Tag Archives: imam

Sering Tak Terlihat, di Mana Posisi Imam Salat Masjidil Haram?


Jakarta

Pelaksanaan salat di Masjidil Haram berbeda dengan salat di masjid-masjid pada umumnya. Selain shaf yang melingkar, posisi imam tak selalu terlihat oleh jemaah.

Menurut penelusuran detikHikmah, posisi imam salat Masjidil Haram berbeda-beda. Kadang berada tepat di depan Ka’bah, kadang berada di tempat khusus yang sedikit jauh dari Ka’bah. Posisi kedua ini membuat tak semua jemaah bisa melihat keberadaan imam.

Saat ini, posisi imam lebih sering berada di tempat khusus yang disebut dengan mihrab. Ini merupakan tempat imam memimpin salat sekaligus menyampaikan ceramah pada jemaah. Letak persisnya di belakang mataf, di seberang dinding Ka’bah antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad.


Mihrab Masjidil Haram, Makkah.Mihrab Masjidil Haram, Makkah. Foto: X/@AlharamainSA

Jika jemaah mengamati, ada celah kosong memanjang di pelataran Ka’bah saat salat berjamaah berlangsung. Celah ini segaris dengan posisi imam yang berada di mihrab Masjidil Haram. Dengan demikian, tak ada jemaah yang menghalangi imam saat memimpin salat berjamaah menghadap Ka’bah.

Pelaksanaan salat di Masjidil Haram dengan shaf melingkari Ka'bah.Pelaksanaan salat di Masjidil Haram dengan shaf melingkari Ka’bah. Foto: X/@AlharamainSA

Posisi Makmum Salat di Masjidil Haram

Shaf salat di Masjidil Haram melingkari Ka’bah. Posisi makmum berada di belakang imam, jika imam berada di depan Ka’bah. Namun, jika posisi imam di mihrab, makmum bisa memposisikan diri mengelilingi Ka’bah mulai dari barisan paling depan dan mengosongkan area arah imam.

Saat imam memimpin salat dari mihrab, makmum yang berada di arah yang sama tak boleh lebih maju dari imam. Demikian menurut penjelasan para ulama.

Keutamaan Salat di Masjidil Haram

Salat di Masjidil Haram memiliki keutamaan yang tak terdapat di mana pun. Menurut sebuah hadits, salat di Masjidil Haram pahalanya setara dengan 100.000 kali salat. Rasulullah SAW bersabda,

الصَّلَاةُ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ بِمِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ وَالصَّلَاةُ فِي مَسْجِدِي بِأَلْفِ صَلَاةٍ وَالصَّلَاةُ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ بِخَمْسِمِائَةِ صَلَاةٍ (رواه الطبراني)

Artinya: “Salat di Masjidil Haram (Makkah) pahalanya sama dengan 100.000 (seratus ribu) kali salat, dan salat di Masjidku (Masjid Nabawi) sama pahalanya dengan 1.000 (seribu) kali salat, dan salat di Baitul Maqdis sama pahalanya dengan 500 (lima ratus) kali salat.” (HR Thabrani)

Dalam Shahih Muslim juga terdapat hadits yang menyebut keutamaan salat di Masjidil Haram, Makkah dan Masjid Nabawi, Madinah.

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ أَخرجه البخاري في: ۲۰ كتاب فضل الصلاة في مسجد مكة والمدينة : ۱ باب فضل الصلاة في مسجد مكة والمدينة

Artinya: Abu Hurairah berkata: “Nabi bersabda: ‘Salat di masjidku ini lebih baik dari seribu kali salat di masjid lainya, kecuali Masjidil Haram (Makkah).” (Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-20, Kitab Keutamaan Salat di Masjid Makkah dan Madinah bab ke-1, bab Keutamaan Salat di Masjid Makkah dan Madinah)

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Haruskah Makmum Membaca Al-Fatihah dan Surat Pendek saat Sholat Berjamaah?


Jakarta

Dalam sholat berjamaah, tak sedikit makmum yang masih merasa bingung mengenai bacaan yang perlu dibaca. Apakah makmum tetap wajib membaca Surat Al-Fatihah? Lalu, apakah surat pendek setelahnya juga perlu dibaca? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering muncul, terutama ketika imam membaca dengan suara pelan atau gerakan yang cukup cepat.

Kebingungan ini muncul karena dalam ajaran Islam, makmum diperintahkan untuk mengikuti imam dalam setiap gerakan dan bacaan sholat. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 59,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kamu.”


Lalu, apa sebenarnya yang harus dibaca oleh makmum ketika sholat berjamaah?

Apakah Makmum Wajib Membaca Al-Fatihah?

Dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah karya Muhammad Jawad Mughniyah disebutkan bahwa seluruh imam mazhab sepakat makmum wajib mengikuti imam dalam setiap gerakan sholat. Selain itu, makmum juga dianjurkan mengikuti imam dalam bacaan, khususnya pada sholat yang bacaannya dikeraskan.

