Tag Archives: ibnu umar

Hukum Membunuh Binatang di Rumah: Kapan Diperbolehkan?


Jakarta

Di dalam rumah, kita mungkin akan menjumpai berbagai macam hewan, mulai dari yang tidak berbahaya hingga yang mengganggu kenyamanan dan kesehatan penghuni. Beberapa hewan yang mungkin kita temukan di rumah seperti cicak dan tikus bisa mengganggu kehidupan di rumah.

Lantas, bagaimana Islam memandang tindakan membunuh hewan-hewan tersebut di dalam rumah? Apakah boleh membunuh hewan yang mengganggu, atau justru ada aturan dan batasan tertentu dalam syariat?

Membunuh Hewan di Rumah

Dalam menjalani kehidupan di rumah, mungkin kita akan bertemu dengan berbagai macam hewan yang bisa jadi mengganggu kehidupan para penghuni surga. Dalam Islam, dibolehkan untuk membunuh beberapa jenis hewan.


Berikut beberapa hewan yang boleh dibunuh di rumah dalam Islam.

1. Cicak

cicakCicak (Foto: iStock)

Menurut buku Kajian Islam Profesi Peternakan oleh Retno Widyani, sebuah hadits dalam Shahih Muslim menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan membunuh cicak karena menyebutnya “penjahat kecil.”

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا.

Artinya: Dari Sa’id bin Abi Waqqash RA bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan membunuh cicak, dan beliau menamainya si penjahat kecil. (HR Muslim)

Bahkan, terdapat keutamaan dan pahala bagi mereka yang membunuh cicak sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW berikut.

مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ

Artinya: Barang siapa membunuh cicak dengan sekali pukulan, maka dia mendapat kebaikan sekian dan sekian. Barang siapa membunuh cicak dengan dua kali pukulan, maka dia memperoleh kebaikan sekian dan sekian, yang lebih sedikit daripada yang pertama. Jika dia membunuh cicak dengan tiga kali pukulan, maka dia memperoleh kebaikan sekian dan sekian, yang lebih sedikit daripada yang kedua. (HR Muslim)

2. Tikus

Cara mengusir tikus dari rumahTikus (Foto: Pixabay/Pexels)

Tikus adalah salah satu hewan yang sering ditemukan di dalam rumah dan dapat menimbulkan gangguan serta menyebarkan penyakit. Dalam Islam, tikus termasuk hewan yang boleh dibunuh karena dianggap berbahaya dan merusak.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, terdapat lima jenis hewan yang diperkenankan untuk dibunuh dalam ajaran Islam. Dalam sabdanya, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa lima hewan tersebut boleh dibunuh karena sifat atau bahayanya.

“Lima jenis hewan yang boleh dibunuh di Tanah Suci dan di luar Tanah Suci adalah burung gagak, burung elang besar, kalajengking, tikus, dan anjing yang menggigit.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa membunuh tikus di rumah tidak termasuk dosa.

3. Tokek

Tokek tokay diketahui memiliki 'indra keenam'Tokek tokay diketahui memiliki ‘indra keenam’ (Foto: uritafsheen/Getty Images via Science Alert)

Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk membunuh tokek. Menurut salah satu riwayat, anjuran ini berkaitan dengan peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS dilempar ke dalam api oleh Raja Namrud dan pasukannya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam Qashash Al-Anbiyaa bahwa perintah tersebut disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari, tepatnya pada Bab Kisah Para Nabi dalam pembahasan ayat Allah, “Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS An-Nisa: 125).

Dari Ubaidillah bin Musa (Ibnu Salam), dari Ibnu Juraij, dari Abdul Hamid bin Jubair, dari Said bin Musayib, dari Ummu Syuraik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh tokek, lalu beliau mengatakan, “Karena dahulu tokek itu pernah meniup-niupkan api kepada Ibrahim.”

4. Ular

Potret ular weling (Bungarus candidus) sedang merayap di tanah.Potret ular weling (Bungarus candidus) sedang merayap di tanah. (Foto: Benjamin Michael Marshall/Flickr/Lisensi CC BY-NC 2.0)

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya membunuh ular. Terutama yang memiliki dua garis putih di punggung atau ekornya pendek/buntung.

Dalam istilah Arab, ular bergaris putih dikenal dengan sebutan dzu ath-thifyatain, sedangkan ular berekor pendek disebut al-abtar.

Kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan karya Muhammad Fuad Abdul Baqi (terjemahan Ganna Pryadharizal Anaedi dan Muhamad Yasir al-Abtar) juga merujuk pada ular dengan ciri khas tidak berekor atau panjangnya kurang dari sehasta (sekitar 45 cm). Ular ini biasanya berwarna biru dengan ujung ekor yang putus.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa perintah membunuh dua jenis ular ini didasarkan pada bahayanya, karena diyakini dapat menyebabkan kebutaan dan keguguran.

Rasulullah SAW bersabda,

“Bunuhlah ular dan anjing. Apalagi ular yang di punggungnya ada dua garis putih serta ular yang ekornya buntung. Sebab, kedua jenis ular itu bisa membutakan mata dan menggugurkan kandungan.” (HR Muslim).

5. Hewan yang Membahayakan

Kalajengking masuk rumah bikin resah warga Cianjur.Kalajengking masuk rumah bikin resah warga Cianjur. (Foto: Ikbal Selamet/detikJabar)

Miftah Faridl, dalam buku Antar Aku ke Tanah Suci: Panduan Mudah Haji, Umrah, dan Ziarah, menerangkan bahwa diperbolehkan membunuh hewan pada kondisi-kondisi tertentu. Salah satunya adalah ketika hewan tersebut menyerang manusia. Dalam situasi seperti itu, membunuh hewan dianggap sebagai bentuk perlindungan diri. Maka, tindakan tersebut tidak termasuk perbuatan yang dilarang dalam Islam.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Salat yang Dilakukan Rasulullah di Medan Perang: Salat Khauf


Jakarta

Dalam situasi genting di medan perang, seorang muslim tidak boleh meninggalkan ibadah salatnya. Islam memberikan keringanan melalui salat khauf, yaitu salat yang dilakukan dalam kondisi takut atau khawatir akan serangan musuh.

Salat ini merupakan wujud kasih sayang Allah SWT agar hamba-Nya senantiasa mengingat-Nya. Bahkan dalam keadaan paling menantang sekalipun.

Apa Itu Salat Khauf?

Secara bahasa, khauf diartikan sebagai rasa takut. Dalam konteks salat khauf, rasa takut ini merujuk pada kekhawatiran akan serangan musuh saat berada di medan perang.


