Allah SWT. Baik itu nikmat kesehatan, harta benda, jabatan, atau pangkat, semuanya dari Allah SWT.

2. Dengan Lisan
Setelah kita meyakini dalam hati kita sebaiknya selalu bersyukur kepada Allah SWT dengan mengucapkan alhamdulillah dimana saja dan kapan saja atas nikmat yang sudah diberikan kepada kita.

3. Dengan Menjaga dan Mengamalkan
Nikmat Allah sangat banyak sekali kami tidak mampu untuk menghitungnya. Semuanya hanya titipan saja yang suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya. Misalnya, nikmat berupa kesehatan, Suatu saat kita pasti akan mati, kembali kepada Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban. Untuk apa saja kesehatan yang sudah kita peroleh apakah untuk melakukan hal-hal yang baik atau sebaliknya.

Jangan sampai kita menjadi orang yang mengingkari nikmat karena kurang bersyukur. Semoga kita semua termasuk mereka yang pandai mensyukuri segala nikmat yang ada Tuhan telah memberi kita.

Demikian kultum yang dapat saya sampaikan, jika ada kekurangan yang datang dari dalam diri saya karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga bermanfaat Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wabarakatuh

(Dikutip dari publikasi Scribd yang diunggah oleh karindayd).

2. Bersyukur

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya kita dapat berkumpul di tempat yang Insyaallah mulia ini.

Kedua kalinya tak lupa sholawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah seperti yang sekarang ini. Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan kultum tentang Bersyukur.

Syukur yang sebagaimana telah dijabarkan oleh Ibnu Qayyim: Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah.

Kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT harus selalu senantiasa mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT baik itu berupa nikmat yang kecil maupun nikmat yang besar.

Tanpa kita sadari setiap harinya kita selalu menerima nikmat dari Allah SWT seperti nikmat berupa nikmat islam, nikmat kesehatan, dan nikmat kita telah diberikan anggota tubuh yang lengkap dan sempurna seperti yang dijelaskan dalam Surat An Nahl ayat 78, yang artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur.”

Adapun cara agar kita senantiasa bersyukur kepada Allah SWT adalah seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut: “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu Syukur juga memiliki berbagai macam manfaat yaitu:
1. Kita dapat dijauhkan dari azab Allah SWT.
2. Dengan bersyukur Allah SWT dapat memberikan ridhonya kepada kita.
3. Dengan bersyukur kita dapat mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Kesimpulan dari kultum ini adalah syukur merupakan suatu bentuk ibadah dan sekaligus bentuk ketaatan kita atas perintah Allah SWT.

(Dikutip dari publikasi Scribd yang diunggah oleh tiasrifebr098).

3. Bersyukur

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Nikmat Allah yang diberikan kepada kita sangat berlimpah ruah. Bahkan kadang-kadang tanpa kita pinta pun Allah dengan Rahman Rahim-Nya menganugerahkan semua nikmat itu kepada kita tanpa syarat. Untuk semuanya itu tidak ada kata yang patut diucapkan selain memuji kepada Allah SWT. Shalawat beserta salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan para sahabatnya.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Sebutkan saja nikmat Allah yang kita dapatkan. Nikmat sehat, nikmat bisa makan minum, nikmat pancaindera, nikmat akal, nikmat iman, nikmat Islam, dan masih banyak lagi. Pasti kita tidak akan pernah bisa menghitungnya.

Dapat dipastikan manusia tidak akan bisa menentukan jumlah nikmat Allah, apalagi membalas semuanya. Jika kita telisik lebih mendalam, kenikmatan yang telah Allah berikan kepada kita semua tidaklah akan mampu kita balas, meskipun hanya sebagian kecilnya. Bahkan mungkin semua yang kita miliki tidak akan pernah cukup untuk menebus satu nikmat saja dari Allah.

Namun, betapa banyak dari kita yang tidak menyadari hal itu sehingga lupa atas nikmat-nikmat-Nya. Kadang, ketika nikmat itu hilang dari kita, baru kita merasakan betapa bernilainya kenikmatan tersebut. Yang ada kemudian hanyalah keluh kesah yang menjadi-jadi.