Penjelasan serupa juga ditemukan dalam buku Fiqih Kontroversi Jilid 1: Beribadah antara Sunnah dan Bid’ah karya H. M. Anshary, yang mengutip sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’Allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘rabbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, maka sujudlah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim dari Abu Musa, disebutkan tambahan:

“Jika imam membaca Al-Fatihah, maka diamlah.”

Dari keterangan ini, dapat dipahami bahwa ketika imam membaca Al-Fatihah pada sholat jahriyah, makmum cukup diam dan mendengarkan. Hal ini dikuatkan dalam buku Sifat Shalat Nabi SAW karya Syaikh Muhammad Nashiruddin dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, bahwa pada sholat jahriyah, makmum tidak perlu membaca Al-Fatihah karena bacaan imam sudah mewakili makmum.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang sholat di belakang imam, maka bacaan imam adalah bacaannya juga.” (HR Ibnu Abi Syaibah, Daruquthni, Ibnu Majah, Ath-Thahawi, dan Ahmad)

Namun berbeda halnya dengan sholat sirriyah (seperti Dzuhur dan Ashar), di mana imam membaca dengan suara pelan. Dalam kondisi ini, makmum dianjurkan untuk membaca Surat Al-Fatihah. Sebagaimana riwayat dari Jabir RA:

“Kami membaca Al-Fatihah dan surat yang lain di belakang imam ketika sholat Dzuhur dan Ashar pada dua rakaat pertama. Adapun pada dua rakaat terakhir hanya membaca Surat Al-Fatihah.” (HR Ibnu Majah)

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Menurut Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Shalat karya Ahmad Sarwat, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bacaan makmum, yaitu sebagai berikut:

1. Madzhab Hanafiyah

Madzhab Hanafiyah menyatakan bahwa makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah. Makmum hanya perlu mendengarkan bacaan imam ketika imam membaca dengan suara keras (jahriyah) dan diam saat imam membaca dengan suara pelan (sirriyah).

2. Madzhab Maliki dan Hambali

Di sisi lain, Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa dalam sholat jahriyah, makmum cukup mendengarkan bacaan imam karena bacaan imam juga dianggap sebagai bacaan makmum. Namun, saat sholat sirriyah, makmum dianjurkan untuk membaca Al-Fatihah secara perlahan.

3. Madzhab Syafi’i

Sedangkan Madzhab Syafi’i mewajibkan makmum membaca Surat Al-Fatihah pada semua jenis sholat, baik jahriyah maupun sirriyah. Meski begitu, makmum tetap diwajibkan untuk memperhatikan bacaan imam. Hal ini dikarenakan Al-Fatihah merupakan salah satu rukun sholat, dan Rasulullah SAW menegaskan bahwa sholat tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah.

Apakah Makmum Juga Perlu Membaca Surat Pendek?

Setelah membaca Al-Fatihah, disunnahkan untuk membaca surat pendek dari Al-Qur’an, terutama pada dua rakaat pertama dalam setiap sholat.

Namun, dalam sholat berjamaah yang jahriyah, makmum tidak perlu membaca surat pendek karena bacaan imam sudah mewakili seluruh jamaah. Dalam situasi ini, makmum cukup mendengarkan.

Sebaliknya, pada sholat sirriyah, makmum dianjurkan membaca surat pendek setelah Al-Fatihah. Ini sesuai dengan riwayat dari Jabir RA:

“Kami membaca Al-Fatihah dan surat yang lain di belakang imam ketika sholat Dzuhur dan Ashar pada dua rakaat pertama. Adapun pada dua rakaat terakhir hanya membaca Surat Al-Fatihah.” (HR Ibnu Majah)

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Apakah Boleh Memberikan Zakat pada Keluarga?



Jakarta

Bagi umat Islam membayar zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan, yang nantinya zakat tersebut akan diberikan oleh 8 golongan yang berhak menerima zakat. Apakah boleh memberikan zakat pada keluarga?

Dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah karya Muhammad Jawad Mughniyah yang diterjemahkan oleh Masykur dkk, menjelaskan mengenai orang yang berhak menerima zakat.

Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada 8. Hal tersebut sudah disebutkan dalam firman Allah SWT surah At-Taubah ayat 60,


۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٦٠

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”

Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan lebih lanjut, untuk golongan miskin, para ulama mazhab sepakat bahwa zakat itu boleh diberikan kepada saudara-saudaranya, paman dari bapak dan paman dari ibu yang termasuk golongan tersebut.

Dalam hal ini, zakat hanya tidak boleh diberikan kepada ayah dan anak-anaknya kalau zakat yang akan diberikan kepada ayah dan anak itu merupakan bagian untuk fakir dan miskin.

Namun, jika zakat itu bukan termasuk dari bagian yang akan diberikan kepada orang fakir dan miskin, maka bapak dan anaknya boleh menerima zakat.