Dalam buku Terjemah Fiqhul Islam wa Adillathuhu Juz 2 susunan Prof Wahbah Az Zuhaili, salat khauf adalah ibadah yang disyariatkan menurut mayoritas ahli fiqih dan tergolong sebagai sunnah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits. Tujuannya adalah agar umat Islam tetap dapat menjalankan kewajiban salat sambil tetap waspada terhadap ancaman.

Landasan salat khauf terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 102, Allah SWT berfirman:

وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ ۗ فَاِذَا سَجَدُوْا فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَّرَاۤىِٕكُمْۖ وَلْتَأْتِ طَاۤىِٕفَةٌ اُخْرٰى لَمْ يُصَلُّوْا فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوْا حِذْرَهُمْ وَاَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ تَغْفُلُوْنَ عَنْ اَسْلِحَتِكُمْ وَاَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيْلُوْنَ عَلَيْكُمْ مَّيْلَةً وَّاحِدَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ كَانَ بِكُمْ اَذًى مِّنْ مَّطَرٍ اَوْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَنْ تَضَعُوْٓا اَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوْا حِذْرَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ اَعَدَّ لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا

Artinya: “Apabila engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dengan menyandang senjatanya. Apabila mereka (yang salat bersamamu) telah sujud (menyempurnakan satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). Lalu, hendaklah datang golongan lain yang belum salat agar mereka salat bersamamu dan hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya. Orang-orang yang kufur ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba. Tidak ada dosa bagimu meletakkan senjata jika kamu mendapat suatu kesusahan, baik karena hujan maupun karena sakit dan bersiap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir.”

Ayat ini secara jelas menggambarkan bagaimana salat khauf dilaksanakan dengan membagi jamaah menjadi beberapa kelompok untuk tetap siaga. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah melakukan salat khauf di berbagai tempat, seperti saat perang Dzatur Riqaa, Bathn Nakhl, ‘Usfaan, dan Dzi Qarad, bahkan tercatat sebanyak 24 kali.

Syarat Melakukan Salat Khauf

Salat khauf tidak hanya terbatas pada kondisi perang semata, tetapi juga bisa dilakukan dalam keadaan darurat lainnya. Menurut Ibnu Abidin, dalam sumber yang sama, rasa takut akan adanya serangan musuh adalah penyebab utama dilakukannya salat khauf.

Beberapa syarat untuk melaksanakan salat khauf adalah sebagai berikut:

  • Perang yang Diperbolehkan: salat khauf dilakukan saat memerangi kaum musyrik yang jahat, pemberontak, atau sejenisnya.
  • Ancaman Nyata: Bisa dilakukan ketika berhadapan dengan musuh, binatang buas, atau dalam kondisi yang mengancam keselamatan jiwa seperti takut tenggelam atau terbakar.

Cara Mengerjakan Salat Khauf

Para ahli fiqih sepakat bahwa dalam kondisi sangat mencekam dan sulit untuk salat berjamaah, salat khauf dapat dilakukan secara munfarid (sendiri-sendiri). Mereka boleh salat sambil menunggangi hewan atau berjalan di parit-parit.

Dalam kondisi ini, ruku’ dan sujud cukup dilakukan dengan isyarat ke arah manapun, baik kiblat atau selainnya. Meskipun salat tetap dimulai dengan takbiratul ihram dan menghadap kiblat jika memungkinkan.

Yang menarik, Rasulullah SAW melakukan salat khauf dengan berbagai cara, menyesuaikan dengan keadaan di medan perang. Al-Khaththabi menjelaskan, “Salat khauf banyak ragamnya. Nabi SAW pernah melakukannya pada keadaan dan cara yang berbeda-beda. Masing-masing disesuaikan agar salat terlaksana lebih baik dan lebih mendukung untuk pengawasan musuh. Sekalipun tata caranya berbeda, namun intinya tetap sama.” (HR Muslim)

Berikut adalah tiga cara pelaksanaan salat khauf yang dicontohkan Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Munir Jilid 3 oleh Prof. Wahbah az-Zuhaili:

1. Tata Cara Salat Khauf yang Pertama

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW melaksanakan salat khauf sebagai berikut:

  1. Satu golongan salat satu rakaat bersama Nabi SAW, sementara golongan lain tetap menghadap musuh.
  2. Setelah golongan pertama sujud dan menyempurnakan satu rakaat, mereka berpindah tempat dan menggantikan posisi golongan kedua yang menghadap musuh.
  3. Kemudian, golongan kedua yang belum salat datang dan salat satu rakaat bersama Nabi SAW.
  4. Nabi SAW dan golongan kedua meneruskan satu rakaat, begitu juga dengan golongan pertama yang telah berpindah posisi.

2. Tata Cara Salat Khauf yang Kedua

Dari Sahl bin Abi Hatsmah RA, ia menjelaskan:

  1. Rasulullah SAW membariskan para sahabat menjadi dua shaf di belakangnya.
  2. Beliau salat satu rakaat bersama shaf pertama.
  3. Setelah itu, beliau berdiri dan menunggu hingga para sahabat di shaf pertama menyelesaikan satu rakaat yang tersisa secara sendiri-sendiri.
  4. Kemudian, shaf kedua maju dan shaf pertama mundur ke belakang.
  5. Nabi SAW mengimami shaf yang baru maju (yang awalnya di shaf kedua), lalu duduk dan menunggu hingga mereka menyelesaikan satu rakaat yang tertinggal.
  6. Akhirnya, beliau salam bersama mereka.

3. Tata Cara Salat Khauf yang Ketiga

Jabir bin ‘Abdillah RA menceritakan:

  1. Rasulullah SAW membariskan para sahabat dalam dua shaf. Satu shaf di belakang beliau, dan musuh berada di antara mereka dan kiblat.
  2. Nabi SAW bertakbir, dan semua jamaah ikut bertakbir.
  3. Ketika beliau ruku’, semua jamaah ruku’ bersama. Kemudian bangkit dari ruku’ bersama-sama.
  4. Nabi SAW dan shaf terdepan sujud. Sedangkan shaf terakhir tetap berdiri menghadap musuh.
  5. Setelah Nabi SAW dan shaf terdepan selesai sujud dan berdiri, shaf belakang pun sujud lalu berdiri.
  6. Kemudian, shaf belakang maju ke depan, dan shaf yang di depan mundur.
  7. Nabi SAW ruku’, dan semua jamaah ikut ruku’. Kemudian bangkit dari ruku’ bersama-sama.
  8. Nabi SAW dan shaf pertama (yang pada rakaat pertama berada di belakang) sujud. Sementara shaf kedua berdiri menghadap musuh.
  9. Ketika Rasulullah SAW dan shaf di belakang beliau selesai sujud, shaf belakang pun sujud.
  10. Lalu, Nabi SAW dan semua jamaah salam bersama-sama.

