Tag Archives: imam malik

Apakah Halal Makan Bekicot? Begini Penjelasan Fatwa MUI


Jakarta

Banyak yang masih bertanya-tanya apakah konsumsi bekicot halal? Karena di beberapa daerah, bekicot menjadi salah satu bahan makanan yang sering diolah dengan rempah-rempah sebagai lauk ataupun sekedar camilan. Begini penjelasan dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, Bekicot adalah sejenis siput darat yang biasanya memakan daun serta batang tanaman yang masih muda. Hewan yang memiliki nama ilmiah Achatina variegata ini kerap dijadikan berbagai olahan makanan, seperti sate, rica-rica, hingga goreng krispi.

Namun sebelum mencicipi olahan dari bekicot, umat Islam sebaiknya memahami terlebih dahulu hukum mengonsumsinya. Kurangnya pengetahuan bisa saja membuat seseorang tanpa sadar mengonsumsi makanan yang dilarang.


Allah SWT berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 157,

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓۙ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَࣖ

Artinya: “(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan bersamanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.”

Selain itu Allah juga memerintahkan umat Islam agar konsumsi makanan yang baik lagi halal. Berikut firman Allah dalam surah Al-Mu’minum ayat 51,

يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌۗ

Artinya: “Allah berfirman, “Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan beramal salehlah. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Hukum Makan Bekicot Menurut Pandangan Ulama

Pertanyaan tentang apakah bekicot halal atau haram kerap menjadi perbincangan, terutama di kalangan umat Islam. Beberapa ulama dari mazhab-mazhab yang berbeda memiliki pandangan tersendiri mengenai hukum mengonsumsi bekicot, khususnya bekicot darat (Achatina variegata).

Berikut ini penjelasan dari beberapa pendapat ulama yang dijadikan rujukan dalam menentukan hukum bekicot:

1. Pendapat Imam An-Nawawi, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal

Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi menegaskan bahwa memakan hewan kecil yang hidup di darat, seperti bekicot, adalah haram. Pandangan ini juga sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Mereka berargumen berdasarkan firman Allah SWT yang melarang memakan segala sesuatu yang dianggap khobaits (menjijikkan). Termasuk dalam kategori ini adalah hewan-hewan seperti ular, tikus, kalajengking, kecoa, laba-laba, tokek, cacing, dan bekicot.

2. Pendapat Imam Ibn Hazm

Dalam kitab Al-Muhalla, Imam Ibn Hazm menyatakan bahwa bekicot tergolong dalam kelompok hasyarat atau hewan melata kecil, yang umumnya dianggap menjijikkan. Oleh karena itu, menurutnya, bekicot haram untuk dikonsumsi.

Ia menjelaskan bahwa hewan-hewan seperti tokek, kumbang, semut, ulat, lebah, hingga serangga kecil lainnya tidak halal dimakan karena tidak memungkinkan untuk disembelih secara syariat. Dengan demikian, bekicot termasuk hewan yang tidak bisa disembelih sesuai aturan Islam, sehingga kehalalannya tidak terpenuhi.

3. Pendapat Imam Malik

Berbeda dengan ulama lain, Imam Malik menyebutkan dalam kitab Al-Mudawwanah bahwa bekicot halal dimakan, asalkan diambil dalam keadaan hidup. Bekicot tersebut kemudian bisa direbus atau dipanggang seperti halnya belalang.

Namun, jika bekicot ditemukan sudah mati, maka tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Pendapat ini membuka ruang perbedaan dalam penetapan hukum, terutama di kalangan mazhab Maliki.

4. Fatwa Majelis Fatwa Palestina

Pada 7 Rajab 1430 H (29 Juni 2009), Majelis Fatwa Palestina mengeluarkan fatwa bahwa bekicot darat (al-halzun al-barri) dihukumi haram oleh mayoritas ulama. Fatwa ini memperkuat pendapat jumhur ulama yang melarang konsumsi hewan melata darat seperti bekicot karena tidak sesuai dengan syarat-syarat kehalalan makanan dalam Islam.

Fatwa MUI Konsumsi Bekicot

Menurut Fatwa MUI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Hukum Mengonsumsi Bekicot, seperti dilihat dari situs MUI, Sabtu (12/7/2025), ditetapkan bahwa bekicot adalah salah satu jenis hewan yang masuk dalam kategori hasyarat. Hukum memakan hasyarat adalah haram menurut jumhur ulama (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah), sedangkan Imam Malik menyatakan kehalalannya jika ada manfaat dan tidak membahayakan.

Selain itu juga disebutkan bahwa hukum memakan bekicot adalah haram, demikian juga membudidayakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan konsumsi.

(lus/kri)



Sumber : www.detik.com

Bekicot Halal atau Haram? Ini Penjelasan MUI


Jakarta

Bekicot adalah hewan sejenis siput yang sering dijumpai. Tak jarang bekicot menjadi bahan makanan untuk dikonsumsi di sejumlah daerah.