Dijelaskan lebih lanjut, untuk zakat fitrah dapat diberikan kepada kerabat atau keluarga yang dekat dan sangat membutuhkannya, kemudian tetangga. Seperti yang dijelaskan hadits berikut,

“Tetangga yang berhak menerima zakat adalah lebih berhak untuk menerimanya.”

Artinya, tetangga yang termasuk kelompok penerima harus diutamakan untuk diberi.

Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi dalam Kitab Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah Sayyid Sabiq, turut menjelaskan hal tersebut.

Para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan anak kepada ayahnya, kakek, nenek, anak-anak, cucu (perempuan dan laki-laki). Sebab seseorang memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada ayah dan anggota keluarga lainnya bukan zakat.

Namun, jika mereka masuk dalam kategori fakir miskin, maka mereka dianggap kaya karena melihat kekayaan si muzakki. Jika zakat itu diberikan kepada mereka, maka si muzakki akan mengambil keuntungan, karena ia tidak perlu memberi kewajiban nafkah kepada mereka.

Begitu pula berlaku bagi seorang istri. Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa seorang suami tidak memberikan zakat kepada istrinya, kecuali bila dia berutang maka dia diberikan bagian zakat sebagai ‘orang berutang’ demi melunasi utangnya.”

Masih di dalam buku yang sama berikut 8 golongan yang berhak menerima zakat di antaranya,

1. Fakir dan miskin, merupakan dua kelompok yang setiap hari kebutuhan hidupnya tidak tercukupi.

2. Amil zakat, merupakan golongan yang dipekerjakan oleh Imam atau wakilnya untuk bekerja menghimpun harta zakat dari orang kaya. Mereka harus menerima zakat sebagai imbalan dari pekerjaan mereka, dan nilai upahnya mencukupi kebutuhan mereka.

3. Muallaf, merupakan golongan yang diberikan zakat dengan tujuan untuk meluluhkan harinya, sehingga semakin kuat keislamannya.

4. Orang yang terikat perbudakan, merupakan golongan budak dalam proses pemerdekaan (al-mukatab) dan yang belum menjalani proses pemerdekaan (al-ariqqaa). Dari Al-Bara’ RA dia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, ‘Tunjukkan kepada ku amal yang mendekatkan ku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?’Rasulullah SAW menjawab, ‘Merdekakan seorang budak dan bebaskan perbudakan.’ Dia berkata, ‘Bukankah hal itu sama, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak. Memerdekakan budak adalah kamu sendiri memerdekakan seorang budak dari perbudakannya, sedangkan membebaskan perbudakan adalah kamu membantu membebaskan seorang budak dengan membayar harganya,” (HR Ahmad dan Ad-Daraquthni)

5. Orang yang terlilit utang, golongan ini merupakan orang yang menanggung beban utang dan tidak bisa melunasinya.

6. Fi Sabilillah, yaitu golongan yang berjalan menuju keridhaan Allah SWT berupa ilmu dan amal kebaikan.

7. Musafir, yaitu golongan musafir yang terpisah dari negerinya maka ia berhak mendapatkan bagian zakat yang bisa membantunya mewujudkan maksud perjalanannya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Bacaan Doa Iftitah Pendek dan Hukum Membacanya Ketika Sholat



Jakarta

Doa iftitah adalah doa yang dilafalkan setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca surat yang wajib dibaca yakni surat Al-Fatihah. Sebagian ulama berpendapat bahwa doa iftitah tidak wajib dibaca ketika sedang sholat fardhu ataupun sholat sunnah.

Meskipun begitu, beberapa orang tetap membacanya karena sudah terbiasa. Bagi yang belum mengetahuinya, berikut bacaan doa iftitah dan hukum membacanya ketika sholat.

Bacaan Doa Iftitah Pendek

Berikut bacaan doa iftitah pendek berdasarkan hadits riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

“Subhaanakallahumma wabihamdika, watabaarakasmuka wata’alaa jadduka walaa ilaha ghairuka”

Arti: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.

Sholat wajib atau sunnah tanpa membaca iftitah hukumnya adalah sah. Diperbolehkan bagi umat Islam untuk langsung membaca surat Al-Fatihah pada rakaat pertama tanpa melafalkan doa iftitah sebelumnya.

Apakah Imam Wajib Membaca Doa Iftitah?

Membaca doa iftitah hukumnya sunnah. Jadi, imam boleh membacanya ataupun tidak.

Dikutip dari buku Sifat Wudu dan Shalat Nabi ala Mazhab Syafi’i oleh Sulthan Adam, SQ, disukai bagi siapa saja yang menjadi imam agar sengaja memberikan waktu bagi makmum untuk membaca doa iftitah.

Imam dengan sengaja dapat diam sejenak walaupun seandainya imam tidak membaca doa iftitah untuk menunggu makmum yang lain selesai membaca doa tersebut.