Jika kita masih menjadi pribadi demikian, kita diperintahkan untuk memohon ampun; bertaubat kepada Allah.

Jadi sikap kita terhadap semua nikmat Allah adalah tetap bersyukur kepada-Nya. Karena bisa jadi, satu saja nikmat Allah dicabut dari diri kita, kita langsung mengadu, keluh kesah, dan bahkan memaki Allah. Kita lupa masih ada jutaan, miliaran, bahkan triliunan nikmat Allah yang masih kita rasakan dan nikmati.

Padahal sudah sangat jelas Allah terangkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Rasulullah SAW menjelaskan tentang kriteria mukmin sejati, yang salah satunya adalah mereka orang-orang yang pandai bersyukur atas nikmat Allah. Dan Rasulullah sangat memuji sikap tersebut.

“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mukmin sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya.” (HR Muslim)

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW menyatakan kekagumannya terhadap seorang muslim yang mampu bersyukur ketika ia mendapat nikmat dari Allah SWT, dan mampu bersabar kala musibah menimpanya. Rasulullah SAW juga menyebut mereka yang pandai bersyukur sebagai mukmin sejati. Seorang mukmin sejati adalah seseorang yang benar-benar memasrahkan kehidupannya kepada Allah SWT dan bisa memposisikan dirinya layaknya seorang budak yang bisa menghargai perlakuan majikannya. la akan menerima dengan ikhlas segala perlakuan yang diberikan oleh majikan (dalam hal ini Allah SWT) kepadanya.

Syukur dalam Islam memang memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan interaksi antara seorang muslim dengan Tuhannya. Allah SWT berfirman, “Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.(Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.” (QS Luqman : 14)

Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan proses kelahiran manusia sebelum memerintahkannya untuk bersyukur. Ini berarti bahwa ketika manusia telah dapat berpikir dan mengenal Tuhannya, yang diperintahkan pertama kali adalah mengungkapkan rasa syukur dan rasa terima kasih kepada Allah dan kemudian orangtua sebagai perantara ia hadir di dunia. Pada dasarnya, semua bentuk syukur ditujukan kepada Allah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara nikmat Allah. Inilah yang bisa dipahami dari perintah Allah pada ayat di atas.

Masih terkait dengan ayat 14 surat Luqman di atas, Allah memerintahkan bersyukur sebagai wasiat pertama kepada manusia adalah semata karena kasih dan rahmat-Nya. Dia menginginkan kebaikan buat hamba-hamba-Nya, sedangkan kinerja berkesinambungan kebaikan itu ada terletak pada sikap manusia itu sendiri. Mau bersyukur atau tidak? Jika mau bersyukur nikmat Allah tersebut akan semakin bertambah sebagaimana disinggung pada ayat tujuh surat Ibrahim tersebut di atas.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Lantas, bagaimana cara kita bersyukur kepada Allah? Ada banyak cara kita bersyukur kepada Allah SWT. Pada dasarnya, syukur kepada Allah harus terejawantahkan dalam hati, lisan, dan perbuatan kita.

Pertama, syukur dengan hati adalah mengakui dan meyakini dengan sebenar-benarnya di dalam hati bahwa segala bentuk nikmat yang telah ia dapatkan hanya berasal dari Allah SWT.

Syukur hati dan keyakinan mereka adalah bahwa Allah SWT telah menjadikan segalanya sesuai dengan kadar (ukuran)nya masing- masing, termasuk pembagian rezeki.

Kedua, syukur dengan lisan adalah dengan selalu memuji pemberi nikmat Allah SWT menyebut nikmat itu serta menampakkan nikmat tersebut atau para ulama menyebutnya tahadduts bin ni’mah.

Tahadduts ni’mah (menyebut-nyebut nikmat Allah) adalah dengan ditampakkan yaitu dilakukan dalam rangka syukur kepada pemberi nikmat (yaitu Allah), bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain.