Salat khauf menunjukkan betapa fleksibelnya syariat Islam dalam memberikan kemudahan bagi umatnya. Bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun.

Dengan memahami tata cara salat khauf ini, kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Allah SWT dalam setiap keadaan. Sekaligus tetap waspada dan berstrategi dalam menghadapi tantangan.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Umrah Dulu Atau Haji? Ini Penjelasan MUI


Jakarta

Ibadah haji dan umrah adalah dua pilar penting dalam Islam yang menjadi dambaan setiap muslim. Keduanya dilakukan di Tanah Suci Makkah dan memiliki keutamaan masing-masing.

Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah mana yang sebaiknya didahulukan, umrah atau haji? Bagaimana pandangan ulama dan contoh dari Rasulullah SAW sendiri? Mari kita telaah penjelasannya.

Nabi Muhammad SAW Tunaikan Umrah Dulu

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nabi Muhammad SAW diketahui melaksanakan ibadah umrah terlebih dahulu sebelum menunaikan ibadah haji. Urutan ini menjadi dasar bagi sebagian ulama dalam memperbolehkan umrah dilakukan sebelum haji.


Pernyataan ini didasarkan pada riwayat dari sahabat Ikrimah bin Khalid yang bertanya kepada Ibnu Umar RA mengenai kebolehan umrah sebelum haji. Ibnu Umar menjawab bahwa hal tersebut diperbolehkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Riwayat tersebut tertuang dalam HR Bukhari no. 1651:

أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ الْعُمْرَةِ قَبْلَ الْحَجِّ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ. قَالَ عِكْرِمَةُ : قَالَ ابْنُ عُمَرَ : اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ

Artinya: “Bahwa Ikrimah bin Khalid bertanya kepada Ibnu Umar RA tentang melaksanakan umrah sebelum haji. Maka Ibnu Umar menjawab, ‘Tidaklah mengapa.’ Ikrimah berkata, berkata Ibnu Umar RA, ‘Nabi ﷺ melaksanakan umrah sebelum haji.'”

Berdasarkan hadits ini, dapat disimpulkan bahwa mendahulukan umrah daripada haji bukanlah suatu kesalahan atau larangan.

Umrah atau Haji?

Pertanyaan tentang mana yang harus didahulukan sering muncul mengingat realitas pelaksanaan haji yang memerlukan antrean panjang hingga bertahun-tahun. Hal ini membuat umrah seringkali menjadi pilihan yang lebih fleksibel karena bisa dilaksanakan kapan saja sepanjang tahun.

Banyak muslim memilih untuk menunaikan umrah terlebih dahulu sebagai “pelepas rindu” ke Tanah Suci, sembari menanti giliran haji tiba.

Dalam buku Antar Aku ke Tanah Suci karya Miftah Faridl dan Budi Handrianto, dijelaskan bahwa pilihan antara umrah atau haji sebaiknya disesuaikan dengan kondisi masing-masing jemaah. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan fisik dan kemampuan finansial pada saat itu.

Namun, satu hal yang sangat penting untuk dipahami adalah bahwa menunaikan umrah tidak serta merta menggugurkan kewajiban ibadah haji. Seseorang yang telah melaksanakan umrah tetap berkewajiban untuk menunaikan haji jika telah memenuhi syarat mampu (istitha’ah).

Sebagaimana dikutip dari laman MUI, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam karyanya Fath al-Bari menjelaskan:

أَنَّ الْعُمْرَةَ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ الْحَجَّةَ فِي الثَّوَابِ لَا أَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَهَا فِي إسْقَاطِ الْفَرْضِ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى أَنَّ الِاعْتِمَارَ لَا يُجْزِئُ عَنْ حَجِّ الْفَرْضِ

Artinya: “Bahwa umrah di bulan Ramadan itu setara haji dalam pahalanya saja, bukan berarti umrah dapat menggantikan haji sehingga kewajiban haji dapat gugur karena ulama telah sepakat (ijma) bahwa umrah tidak dapat menggugurkan kewajiban haji.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, *Fath al-Bari*, juz 3, hlm 604)

Kesimpulannya, hukum melaksanakan umrah sebelum haji pada dasarnya diperbolehkan. Namun, penting untuk diingat bahwa umrah tidak menggantikan kewajiban haji. Setiap muslim yang telah mampu, baik secara fisik maupun finansial, tetap memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji.

Wallahu a’lam.

(hnh/hnh)



Sumber : www.detik.com

Jika Ular Weling Masuk Rumah, Apa yang Harus Dilakukan Menurut Islam?


Jakarta

Ular termasuk hewan yang menimbulkan rasa takut bagi banyak orang, terutama jika tiba-tiba muncul di dalam rumah. Dalam Islam, semua jenis ular, termasuk ular weling yang masuk ke dalam rumah tidak dianggap sebagai kejadian yang biasa.

Selain sebagai binatang melata yang membahayakan, ular juga disebut dalam sejumlah hadits sebagai makhluk yang bisa jadi berhubungan dengan alam gaib. Oleh karena itu, Islam memiliki panduan khusus dalam menyikapi keberadaan ular, terutama jika ia masuk ke dalam rumah.

Dikutip dari buku Jangan-jangan Nabi Benci Anda! karya H. Brilly El-Rasheed, S.Pd., Rasulullah SAW bersabda, “Bunuhlah ular, semuanya, barangsiapa takut dengannya maka dia tidak termasuk golonganku.”


Hadits ini menegaskan bahwa Nabi SAW memerintahkan umat Islam untuk membunuh semua ular, tanpa terkecuali.

Ular Weling

Dikutip dari buku berjudul Rahasia Ular yang ditulis Wong Comic, ular weling memiliki badan yang cenderung kecil, badannya bulat lonjong dan berekor runcing. Ular ini memiliki kulit berwarna belang hitam dan putih.

Ular weling memiliki racun neurotoxin. Saat menggigit tidak meninggalkan bekas gigitan yang bisa terlihat namun racunnya sangat berbahaya.

Pandangan Islam tentang Ular Masuk Rumah

Dalam pandangan umum, ular adalah hewan melata yang bisa membahayakan manusia melalui bisa atau lilitannya. Namun dalam Islam, ular juga bisa menjadi salah satu bentuk penampakan jin, terutama jika ia muncul di tempat yang tidak semestinya, seperti dalam rumah.