Olahan makanan dari bekicot bisa berupa sate, rica-rica, hingga goreng krispi. Sebagai muslim, pertanyaan tentang kehalalan bekicot sering jadi pembahasan.

Dalam Islam, sudah sepantasnya kita mengonsumsi makanan yang halal. Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 168,


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: “Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.”

Lalu, bagaimana hukum memakan bekicot bagi umat Islam?

Fatwa MUI Terkait Hukum Memakan Bekicot

Dilansir dari situs resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), berdasarkan Fatwa MUI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Hukum Mengonsumsi Bekicot, bekicot ditetapkan sebagai hewan yang masuk dalam kategori hasyarat. Hukum memakannya menurut jumhur ulama (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah) adalah haram.

Sementara itu, ulama Imam Malik menyatakan hukum memakan bekicot adalah halal jika ada manfaatnya dan tidak membahayakan. Selain yang disebutkan maka hukum memakan bekicot adalah haram, begitu pula dengan membudidayakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan konsumsi.

MUI secara tegas menyatakan haram hukumnya memakan bekicot. Fatwa tersebut mengimbau agar masyarakat lebih selektif memilih bahan pangan dan memastikan bahwa yang dikonsumsi sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Pendapat Ulama Soal Hukum Memakan Bekicot

Diterangkan dalam kitab Al Majmu’ Syarh Al-Muhadzab oleh Imam Nawawi terbitan Pustaka Azzam, Imam Nawawi menegaskan hukum memakan hewan kecil yang hidup di darat seperti bekicot adalah haram. Pandangan ini selaras dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Keharaman ini merujuk pada firman Allah SWT yang melarang memakan segala sesuatu yang dianggap khobaits (menjijikan). Ini termasuk hewan ular, tikus, kalajengking, kecoa, laba-laba, tokek, cacing dan bekicot.

Sementara itu, Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla menyebut bahwa bekicot termasuk kelompok hasyarat atau hewan melata kecil yang umumnya dianggap menjijikan. Karenanya, bekicot haram untuk dikonsumsi menurut pendapatnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hewan-hewan seperti tokek, kumbang, semut, ulat, lebah hingga serangga kecil lainnya tidak halal dimakan karena tidak memungkinkan untuk disembelih secara syariat. Dengan begitu, bekicot termasuk hewan yang tak bisa disembelih sesuai aturan Islam sehingga kehalalannya tidak terpenuhi.

Adapun terkait pendapat Imam Malik, ia menyatakan bekicot halal dalam kitab Al Mudawwanah dengan catatan hewan tersebut diambil dalam keadaan hidup. Bekicot lalu bisa direbus atau dipanggang seperti belalang.

Tetapi, apabila bekicot yang ditemukan sudah mati maka tidak diperbolehkan untuk mengonsumsinya. Pendapat tersebut membuka ruang perbedaan penetapan hukum, utamanya di kalangan mazhab Maliki.

Wallahu a’lam.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Cara Membayar Fidyah Puasa Ramadan, Berapa Besarannya?



Jakarta

Cara membayar fidyah puasa Ramadan penting diketahui dan dipahami oleh setiap muslim. Dalam syariat Islam, kewajiban membayar fidyah puasa berlaku bagi setiap muslim yang meninggalkan puasa Ramadan sebab memiliki udzur syar’i.

Mengutip dari buku Kupas Tuntas Fidyah karya Sutomo Abu Nashr, istilah fidyah berasal dari kata ‘al-fidyah’ atau sinonim dari ‘al-fida” yang berarti suatu pengganti atau tebusan yang membebaskan seorang mukallaf dari perkara hukum yang berlaku padanya.

Para ulama menyepakati bahwa fidyah puasa harus dibayarkan hingga masuknya bulan Ramadan di tahun berikutnya, sebagaimana waktu mengqadha puasa. Membayar fidyah hukumnya wajib sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 184:


فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ…

Artinya: “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS Al-Baqarah: 184).

Cara Membayar Fidyah Puasa Ramadan

Mengutip dari buku 89 Kesalahan Seputar Puasa Ramadhan karya Abdurrahman Al-Mukaffi, dalam As-Sunnah disebutkan bahwa cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua cara:

1. Memasak atau Membuat Makanan

Cara pertama untuk membayar fidyah puasa Ramadan dapat dilakukan dengan memasak atau membuat makanan, lalu diberikan kepada orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang ia tinggalkan untuk berpuasa. Hal tersebut sebagaimana yang dikerjakan oleh salah seorang sahabat, Anas bin Malik, ketika beliau tua.

Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik, bahwasannya ia lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Ia membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti), kemudian memanggil tiga puluh orang miskin dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (HR Al-Baihaqi yang dishahihkan oleh Al-Albani).

2. Memberi Makanan yang Belum Dimasak

Cara membayar fidyah puasa Ramadan lainnya yaitu dengan memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak.

Dilansir dari laman Badan Amil Zakat Nasional, Imam Malik dan Imam As-Syafi’i menyepakati besaran fidyah berupa makanan yang belum dimasak, yaitu sebesar 1 mud gandum atau sekitar 675 gram (6 ons atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).

Sementara itu, menurut ulama Hanafiyah, fidyah dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara dengan ½ sha’gandum. Diperkirakan besaran 1 sha’ setara dengan 4 mud atau 3 kilogram. Artinya, ½ sha’ berarti sekitar 1,5 kilogram. Aturan ini biasanya digunakan bagi orang yang membayar fidyah berupa beras.

Membayar Fidyah dengan Uang

Membayar fidyah dengan uang memiliki perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama tidak memperbolehkan membayar fidyah dengan uang. Akan tetapi, menurut kalangan madzhab Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku.

Masih dalam sumber yang sama, cara membayar fidyah dengan uang sesuai madzhab Hanafiyah dilakukan dengan memberikan nominal uang yang sebanding dengan harga kurma atau anggur sebesar 3,25 kilogram dikalikan dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkannya.

Berdasarkan SK Ketua BAZNAS No.7 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah bagi wilayah Ibu Kota DKI Jakarta Raya dan sekitarnya, telah ditetapkan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang dapat dikeluarkan sebesar Rp60.000,- per hari setiap orangnya.

Orang yang Wajib Membayar Fidyah

Dalam buku Bekal Menyambut Bulan Suci Ramadhan karya H. Kholilurrohman, orang-orang yang wajib mengqadha dan membayar fidyah, di antaranya:

· Perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa sebab khawatir terhadap anak atau janinnya.

· Orang yang masih memiliki tanggungan untuk mengqadha puasa, lalu menangguhkan qadha-nya sampai datang Ramadan berikutnya.

Sedangkan orang yang wajib membayar fidyah saja, yaitu meliputi:

· Orang tua yang lemah sehingga tidak kuat berpuasa atau merasakan kesulitan yang berat.

· Orang yang sakit dan tidak diharapkan lagi kesembuhannya.

Itulah beberapa hal seputar cara membayar fidyah. Semoga dapat memberikan informasi untuk kaum muslim.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Rasulullah Larang Semir Rambut dengan Warna Hitam, Ini Haditsnya


Jakarta

Islam memperbolehkan menyemir rambut. Namun, ada satu warna yang harus dihindari, yaitu hitam.

Larangan menyemir rambut dengan warna hitam ini bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Jabir RA sebagaimana dinukil Imam an-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin. Larangan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ وَالِدِ أَبِي بَكْرِ الصِّدِّيقِ مَا ، يَومَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا . فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ : غَيِّرُوا هَذَا وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ . رواه مسلم


Artinya: “Dari Jabir RA, dia berkata: Pada hari penaklukkan Kota Makkah Abu Quhafah dibawa ke hadapan Rasulullah SAW dengan rambut dan jenggotnya yang memutih seperti pohon tsaghamah (pohon yang daun dan buahnya putih). Maka Rasulullah SAW bersabda, “Rubahlah (warna celupan ini) dan jauhilah warna hitam.” (HR Muslim)

Menurut penjelasan dalam kitab Riyadhus Shalihin, hadits larangan menyemir rambut dengan warna hitam tersebut mengandung pelajaran untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam segala aspek sekalipun itu hal remeh.

Hukum Menyemir Rambut Selain Warna Hitam

Para ulama berbeda pendapat terkait hukum menyemir rambut selain warna hitam. Dijelaskan dalam At-Tasyabbuh Al-Manhy Anhu fii Al-Fiqhi Al-Islami karya Jamil bin Habil Al-Luwaihiq yang diterjemahkan Asmuni, jumhur ulama dari kalangan mazhab Syafi’i, Hanbali, dan lainnya berpandangan bahwa itu sunnah.

Sementara ulama lain seperti Imam Malik berpendapat mewarnai rambut selain dengan warna hitam hukumnya mubah. Pendapat Imam Malik yang diutarakan dalam Al-Muwaththa ini kemudian menjadi pendapat jamaah dari kalangan ulama.

Terkait warna yang dianjurkan sebagaimana disebutkan dalam hadits adalah warna merah atau kuning. Sebagaimana Abu Umamah RA berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW keluar menuju pada syaikh dari kalangan Ashar yang mereka telah memutih jenggotnya. Maka beliau berkata, ‘Wahai sekalian golongan Anshar merahkanlah atau kuningkanlah dan berbedalah dengan ahli kitab’.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya)

Larangan Mencabut Uban

Dalam kitab Riyadhus Shalihin terdapat hadits yang berisi larangan mencabut uban, baik uban pada jenggot, kepala, maupun lainnya. Dikatakan, uban akan menjadi cahaya bagi muslim pada hari kiamat kelak.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ جَدِّهِ ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ ، قَالَ : (( لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ ؛ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )) حَدِيْثٌ حَسَنٌ ، رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ، وَالتَّرْمِذِيُّ، وَالنَّسَائِيُّ بِأَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ ، قَالَ التَّرْمِذِيُّ : (( هُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .

Artinya: “Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, dari Nabi SAW beliau bersabda, ‘Janganlah kalian mencabut uban, karena sesungguhnya ia menjadi cahaya bagi orang muslim pada hari kiamat’.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dengan sanad-sanad hasan)

Hadits tersebut dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud.

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Amalan Terbaik, Paling Suci dan Bisa Mengangkat Derajat Seseorang


Jakarta

Ada satu amalan yang disebut paling suci di sisi Allah SWT dan terbaik bagi manusia. Amalan ini juga bisa mengangkat derajat seseorang.

Amalan ini disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Beliau bersabda,

ألا أنبئكُم بِخَيْرٍ أَعمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِندَ مليككُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ من أنفاق الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَنَضْرِبُوا أَعْنَا فَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَا فَكَمْ؟ قَالُوا بَلَى ، قَالَ ذِكْر اللَّهِ تَعَالَى . رواه الترمذي عن أبي الدرداء .


Artinya: “Maukah kalian aku beritahukan tentang amalan yang paling baik, paling suci di sisi Tuhanmu, paling dapat mengangkat derajatmu, yang lebih baik bagimu daripada infak emas dan perak, dan lebih baik bagimu daripada jika kalian menjumpai musuh lalu kalian tebas leher-leher mereka atau mereka memenggal leher-leher kalian? Para sahabat menjawab: “Baiklah”, Rasulullah bersabda: “Berzikirlah kepada Allah.” (HR Tirmidzi dari Abu Darda’)

Hadits tersebut terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab ad-Da’awat an Rasulillah.

Menurut penjelasan dalam buku Keutamaan Doa dan Dzikir untuk Hidup Bahagia Sejahtera karya M. Khalilurrahman al Mahfani terkait hadits tersebut, zikir kepada Allah SWT (termasuk doa) adalah amalan yang paling utama di sisi Allah SWT. Bahkan, zikir lebih baik daripada menginfakkan emas dan perak atau jihad di jalan Allah SWT.

“Hal ini dapat dimaklumi karena zikir merupakan media komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Dengan zikir, seorang hamba merasa dekat dengan Allah dan merasa selalu dalam perlindungan serta pengawasan-Nya,” jelas buku tersebut.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Fawaaidul Adzakaar yang diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani dan Budi Musthafa menukil pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah yang mengatakan zikir kepada Allah SWT merupakan perkara yang paling besar dari apa pun. Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang dikeluarkan at-Tirmidzi tadi.

Ibnu Abi ad-Dunya menyebutkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika seseorang bertanya kepadanya, “Amal apakah yang paling utama?” Dia menjawab, “Zikir kepada Allah lebih besar dari seluruh perkara.”

Keutamaan zikir mengingat Allah SWT telah banyak disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. Salah satunya dalam surah Al Baqarah ayat 152. Allah SWT berfirman,

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ ١٥٢

Artinya: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”

Menurut penafsiran Ibnu Qayyim, kedudukan Allah SWT mengingat hamba-Nya lebih besar daripada hamba mengingat Allah SWT.

Bacaan Zikir yang Bisa Jadi Benteng Setan Seharian Penuh

Ulama kelahiran Baghdad yang hidup pada abad ke-14, Ibnu Rajab, dalam kitab Jamiul Ulum wal Hikam fi Syarhi Haditsi Sayyidil Arab wal Ajm yang diterjemahkan Fadhli Bahri, memaparkan sebuah hadits tentang bacaan zikir yang bisa menjadi benteng setan. Zikir ini juga bisa menghapus 100 kesalahan, dituliskan 100 kebaikan dan setara memerdekakan 10 budak.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa berkata, ‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tanpa ada sekutu bagi-Nya, kerajaan milik-Nya, pujian milik-Nya, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu’ sebanyak seratus kali, maka itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan dihapus darinya, kalimat tersebut adalah benteng baginya dari setan sejak siangnya hingga sore hari, dan tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang ia bawa kecuali orang yang mengerjakan yang lebih banyak darinya.”

Hadits tersebut dikeluarkan Imam Bukhari, Muslim, Imam Ahmad, Imam Malik, at-Tirdmidzi, dan Ibnu Majah.

Bacaan zikir yang dimaksud adalah sebagai berikut,

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ

Laa ilaahaillallah wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa alaa kulli syain qadiiru.

Wallahu a’lam.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com