Tag Archives: Ibnu Rusyd

Mahar Pernikahan yang Dilarang dan Haram Hukumnya dalam Islam


Jakarta

Terdapat beberapa mahar pernikahan yang dilarang bahkan dihukumi haram dalam Islam. Ini disebabkan mahar-mahar tersebut tidak sesuai dengan ketentuan agama.

Menurut Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Khamsah susunan Muhammad Jawad Mughniyah yang diterjemahkan Masykur dkk, mahar pernikahan umumnya berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta, perdagangan atau benda-benda lain yang mempunyai harga di mata masyarakat. Mahar harus diketahui secara detail dan jelas.

Mahar adalah hak seorang istri yang didasarkan atas Kitabullah, sunnah rasul dan ijma umat Islam. Rasulullah SAW menyebutkan mahar yang baik dalam Islam sebagaimana haditsnya yang berasal dari Aisyah RA.


“Nikah yang paling besar berkahnya yaitu paling ringan maharnya.” (HR Ahmad)

Lantas, seperti apa mahar yang dilarang dan dihukumi haram dalam Islam?

Mahar yang Dilarang dalam Islam

1. Barang Haram

Mahar yang berupa barang haram dilarang dalam Islam. Mengutip dari buku Fiqh Munakahat susunan Abdul Rahman Ghazaly, contoh dari mahar ini seperti minuman keras, babi, darah dan semacamnya.

Apabila muslim menggunakan barang-barang haram sebagai maharnya, maka pernikahannya tidak sah. Imam Syafi’i menyebut bahwa apabila mahar termasuk barang haram padahal istri belum menerima maka ia berhak mendapat mahar yang tidak haram.

Salah satu syarat mahar yang diberikan kepada mempelai wanita adalah suci dan bisa diambil manfaatnya.

2. Memberatkan

Mahar yang memberatkan termasuk dilarang dalam agama. Hendaknya, mahar tidak membebani pihak calon suami.

Jika calon suami dibebani mahar yang memberatkan sampai-sampai tak sanggup membayarnya, maka ini menjadi suatu hal yang tercela. Apalagi, pernikahan yang maharnya tak membebani bisa membawa keberkahan rumah tangga.

3. Tidak Memiliki Harga

Mahar harus memiliki harga dan terdapat manfaatnya. Dengan demikian, dilarang memberikan mahar yang tidak memiliki harga.

Diterangkan dalam kitab Fiqh as Sunnah li an-Nisa’ oleh Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim yang diterjemahkan Firdaus, mahar bisa berupa apapun yang nilainya maknawi selama istri ridha.

4. Cacat

Mahar yang cacat tidak diperbolehkan dalam Islam. Menurut kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid oleh Ibnu Rusyd terjemahan Fuad Syaifudin Nur, jumhur ulama berpendapat bahwa calon suami yang memberi mahar cacat pernikahannya tetap sah.

Namun, para ulama berbeda pendapat terkait apakah istri dapat meminta kembali harga mahar, menukar dengan yang sebanding atau dengan mahar mitsil.

5. Berlebihan

Mahar yang memberatkan tidak diperbolehkan, begitu pula dengan mahar yang berlebihan. Sayyid Sabiq melalui kitab Fiqh As Sunnah-nya yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap menyebut menyebut bahwa syariat menganjurkan untuk tak berlebihan dalam memberi mahar.

Rasulullah SAW bersabda,

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.” (HR Hakim)

Selain itu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah juga berpendapat bahwa berlebihan menentukan mahar adalah makruh. Ini menunjukkan sedikitnya keberkahan dari mahar dan menyiratkan kesulitan dalam pernikahan tersebut.

Wallahu a’lam.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kenapa Jumlah Kain Kafan Wanita Lebih Banyak dari Laki-laki?



Yogyakarta

Mengkafani jenazah menjadi kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang meninggal dunia. Sebelum mengkafani jenazah, umat muslim perlu mengetahui jumlah kain kafan yang harus digunakan.