Hukum Menggabungkan Doa Iftitah

Beberapa ulama dari tiga mazhab yakni Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali menyepakati bahwa untuk sholat sunnah apalagi sholat malam agar menggabungkan beberapa doa iftitah. Menurut Imam An-Nawawi, beliau tetap membolehkan untuk menggabungkan beberapa doa iftitah pada saat sholat wajib.

Namun, jika imam ingin memanjangkan doa iftitah dengan cara menggabungkan banyak doa, maka bisa dengan cara meminta izin atau memberi tahu makmum sehingga makmum tidak kaget karena merasa imam terlalu lama berdiri.

Apakah Masbuk Wajib Membaca Doa Iftitah?

Masbuk adalah makmum yang terlambat mengikuti sholat berjamaah. Makmum yang ketinggalan sholat berjamaah akan langsung mengikuti posisi imam setelah melakukan takbiratul ihram.

Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 44-45, jika seseorang yang masbuk mendapati imam dalam kondisi masih berdiri, baik mendapati imam berdiri pada rakaat pertama atau kedua, maka kesunahan membaca doa iftitah tetap ada. Jika tidak yakin makmum dapat langsung membaca Al-Fatihah sebelum imam rukuk.

Apabila mendapati imam sedang rukuk, maka tentunya setelah takbiratul ihram segera rukuk dan tidak perlu membaca doa iftitah lagi. Setelah imam salam, makmum bisa menambah rakaat yang kurang dan berdiri kembali tanpa membaca doa iftitah karena dinilai waktu membaca doa tersebut sudah habis.

Menurut mazhab Asy-syafi’i waktu membaca doa iftitah yang paling tepat adalah pada rakaat pertama makmum atau pada rakaat pertama masbuk setelah takbiratul ihram. Itu pun jika memungkinkan untuk dibaca, jika tidak maka tidak masalah meninggalkannya.

Demikian penjelasan mengenai doa iftitah dan juga hukum membacanya ketika sholat. Semoga bisa membantu detikers yang ingin menghafalkan doa tersebut.

(fds/fds)



Sumber : www.detik.com

Saat Rasulullah Menegur Sahabat Akibat Panjangnya Bacaan Salat



Jakarta

Menurut keterangan hadits, diketahui ternyata Rasulullah SAW pernah menegur salah seorang sahabatnya. Teguran itu bermaksud mengingatkan sahabatnya akan panjangnya bacaan surah saat menjadi imam.

Hadits tersebut bersumber dari Jabir bin Abdullah RA. Berdasarkan riwayatnya, sahabat yang bernama Muadz bin Jabal tersebut bahkan membuat seorang makmum memisahkan diri dari barisan salat berjamaah.

Dikisahkan, Mu’adz pernah salat bermakmum kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, dia lalu mendatangi kaumnya dan mengimami mereka salat dengan membaca surah Al Baqarah.


Jabir berkata, “Saat itu lalu ada seorang makmum yang memutuskan diri dari berjamaah, lalu mengerjakan salat sendirian secara ringkas,” sebagaimana dikutip dari Shalatul Mu’min Bab Imamah karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.

Kejadian ini pun lalu sampai kepada Mu’adz. Ia pun berkata, “Sungguh dia itu munafik,”

Omongan Mu’adz ini lalu sampai kepada laki-laki tersebut. Laki-laki itu lalu mendatangi Nabi Muhammad SAW dan mengadukan hal itu pada beliau. Ia berkata,

“Ya Rasulullah, sesungguhnya kami ini adalah orang yang bekerja dengan tangan kami sendiri dan kami menyirami sendiri tanah kami dengan bantuan unta, dan sesungguhnya semalam Mu’adz mengimami kami salat dengan membaca surah Al-Baqarah, kemudian aku memisahkan diri, kemudian dia mengatakan bahwa aku munafik (bagaimana ini?),”

Rasulullah SAW yang mendengar kisah dari lelaki tersebut pun mendatangi Mu’adz. Beliau pun menegurnya dengan lembut mengingatkan Mu’adz untuk mempertimbangkan kondisi makmum dalam salat.

“Wahai Mu’adz, apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Oleh karena itu, bacalah surat Asy-Syams dan Al-A’la atau surat lain yang kurang lebih sama panjangnya.” (HR Bukhari)

Kisah ini juga termaktub dalam Shahih Muslim dengan redaksi serupa. Berikut hadits selengkapnya.

“Dia (Mu’adz) pernah mengerjakan salat Isya’ bersama Rasulullah. kemudian mendatangi kaumnya dan mengimami mereka salat tersebut.

Suatu malam ia mengerjakan salat Isya’ bersama Nabi Muhammad SAW, kemudian mendatangi kaumnya dan mengimami mereka dengan membaca surat Al Baqarah, lalu ada seseorang yang membatalkan salatnya, kemudian mengerjakan salat sendirian dan setelah itu ia lalu pergi…” (HR Muslim)

Dalam hadits Anas RA seperti yang dikeluarkan Imam Ahmad juga menyampaikan kisah serupa. Anas berkata.