Ketiga adalah bersyukur dengan perbuatan. Hal ini dapat kita lakukan dengan cara menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat cara Rasulullah SAW dalam mengungkapkan syukurnya kepada Allah, sebagaimana diceritakan oleh Aisyah RA:

“Rasulullah SAW biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankah dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” Rasulullah menjawab, “Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari dan Muslim).

Kita lihat! Rasulullah yang telah ma’shum, senantiasa dijaga Allah dari perbuatan tercela dan diampuni dosanya saja, beliau beribadah dengan penuh penghambaan dan keseriusan. Hal itu hanya beliau jadikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Apalagi diri kita yang berlumuran dosa dan kesalahan?

Di samping itu, syukur dengan perbuatan adalah ketika kita bisa menggunakan segala anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada kita untuk kerja-kerja nyata; digunakan sebagaimana mestinya; untuk tujuan positif dan memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang banyak. Syukur pada tahapan ini adalah bentuk kesyukuran yang paling tinggi derajatnya.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Demikianlah sedikit penjelasan mengenai hakikat syukur kepada Allah SWT. Doa kita semoga kita bukan termasuk orang-orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat Allah SWT. Bukan orang-orang yang melupakan dan melalaikan nikmat Allah SWT. Bukan orang-orang yang hanya bisa berkeluh kesah. Bukan orang-orang yang iri dengki terhadap nikmat yang diterima orang lain.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(Dikutip dari buku Panduan Lengkap Khotbah Sepanjang Masa & Kultum Penuh Inspirasi karya Ibnu Abi Nashir).

4. Rezeki yang Terlupakan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan kita beribu-ribu kenikmatan, baik Nikmat Iman dan Islam ataupun nikmat sehat walafiat, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul tanpa satu halangan apa pun dan tidak kurang satu pun untuk hadir di acara yang Insyaallah dimuliakan oleh Allah SWT.

Sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW yang telah yang telah menuntun kita dari zaman jahiliah menuju zaman penuh pengetahuan agama. Nabi Muhammad Saw., mengajarkan kepada kita akan selalu mengingat Allah SWT, terutama karena kita sebagai hamba yang lemah, yang bahkan tak mampu menghitung nikmat Allah SWT, yang terlihat saja, belum lagi yang tidak terlihat atau terlupakan.

Ya, sebagian kita, bapak ibu sekalian yang saya hormati, kerap menganggap bahwa nikmat atau rezeki yang kita dapatkan hanya secara fisik. Artinya yang dapat dilihat oleh mata. Misalnya uang, rumah, kendaraan, benda-benda berharga, dan lain sebagainya. Bapak ibu juga demikian?

Saya berharap tidak. Rezeki yang diberikan oleh Allah SWT, itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Coba kita bayangkan, siapa yang bisa menanam rambut di kepala kita? Menanamnya satu per satu, dipotong tumbuh lagi, dipotong tumbuh lagi. Lalu berubah menjadi putih. Salon mana yang bisa, Bu? Kalau ada salon yang bisa seperti itu, itu pasti peluang bisnis yang besar.

Apalagi rezeki yang sering kita lupakan. Rezeki melihat, misalnya. Kita diberi mata, mata bisa melihat, bisa membedakan warna, bisa membedakan benda baik dan buruk, bisa membedakan cantik dan buruk. Ini rezeki, Bapak Ibu sekalian. Ada yang diberi mata tapi tidak bisa melihat? Ada. Rezekinya berupa mata saja.

Ada yang punya mata, bisa melihat tapi tidak bisa membedakan warna? Ada. Itu rezekinya sampa melihat saja. Ada yang punya mata tapi tak bisa membedakan bidang benda? Ada. Dan lain sebagainya.

Itu adalah sebagian rezeki yang tidak terhitung harganya. Bahkan jika rezeki itu berkurang, betapa kita bingung, betapa kita akan menghabiskan seluruh harta benda untuk mengobatinya. Misalnya tiba-tiba mata kita kena katarak (naudzubillah min dzalik). Kita kemudian tanpa pikir panjang akan mencari jalan keluarnya dengan cara melakukan pengobatan. Berapapun biayanya akan ditempuh.