Hal ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya di Madinah ada jin-jin yang telah masuk Islam, maka jika kalian melihat seekor ular di dalam rumah, peringatkanlah ia selama tiga hari. Jika ia tetap muncul setelah itu, maka bunuhlah, karena itu adalah syaitan.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa sebagian ular yang masuk rumah bisa jadi adalah jin yang menyerupai ular. Karena itulah, Islam menganjurkan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum membunuhnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Zadul Ma’ad menyebut bahwa jin yang berwujud ular bisa terbunuh jika manusia langsung membunuhnya tanpa memberi peringatan, dan ini bisa menyebabkan pembalasan dari kaum jin lainnya terhadap manusia yang bersangkutan. Oleh karenanya, sebelum membunuh ular maka harus diberi peringatan.

Dua Jenis Ular yang Harus Dibunuh

Al-Lu’lu’ wal Marjan yang diterjemahkan Ganna Pryadharizal Anaedi dan Muhammad Yasir dan disusun oleh Fuad Abdul Baqi menjabarkan hadits bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan untuk membunuh ular. Ada dua jenis ular yang ditekankan Rasulullah SAW untuk dibunuh.

قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوا ذَا الطَّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَطْمِسَانِ الْبَصَرَ وَيَسْتَسْقِطَانِ الْحَبَلَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَبَيْنَا أَنَا أَطَارِدُ حَيَّةً لِأَقْتُلَهَا فَنَادَانِي أَبُو لُبَابَةَ لَا تَقْتُلْهَا فَقُلْتُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَ بِقَتْلِ الْحَيَّاتِ قَالَ إِنَّهُ نَهَى بَعْدَ ذَلِكَ عَنْ ذَوَاتِ الْبُيُوتِ وَهِيَ الْعَوَامِرُ وَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ فَرَآنِي أَبُو لُبَابَةَ أَوْ زَيْدُ بْنُ الْخَطَّابِ.

Ibnu Umar berkata bahwa dirinya mendengar Nabi Muhammad berkhutbah di atas mimbar, beliau bersabda, “Bunuhlah ular dan bunuhlah ular yang di punggungnya ada dua garis putih, dan ular pendek. Karena kedua ular itu menghapus (membutakan) pandangan dan menggugurkan kandungan.”

Abdullah berkata, “Ketika aku mengejar ular untuk membunuhnya, lalu Abu Lubabah memanggilku, “Janganlah engkau membunuhnya.” Maka aku berkata, “Sesungguhnya Rasulullah telah memerintahkan kami untuk membunuh ular-ular.” Lalu Abu Lubabah berkata lagi, “Sesungguhnya setelah itu beliau melarang terhadap ular yang ada di rumah-rumah, yaitu ular-ular yang menghuni rumah.”

Di dalam sebuah riwayat disebutkan: “Kemudian Abu Lubabah Abu Zaib bin Al-Khathab melihat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Bad’u Al-Khalq (59)).

Doa agar Dilindungi dari Ular

Ada doa yang bisa dibaca saat ular masuk ke rumah,

يَا أَرْضُ رَبِّيْ وَرَبُّكِ اللهُ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شَرِّكِ وَشَرِّ مَا فِيْكِ وَشَرِّ مَا يَدِبُّ عَلَيْكِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ أَسَدٍ وَأَسْوَدٍ وَحَيَّةٍ وَعَقْرَبٍ وَمِنْ شَرِّ وَالِدٍ وَمَا وَلَدٍ وَمِنْ شَرِّ سَاكِنِ الْبَلَدِ

Arab latin: Yâ ardhu, rabbî wa rabbukillâh. A’ûdzu billâhi min syarriki, wa syarrimâ fîki, wa syarrimâ yadibbu ‘alaiki. A’ûdzu billâhi min asadin wa aswadin wa hayyatin wa ‘aqrabin wa min syarri wâlidin wa mâ walad wa min syarri sâkinil balad.

Artinya, “Hai bumi, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah. Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu, kejahatan barang yang ada padamu, kejahatan barang yang berjalan di atasmu. Aku berlindung kepada Allah dari macan, ular hitam, segala ular, kalajengking, dari kejahatan segala yang beranak dan yang diberanakkan, dan dari kejahatan yang berdiam di tempat ini.”

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Surat Az-Zumar Ayat 9, Jelaskan Perbedaan Orang Berilmu dan Orang Lalai


Jakarta

Surat Az Zumar merupakan salah satu surat dalam Al-Qur’an yang banyak mengandung pelajaran tentang keimanan, ibadah, dan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Salah satunya seperti dijelaskan dalam ayat 9.

Surat Az Zumar ayat ke-9 menjelaskan perbedaan antara orang yang berilmu dan beribadah dengan orang yang lalai dari ketaatan. Berikut bacaan dan tafsir selengkapnya.

Surat Az-Zumar Ayat 9

Berikut bacaan lengkap surat Az Zumar ayat 9,


أَمَّنْ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحْذَرُ ٱلْءَاخِرَةَ وَيَرْجُوا۟ رَحْمَةَ رَبِّهِۦ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Arab-Latin: Am man huwa qānitun ānā`al-laili sājidaw wa qā`imay yaḥżarul-ākhirata wa yarjụ raḥmata rabbih, qul hal yastawillażīna ya’lamụna wallażīna lā ya’lamụn, innamā yatażakkaru ulul-albāb

Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Asbabun Nuzul Surat Az-Zumar Ayat 9

Merangkum buku Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an karya Jalaludin as-Suyuti, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Umar RA dia berkata, “(Apakah kamu orang musyrik lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam.”

Ia berkata, “Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Utsman bin Affan.”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Diturunkan berkenaan dengan Ammar bin Yasir.”

Juwaibir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ayat tersebut turun berkenaan dengan Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir dan Salim, mantan budak sahaya Abu Hudzaifah.”

Juwaibir meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Ayat tersebut turun mengenai Ammar bin Yasir.”

Tafsir Surat Az Zumar Ayat 9

Tafsir Ringkas Kementerian Agama (Kemenag) RI

Dalam surat Az-Zumar ayat 9-10, Allah SWT memberikan gambaran perbandingan antara dua golongan manusia yang sangat berbeda di sisi-Nya. Ayat ini menekankan keutamaan orang yang taat, berilmu, dan rajin beribadah, dibandingkan mereka yang kufur, hanya ingat kepada Allah saat tertimpa musibah, dan selalu mengikuti hawa nafsunya.

Ayat ini membuka dengan pertanyaan yang sangat menyentuh: “Apakah orang yang beribadah di waktu malam, dalam keadaan sujud dan berdiri, karena takut akan azab akhirat dan mengharap rahmat Tuhannya, itu sama dengan orang kafir?”

Allah SWT menyebut secara khusus ibadah di malam hari karena waktu ini menunjukkan keikhlasan yang tinggi. Seseorang yang meninggalkan tidur nyamannya untuk membaca Al-Qur’an, salat, dan berzikir tentu memiliki kedekatan dengan Allah SWT. Ia melakukan semua itu karena rasa takut terhadap azab akhirat dan harapan besar pada rahmat Allah SWT.

Allah SWT lalu memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menegaskan perbedaan ini:
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Orang yang berilmu, yang memahami ajaran Allah, pasti akan terdorong untuk beramal saleh dan menjauhi keburukan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki ilmu, apalagi menolak kebenaran, cenderung mengikuti hawa nafsu dan mengabaikan ajaran agama.

Ayat ini menegaskan bahwa hanya orang-orang yang berakal sehat dan berpikiran jernih yang dapat menerima pelajaran, membedakan antara kebenaran dan kebatilan, serta mengenali nilai ibadah dalam kehidupan.

Surah Az-Zumar ayat 9-10 memberikan pelajaran penting tentang nilai ibadah di waktu malam, keutamaan ilmu, pentingnya takwa, dan luasnya rahmat Allah bagi orang-orang yang bersabar. Ayat ini juga mengingatkan bahwa orang berilmu dan beriman memiliki kedudukan yang jauh lebih mulia dibandingkan dengan mereka yang tidak mengetahui kebenaran dan terus mengikuti hawa nafsunya.

Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tidaklah sama di sisi Allah SWT antara orang yang menyekutukan-Nya dengan orang yang menghabiskan malam dalam ibadah. Allah SWT mengangkat derajat mereka yang bersujud dan berdiri di tengah malam karena takut kepada siksa akhirat dan berharap rahmat-Nya.

Frasa “آناءَ اللَّيْلِ” (ana al-lail) secara harfiah berarti “bagian-bagian malam”. Para mufassir seperti As-Suddi dan Ibnu Zaid menafsirkannya sebagai tengah malam. Kemudian Qatadah menafsirkannya secara lebih luas mencakup awal, pertengahan, dan akhir malam.

Ini menunjukkan bahwa ibadah malam memiliki kedudukan tinggi dalam Islam dan bisa dilakukan pada seluruh bagian malam, terutama dalam bentuk salat tahajud, berzikir, dan membaca Al-Qur’an.

Ibnu Katsir menegaskan bahwa kedua sikap ini wajib hadir dalam ibadah seorang mukmin. Ketika masih sehat dan bertenaga, rasa takut hendaknya lebih dominan agar menjauhi dosa. Namun saat menjelang ajal, rasa harap kepada ampunan dan rahmat Allah lebih diutamakan agar ia wafat dalam husnul khatimah.

Firman Allah SWT, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ini menunjukkan keutamaan ilmu. Orang yang tahu, yang berilmu, akan memahami pentingnya malam, akhirat, dan ibadah. Sedangkan orang yang tidak berilmu akan tersesat dalam syirik, maksiat, dan kehidupan dunia yang sementara.

Orang yang berilmu bukan hanya tahu hukum, tapi juga memiliki kesadaran batin yang mendalam. Mereka adalah orang-orang yang bisa membedakan mana jalan lurus dan mana jalan yang menyimpang.

Ayat ini ditutup dengan pernyataan Allah SWT, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal (ulul albab) yang dapat menerima pelajaran.”

Menurut Ibnu Katsir, ulul albab adalah mereka yang menggunakan akalnya secara benar, untuk merenungi ayat-ayat Allah dan melihat perbedaan antara orang taat dan orang durhaka. Akal yang dipakai dengan benar akan membimbing kepada iman, ibadah, dan ilmu.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Berapa Besaran Zakat Fitrah yang Harus di Bayar? Cek di Kalkultor Zakat Ini Ya



Jakarta

Zakat menjadi salah satu kewajiban umat Islam yang mesti ditunaikan bagi mereka yang mampu. Zakat sendiri bisa dikeluarkan dari harta simpanan yang dimiliki hingga penghasilan yang diperoleh.

Diwajibkannya zakat berdasarkan sejumlah dalil Al-Qur’an dan hadits. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkanya melalui Al-Baqarah ayat 43: “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Juga dorongan berzakat termuat pada Surat At-Taubah ayat 103, “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka,”


Sementara dalam hadits, diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar; kesaksian tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadan.” (Muttafaq Alaih)

Syaikh Abdul Aziz Muhammad Azzam & Syaikh Abdul Wahhab Sayyed Hawwas dalam buku Al-Wasiith fil Fiqhi Al-Ibaadaat mengemukakan zakat di sini diharuskan kepada kaum muslim merdeka (bukan hamba sahaya), yang punya hak penuh atas harta yang wajib zakati dan (harta itu) telah mencapai hisab.

Terkait apa yang mesti dizakati, menukil buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’ karya Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, syariat melalui para ulama menetapkan kekayaan seperti emas, perak, perhiasan, hingga pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan, merupakan harta yang perlu dikeluarkan zakatnya. Dan harta-harta ini termasuk kategori zakat mal.

Zakat Simpanan

Yang termasuk jenis zakat ini berupa simpanan seperti uang, emas, atau perak. Bagi mereka yang mempunyai kekayaan tersebut, harus mengeluarkan zakat apabila hartanya melebihi nisab (batas wajib zakat).

Nisab zakat simpanan senilai 85 gram emas. Sehingga jika seorang muslim punya kekayaan simpanan lebih dari jumlah nisab tersebut, baginya diwajibkan menunaikan zakat simpanan. Sementara bila ia jumlah harta simpanannya kurang dari nisab, maka tak harus membayar zakat ini.

Perihal sebanyak apa yang mesti dikeluarkan, yakni ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah harta simpanan.

Nah, untuk detikers yang ingin berzakat tetapi masih bingung akan besaran yang perlu dibayarkan, detikHikmah punya Kalkulator Zakat yang mudah dipakai dan dapat diakses melalui laman INI.

Detikers cukup memberikan info terkait harta berbentuk tabungan, giro, deposito ataupun kekayaan lainnya seperti logam mulia, surat berharga, investasi dan stok barang dagangan. Kemudian masukan pula angka mengenai utang jatuh tempo dalam membayar zakat dan jumlah harta simpanan.

Jangan lupa juga untuk cek harga emas per gram sesuai harga yang berlaku saat detikers hendak membayar zakat. Setelah mengisi data yang dibutuhkan tersebut, dengan cepat Kalkulator Zakat akan menginfokan nominal jumlah zakat simpanan yang harus dibayarkan per tahunnya.

Zakat Penghasilan

Untuk zakat penghasilan, adalah zakat yang dikeluarkan setiap memperoleh gaji atau pendapatan, termasuk saat menerima tunjangan hari raya (THR) atau bonus. Jenis zakat satu ini disebut juga dengan zakat profesi.

Nisab zakat penghasilan sendiri senilai 85 gram emas. Apabila seorang muslim memiliki jumlah penghasilan lebih dari batas nisab, maka mesti baginya untuk mengeluarkan zakat tersebut. Tetapi jika ia tak punya pendapatan sejumlah nisab atau kurang darinya, maka tak wajib baginya untuk menunaikan zakat penghasilan.

Terkait seberapa zakat yang perlu dikeluarkan, diketahui sebesar 2,5% dari jumlah gaji atau pendapatan. Untuk lebih mudah dalam mengetahui besaran zakat yang harus dibayarkan, detikers dapat kunjungi laman INI.

Hanya dengan memasukkan info mengenai penghasilan per bulan, pendapatan lain (jika ada), utang atau cicilan akan kebutuhan pokok, dan cek harga emas ketika hendak membayar zakat, kemudian detikers akan dapatkan nominal zakat penghasilan yang perlu ditunaikan. Mudah kan? Yuk segera hitung besaran zakat detikers.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Zakat Fitrah dengan Beras atau Uang, Mana yang Lebih Afdal?



Jakarta

Zakat fitrah pada masa Nabi SAW diketahui ditunaikan dengan makanan pokok. Sementara saat ini di Indonesia, banyak kaum muslim menunaikan zakat fitrah dengan uang yang nilainya seharga makanan pokok itu. Lalu, mana yang lebih utama?

Menukil buku Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, zakat fitrah adalah zakat jiwa yang wajib dikeluarkan atas setiap muslim, baik laki-laki dan perempuan, dewasa maupun anak kecil, orang merdeka atau hamba sahaya.

Yang menjadi dalil dasar disyariatkannya zakat fitrah adalah riwayat Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang besar dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, Darami, Malik & Ahmad)


Melalui riwayat di atas dapat diketahui apa yang diperintah Nabi SAW untuk dikeluarkan sebagai zakat fitrah. Yakni beliau menyuruh untuk mengeluarkan makanan kurma atau gandum sebanyak satu sha.

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam bukunya Al-Jami’ fil Fiqhi An-Nisa’ menjelaskan, yang ditunaikan sebagai zakat fitrah adalah makanan yang dianggap pokok dalam suatu negeri. Bisa berupa gandum, kurma, sya’ir, anggur, beras jagung dan sebagainya.

Sayyid Sabiq melalui bukunya turut menyebutkan bahwa yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok pada daerah setempat, yaitu kurma, gandum, anggur, dan lainnya.

Imam Ghazali juga melalui kitab Ihya Ulumiddin mengungkap padangannya, “Zakat fitrah wajib dikeluarkan dari jenis makanan pokok yang biasa dikonsumsi atau yang lebih baik dari itu.”

Adapun kurma dan gandum seperti pada hadits di atas bisa dikatakan merupakan makanan pokok pada kala itu, sehingga Rasul SAW mensyariatkan untuk mengeluarkan jenis makanan tersebut.

Zakat Fitrah, Ditunaikan dengan Beras atau Uang?

Di Indonesia sendiri, beras adalah makanan pokok mayoritas masyarakatnya. Jika mengambil pendapat ulama seperti penjelasan di atas, maka beras bisa dikeluarkan sebagai zakat fitrah karena merupakan makanan pokok.

Namun dalam praktik sekarang ini, banyak dari penduduk muslim Indonesia memilih mengeluarkan uang yang nilanya seharga makanan pokok sebagai zakat fitrah, lantaran dinilai lebih praktis. Apakah diperbolehkan?

Ahmad Sarwat, Lc dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat melampirkan sejumlah pendapat ulama terkait zakat fitrah dengan uang. Menurutnya, para ulama terbagi menjadi tiga pandangan:

1. Tidak Boleh dengan Uang

Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah sebagai tiga madzhab besar dapat disebut jumhur ulama. Mereka sepakat bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yakni dalam bentuk makanan pokok yang masih mentah.

Mereka berpemahaman, bila zakat fitrah ditunaikan dengan bentuk uang yang senilai maka zakat itu belum sah. Bahkan Imam Ahmad memandang hal ini menyalahi sunnah Rasul SAW, dan tidak sebagaimana yang diperintah olehnya.

Mereka yang tidak memperbolehkan zakat fitrah dengan uang mengambil riwayat Ibnu Umar di atas sebagai dalil, dan menambahkan penggalan firman Surat An-Nisa ayat 59: “Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya”. Sehingga maksudnya, apa yang diperintahkan oleh Nabi demikian, mesti ditunaikan demikian pula.

2. Boleh dengan Uang

Madzhab Hanafi membolehkan menunaikan zakat fitrah dengan uang yang senilai dengan bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Selain Hanafiyah, ada juga sejumlah ulama yang disebut memperbolehkan mengganti makanan pokok dengan uang senilai untuk zakat, yakni Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ishak dna Atha.

Abu Yusuf yang merupakan salah satu ulama Hanafiyah berpendapat, “Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang daripada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan kaum miskin.”

Adapun di Indonesia terdapat Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), sebuah lembaga resmi yang dibentuk pemerintah dan berwenang untuk mengelola zakat secara nasional.

Baznas sendiri mengacu pendapat salah satu ulama besar yakni Syekh Yusuf Qaradhawi, di mana memperbolehkan zakat fitrah dengan uang yang setara dengan satu sha. Untuk nominal uangnya, menyesuaikan harga makanan pokok seperti beras yang dikonsumsi.

Begitu juga dengan ormas Islam besar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya juga membolehkan menunaikan zakat fitrah dengan konversi uang yang senilai.

3. Pendapat Pertengahan

Ulama sekarang seperti Mahmud Syaltut dalamkitab Fatawa-nya mengemukakan, “Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan (zakat fitrah) bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, saya keluarkan uang (harganya).”

Jika ditanyakan mana yang lebih utama, antara membayar zakat fitrah dengan uang atau makanan pokok seperti beras, kita bisa mengutip penjelasan di atas, di mana menunaikan zakat fitrah dengan makanan pokok termasuk mengikuti sunnah Nabi SAW.

Selain itu, untuk detikers yang ingin mengetahui besaran zakat penghasilan dan zakat simpanan yang harus dikeluarkan bisa cek melalui kalkulator zakat di detikHikmah DI SINI ya.

Wallahu a’lam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

5 Hal Ini Dapat Menyebabkan Pahala Sedekah Hilang, Hindari!


Jakarta

Sedekah adalah amalan ringan yang mengandung banyak keutamaan. Meski demikian, seorang muslim perlu hati-hati dalam bersedekah agar tidak merusak atau menghilangkan pahala amalan tersebut.

Keutamaan sedekah disebutkan langsung dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 274,

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ٢٧٤


Artinya: “Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara rahasia maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.”

Sedekah harus diniatkan untuk mengharap ridha Allah SWT semata, bukan imbalan dari sesama makhluk. Diterangkan dalam buku 100 Kesalahan dalam Sedekah yang ditulis Reza Pahlevi Dalimuthe Lc M Ag, makna dari sedekah adalah apa yang dikeluarkan seseorang dari hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, sedekah juga tidak hanya sebatas harta melainkan hal-hal lain.

Muslim yang bersedekah akan dibalas berkali-kali lipat oleh Allah SWT. Ini sesuai dengan yang diterangkan dalam surah Saba’ ayat 39:

قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ ٣٩

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.’ Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.”

Meski demikian, muslim harus menghindari beberapa hal agar pahala sedekah yang diperoleh tidak hilang. Simak bahasannya berikut ini.

Hal-hal yang Bisa Menghilangkan Pahala Sedekah

1. Menggunakan Harta Haram untuk Sedekah

Masih dari sumber yang sama, sedekah dengan harta haram dapat menggugurkan pahala sedekah itu sendiri. Alih-alih mendapat pahala, muslim justru akan diganjar dosa jika bersedekah menggunakan harta haram.

Dari Ibnu Umar RA, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak akan diterima salat tanpa thaharah (bersuci), dan tidak akan diterima pula sedekah dari harta ghulul.” (HR Muslim)

Ghulul artinya mencuri harta ghanimah atau rampasan perang sebelum dibahagiakan. Harta ghulul dikategorikan tidak halal atau haram.

2. Sedekah yang Dibesar-besarkan

Maksud dari sedekah yang dibesar-besarkan di sini adalah ketika muslim bersedekah namun amalan tersebut harus terdengar orang lain agar mendapat pujian dari sesama manusia. Menurut buku Sedekah Maha Bisnis dengan Allah karya Amirulloh Syarbini, perbuatan ini digolongkan sum’ah.

Sum’ah juga dimaknai menceritakan dan membesar-besarkan amalan yang pernah dilakukan agar mendapat tempat di hati serta perhatian dan keistimewaan.

3. Menyakiti Hati Penerima Sedekah

Ketika bersedekah, jangan sampai kita menyakiti hati si penerima. Rusak pahala sedekah muslim ketika hal ini terjadi sebagaimana diterangkan dalam surah Al Baqarah ayat 264,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

4. Meminta Kembali Sedekah yang Diberikan

Muslim yang sudah bersedekah dilarang untuk meminta kembali apa yang telah ia berikan. Ini tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi.

Dari Harun bin Ishaq al- Hamdani, dari Abdurrazzaq, dari Ma`mar, dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Umar, bahwa ia menyerahkan seekor kuda untuk ke- perluan jihad fi sabilillah. Lalu ia melihat kuda itu dijual, dan ia ingin membelinya. Kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Janganlah engkau mengambil kembali sesuatu yang telah engkau sedekahkan.” (HR Tirmidzi)

5. Menyebut Sedekah yang Sudah Dikeluarkan

Begitu pula dengan muslim yang menyebut-nyebut sedekahnya. Hal ini termasuk perkara yang merusak hingga menyebabkan gugurnya pahala sedekah.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 264,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Itulah beberapa perkara yang dapat menggugurkan pahala sedekah muslim. Semoga kita senantiasa termasuk orang-orang yang sedekahnya diterima oleh Allah SWT, Aamiin.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Tentang Rukun Yamani dan Keistimewaannya bagi Jemaah Umrah


Jakarta

Sebagai tempat ibadah umat Islam yang mulia, Ka’bah memiliki sejarah panjang dalam pembangunannya. Dari zaman ke zaman, Ka’bah melewati beberapa perbaikan hingga terbangun dengan pondasi yang sangat kokoh hingga saat ini. Salah satu pondasi utama yang menjadi bagian Ka’bah adalah setiap sudut (rukun) nya.

Ka’bah dibangun atas empat rukun, yaitu Rukun Hajar Aswad, Rukun Syami, Rukun Iraqi, dan Rukun Yamani. Salah satu dari rukun Ka’bah, yaitu Rukun Yamani, memiliki keistimewaan tersendiri terutama bagi jemaah yang melakukan thawaf.

Apa Itu Rukun Yamani?

Dikutip dari buku Manasik Umrah Nabi Muhammad yang ditulis oleh Brilly El-Rasheed, Rukun Yamani adalah sudut Ka’bah yang terletak di bagian barat daya, tepatnya sebelum rukun Hajar Aswad, jika dilihat dari arah perjalanan thawaf. Dinamakan Rukun Yamani karena posisinya yang menghadap ke arah negara Yaman, yaitu wilayah selatan Makkah.


Sudut Rukun Yamani adalah sudut yang tersisa dari sudut-sudut Ka’bah yang dibangun asli oleh Nabi Ibrahim AS. Berbeda dengan dua sudut lainnya, yaitu sudut sebelah utara, keduanya dirobohkan oleh kaum Quraisy saat perbaikan Ka’bah karena kekurangan biaya halal dalam pembangunannya.

Anjuran Menyentuh Rukun Yamani saat Thawaf

Sayyid Sabiq menyebutkan dalam kitab Fiqh as-Sunnah 3 terjemahan Abdurrahim dan Masrukhin, orang yang thawaf disunnahkan menyentuh Rukun Yamani karena keutamaannya yang tidak dimiliki oleh rukun-rukun lain. Ibnu Umar RA berkata, “Aku tidak mengetahui Nabi SAW menyentuh rukun (pokok Ka’bah) kecuali dua Rukun Yamani.”

Ibnu Umar RA berkata, “Aku tidak meninggalkan menyentuh dua rukun ini (Yamani dan Hajar Aswad) sejak aku melihat Rasulullah SAW menyentuhnya. Aku tidak meninggalkannya, baik ketika senang maupun ketika susah.”

Ulama Islam sepakat bahwa menyentuh Rukun Yamani adalah sunnah, sedangkan menyentuh rukun lain tidak disunnahkan. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

الْيَمَانِيُّ يَحُطُ الْخَطَايَا حَطَّا. الْحَجَرُ والركن

Artinya: “Sungguh Hajar Aswad dan Rukun Yamani dapat menghapus dosa-dosa.”