فَلَمَّا رَأَى مُعَاذَا طَوَّلَ تَجَوَّزَ فِي صَلَاتِهِ وَحَقَ بِنَخْلِهِ يَسْقِيهِ….

Artinya: “Ketika orang tersebut mengetahui Mu’adz memanjangkan bacaannya, dia lalu memperpendek salatnya, berpaling dari salat berjamaah itu, lalu bergegas untuk menyirami tanaman kurmanya…” (HR Ahmad)

Dijelaskan Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani, makmum memisahkan diri hal lantaran imam terlalu memanjangkan bacaan salatnya adalah termasuk uzur syar’i.

Perawi hadits Imam Ahmad dalam buku Panduan Shalat Praktis & Lengkap oleh Ustaz Ust. Syaifurrahman El-Fati juga berpendapat , seorang imam salat sebaiknya membaca membacakan surat pendek. Tujuannya, agar amalan ibadah tidak memberatkan jamaah lainnya. Dengan catatan, ukuran berat ringannya bacaan surat Al-Qur’an tergantung kebiasaan imam dan makmum di daerah tersebut.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq, Sakit di Ujung Ajalnya



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq termasuk dalam golongan orang-orang pertama yang masuk surga dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Berikut kisah wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai orang yang meneruskan perjuangan Rasulullah SAW.

Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama umat Islam yang menggantikan kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dijelaskan oleh buku 10 Kisah Pahlawan Surga Cerita Anak Shaleh & Cerdas karya Abu Zein, Abu Bakar menjadi pemimpin yang disepakati oleh muslim saat itu sebagai pemimpin yang jauh lebih baik dari semua orang.

Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan dedikasi yang tinggi. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, terjadi perlawanan dari beberapa penduduk, namun Abu Bakar dengan bijaksana berhasil meredakan pertikaian di antara mereka. Dia juga melawan mereka yang menolak membayar zakat.


Salah satu tugas terbesar yang dilakukan Abu Bakar adalah mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an. Dia dibantu oleh para sahabatnya, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit.

Lembaran-lembaran tersebut disimpan di rumah Ummul Mukminin, Hafshah. Kemudian, pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, lembaran-lembaran tersebut digabungkan menjadi sebuah kitab seperti yang sering kita baca sekarang.

Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Rasulullah SAW, pernah mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, karena dialah yang memiliki kontribusi terbesar dalam pengumpulan Al-Qur’an.”

Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, sama seperti Rasulullah SAW. Wafatnya Abu Bakar terjadi pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah, tepatnya hari Senin malam.

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Dijelaskan oleh Rizem Zaid dalam bukunya yang berjudul The Great Sahaba, wafatnya Abu Bakar disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Terdapat cerita bahwa penyakit yang ia alami adalah karena keracunan.

Menurut cerita tersebut, orang-orang Yahudi diduga memasukkan racun ke dalam makanan Abu Bakar yang kemudian membuatnya jatuh sakit dan akhirnya mengakibatkan kematiannya.

Ketika Abu Bakar memakan makanan beracun tersebut, ia didampingi oleh Attab bin Usaid. Selain itu, Al-Harits bin Kaldah juga ada di sana, tetapi ia hanya sedikit makan, sehingga racun tidak langsung berdampak padanya.

Lama waktu antara memakan makanan beracun itu dan munculnya reaksi racun tersebut dikatakan satu tahun. Attab wafat di Makkah pada hari yang sama dengan wafatnya Abu Bakar di Madinah.

Namun, terdapat juga versi lain mengenai penyebab wafatnya Abu Bakar. Menurut riwayat yang kuat dan diceritakan oleh Aisyah RA dalam buku Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash Shiddiq oleh Muhammad Husain Haikal, penyakit Abu Bakar disebabkan oleh mandi malam saat musim dingin yang membuatnya demam dan panas selama 15 hari.

Karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk menjadi imam, Abu Bakar meminta Umar bin Khattab untuk menggantikannya.

Saat penyakitnya semakin parah dan Abu Bakar berada di dekat ajalnya, seseorang menawarkan pengobatan kepadanya. Namun, Abu Bakar menolak tawaran tersebut.

Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Abu Bakar mengatakan bahwa ia telah melihat Allah SWT dan Dia berkata, “Sesungguhnya, Aku akan melakukan apa yang Aku kehendaki.”

Hingga akhirnya, Abu Bakar Radhiyallahu anhu meninggal dengan damai. Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Nasihat Kematian Imam Syafi’i, Jadikan Akhirat di Hatimu Dunia di Tanganmu



Jakarta

Nasihat kematian Imam Syafi’i berisi tentang peringatan kepada manusia untuk fokus terhadap akhirat. Bagaimana kata beliau?