Mengutip dari Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 karya Ibnu Rusyd, para jumhur ulama menyatakan bahwa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki. Mengapa begitu?

Alasan Kain Kafan Wanita Jumlahnya Lebih Banyak

Masih dalam sumber yang sama, kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak karena aurat yang harus ditutupi juga lebih banyak. Pada dasarnya, wanita dalam Islam disyariatkan untuk menutup aurat dalam berpakaian sehingga ketika meninggal dunia pun jumlah kain kafan yang digunakan lebih banyak dari jenazah laki-laki.


Jumhur ulama menentukan jumlah kain kafan bagi jenazah laki-laki sebanyak tiga lapis kain, sementara jenazah wanita sebanyak lima lapis kain. Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menceritakan ketika jenazah Rasulullah SAW dikafani:

أَنَّ الرَّسُوْلَ اللهِ ﷺ كُفِنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابِ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ لَيْسَ فِيْهَا قَمِيْصُ وَلَا عِمَامَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya jenazah Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih, tanpa gamis dan sorban.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sementara itu, banyaknya kain wanita didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Laila binti Qa’if Ats Tsaqafiyyah, ia berkata:

كُنْتُ فِيْمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلِّقَوْمٍ بِنْتَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَكَانَ أَوَّلُ مَا أَعْطَانِي رَسُولُ اللهِ ﷺ الْحِقْوَ، ثُمَّ الدَّرْعَ، ثُمَّ الْخِمَارَ، ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ، ثُمَّ أُدْرِجَتْ بَعْدُ فِي التَّوْبِ الْآخَرِ، قَالَتْ: وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ جَالِسٌ عِنْدَ الْبَابِ مَعَهُ أَكْفَانُهَا، يُنَاوِلُنَاهَا ثَوْبًا ثَوْبًا

Artinya: “Aku termasuk orang yang turut memandikan jenazah Ummu Kultsum, putri Rasulullah SAW. Pertama kali yang diberikan oleh Rasulullah kepadaku ialah kain sarung, lalu jubah untuk perempuan, lalu kerudung panjang, lalu selimut. Kemudian setelah itu aku memasukkannya pada lapis kain yang terakhir,” kata Laila binti Qa’if, saat itu Rasulullah SAW duduk di dekat pintu sambil memegang kafan-kafan untuk putrinya, lalu kami menerima kafan-kafan tersebut satu persatu.” (HR Abu Dawud).

Sunah dalam Mengkafani Jenazah

Berdasarkan buku Terjemahan Majmu Syarif karya Ust. Muiz al-Bantani, beberapa sunah dalam mengkafani jenazah yang perlu dipahami umat muslim, yaitu sebagai berikut.

1. Kain kafan yang digunakan hendaknya kain kafan yang bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh mayat.

2. Kain kafan hendaknya berwarna putih.

3. Jumlah kain kafan untuk mayat laki-laki hendaknya 3 lapis, sedangkan mayat perempuan 5 lapis.

4. Sebelum kain kafan digunakan untuk membungkus atau mengkafani jenazah, hendaknya diberi wangi-wangian terlebih dahulu.

5. Tidak berlebih-lebihan dalam mengkafani jenazah.

Cara Mengkafani Jenazah Wanita

Dilansir dari buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X karya Harjan Syuhada, kain kafan wanita terdiri atas 5 lembar kain putih dengan penggunaan sebagai berikut:

· Lembar pertama yang paling bawah digunakan untuk menutupi seluruh badan dan kain ini paling lebar di antara lainnya.

· Lembar kedua sebagai kerudung kepala.

· Lembar ketiga sebagai baju kurung.

· Lembar keempat untuk menutup pinggang hingga kaki.

· Lembar kelima untuk menutup pinggul dan pahanya.

Adapun cara mengkafani jenazah perempuan, yaitu:

1. Susun kain kafan yang telah dipotong-potong untuk masing-masing bagian dengan tertib. Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan letakkan di atas kain kafan sejajar serta taburi dengan wangi-wangian atau dengan kapur barus.