Bahkan ketika ada orang yang meminta mata kita, diberi imbalan miliaran, tetap tidak diberikan. Artinya, rezeki berupa mata tidak akan tergantikan oleh rezeki-rezeki bendawi yang telah dimiliki.

Sekarang telinga. Semua orang punya telinga, betul? Ada yang punya telinga tapi tak bisa mendengar? Ada. Orang-orang kemudian mencari alat bantu pendengaran. Berapa harganya? Mahal!

Justru, rezeki yang kerap kita lupakan adalah rezeki-rezeki yang harganya sangat mahal, bahkan tidak ternilai harganya. Kita justru sibuk menghitung rezeki-rezeki yang kecil. Misalnya gaji bulanan. Andaikan gaji bulanan Anda kurang 100 ribu dari gaji yang seharusnya Anda terima, pastilah ribut. Gajinya 3 juta, kok dipotong 100 ribu. Tentu sudah ribut.

Kita ini, manusia, selalu meributkan hal-hal yang tampak. Sementara yang tak tampak dianggap biasa. Kita dikasih orang uang satu juta dengan cuma-cuma, berapa banyak terima kasih yang kita ucapkan? Bahkan diterima sampai menangis- nangis. Kita bisa menontonnya di televisi, ada uang kaget, ada bedah rumah, dan lain sebagainya.

Lihatlah sikap penerimanya? Pasti menangis-nangis, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Sementara ia lupa, ada rezeki yang tidak terhitung harganya. Kita ini kerap terbalik cara berpikirnya.

Nah, sekarang bapak ibu sudah tahu, mana rezeki yang receh, mana rezeki yang besar. Dengan rezeki yang besar, yang setiap hari kita rasakan, mestinya kita sadari dan selalu bersyukur. Setiap kali bangun tidur, kita bersyukur. Kita bisa melakukan apa, bersyukur. Dan jika sudah demikian, kita akan menjadi hamba yang pandai bersyukur. Bersyukur tidak hanya sebatas ucapan, melainkan juga berimbas pada peningkatan ibadah kita kepada Allah.

Demikian yang bisa saya sampaikan semoga ada manfaat yang bisa kita ambil untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahul muafiq ila aqwamith thariq. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(Dikutip dari buku Materi Tausiyah Ustadz Gaul oleh Ibnu Mas’ad Masjhur).

5. Dengan Syukur, Bahagia Bertabur

Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah, karena telah memberi karunia dan nikmat yang sangat besar kepada kita semua. Semoga keselamatan dan kesejahteraan juga senantiasa dilimpahkan kepada panutan kita, yakni Rasulullah SAW.

Syukur adalah kata yang berasal dari bahasa Arab; syakara, yasykuru, syukran, dan tasyakkara, yang berarti “mensyukuri-Nya, memuji-Nya”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah SWT. Syukur juga berarti mengingat akan segala nikmat-Nya.

Syukur adalah pengakuan spiritual atas segala karunia dari Tuhan. Sehingga orang yang bersyukur, akan secara totalitas mengakui segala hal kenikmatan yang dirasakan adalah semata-mata sebagai bentuk ke-Maha Kasih dan Sayang-Nya Allah SWT pada hamba-Nya.

Dengan demikian syukur adalah pengakuan penuh bahwa segala yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita, sepenuhnya merupakan kebaikan untuk kita. Maka segala apa yang Allah SWT berikan, akan diterima dengan rela hati, tanpa kecuali. Karena semua yang diberikan-Nya akan selalu ditemukan hikmah.

Satu contoh ilustrasi sederhana, seorang yang tertinggal pesawat, pasti akan sedih dan kecewa. la merasa waktu terbuang percuma, pun tiket hilang tak bisa digunakan, dan kesempatan di depan mata terbang melayang.

Akan tetapi begitu mengetahui pesawat tersebut jatuh, bersyukurlah ia. Tetiba ia merasa menjadi orang yang terpilih, diselamatkan Allah SWT dari peristiwa tersebut. Nah, mestinya kebersyukuran itu telah terungkap sejak awal. Telah yakin sepenuhnya bahwa apapun kejadiannya, Allah SWT hadirkan kebaikan di sana.