Disebutkan pula dalam Fadhlu Hajar Aswad wa Maqam Ibrahim karya Prof Said Muhammad Bakdasy yang diterjemahkan Gumilar Irfanullah, selain menyentuhnya, Rasulullah SAW juga menganjurkan untuk mencium Rukun Yamani. Dari Ibnu Abbas RA, ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mencium Rukun Yamani dan meletakkan pipinya di atasnya.”

Dalam riwayat lain, dari Ali RA, “Rasulullah SAW pernah menempelkan kedua pipinya di atas Rukun Yamani, beliau meminta surga kepada Allah dan meminta perlindungan dari api neraka.”

Imam Ja’far Al-Shadiq dalam buku Etika Islam yang ditulis oleh Faidh Kasyani, mengibaratkan Rukun Yamani dengan pintu surga, karena menyentuhnya adalah sebagai perantara masuk ke dalam surga dan sungai untuk membersihkan dosa-dosa. Beliau berkata, “Rukun Yamani adalah salah satu pintu surga yang belum Allah tutup sejak membukanya.”

Beliau juga berkata, “Rukun Yamani adalah pintu kami di mana kami memasuki surga darinya. Di dalamnya terdapat sungai dari surga yang dilemparkan padanya perbuatan-perbuatan para hamba-Nya.” Beliau menyamakan Rukun Yamani dengan pintu surga karena menyentuhnya sebagai perantara masuk ke dalam surga dan sungai untuk membersihkan dosa-dosa.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Baca Doa Qunut Saat Witir di Pertengahan Ramadan, Begini Penjelasannya



Jakarta

Doa qunut biasa dibacakan oleh imam saat sholat witir dalam rangkaian sholat tarawih di pertengahan Ramadan. Ada beberapa dalil yang menjelaskan hal ini.

Kumandang azan magrib hari ini akan menjadi pertanda puasa hari ke-15 Ramadan 1444 Hijriah. Artinya sudah setengah perjalanan bulan Ramadan. Malam pertengahan Ramadan termasuk istimewa, salah satu amalan yang bisa dikerjakan yakni membaca doa qunut ketika sholat witir.

Doa qunut saat witir setelah sholat tarawih tidak dibacakan pada malam-malam awal Ramadan. Ada banyak dalil yang bisa dijadikan sebagai dasar pembacaan doa qunut ini.


Hukum Membaca Doa Qunut Saat Sholat Witir

Dilansir dari laman NU Online, Kamis (6/4/2023) amalan ini disebutkan melalui atsar atau perkataan sahabat Nabi berikut:

1. Hadits Riwayat Abu Dawud

أن عمر بن الخطاب جمع الناس على أبي بن كعب فكان يصلي لهم عشرين ليلة ولا يقنت الا في النصف الباقى من رمضان. رواه أبو داود

Artinya, “Sesungguhnya Umar Ibn Khattab berinisiatif mengumpulkan masyarakat agar shalat tarawih bersama (dengan imam) Ubay Ibn Ka’b, maka beliau shalat tarawih bersama mereka selama 20 malam, dan beliau tidak berdoa qunut kecuali dalam separuh yang kedua (malam 16 Ramadhan hingga seterusnya).” (HR. Abu Dawud).

2. Imam asy-Syafii

Berikutnya, dijelaskan pula di dalam kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar (4/44) dengan mengutip pendapat Imam asy-Syafii yang mengatakan bahwa pada separuh terakhir Ramadhan umat Muslim membaca doa Qunut. Hal ini pernah dilakukan oleh Ibnu Umar dan Mu’adza al-Qari.

قال الشافعي: ويقنتون في الوتر في النصف الآخر من رمضان، وكذلك كان يفعل ابن عمر، ومعاذ القاري
Artinya, “Mereka berqunut di dalam shalat Witir pada pertengahan akhir bulan Ramadan, seperti itulah yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan Mu’adz al-Qari.”

3. Imam an-Nawawi

Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar (67) menegaskan hal serupa. Menurut an-Nawawi, ulama kalangan madzhab Syafii menganjurkan pembacaan doa Qunut pada separuh terakhir di bulan Ramadhan. Selain itu, dia juga memaparkan beberapa versi anjuran ini. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat menurutnya adalah Qunut dibaca pada separuh terakhir Ramadan.

ويستحب القنوت عندنا في النصف الأخير من شهر رمضان في الركعة الأخيرة من الوتر، ولنا وجه: أن يقنت فيها في جميع شهر رمضان، ووجه ثالث: في جميع السنة، وهو مذهبُ أبي حنيفة، والمعروف من مذهبنا هو الأوّل

Artinya: “Menurut kami, disunnahkan Qunut di akhir witir pada separuh akhir Ramadhan. Ada juga dari kalangan kami (Syafiiyyah) yang berpendapat, disunnahkan Qunut di sepanjang Ramadhan. Kemudian ada pula yang berpendapat bahwa disunnahkan Qunut di seluruh shalat sunnah. Ini menurut madzhab Abu Hanifah. Namun, yang baik menurut madzhab kami adalah model yang pertama, yaitu Qunut pada separuh akhir Ramadhan.”

Mengutip buku Ramadan Bersama Rasul: Panduan Ibadah di Bulan Suci Ramadan oleh Alvian Iqbal Zahasfan, dijelaskan bahwa ada perbedaan pendapat tentang membaca doa qunut saat sholat witir dari imam mazhab.

Pertama, Imam Abu Hanifah berpendapat wajib hukumnya qunut witir sebelum rukuk sepanjang tahun. Sementara menurut kedua muridnya, Abu Yusuf (w. 182 H) dan Muhammad Asy-Syaibani (w. 189 H), hukumnya sunnah.

Kedua, menurut pendapat Malikiyah yang masyhur hukumnya adalah makruh, tetapi dalam satu riwayat di kitab Al-Muwatha’ disebutkan bahwa Imam Malik ber-qunut di separuh terakhir Ramadan (sebelum rukuk). Pada praktiknya, mayoritas Malikiyah di Maroko tidak qunut di separuh Ramadan.

Ketiga, pendapat Syafiiyah yang paling unggul hukumnya adalah mustahab (sunnah) khususnya qunut witir di separuh terakhir Ramadan (setelah rukuk). Sebagian Syafiiyah menilai tidak ada qunut di bulan Ramadan.

Keempat, Al-Hanabilah berpendapat hukumnya sunnah sepanjang tahun setelah rukuk.

Kelima, menurut Imam Thowus, qunut witir adalah bid’ah.

Wallahu ‘alam.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com