Kehidupan dunia ini tidaklah kekal dan hanya sementara. Akan ada masa di mana semuanya berakhir termasuk dunia dan seisinya. Ketika itu, manusia dan makhluk lainnya akan binasa.

Hari kiamat tidak diketahui kapan akan terjadi. Namun yang pasti, kiamat kecil atau kematian sangat dekat dengan setiap manusia dan bisa terjadi kapan saja.


Oleh sebab itu, tidak semestinya seorang muslim terlalu asyik terhadap kehidupan duniawi, sehingga lalai atau lupa akan akhirat, tulis M. Robi Awamy dalam bukunya yang berjudul La Tusrifu! Jangan Lebay.

Allah SWT sering memperingatkan manusia untuk tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja, namun harus fokus pada akhirat. Di antara peringatan tersebut adalah umur yang semakin bertambah, tubuh yang semakin lemah, dan sakit-sakitan.

Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Ruum ayat 54 yang berbunyi,

۞ اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ ٥٤

Terjemahan: Allah adalah Zat yang menciptakanmu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan(-mu) kuat setelah keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan(-mu) lemah (kembali) setelah keadaan kuat dan beruban.595) Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.

Nasihat Kematian Imam Syafi’i

Sadar atau tidak, sesungguhnya seluruh manusia sedang menuju kepada kematian. Siap atau tidak, cepat atau lambat, tua atau muda, semua manusia akan menghadapinya.

Orang yang cerdas akan menjadikan kematian sebagai nasihat dan guru dalam kehidupan. Sedikit saja lengah, maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya.

Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW,

“Cukuplah kematian itu sebagai penasihat.” (HR Thabrani dan Baihaqi)

Sementara itu, Imam Syafi’i juga memberi nasihat perihal kematian. Nasihat kematian Imam Syafi’i tersebut di antaranya:

“Tidak sepantasnya seorang mukmin lalai dari mengingat mati dan menyiapkan diri untuk menyambutnya.”

Pesan yang dapat diambil dari nasihat ini, setiap mukmin harus senantiasa mengingat kematian setiap saat. Dengan begitu, dirinya akan selalu terhindar dari perbuatan tercela maupun perbuatan dosa.

Mukmin tersebut tidak mungkin menyia-nyiakan waktunya yang hanya sebentar sebelum kematian menjemput ini dengan perbuatan sia-sia atau bahkan tercela. Oleh karena itu, dirinya akan senantiasa memperbanyak perbuatan baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Nasihat kematian Imam Syafi’i yang kedua tercantum dalam buku Samudra Hikmah Para Imam Mazdhab karya Muhammad Ainur Rasyid. Nasihat tersebut berbunyi,

“Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu.”

Nasihat ini memiliki pesan yang hampir sama dengan nasihat sebelumnya. Nasihat ini muncul karena banyaknya orang yang di dunia yang sangat tidak memprioritaskan akhirat dan malah fokus pada kehidupan duniawi.

Banyak dari manusia yang berpikiran bahwa akhirat adalah ilusi atau cerita fiksi yang keberadaannya tidak diyakini. Itulah sebabnya, Imam Syafi’i menasihati agar menjadikan akhirat senantiasa ada di hati kita.

Sementara itu, mestinya hal-hal yang duniawi harus ditempatkan di “tangan.” Artinya manusia tidak boleh menjadikannya tujuan utama dalam kehidupan. Sebab semua hal yang ada di dunia ini adalah fana dan tidak kekal.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Murid Abu Hurairah yang Wafat saat Mengimami Salat



Jakarta

Dia adalah Zurarah bin Aufa Al Qadhi. Sosoknya juga dikenal dengan nama Abu Hajib Al ‘Amiri Al Bashri sebagai imam besar, hakim, perawi hadits, dan ulama kenamaan dari Bashrah.

Semasa hidupnya, Zurarah bin Aufa memang dikenal Imam Nasa’i dan imam lain di kalangan ahli hadits sebagai sosok perawi yang terpercaya dan kuat ingatannya atau tsiqah. Ia wafat pada tahun ke-93 Hijriah.

Salah satu murid dari Abu Hurairah ini diceritakan wafat saat dirinya sedang menjadi imam salat berjemaah. Kisah ini pun dibenarkan oleh hampir seluruh riwayat shahih dalam buku Rab Man Maata Wahua Yushalli oleh Mahmud bin Abul Malik Al-Zugbi terjemahan Yusni Amru dan Fuad Nawawi.


Zurarah bin Aufa wafat secara mendadak di wilayah Abdul Malik bin Marwan pada awal kunjungannya ke daerah Hijaz, Irak. Kisah kematian perawi yang merupakan guru dari ahli hadits Qatadah ini banyak diceritakan oleh para ahli hadits.

Salah satu kisahnya diceritakan oleh ‘Utab bin Al Matsani Al Qusyairi dari Bazin bin Hakim–murid Zurarah bin Aufa. Bahzin bercerita, saat itu Zurarah bin Aufa tengah mengimami salat berjamaah di Masjid Bani Qusyair. Bahzin menjadi salah satu makmumnya.

Menurut penuturan Bahzin, saat Zurarah membaca surah Al Muddatsir sampai ayat ke-8, mendadak beliau ambruk hingga dinyatakan meninggal dunia. Diceritakan oleh Bahzin, beliau sudah dinyatakan meninggal saat makmumnya hendak mengangkat tubuhnya.

“Aku termasuk yang membawa beliau sampai kediamannya. Setibanya di Hajaj, daerah Bashrah, orang-orang datang mengerubuti rumahnya,” demikian keterangan Bahzin.

Ibnu Katsir juga pernah menceritakan kematian Zurarah bin Aufa. Disebutkan, Ibnu Aufa, begitu Zurarah bin Aufa juga disapa, saat itu tengah menjadi imam untuk salat Subuh, bertepatan dengan dirinya membaca surah Al Muddatsir ayat 8.

“Saat sampai ayat ke-8, dia ambruk, lalu meninggal dunia. Dia wafat di Bashrah dalam usia 70 tahun,” terangnya.

Meski demikian, ada riwayat lain bersumber dari Abu Daud Al Thayalisi menyatakan, Zurarah bin Aufa wafat pada saat beliau dalam keadaan sujud salat di tengah-tengah menjadi imam salat berjemaah. Ada pula yang menyebutnya beliau wafat saat menjadi imam salat dua hari raya atau salat Id.

Wallahu a’lam.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Juraij, Sang Ahli Ibadah yang Mendapat Doa Buruk Ibunya



Jakarta

Kisah Juraij termasuk yang cukup populer. Ia dikenal sebagai seorang ahli ibadah yang kemudian difitnah oleh perempuan yang menggodanya. Ini tak lepas dari doa sang ibu.

Mengutip buku Kisah Orang-orang Sabar yang ditulis Nasiruddin, kisah Juraij disampaikan oleh Abu Hurairah RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Juraij adalah seorang ahli ibadah. Ia berdiam diri dalam tempat ibadahnya. Suatu kali ibunya datang sementara ia sedang salat, lalu memanggilnya, “Hai Juraij.”

Mendengar suara sang ibu, ia tetap salat seraya mengucap, “Ya Rabbi. Ibuku atau salatku!” Lalu ia terus melanjutkan salatnya. Ibunya lalu pulang.


Kejadian ini berulang beberapa kali di keesokan harinya, Juraij tetap melanjutkan salatnya dan tidak mengindahkan panggilan sang ibu.

Selang beberapa kali tak mendapat sambutan dari sang anak, ibunda Juraij lalu berdoa, “Allahumma, janganlah Engkau mengambil nyawanya hingga melihat wajah perempuan-perempuan pelacur.”

Juraij Digoda Perempuan Pelacur

Orang-orang bani Israil telah mengetahui bahwa Juraij adalah sosok yang dikenal sebagai ahli ibadah.

Sampai pada suatu hari, seorang perempuan pelacur yang berparas cantik berkata pada teman-temannya, “Jika kalian mau, maka aku akan menggodanya.”

Ia lantas menggoda Juraij namun pemuda ini tidak tergoda sama sekali. Di dekat tempat Juraij terlihat seorang penggembala yang sedang berteduh.

Penggembala ini akhirnya tergoda dengan paras cantik si perempuan tersebut. Keduanya melakukan perbuatan zina hingga perempuan tersebut hamil.

Perempuan tersebut hamil dan beberapa bulan kemudian ia melahirkan. Ia mengatakan bahwa bayi yang dilahirkannya itu adalah anak dari Juraij. Tentu saja yang dilontarkan ini adalah kalimat fitnah.

Orang-orang kemudian mendatangi Juraij dan menyeretnya keluar. Tempat ibadah Juraij juga dibakar habis.

Juraij yang kebingungan itu kemudian bertanya pada penduduk yang menyerangnya, “Apa urusan kalian?”

Mereka lalu menjawab, “Engkau melakukan perbuatan zina dengan perempuan pelacur ini dan telah melahirkan anak dari engkau.” Ia kemudian bertanya, “Di manakah anak itu?”

Mereka lalu mendatangkan anak itu dan Juraij berkata, “Biarkan aku melakukan salat.” Kemudian ia melakukan salat. Setelah selesai, Juraij menemui anak itu seraya memukul perutnya, lalu bertanya, “Siapakah ayahmu?”

Anak itu menjawab, “Fulan sang penggembala.”

Dalam buku Tuntunan dan Kisah-Kisah Teladan: Berbakti kepada Orang Tua karya Aiman Mahmud diceritakan bahwa jawaban sang bayi itu membuat penduduk meminta maaf kepada Juraij.

Mereka berkata, “Kami akan membangun tempat ibadah baru untukmu dari emas.” Juraij lantas menjawab, “Tidak, bangunlah dari tanah seperti semula.”

Imam Nawawi mengomentari hadits tentang kisah Juraij ini, “Dalam hadits ini terkandung kisah Juraij dan sikapnya yang lebih mementingkan salat daripada menjawab panggilan ibunya. Kemudian sang ibu mendoakan buruk untuknya dan Allah pun mengabulkan doa ibunya tersebut.”

Ulama berpendapat, “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa seharusnya Juraij menjawab panggilan ibunya , sebab saat itu ia sedang melaksanakan salat sunnah, sementara meneruskan salat sunnah hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Di samping itu, menjawab panggilan ibu dan berbakti padanya (hukumnya) wajib, dan durhaka kepadaya hukumnya haram. Saat itu dia dapat mempercepat salatnya, menjawab panggilan ibunya, kemudian meneruskan salatnya lagi.”

Wallahu a’lam.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Kala Rasulullah Mengimami Para Nabi Salat di Baitul Maqdis



Jakarta

Ada banyak kisah gaib yang diceritakan dalam hadits shahih. Salah satunya saat Rasulullah SAW mengimami para nabi terdahulu di Baitul Maqdis.

Kisah ini diceritakan Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam Qashash al Ghaib fii Shahih Al Hadits An-Nabawi yang diterjemahkan Asmuni dengan bersandar hadits riwayat Muslim dan lainnya.

Diceritakan, peristiwa Rasulullah SAW mengimami para nabi terjadi pada malam Isra Miraj, perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Baitul Maqdis) dan berlanjut ke Sidratul Muntaha melewati setiap lapisan langit. Dalam perjalanan itu, Rasulullah SAW menunggangi Buraq yang memiliki kecepatan luar biasa.


Ketika tiba di Baitul Maqdis, Rasulullah SAW menambatkan Buraqnya di tempat yang biasa digunakan para nabi terdahulu. Kemudian beliau masuk masjid dan menunaikan salat dua rakaat.

فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، قَالَ: فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبُطُ بِهَا الْأَنْبِيَاءُ، قَالَ: ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّيْتُ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Artinya: “Aku menungganginya hingga aku sampai di Baitul Maqdis.” Beliau bersabda, “Lalu aku menambatkannya pada tambatan yang sering dijadikan tempat tambatan oleh para nabi.” Beliau bersabda, “Kemudian aku masuk masjid dan menunaikan salat dua rakaat di dalamnya.” (HR Muslim dari Anas)

Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari mengatakan, Allah SWT mengumpulkan para nabi dan Rasulullah SAW salat bersama mereka sebagai imam di sana. Hal ini mengacu pada riwayat Abu Sa’id yang dikeluarkan Al-Baihaqi,

حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، فَأَوْتَقْتُ دَابَّتِي بِالْحَلْقَةِ الَّتِي كَانَتِ الْأَنْبِيَاء ترْبُطُ وَفِيْهِ – فَدَخَلْتُ أَنَا وَجِبْرِيلُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَصَلَّى كَلُّ وَاحِدٍ مِنَّا رَكْعَتَيْنِ

Artinya: “Sehingga aku tiba di Baitul Maqdis. Aku ikat binatang tungganganku pada kaitan di mana para nabi mengikat (binatang tunggangannya), di dalamnya aku bersama Jibril masuk ke dalam Baitul Maqdis dan masing-masing kami menunaikan salat dua rakaat.”

Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud turut meriwayatkan hal serupa dari ayahnya namun ditambah redaksi berikut,

ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَعَرَفْتُ النَّبِيِّينَ مِنْ بَيْنِ قَائِمٍ وَرَاكِعِ وَسَاحِدٍ، ثُمَّ أَقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَأَمَّمْتُهُمْ

Artinya: “Kemudian aku masuk ke dalam masjid sehingga aku mengetahui para nabi yang sedang berdiri, yang sedang ruku’ dan yang sedang sujud. Kemudian dikumandangkan iqamah untuk menunaikan shalat lalu aku jadi imam mereka.”

Sedangkan dalam riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Hatim dari Yazid bin Abu Malik dari Anas dikatakan saat muazin mengumandangkan azan dan iqamah salat, para jemaah berdiri bershaf-shaf menunggu siapa yang akan menjadi imam. Tiba-tiba Malaikat Jibril menarik tangan Rasulullah SAW dan menjadikan beliau berada paling depan dan salat bersama mereka.

Imam Muslim turut mengeluarkan hadits dari riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tibalah waktu salat sehingga aku menjadi imam mereka.”

Ibnu Abbas turut meriwayatkan dengan redaksi, “Ketika Nabi SAW tiba di Masjid Aqsa beliau langsung menunaikan salat. Tiba-tiba para nabi seluruhnya menunaikan salat bersama beliau.” (HR Ahmad)

Setelah Rasulullah SAW menunaikan salat, beliau keluar masjid.

Wallahu a’lam.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com