Bersyukur adalah perintah Allah SWT. Perintah ini tercantum dalam Surat Al Baqarah ayat 152, Dia berfirman: “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”.

Ayat tersebut merupakan perintah Allah agar kita bersyukur atas segala nikmat karunia yang telah Allah berikan, dan melarang kita untuk mengkufuri nikmat.

Demikian juga dalam QS Ibrahim ayat 7: “Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih”.

Dua ayat tersebut menunjukkan dua keadaan manusia, bersyukur atau kufur. Keadaan yang memaksa setiap orang dipastikan ada pada salah satunya. Artinya, bila seseorang bersyukur, maka tentu dia tidak kufur, sebaliknya bila seseorang kufur, maka pasti ia tidak bersyukur. Tentu kita berharap menjadi bagian dari hamba-hamba Allah yang bersyukur.

M. Quraish Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga dimensi. Pertama, syukur dengan hati, yakni dengan mengakui sepenuh hati bahwa segala kenikmatan yang diterima semata-mata berasal dari Allah SWT.

Kedua, syukur dengan lisan, yakni dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya dengan menggunakan lisan. Caranya bisa dengan mengucapkan terima kasih atas kenikmatan itu jika nikmat yang diberi lewat perantara manusia. Atau mengucap hamdalah “Alhamdulillaahi rabbil aalamiin” juga cara bersyukur atas nikmat Allah melalui lisan.

Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni dengan melakukan segala amal saleh yang Allah perintahkan, dan menjauhkan diri dari segala amal buruk yang dilarang dilakukan.

Marilah kita latih diri kita dan bangun kebiasaan baik untuk mensyukuri segala nikmat dan takdir yang telah Allah SWT beri dengan hati, lisan, dan perbuatan kita. Mari luruskan niat agar syukur kita bukan karena ingin bahagia melainkan mengharap ridha dan kedekatan dengan Allah.

Sekian pidato saya, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(Dikutip dari Diorama: Kumpulan Naskah Ceramah dan Khutbah susunan Pajar Hatma Indra Jaya, dkk).

(azn/row)



Sumber : www.detik.com

Ada Satu Penyakit yang Tak Bisa Diobati Menurut Hadits


Jakarta

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta obatnya. Namun, beliau juga menyebutkan ada satu penyakit yang tak bisa diobati.

Keterangan mengenai setiap penyakit ada obatnya mengacu pada hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim. Hadits ini diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ؛ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ


Artinya: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.”

Hadits tersebut dinukil Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ dan ditahqiq ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari. Edisi Indonesia kitab ini diterbitkan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, penyakit yang dimaksud dalam hal ini adalah semua penyakit yang terdapat dalam hati, roh, dan badan. Rasulullah SAW pernah memberikan contoh penyakit selain badan dan obatnya, yakni kebodohan. Kata beliau, penyakit kebodohan obatnya bertanya kepada ulama.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW menjelaskan pengecualian terhadap satu penyakit. Penyakit yang tak bisa diobati ini adalah ketuaan. Hal ini mengacu pada hadits shahih yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dari Usamah bin Syarik bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءٌ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.”

Dalam redaksi lain dikatakan,

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءٌ، أَوْ دَوَاءٌ، إِلَّا دَاءً وَاحِدًا فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ! مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit, melainkan Dia juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah SAW?” Beliau menjawab, “Ketuaan.”

Menurut At-Tirmidzi, hadits tersebut statusnya shahih.

Ada juga riwayat dari Abu Sai’d yang menyatakan bahwa penyakit yang tidak ada obatnya itu adalah kematian. Dikatakan, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah Allah menciptakan penyakit, kecuali Dia juga menciptakan obatnya–yang akan diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak akan diketahui oleh orang bodoh–kecuali kematian.” (HR Ahmad dan At-Thabrani)

Hadits tersebut terdapat dalam kitab At-Taghdziyah an-Nabawiyah karya Abdul Basith Muhammad Sayyid yang diterjemahkan Bachtiar.

Doa Adalah Obat Penawar

Berkaitan dengan penyakit dan obatnya, Rasulullah SAW pernah menganjurkan seseorang berdoa dengan sungguh-sungguh. Beliau bersabda,

أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Artinya: “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa kalian akan terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR Hakim dalam al-Mustadrak dari Abu Hurairah RA)

Masih dalam sumber yang sama dikatakan, hadits tersebut mengandung makna bahwa doa adalah obat penawar yang mampu memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kekuatan doa bisa lemah bahkan hilang karena kelalaian hati kepada Allah SWT dan mengonsumsi barang-barang haram.

Penjelasan tersebut senada dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari riwayat Abu Hurairah RA yang menceritakannya dari Rasulullah SAW. Kala itu, Nabi SAW menjelaskan perintah Allah SWT dalam surah Al Mukminun ayat 51.

Kemudian beliau menceritakan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, kondisi tubuhnya berdebu dan rambutnya kusut. Laki-laki itu menengadahkan tangan sembari menyebut nama Tuhan. Akan tetapi, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dibesarkan dengan hal-hal yang haram. Kata Nabi SAW, “Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?”

Wallahu a’lam.

(kri/rah)



Sumber : www.detik.com

Saat Keturunan Pemimpin Yahudi Jadi Istri Rasulullah SAW


Jakarta

Rasulullah SAW memiliki sejumlah istri usai Sayyidah Khadijah wafat. Beliau pernah menikahi wanita keturunan Yahudi bernama Shafiyah binti Huyay Al-Akhthab.

Shafiyah adalah putri pemimpin Yahudi yang tewas dalam Perang Khaibar, Huyay Al-Akhtab. Al-Akhthab adalah musuh Nabi SAW.

Pernikahan Rasulullah dengan Shafiyah binti Huyay

Kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah binti Huyay bermula dari Perang Khaibar. Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah karya Ali Muhammad Ash-Shallabi yang diterjemahkan Faesal Saleh dkk, saat kaum muslimin menaklukkan Qamus, benteng milik bani Abu Haqiq, salah seorang wanita yang menjadi tawanan mereka adalah Shafiyah binti Huyay.


Shafiyah binti Huyay kemudian diberikan kepada Duhaiyah Al-Kalbi. Salah seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Shafiyah binti Huyay, pemimpin kaum itu diberikan kepada Duhaiyah, ia tidak pantas untuk siapa pun selain engkau.”

Nabi SAW menilai isyarat sahabat tersebut bagus. Beliau kemudian meminta Duhaiyah untuk mengambil budak yang lain kemudian Rasulullah SAW mengambil Shafiyah dan memerdekakannya.

Kemerdekaan atas Shafiyah binti Huyay itulah yang menjadi mahar Rasulullah SAW. Setelah itu, beliau menikahinya. Pernikahan ini dilakukan usai Shafiyah binti Huyay suci dari haid dan telah masuk Islam.

Menurut Ibnu Qayyim Jauziyah dalam Jami’us Shirah yang diterjemahkan Abdul Rosyad Shiddiq dan Muhammad Muchson Anasy, pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah binti Huyay terjadi pada 7 H.

Keutamaan Shafiyah binti Huyay

Mengutip buku Jejak Wakaf Sahabat: Dari Sedekah Jariyah Menuju Wakaf karya Ali Iskandar, Shafiyah binti Huyay tertarik pada hal-hal baru, terutama dalam konteks agama dan Islam.

Ketika ia menjadi istri Nabi, ia dengan antusias mengikuti pengajian dan aktif bertanya tentang ajaran baru yang dianutnya.

Selain itu, Sayyidah Shafiyah juga suka bersedekah. Hal ini dibuktikan ketika dia meyakini sedekah dapat kembali kepada siapa pun yang memanfaatkannya.

Dalam kitab Ahkamul Auquf, Sayyidah Shafiyah mempunyai sebuah rumah, lalu dia mengizinkan rumahnya ditempati oleh bani Abdan. Mereka adalah para tawanan perang untuk sekadar berteduh sesudah bekerja. Padahal sudah menjadi tradisi para tawanan akan bekerja untuk tuannya dan mendapatkan upah seadanya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com