2. Tutup lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.

3. Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.

4. Pakaikan sarung (cukup disobek saja, tidak dijahit).

5. Pakaikan baju kurungnya (cukup disobek, tidak dijahit).

6. Dandani rambutnya lalu julurkan ke belakang.

7. Pakaikan tutup kepalanya (kerudung).

8. Bungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara menemukan kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulung ke dalam. Setelah itu, ikat dengan sobekan pinggir kain kafan yang setelahnya telah disiapkan di bagian bawah kain kafan, tiga atau lima ikatan. Tali ikatan ini akan dilepaskan setelah mayat dibaringkan di liang lahat.

Demikian penjelasan kenapa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki beserta cara mengkafaninya, semoga bermanfaat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Pasutri Bercinta Saat Puasa? Begini Hukum dan Dendanya


Jakarta

Manusia memiliki berbagai kebutuhan, salah satunya kebutuhan biologis. Jenis kebutuhan ini berkaitan dengan keinginan untuk memenuhi gairah melalui hubungan seksual. Namun, ketika puasa hal tersebut tidak boleh dilakukan. Bagaimana jika suami mengajak istri bercinta di tengah menjalani ibadah puasa?

Hubungan intim merupakan kewajiban suami-istri, Namun, hubungan seks di siang hari tidak hanya mengurangi pahala puasa, tetapi juga menimbulkan dosa dan wajib menerima hukuman serta denda

Dikutip dari NU Online, orang yang sengaja merusak puasanya di bulan Ramadan dengan senggama atau hubungan seksual wajib menjalankan kifarah ‘udhma (kafarat besar) dengan urutan kafarat (denda) sebagai berikut.


Pertama, ia harus memerdekakan seorang budak (zaman sekarang perbudakan sudah tidak ada). Kedua, ia harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Ketiga, ia harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud atau sepertiga liter beras.

Dikutip dari CNN Indonesia, KH Maman Imanul Haq pada 2017 silam mengatakan kafarat bertujuan untuk membuat seseorang menyadari kesalahannya agar tidak melanggar lagi perintah Allah SWT.

Denda tidak berlaku bagi pasutri yang berhubungan seks karena lupa atau belum niat menjalani puasa. Ini ditulis Dr ‘Aidh Al-Qarni dalam buku “Madrasah Ramadan: Cara Menyambut dan Mengisi Bulan Ramadhan agar Lebih Bermakna.” Hal ini juga senada seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam kitab ‘Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid’ oleh Ibnu Rusyd.

Bagaimana Jika Pasutri Mau Berhubungan Seks?

Pasutri masih bisa melakukan hubungan seks di bulan Ramadan, tetapi harus dilakukan di waktu yang tepat. Lakukan hubungan seks malam hari setelah buka puasa. Segera mandi wajib setelah berhubungan seks. Jika ditunda, dikhawatirkan akan lupa atau terlewat kesempatannya.

Apa yang Harus Diperhatikan Pasutri Selama Puasa?

Dikutip dari HaiBunda, niatkan setiap kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk ibadah. Jika ibadah puasa dijalankan bersama dengan perbuatan yang dilarang, pahala puasa dapat berkurang.

Hati-hati pula ketika bermesraan dengan pasangan. Walaupun tidak sampai berhubungan seks, tetapi bermesraan (ciuman, mandi bersama, menyentuh kemaluan) hingga keluar cairan mani dapat membatalkan puasa.

Sebaiknya pasutri juga tidak menonton film porno. Aktivitas ini tidak membatalkan puasa, tetapi akan mengurangi pahalanya. Apalagi jika sampai membangkitkan gairah untuk berhubungan seks atau masturbasi. Dalam Al-Fiqhu Al-Manhaji, hal ini dikategorikan sebagai salah satu perilaku yang membatalkan puasa.

(Celine Kurnia/kna)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy