Tag Archives: islam

100 Ucapan Kemerdekaan Islami untuk memperingati HUT ke-80 RI


Jakarta

Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menjadi momen berharga bagi seluruh rakyat Indonesia untuk kembali mengenang perjuangan para pahlawan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, banyak masyarakat yang ingin merayakan kemerdekaan dengan sentuhan nilai-nilai islami.

Ucapan kemerdekaan islami bukan hanya menyampaikan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan. Tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga persatuan, persaudaraan, dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Berikut 100 ucapan kemerdekaan islami yang bisa Anda gunakan untuk media sosial, spanduk, kartu ucapan, atau pidato singkat.


100 Ucapan Kemerdekaan Islami HUT ke-80 RI

Ucapan Doa & Syukur

1. Alhamdulillah, 80 tahun Indonesia merdeka. Semoga Allah menjaga bangsa ini dalam rahmat dan keberkahan-Nya.
2. Selamat HUT RI ke-80. Ya Allah, jadikan negeri ini baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
3. Syukur tak terhingga atas nikmat kemerdekaan ini. Semoga Allah senantiasa memberi keamanan bagi negeri kita tercinta.
4. 80 tahun Indonesia merdeka, semoga Allah menjaga persatuan dan menghapus segala perpecahan.
5. Merdeka! Semoga kemerdekaan ini mengantarkan kita menjadi bangsa yang beriman, bertakwa, dan penuh kasih sayang.
6. HUT RI ke-80 adalah momen bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kemerdekaan. Jaga dan rawatlah nikmat ini.
7. Ya Rabb, jadikan kemerdekaan ini jalan menuju kesejahteraan rakyat dan kebaikan bangsa.
8. Selamat HUT RI ke-80, semoga Allah limpahkan keberkahan pada pemimpin dan rakyat Indonesia.
9. Kemerdekaan adalah amanah, mari kita syukuri dengan ibadah dan kerja nyata.
10. 80 tahun merdeka, semoga Allah jauhkan bangsa ini dari fitnah dan kerusakan.

Ucapan Inspiratif Islami

11. Merdeka bukan hanya bebas dari penjajah, tapi bebas dari maksiat dan kebodohan.
12. Kemerdekaan adalah karunia Allah, mari jaga dengan iman dan amal saleh.
13. Pejuang dahulu mengorbankan nyawa, mari kita perjuangkan akhlak dan kebaikan.
14. Merdeka adalah kesempatan untuk membangun negeri sesuai tuntunan Islam.
15. 80 tahun Indonesia, mari kuatkan ukhuwah dan jauhi perpecahan.
16. Kemerdekaan sejati adalah ketika hati kita tunduk pada Allah.
17. Mari isi kemerdekaan dengan ilmu, iman, dan amal yang bermanfaat.
18. Indonesia merdeka karena ridha Allah, mari kita jaga dengan taat pada-Nya.
19. Jangan sia-siakan kemerdekaan dengan perbuatan yang merusak moral bangsa.
20. Kemerdekaan adalah ladang amal untuk membangun peradaban.

Ucapan untuk Media Sosial (Singkat & Padat)

21. Merdeka! 80 tahun Indonesia, Allahu Akbar!
22. HUT RI ke-80 – Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
23. Alhamdulillah 80 tahun Indonesia merdeka.
24. Merdeka adalah rahmat Allah. Jaga baik-baik!
25. Indonesia merdeka, rakyat bahagia, Allah meridhai.
26. Dirgahayu RI ke-80! Semoga Allah berkahi negeri ini.
27. 80 tahun merdeka, mari kita kuatkan iman dan persatuan.
28. Kemerdekaan adalah amanah dari Allah.
29. Indonesia untuk semua, dalam rahmat Allah.
30. Merdeka! Allahu Akbar!

Ucapan untuk Generasi Muda

31. Wahai pemuda, isi kemerdekaan dengan karya dan iman.
32. Pemuda beriman, pemuda berkarya, itulah penjaga kemerdekaan sejati.
33. 80 tahun merdeka, giliran kita yang menjaga.
34. Jangan hanya bangga pada bendera, banggalah pada iman.
35. Generasi muda harus jadi benteng akhlak bangsa.
36. Merdeka itu butuh perjuangan setiap hari.
37. Jadilah pemuda yang menjaga negeri dengan akhlak mulia.
38. Belajar, bekerja, dan beribadah adalah cara kita mempertahankan kemerdekaan.
39. Pemuda beriman adalah pahlawan masa kini.
40. Semangat kemerdekaan ada di hati yang tak mau menyerah.

Ucapan untuk Kebersamaan & Persatuan

41. Merdeka adalah ketika kita bersatu dalam kebaikan.
42. 80 tahun merdeka, mari kuatkan tali persaudaraan.
43. Persatuan adalah benteng kemerdekaan.
44. Mari bergandengan tangan menjaga negeri.
45. Tidak ada kemerdekaan tanpa kebersamaan.
46. Kemerdekaan tumbuh dari persaudaraan yang kuat.
47. Allah mencintai hamba-Nya yang menjaga ukhuwah.
48. 80 tahun Indonesia, mari hilangkan kebencian dan iri hati.
49. Jaga persatuan, itulah jihad kita hari ini.
50. Kemerdekaan harus membuat kita saling menguatkan.

Ucapan untuk Mengingat Jasa Pahlawan

51. Doakan para pahlawan yang gugur demi kemerdekaan.
52. Syuhada kemerdekaan adalah teladan kita.
53. 80 tahun merdeka, jangan lupakan pejuang yang telah tiada.
54. Pahlawan sejati berjuang demi Allah dan negeri.
55. Mari kirimkan Al-Fatihah untuk para pahlawan bangsa.
56. Kemerdekaan ini dibayar dengan darah para pejuang.
57. Hargai jasa pahlawan dengan amal yang baik.
58. Pejuang mengorbankan nyawa, kita mengorbankan ego.
59. 80 tahun merdeka adalah buah dari perjuangan tanpa pamrih.
60. Jadilah penerus perjuangan para pahlawan.

Ucapan Motivasi Ibadah & Akhlak

61. Merdeka dari dosa adalah kemerdekaan sejati.
62. 80 tahun merdeka, mari perbanyak syukur dan istighfar.
63. Negeri ini butuh pemimpin yang takut kepada Allah.
64. Jangan nodai kemerdekaan dengan kebohongan dan korupsi.
65. Bangun negeri dengan masjid, bukan hanya gedung.
66. Kemerdekaan harus membawa kita dekat pada Allah.
67. Amalkan Islam sebagai pedoman bernegara.
68. Merdeka berarti bebas untuk beribadah dengan tenang.
69. 80 tahun merdeka, mari sukseskan dakwah Islam.
70. Negeri berkah adalah negeri yang warganya taat.

Ucapan untuk Acara Resmi & Formal

71. Selamat HUT RI ke-80. Semoga Allah memberkahi langkah kita membangun negeri.
72. Atas nama keluarga besar kami, mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke-80.
73. Semoga kemerdekaan ini menjadi jalan bagi terwujudnya masyarakat madani.
74. Mari wujudkan cita-cita kemerdekaan dengan iman dan kerja keras.
75. Terima kasih pahlawan, terima kasih Allah atas nikmat kemerdekaan.
76. Kemerdekaan ini adalah anugerah terbesar bagi bangsa.
77. Selamat ulang tahun ke-80 Republik Indonesia. Semoga jaya dan sejahtera.
78. Kemerdekaan adalah amanah yang harus dijaga semua warga negara.
79. Mari kita isi kemerdekaan dengan pembangunan yang berkeadilan.
80. 80 tahun Indonesia, mari bersama menuju bangsa yang berakhlak mulia.

Ucapan Bernuansa Qur’an & Hadits

81. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu'” (QS. Ibrahim: 7). Mari syukuri kemerdekaan ini.
82. Kemerdekaan adalah nikmat yang wajib dijaga, sebagaimana kita menjaga iman.
83. Allah mencintai bangsa yang bersyukur atas nikmat-Nya.
84. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk mencintai tanah air dan menjaga amanah.
85. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Mari bermanfaat bagi negeri.
86. Jihad masa kini adalah membangun negeri dengan akhlak.
87. Syukurilah nikmat kemerdekaan dengan amal salih.
88. 80 tahun merdeka, mari jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman bangsa.
89. Jangan sia-siakan kemerdekaan yang Allah berikan.
90. Kemerdekaan adalah amanah Allah yang harus dijaga bersama.

Penutup & Ucapan Kreatif

91. 80 tahun Indonesia, mari rayakan dengan ibadah dan doa.
92. Kemerdekaan adalah peluang emas untuk berbuat baik.
93. Semoga Indonesia menjadi negeri yang dirindukan penduduk langit.
94. Merdeka! Mari terus berkarya untuk agama dan bangsa.
95. Kemerdekaan adalah ladang pahala bagi yang ingin membangun negeri.
96. Jadilah pejuang kebaikan di era kemerdekaan.
97. Mari jaga kemerdekaan dengan akhlak, bukan hanya senjata.
98. 80 tahun merdeka adalah panggilan untuk kita lebih baik.
99. Indonesia kuat jika iman rakyatnya kuat.
100. Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia. Semoga Allah selalu merahmati negeri ini.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Apa Makna Kemerdekaan Menurut Islam?


Jakarta

Kemerdekaan adalah salah satu nikmat yang patut disyukuri, terutama bagi umat Islam di Indonesia. Namun, apa sebenarnya makna kemerdekaan dari sudut pandang Islam?

Memahami hal ini akan membuka wawasan kita tentang batas-batas kebebasan yang sejalan dengan syariat.


Arti Kemerdekaan

Secara umum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kemerdekaan sebagai kebebasan, kemampuan untuk berdiri sendiri, dan tidak lagi berada di bawah penjajahan. Dalam bahasa Arab, kemerdekaan disebut sebagai al-Hurriyah.

Makna Kemerdekaan dalam Al-Qur’an dan Syariat

Dalam Islam, kemerdekaan atau al-Hurriyah memiliki makna yang sangat luas dan mendalam. Islam sangat menghargai kemerdekaan individu, termasuk kebebasan berpikir, berbicara, bahkan kebebasan dalam memilih agama, sebagaimana dijelaskan dalam buku Al Qur’an sebagai Sumber Hukum susunan Alik Al Adhim.

Hal ini diperkuat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 256, yang artinya:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam buku Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam karya Prof. Dr. Izomiddin MA, kemerdekaan adalah salah satu prinsip penting dalam penerapan hukum Islam. Agama Islam disebarkan bukan dengan paksaan, melainkan melalui penjelasan, demonstrasi, dan argumentasi yang kuat. Ini menunjukkan bahwa esensi kemerdekaan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab, baik secara individu maupun kelompok.

Selain al-Hurriyah, ada juga istilah al-Istiqla yang berarti “bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain.” Namun, secara syariat, kemerdekaan bagi seorang Muslim adalah kondisi di mana ia sepenuhnya sadar dan berjuang untuk memposisikan dirinya sebagai hamba Allah SWT semata. Kemerdekaan sejati adalah ketika manusia tunduk hanya kepada Sang Pencipta, bukan kepada selain-Nya.

Dalam buku Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah karya Dr. Yusuf Qardhawi terjemahan Abdus Salam Masykur Lc, dijelaskan bahwa kemerdekaan dalam aspek kemanusiaan mencakup beberapa hal, yaitu:

  • Kebebasan Beragama: Setiap individu memiliki hak untuk memilih keyakinannya tanpa paksaan.
  • Kebebasan Berpikir: Islam mendorong umatnya untuk menggunakan akal dalam mencari kebenaran.
  • Kebebasan Berpolitik: Warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
  • Kebebasan Bertempat Tinggal: Setiap orang bebas menentukan tempat tinggalnya.
  • Segala bentuk kebebasan hakiki dalam kebenaran: Kemerdekaan yang diberikan Islam adalah kemerdekaan yang tidak melanggar syariat dan bertujuan untuk kebaikan bersama.

Dengan demikian, makna kemerdekaan dalam Islam tidak sekadar bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga kemerdekaan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah. Kemerdekaan sejati adalah ketika seorang Muslim mampu menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat, dengan akal dan hati yang merdeka.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Pajak dan Zakat Sudah Ada Sejak Zaman Rasulullah, Seperti Ini Praktiknya


Jakarta

Pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam pengelolaan keuangan negara modern. Namun dalam perspektif Islam, pengaturan keuangan umat sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW, meski tidak disebut sebagai “pajak” dalam istilah modern.

Pada masa Rasulullah SAW, sistem pengelolaan harta lebih difokuskan pada kewajiban keagamaan dan kontribusi sosial umat Islam. Rasulullah SAW menata mekanisme pemasukan dan pengeluaran harta negara secara jelas melalui baitul mal, dengan landasan Al-Qur’an dan sunnah.

Dikutip dari buku Pajak dan Syariat Islam: Tinjauan Historis dan Sosiokultural karya Mochammad Arif Budiman, pemasukan pemerintah Islam berasal dari zakat, kharaj, fay, ghaniman, khumus, wakaf, jizyah, usyur dan dharibah/nawa’ib. Jenis-jenis pemasukan ini ada yang berlaku khusus untuk muslim atau nonmuslim saja dan ada pula yang berlaku untuk semua penduduk tanpa membedakan agama yang dianut.


Pendapatan Negara di Masa Rasulullah SAW

Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwal, Abu Yusuf dalam Kitab Al Kharaj, Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’atul Fatawa dan Imam Al Mawardi dalam Kitab Al Ahkam Al Shulthaniyah menjelaskan pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Ghanimah, Fa’i, dan Shadaqah atau Zakat. Fa’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu Kharaj, ‘Usyr dan, Jizyah.

1. Ghanimah

Dilansir dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, Minggu (17/8/2025) pada masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah (622-632 M/1-10 H), terdapat sistem keuangan negara yang teratur dan bersumber dari beberapa pos pendapatan. Sumber utama pendapatan negara pada saat itu adalah ghanimah, yaitu harta rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir melalui peperangan.

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 1 dan 41 bahwa harta ghanimah harus dibagi dengan ketentuan 4/5 menjadi hak pasukan yang ikut berperang, sedangkan 1/5 sisanya dibagikan untuk Allah SWT, Rasulullah SAW, kerabat beliau, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Dari harta inilah kebutuhan negara ditopang, termasuk gaji tentara, biaya perang, peralatan, hingga biaya hidup Nabi SAW dan keluarganya.

Hal ini juga merupakan keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anfal ayat 69,

فَكُلُوا۟ مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَٰلًا طَيِّبًا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Fa’i

Selain ghanimah, sumber kedua adalah fa’i, yakni harta rampasan yang diperoleh tanpa adanya peperangan. Harta ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 6, dibagikan untuk Allah, Rasulullah SAW, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Karena fa’i diperoleh tanpa pertempuran, tentara tidak memiliki hak atasnya. Salah satu contoh fa’i pertama adalah harta yang diperoleh dari Bani Nadhir, sebuah suku Yahudi di Madinah yang melanggar perjanjian.

3. Kharaj

Pendapatan ketiga berasal dari kharaj, yaitu sewa tanah yang dikenakan kepada non-muslim setelah penaklukan wilayah, seperti pada peristiwa penaklukan Khaibar tahun ke-7 H. Awalnya tanah-tanah yang ditaklukkan menjadi milik negara, namun pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, kebijakan ini berubah. Umar berijtihad agar tanah tetap dimiliki oleh penduduk non-muslim, namun mereka diwajibkan membayar sewa (kharaj) atas tanah yang mereka kelola.

4. Ushr

Sumber berikutnya adalah ‘ushr, yaitu semacam bea masuk atas barang dagangan yang melewati perbatasan negara. Bea ini hanya dipungut sekali dalam setahun untuk barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tarifnya berbeda antara muslim dan non-muslim: Muslim membayar sebesar 2,5%, sedangkan non-muslim sebesar 5%. Menariknya, bagi kaum muslim, pembayaran ini dihitung sebagai zakat.

5. Jizyah

Pendapatan kelima adalah jizyah, yaitu pajak kepala yang dibebankan kepada non-muslim, khususnya ahli kitab. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan jaminan perlindungan jiwa, harta, tempat ibadah, serta dibebaskan dari kewajiban militer.

6. Zakat

Adapun sumber keenam adalah zakat, yakni kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab tertentu. Zakat ini diatur langsung oleh Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Pada masa Rasulullah SAW, zakat mulai diberlakukan pada tahun ke-2 H, dan pelaksanaannya secara penuh baru diwujudkan pada tahun ke-9 H.

Selain sumber utama tersebut, terdapat pula pendapatan sekunder yang sifatnya tidak tetap, seperti harta ghulul (hasil korupsi yang dikembalikan), kaffarat (denda tebus kesalahan), luqathah (barang temuan), waqaf, uang tebusan tawanan, rikaz (harta karun), pinjaman, hadiah, maupun amwal fadhla (kelebihan harta). Seluruh sumber ini menjadikan negara pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau, seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, hingga Harun Al-Rasyid, mengalami surplus dan kejayaan ekonomi.

Dari keseluruhan sumber tersebut, terlihat jelas bahwa pendapatan negara pada masa Islam awal berasal dari dua pihak: dari kaum kafir melalui ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan ‘ushr; serta dari kaum muslimin melalui zakat. Namun seiring dengan meluasnya wilayah Islam, banyak kaum kafir yang akhirnya masuk Islam. Hal ini berdampak pada berkurangnya sumber pendapatan dari pihak non-muslim, sementara kebutuhan negara tetap harus ditanggung.

Situasi ini kemudian mendorong para ulama melakukan ijtihad untuk merumuskan sumber pendapatan baru. Salah satu hasil ijtihad tersebut adalah ditetapkannya pajak (dharibah) sebagai sumber keuangan negara pada masa kini, guna menggantikan sebagian pos pendapatan yang tidak lagi relevan sebagaimana praktik pada masa Rasulullah SAW.

Pajak dalam Pandangan Islam

Dikutip dari buku Sistem Perpajakan dalam Perekonomian Islam: Kontribusi Abu Yusuf karya Dr. Nasaiy Aziz, MA dan Nurhasibah, pajak sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, zaman khulafaur Rasyidin dan zaman-zaman sesudahnya. Kemudian antar periode tersebut terdapat perbedaan yang substansial, sehingga sumber pajak juga berbeda dan berubah-ubah antar periode dalam penetapannya.

Pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (muamalah), oleh sebab itu ia merupakan bagian dari syariat. Tanpa adanya rambu-rambu syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh penguasa pada rakyat (kaum muslim).

Gusfahmi dalam buku Pajak Menurut Syariah, ketika pajak tidak memiliki batasan syariat, pemerintah akan menetapkan dan memungut pajak sesuka hati dan menggunakannya menurut apa yang diinginkannya (pajak dianggap sebagai upeti hak milik penuh sang raja).

Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla berpendapat bahwa kewajiban negara adalah menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana, seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, jika kas negara kosong atau tidak mencukupi, maka pajak menjadi sesuatu yang wajib dipungut. Akan tetapi, menurut Al-Maliki, hukum Islam mengharamkan negara mengambil harta rakyat dengan cara paksa. Jika pemungutan dilakukan secara sewenang-wenang dan merampas hak rakyat, maka hal tersebut haram hukumnya karena sama dengan tindakan perampasan.

Al-Marghinani dalam kitab al-Hidayah juga menegaskan bahwa apabila sumber pendapatan negara tidak cukup, maka negara berhak menghimpun dana dari rakyat untuk kepentingan umum. Selama manfaat dari dana tersebut kembali kepada rakyat, maka masyarakat berkewajiban menanggung biayanya.

Dilansir dari laman Jakarta Islamic Center, Minggu (17/8/2025), penerapan pajak sebagai sumber pendapatan negara di luar zakat sejatinya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, kemudian diteruskan pada era Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga kekhalifahan Islam setelahnya. Pajak dalam tradisi Islam memiliki berbagai istilah, seperti jizyah, ‘usyr, kharaj, dan dharibah.

Sebagaimana negara modern saat ini, penerimaan negara dari pajak pada masa Islam klasik juga dialokasikan untuk membiayai berbagai kebutuhan pemerintahan. Dana tersebut digunakan dalam berbagai sektor kehidupan, seperti pembangunan, keamanan, pendidikan, serta pemeliharaan fasilitas umum.

Misalnya, pada masa Dinasti Abbasiyah, sejumlah khalifah mengalokasikan anggaran khusus dari pajak untuk memperluas tanah negara yang kemudian menjadi salah satu sumber penting keuangan pemerintahan. Strategi ini terbukti memberikan dampak positif, sehingga pada masa Khalifah al-Mansur dan Harun ar-Rasyid, negara memiliki keuangan yang lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan rakyat.

Kewajiban membayar pajak dalam Islam tidak hanya dibebankan kepada umat Islam, melainkan juga kepada non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Kelompok non-muslim diwajibkan membayar jizyah sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan mereka di negara Islam sekaligus sebagai imbalan atas perlindungan keamanan, ketertiban, serta pemanfaatan fasilitas umum yang mereka nikmati.

Dana yang terkumpul dari pajak diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi para pemungut pajak. Adapun pemungut pajak hanya mendapatkan upah (remunerasi) sebagai balasan atas tugas mereka dalam mengelola dan mengumpulkan pajak dari masyarakat. Dengan demikian, sistem pajak dalam Islam bukan hanya sekadar mekanisme ekonomi, tetapi juga instrumen sosial untuk menciptakan keadilan, pemerataan, dan perlindungan bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Antara Fikih dan Kepercayaan Masyarakat


Jakarta

Setiap tahun, perbincangan tentang Rabu terakhir di bulan Safar atau yang dikenal dengan istilah Rebo Wekasan selalu ramai diperbincangkan. Isu ini tidak hanya sebatas sejarah atau ritual, tetapi juga menyentuh aspek-aspek syariat, termasuk hukum salat khusus yang diyakini sebagian orang.

Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang tradisi ini? Apakah benar ada ajaran khusus tentang Rebo Wekasan, termasuk salat tolak bala di dalamnya?


Hukum Salat Rebo Wekasan dalam Islam

Mengutip laman NU Online, Ustaz M. Mubasysyarum Bih, menjelaskan bahwa tidak ada dalil yang secara eksplisit menganjurkan salat Rebo Wekasan. Oleh karena itu, jika seseorang melakukan salat dengan niat khusus “salat Rebo Wekasan” atau “salat Safar”, maka salat tersebut dianggap tidak sah dan bahkan haram.

Hal ini didasarkan pada kaidah fikih,

والأصل في العبادة أنها إذا لم تطلب لم تصح

Artinya: “Hukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah.” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib Hasyiyah ‘ala al-Iqna’, juz 2, hal. 60).

Berdasarkan kaidah ini, para ulama mengharamkan salat-salat khusus yang tidak memiliki dasar kuat dari hadits, seperti salat Raghaib, salat nishfu Sya’ban, atau salat Kafarat di akhir Ramadan. Bahkan, dalam kitab I’anah al-Thalibin, praktik-praktik salat tersebut disebut sebagai bid’ah tercela yang pelakunya berdosa.

قال المؤلف في إرشاد العباد ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر وصلاة الأسبوع أما أحاديثها فموضوعة باطلة ولا تغتر بمن ذكرها اه

Artinya: “Sang pengarang (syekh Zainuddin al-Malibari) berkata dalam kitab Irsyad al-‘Ibad, termasuk bid’ah yang tercela, pelakunya berdosa dan wajib bagi pemerintah mencegahnya, adalah salat Raghaib, 12 Rakaat di antara Maghrib dan Isya’ di malam Jumat pertama bulan Rajab, salat nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, salat di akhir Jumat bulan Ramadan sebanyak 17 rakaat dengan niat mengganti salat lima waktu yang ditinggalkan, salat hari Asyura sebanyak 4 rakaat atau lebih dan salat ushbu’. Adapun hadits-hadits salat tersebut adalah palsu dan batal, jangan terbujuk oleh orang yang menyebutkannya.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 270).

Meskipun demikian, muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama jika salat tersebut diniatkan sebagai salat sunah mutlak.

Pandangan Ulama Mengenai Salat Rebo Wekasan

Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa salat Rebo Wekasan tetap haram, bahkan jika diniatkan sunah mutlak. Beliau menegaskan bahwa anjuran salat sunah mutlak hanya berlaku untuk salat yang sudah disyariatkan, bukan yang tidak memiliki dasar sama sekali.

اورا ويناع فيتواه اجاء اجاء لن علاكوني صلاة رابو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت اع سؤال كارنا صلاة لورو ايكو ماهو اورا انا اصلى في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها كايا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين ، التحرير لن سافندوكور كايا كتاب النهاية المهذب لن احياء علوم الدين، كابيه ماهو أورا انا كاع نوتور صلاة كاع كاسبوت. الى ان قال وليس لأحد أن يستدل بما صح عن رسول الله انه قال الصلاة خير موضوع فمن شاء فليستكثر ومن شاء فليستقلل، فإن ذلك مختص بصلاة مشروعة

Artinya: “Tidak boleh berfatwa, mengajak dan melakukan shalat Rebo Wekasan dan shalat hadiah yang disebutkan dalam pertanyaan, karena dua shalat tersebut tidak ada dasarnya dalam syariat. Tendensinya adalah bahwa kitab-kitab yang bisa dibuat pijakan tidak menyebutkannya, seperti kitab al-Taqrib, al-Minhaj al-Qawim, Fath al-Mu’in, al-Tahrir dan kitab seatasnya seperti al-Nihayah, al-Muhadzab dan Ihya’ Ulum al-Din. Semua kitab-kitab tersebut tidak ada yang menyebutkannya. Bagi siapapun tidak boleh berdalih kebolehan melakukan kedua shalat tersebut dengan hadits shahih bahwa Nabi bersabda, shalat adalah sebaik-baiknya tempat, perbanyaklah atau sedikitkanlah, karena sesungguhnya hadits tersebut hanya mengarah kepada shalat-shalat yang disyariatkan.” (KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip kumpulan Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur).

Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki justru membolehkannya. Menurutnya, solusi untuk praktik-praktik yang tidak memiliki dasar kuat adalah dengan melaksanakannya sebagai salat sunah mutlak tanpa batasan waktu, jumlah rakaat, atau sebab tertentu.

قلت ومثله صلاة صفر فمن أراد الصلاة فى وقت هذه الأوقات فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له . انتهى

Artinya: “Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah salat Safar (Rebo wekasan), maka barang siapa menghendaki salat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati salat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Salat sunah mutlak adalah salat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya.” (Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki, Kanz al-Najah wa al-Surur, hal. 22).

Buya Yahya dalam kajiannya menegaskan bahwa keyakinan adanya bencana atau petaka khusus di hari Rebo Wekasan harus ditinjau dari sisi keimanan yang ilmiah. Beliau mempertanyakan, “Siapa yang memberitakan adanya musibah datang di hari Rebo Wekasan itu? Dari mana berita itu?” kata Buya Yahya dalam video Memangkas Keyakinan Salah dalam Tradisi Rebo Wekasan yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV. detikHikmah telah mendapatkan izin dari tim Al-Bahjah TV untuk mengutip kajian tersebut.

Menurutnya, informasi gaib seperti datangnya bencana haruslah bersumber dari Al-Qur’an atau hadits Nabi yang jelas. Jika keyakinan ini berasal dari “ilham para wali”, maka statusnya tidak wajib diyakini oleh semua orang.

“Yang mempercayai perkataan para wali silakan mempercayai. Adapun yang tidak percaya, tidak ada masalah,” ujar Buya Yahya.

Jika pun keyakinan itu benar-benar ilham dari wali, maka solusi untuk menolak bala-nya juga harus mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. Nabi tidak pernah mengajarkan salat khusus atau ritual tertentu di hari itu.

Sebaliknya, ada amalan-amalan yang jelas diajarkan Nabi untuk menolak bala, seperti:

  • Bersedekah, karena sedekah bisa menolak bencana.
  • Mengadakan majelis zikir atau taklim, karena majelis seperti ini akan mendatangkan rahmat dan menghilangkan bencana.

Buya Yahya menekankan agar umat Islam tidak terjebak dalam keyakinan yang tidak memiliki standar ilmu yang jelas. Ia khawatir, keyakinan seperti ini akan membuat Islam terlihat aneh dan tak berdasar.

Ia juga menyentil soal larangan menikah di bulan Safar. “Yang ingin nikah di bulan Safar, segera nikah. Jangan ditunda-tunda,” tegasnya, menolak mitos bulan Safar sebagai bulan ‘kapit’ yang membawa sial.

Wallahu alam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Kewajiban Keluarga yang Ditinggal Wafat Menurut Islam


Jakarta

Waktu hidup setiap manusia di dunia ini sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Kita tidak pernah tahu kapan ajal akan datang, bahkan bisa jadi keluarga tercinta yang lebih dulu meninggalkan kita.

Dalam ajaran Islam, menerima takdir kematian keluarga adalah bentuk kepasrahan kepada Allah SWT. Namun, ada kewajiban yang tetap harus diperhatikan oleh keluarga yang ditinggalkan agar tetap berbakti dan menjaga pahala untuk almarhum.


Hak Jenazah yang Meninggal

Ketika seorang muslim, termasuk keluarga kita, meninggal dunia, maka ia tetap memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh keluarganya yang masih hidup. Hak tersebut menjadi bentuk penghormatan terakhir sekaligus kewajiban yang dituntunkan dalam ajaran Islam.

Menurut Muhammad Bagir dalam buku Fiqih Praktis, terdapat empat kewajiban syariat yang harus dilakukan ketika seorang muslim meninggal dunia. Kewajiban ini termasuk dalam kategori fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh kaum muslimin, termasuk keluarganya, tetapi apabila sebagian sudah melaksanakannya dengan baik, gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lain.

Jika ada anggota keluarga yang meninggal, dia berhak untuk dimandikan terlebih dahulu sesuai tuntunan syariat. Namun, jenazah seorang syahid di jalan Allah tidak dimandikan karena darah dan luka mereka akan menjadi wewangian di hari kiamat.

Dalam proses memandikan, Nabi SAW mencontohkan agar jenazah dimandikan tiga atau lima kali dengan air bercampur daun bidara. Pada basuhan terakhir dianjurkan menggunakan kapur barus, dimulai dari bagian kanan dan anggota wudhu.

Setelah dimandikan, jenazah wajib dikafani dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Nabi SAW menganjurkan tiga lembar kain untuk laki-laki dan lima lembar kain untuk perempuan, sebaiknya berwarna putih, bersih, serta diberi wewangian.

Tahap berikutnya adalah menyalati jenazah sebelum dikuburkan. Salat jenazah dilakukan dengan empat kali takbir tanpa rukuk dan sujud, diawali dengan membaca Al-Fatihah, dilanjutkan sholawat, doa untuk kaum mukminin, lalu doa khusus untuk mayat.

Kewajiban terakhir adalah menguburkan jenazah di liang lahat yang menghadap kiblat. Saat memasukkan jenazah, disunnahkan membaca doa “Bismillah wa ‘ala millati Rasulillah”, kemudian ditimbun dengan tanah, dan orang-orang yang hadir dianjurkan mendoakan serta memohonkan ampunan untuknya.

Kewajiban Keluarga yang Ditinggalkan

Dikutip dari buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X oleh Harjan Syuhada dan Sungarso, terdapat beberapa kewajiban bagi keluarga yang baru saja ditinggalkan anggota keluarganya, berikut ini penjelasan lengkapnya.

1. Mengurus Pemakaman

Keluarga wajib mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, menyalati, hingga menguburkannya sesuai syariat Islam. Kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, artinya bila sebagian orang sudah melakukannya maka gugur kewajiban bagi yang lain. Namun, bagi keluarga terdekat, ini menjadi bentuk penghormatan terakhir kepada almarhum.

2. Menyelesaikan Utang

Segala utang pewaris, baik berupa biaya perawatan, pengobatan, maupun utang kepada sesama, wajib dilunasi oleh keluarga dan ahli waris. Hal ini karena Rasulullah SAW menegaskan bahwa seorang mukmin masih tergantung dengan utangnya hingga dilunasi. Dengan melunasi utang, hak orang lain terpenuhi dan ruh pewaris tidak terbebani.

Jika almarhum meninggalkan wasiat, keluarga dan ahli waris wajib melaksanakannya selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Wasiat bisa berupa pemberian harta kepada orang atau lembaga, yang berlaku setelah pewaris wafat. Namun, wasiat bisa batal jika penerima terbukti menyakiti, memfitnah, atau berbuat zalim kepada pewaris.

4. Membagi Harta Warisan

Setelah jenazah diurus, utang dilunasi, dan wasiat ditunaikan, kewajiban berikutnya adalah membagi harta warisan. Pembagian ini telah diatur secara jelas dalam dengan perhitungan tertentu untuk setiap ahli waris.

Dengan mengikuti ketetapan Allah, harta warisan terbagi secara adil dan menghindarkan keluarga dari perselisihan.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Bisakah Tes DNA untuk Menentukan Nasab? Ini Kata Buya Yahya


Jakarta

Tes DNA kerap digunakan sebagai salah satu metode ilmiah untuk mengungkap hubungan kekerabatan. Namun, bagaimana jika tes ini digunakan untuk menentukan atau bahkan membatalkan nasab dalam pandangan Islam?

Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya, memberikan pandangannya yang tegas terkait penggunaan tes DNA untuk penetapan nasab. Menurutnya, hal ini adalah sesuatu yang berbahaya dan berpotensi merusak tatanan syariat.

“Penetapan nasab dengan DNA, kita lihat bahwa Islam sangat jelas, di dalam menetapkan nasab ada ilmunya, DNA tidak masuk dalam hal ini. Dan justru bahaya sekali kalau sudah orang masuk pembahasan-pembahasan seperti ini, urusan nasab jangan dihubungkan dengan urusan DNA,” tegas Buya Yahya, dalam video berjudul Tes DNA, Bisakah Untuk Menentukan Nasab? di YouTube Al-Bahjah TV, dikutip Rabu (20/8/2025). detikcom telah mendapatkan izin untuk mengutip ceramah tersebut oleh tim Al-Bahjah TV.


Buya Yahya menjelaskan, tes DNA memiliki kegunaan yang berbeda, seperti untuk urusan kejahatan atau identifikasi, bukan untuk menentukan nasab. Ia khawatir, jika penetapan nasab didasarkan pada DNA, maka hal itu akan merusak kaidah syariat yang sudah jelas.

“Sebab kalau DNA itu tidak kenal akad nikah, meskipun tidak nikah, DNA bisa saja nyambung, tidak ada pernikahan,” jelasnya.

Akad Nikah Jadi Penentu Nasab

Dalam ajaran Islam, nasab ditentukan berdasarkan pernikahan yang sah. Menurut Buya Yahya, nasab sudah bisa dianggap sah jika ada pengakuan dari sang ayah atau sudah diketahui secara umum di masyarakat.

“Makanya menentukan nasab adalah dengan istifadah misalnya, di kampung itu sudah didengar bahasanya si A anaknya si B, sudah jangan banyak tanya,” kata Buya Yahya.

Ia bahkan menambahkan, jika ada seorang ayah mengakui anak itu sebagai anaknya, maka sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.

“Selagi orang ngomong ‘itu anak saya’, ‘benar anakmu?’, ‘iya’ selesai. Jangan bertanya, ribut, ‘nikah kamu di mana. Anda ini fudul, kurang ajar, cukup dia mengatakan anak saya, selesai,” lanjutnya.

Bahaya dan Ancaman Jika Menggunakan Tes DNA untuk Menentukan Nasab

Menurut Buya Yahya, penggunaan tes DNA untuk nasab bisa membahayakan umat dan menimbulkan kerusakan. “Ini bisa merusak, na’udzubillah, bisa menjadikan orang meninggalkan syariat,” ujarnya.

Ia mencontohkan, jika ada orang yang nasabnya sudah jelas di masyarakat, lalu dibatalkan hanya karena hasil tes DNA. Hal ini bisa menimbulkan kekacauan, karena jika seorang anak tidak memiliki ayah yang sah, maka siapa yang akan bertanggung jawab?

“Apalagi sampai membatalkan nasab, na’udzubillah. Membatalkan nasab, orang ini bapaknya ini dikatakan tidak sah gara-gara DNA. Anda harus datangkan siapa bapaknya, kalau tidak Anda dicambuk 80 kali, hati-hati, jangan main-main DNA,” tegasnya.

Pada akhirnya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk tidak mudah terpengaruh hal-hal di luar agama dan tetap berpegang pada syariat yang sudah ada. Jangan sampai kita menuduh seseorang berzina hanya karya DNA-nya tidak cocok.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Inilah 7 Tanda-tanda Orang Akan Meninggal Menurut Islam


Jakarta

Setiap makhluk yang bernyawa akan mengalami kematian. Hal ini diterangkan dalam surah Al Anbiya ayat 34.

Allah SWT berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَۗ اَفَا۟ىِٕنْ مِّتَّ فَهُمُ الْخٰلِدُوْنَ ٣٤


Artinya: “Kami tidak menjadikan keabadian bagi seorang manusia pun sebelum engkau (Nabi Muhammad). Maka, jika engkau wafat, apakah mereka akan kekal?”

Imam Al Ghazali pernah menyebut sejumlah tanda yang dialami oleh orang yang akan meninggal dunia. Apa saja itu?

7 Tanda-tanda Orang yang Akan Meninggal Dunia

Menukil dari buku Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathir oleh Abdul Basit dan Misteri Kehidupan Alam Barzakh karya Ipnu Rinto Nugroho, berikut sejumlah tanda yang terlihat dari orang yang akan meninggal dunia sebagaimana diterangkan Imam Al Ghazali.

1. Kemunculan Hawa Sejuk

Ketika akan meninggal dunia, seseorang akan merasakan kemunculan hawa sejuk. Hawa ini dirasakan pada bagian pusar, lalu ke pinggang dan naik sekitar pangkal leher.

Keluarga dari orang yang akan ditinggal juga bisa merasakan hawa sejuk ini. Ketika mulai merasakannya maka muslim dianjurkan memperbanyak kalimat tauhid serta istighfar.

2. Telinga Layu dan Kaki Kaku

Tanda-tanda orang yang akan meninggal lainnya adalah telinga layu hingga ujungnya masuk ke dalam. Kemudian, telapak kaki juga perlahan jatuh ke depan karena kaku hingga sulit digerakkan.

3. Menggigil Hebat

Menggigil hebat menjadi tanda-tanda orang meninggal yang bisa dirasakan. Biasanya, hal ini terjadi setelah Ashar atau 100 hari sebelum kematian berlangsung.

Walau demikian, tanda ini tak akan timbul pada orang yang hanyut dalam kenikmatan dunia tanpa memikirkan kematian.

4. Pusar Berdenyut

40 hari sebelum kematian, seseorang akan merasakan pusarnya berdenyut pada waktu Ashar. Tanda ini sama dengan daun yang bertuliskan nama seorang muslim di Arsy telah gugur.

Saat daun itu gugur, malaikat maut mengambilnya untuk persiapan menjemput orang tersebut.

5. Meningkatnya Nafsu Makan

Tanda orang meninggal dunia lainnya adalah meningkatnya nafsu makan. Nafsu makan berubah-ubah jelang 7 hari sebelum ajal datang.

Peningkatan nafsu makan ini menjadi tanda yang biasanya diberikan kepada orang yang diuji dengan penyakit.

Mata sayu menjadi tanda orang meninggal yang bisa terlihat. Pandangan mereka tak lagi bersinar karena ajal akan menjemputnya, lalu hidung semakin menurun dan masuk ke dalam, biasanya terlihat dari bagian samping.

7. Dahi Berdenyut Kencang

Dahi orang yang akan meninggal dunia akan berdenyut kencang. Tanda ini dialami jelang 3 hari sebelum kematian.

Wallahu a’lam.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

13 Rukun Salat yang Wajib Dilakukan agar Ibadah Sah


Jakarta

Sebagai ibadah yang wajib dilakukan, salat menjadi fondasi utama bagi seorang muslim. Ibadah ini harus dikerjakan dalam kondisi apa pun, bahkan saat sakit sekalipun.

Allah SWT telah menegaskan kewajiban salat dalam firman-Nya di surat An-Nisa ayat 103,

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا ….


Artinya: “… Sesungguhnya, salat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Daftar Lengkap 13 Rukun Salat

Agar salat kita sah di mata Allah SWT, penting untuk mengetahui dan melaksanakan semua rukunnya dengan benar. Merujuk pada buku Fiqh Salat karya Abu Abbas Zain Musthofa al-Basuruwani, berikut adalah 13 rukun salat yang harus Anda pahami.

1. Niat

Niat menjadi rukun pertama dan paling fundamental. Niat harus ada di dalam hati, berisi tujuan spesifik, seperti salat fardhu atau sunnah.

2. Takbiratul Ihram

Mengucapkan “Allahu Akbar” sambil mengangkat kedua tangan setinggi bahu. Gerakan ini menandai dimulainya salat.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdulullah bin Umar, beliau berkata:

“Aku melihat Rasulullah SAW membuka takbir dalam salat, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga menjadikan keduanya sejajar dengan kedua bahunya. Bila Rasulullah SAW bertakbir untuk rukuk, beliau melakukan hal yang sama. Jika beliau mengatakan ‘Sami’allaahu liman hamidah’, beliau melakukan hal yang sama kemudian mengatakan ‘Rabbanaa lakal hamdu’. Namun, beliau tidak melakukan hal itu ketika bersujud, dan tidak pula ketika bangun dari bersujud.” (HR Bukhari, Nasa’i dan Baihaqi)

3. Berdiri bagi yang Mampu

Jika tidak memiliki halangan, salat wajib dilakukan dalam posisi berdiri tegak. Namun, jika sakit, diperbolehkan salat sambil duduk, berbaring, atau bahkan hanya dengan isyarat.

4. Membaca Surat Al-Fatihah

Wajib membaca surat Al-Fatihah secara lengkap, termasuk basmalah dan 13 huruf bertasydid di dalamnya.

5. Rukuk

Membungkukkan badan dengan posisi punggung lurus dan kedua telapak tangan menyentuh lutut. Gerakan ini harus dilakukan dengan tuma’ninah (tenang dan tidak terburu-buru).

Berikut beberapa bacaan rukuk yang bisa diamalkan:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Latin: Subhaana rabbiyal ‘adhiimi wabihamdihi (3x)

Artinya: Maha suci Tuhanku yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Latin: Subhānakallāhumma rabbanā wa bi hamdik. Allāhummaghfir lī

Artinya: Mahasuci Engkau ya Allah, Tuhan kami. Segala puji bagi-Mu wahai Tuhanku. Ampunilah dosaku

6. I’tidal

Kembali berdiri tegak dari posisi rukuk dengan tuma’ninah sambil mengangkat kedua tangan diiringi bacaan berikut:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Latin: Sami Allahu liman hamidah.

Artinya: “Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya.”

Kemudian dilanjutkan membaca:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Latin: rabbana wa laka al-hamdu.

Artinya: “Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian”.

7. Sujud Dua Kali

Melakukan dua kali sujud dengan menempelkan dahi, kedua telapak tangan, lutut, dan ujung telapak kaki ke lantai. Posisi sujud juga harus dilakukan dengan tuma’ninah.

Berikut beberapa bacaab sujud yang bisa diamalkan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ

Latin: Subḥana rabbiyal a’lā wa biḥamdihi

Artinya: “Maha Suci Rabb-ku yang Maha Tinggi dan segala puji hanya bagi-Nya.”

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Latin: Subhānakallāhumma rabbanā wa bi hamdik. Allāhummaghfir lī

Artinya: Mahasuci Engkau ya Allah, Tuhan kami. Segala puji bagi-Mu wahai Tuhanku. Ampunilah dosaku

8. Duduk di Antara Dua Sujud

Duduk sejenak di antara dua sujud dengan tuma’ninah. Duduk ini dinamakan duduk iftirasy.

رب اغْفِرلي وَارْحَمْنِى واجبرني وَارْفَعْنِيى وَاهْدِنِى وَعَافِنِى وَارْزُقْنِي

Latin: Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii wahdinii wa’aafinii war zukni

Artinya: “Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, perbaikilah keadaanku, tinggikanlah derajatku, berilah aku petunjuk dan anugerahilah aku rizki”.

Atau bisa juga membaca doa singkat ini:

رب اغْفِرلي رب اغْفِرلي

Latin: Robbighfirlii Robbighfirlii

Artinya: “Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku

9. Membaca Tasyahud (Tahiyat)

Membaca bacaan tasyahud saat duduk di antara dua sujud. Mulai dari tasyahud awal dan tasyahud akhir.

Bacaan tasyahud awal:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِاَ . للَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ

Arab latin: At tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thoyyibaatulillaah. as salaamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wabarakaatuh, assalaamu’alaina wa’alaa ibaadillaahishaalihiin. asyhaduallaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammad rasuulullaah. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad.

Artinya: “Segala penghormatan, keberkahan, salawat dan kebaikan hanya bagi Allah. Semoga salam sejahtera selalu tercurahkan kepadamu wahai nabi, demikian pula rahmat Allah dan berkah-Nya dan semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah, berilah rahmat kepada Nabi Muhammad.”

10. Duduk Iftirasy saat Tasyahud

Duduk iftirasy ketika tasyahud awal. Caranya adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri, kemudian menduduki kaki kiri tersebut.

Sedangkan duduk tawarruk dilakukan di tasyahud akhir. Tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai.

11. Membaca Sholawat Nabi Muhammad SAW

Membaca sholawat Nabi Muhammad SAW pada tasyahud akhir adalah wajib, sementara membacanya pada tasyahud awal hukumnya sunnah.

Pada tasyahud akhir kita perlu membaca bacaan tasyahud awal dan kemudian dilanjutkan dengan bacaan tambahan sebagai berikut:

اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلَي مُحَمّدْ وعلى آلِ مُحَمَّد كَمَا صَلَّبْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلعَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد

Arab latin: Allaahumma shalli’alaa muhammad, wa’alaa aali muhammad. kamaa shallaita alaa ibraahiim wa alaa aali ibraahiim. wabaarik’alaa muhammad wa alaa aali muhammad. kamaa baarakta alaa ibraahiim wa alaa aali ibraahiim, fil’aalamiina innaka hamiidum majiid.

Artinya: “Ya Allah, berilah rahmat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana engkau telah memberikan rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya engkau maha terpuji lagi maha mulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana engkau telah memberikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya engkau maha terpuji lagi maha mulia.”

12. Salam

Mengucapkan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri setelah selesai tasyahud akhir. “Assalamualaikum warrahmatullah”.

13. Tertib

Semua rukun di atas harus dikerjakan secara berurutan dan tidak boleh terbalik.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Al-Waqiah Surat ke Berapa? Ini Penjelasannya


Jakarta

Surat Al-Waqiah adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki makna mendalam dan sering diamalkan oleh umat Islam. Isi surat ini mengingatkan tentang dahsyatnya peristiwa hari kiamat serta kebesaran Allah SWT yang tercermin dalam penciptaan manusia, api, dan tumbuhan.

Banyak umat Islam menjadikan Surat Al-Waqiah sebagai amalan harian karena diyakini memiliki berbagai keutamaan. Selain memberikan peringatan tentang kehidupan akhirat, surat ini juga mengajarkan pesan-pesan yang dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia.


Al-Waqiah Surat ke Berapa?

Surat Al-Waqi’ah merupakan surat ke-56 dalam Al-Qur’an dan termasuk ke dalam golongan surat Makkiyah. Surat ini memiliki kandungan yang kuat tentang keimanan dan kehidupan akhirat.

Terdiri dari 96 ayat, nama Al-Waqi’ah diambil dari kata pada ayat pertamanya yang berarti “Hari Kiamat”. Pemilihan nama ini sesuai dengan tema utama surat yang menggambarkan peristiwa besar tersebut.

Bacaan Surat Al-Waqiah

Bacaan Surat Al-Waqiah menjadi salah satu amalan yang sering dibaca oleh umat Islam, baik dalam rangka ibadah maupun sebagai doa memohon keberkahan. Membacanya dengan penuh penghayatan dapat membantu kita memahami pesan-pesan penting yang terkandung di dalamnya.

Berikut ini adalah bacaan surat Al-Waqiah lengkap dalam tulisan Arab, Latin, dan juga artinya.

إِذَا وَقَعَتِ ٱلْوَاقِعَةُ

iżā waqa’atil-wāqi’ah

1. Apabila terjadi hari kiamat,

لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ

laisa liwaq’atihā kāżibah

2. tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya.

خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ

khāfiḍatur rāfi’ah

3. (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain),

إِذَا رُجَّتِ ٱلْأَرْضُ رَجًّا

iżā rujjatil-arḍu rajjā

4. apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya,

وَبُسَّتِ ٱلْجِبَالُ بَسًّا

wa bussatil-jibālu bassā

5. dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya,

فَكَانَتْ هَبَآءً مُّنۢبَثًّا

fa kānat habā`am mumbaṡṡā

6. maka jadilah ia debu yang beterbangan,

وَكُنتُمْ أَزْوَٰجًا ثَلَٰثَةً

wa kuntum azwājan ṡalāṡah

7. dan kamu menjadi tiga golongan.

فَأَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ مَآ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ

fa aṣ-ḥābul-maimanati mā aṣ-ḥābul-maimanah

8. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.

وَأَصْحَٰبُ ٱلْمَشْـَٔمَةِ مَآ أَصْحَٰبُ ٱلْمَشْـَٔمَةِ

wa aṣ-ḥābul-masy`amati mā aṣ-ḥābul-masy`amah

9. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلسَّٰبِقُونَ

was-sābiqụnas-sābiqụn

10. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu,

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلْمُقَرَّبُونَ

ulā`ikal-muqarrabụn

11. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.

فِى جَنَّٰتِ ٱلنَّعِيمِ

fī jannātin-na’īm

12. Berada dalam jannah kenikmatan.

ثُلَّةٌ مِّنَ ٱلْأَوَّلِينَ

ṡullatum minal-awwalīn

13. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,

وَقَلِيلٌ مِّنَ ٱلْءَاخِرِينَ

wa qalīlum minal-ākhirīn

14. dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian

عَلَىٰ سُرُرٍ مَّوْضُونَةٍ

‘alā sururim mauḍụnah

15. Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata,

مُّتَّكِـِٔينَ عَلَيْهَا مُتَقَٰبِلِينَ

muttaki`īna ‘alaihā mutaqābilīn

16. seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan.

يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَٰنٌ مُّخَلَّدُونَ

yaṭụfu ‘alaihim wildānum mukhalladụn

17. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,

بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيقَ وَكَأْسٍ مِّن مَّعِينٍ

bi`akwābiw wa abārīqa wa ka`sim mim ma’īn

18. dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir,

لَّا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلَا يُنزِفُونَ

lā yuṣadda’ụna ‘an-hā wa lā yunzifụn

19. mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk,

وَفَٰكِهَةٍ مِّمَّا يَتَخَيَّرُونَ

wa fākihatim mimmā yatakhayyarụn

20. dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,

وَلَحْمِ طَيْرٍ مِّمَّا يَشْتَهُونَ

wa laḥmi ṭairim mimmā yasytahụn

21. dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.

وَحُورٌ عِينٌ

wa ḥụrun ‘īn

22. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli,

كَأَمْثَٰلِ ٱللُّؤْلُؤِ ٱلْمَكْنُونِ

ka`amṡālil-lu`lu`il-maknụn

23. laksana mutiara yang tersimpan baik.

جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

jazā`am bimā kānụ ya’malụn

24. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.

لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا تَأْثِيمًا

lā yasma’ụna fīhā lagwaw wa lā ta`ṡīmā

25. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa,

إِلَّا قِيلًا سَلَٰمًا سَلَٰمًا

illā qīlan salāman salāmā

26. akan tetapi mereka mendengar ucapan salam.

وَأَصْحَٰبُ ٱلْيَمِينِ مَآ أَصْحَٰبُ ٱلْيَمِينِ

wa aṣ-ḥābul-yamīni mā aṣ-ḥābul-yamīn

27. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu.

فِى سِدْرٍ مَّخْضُودٍ

fī sidrim makhḍụd

28. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri,

وَطَلْحٍ مَّنضُودٍ

wa ṭal-ḥim manḍụd

29. dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya),

وَظِلٍّ مَّمْدُودٍ

wa ẓillim mamdụd

30. dan naungan yang terbentang luas,

وَمَآءٍ مَّسْكُوبٍ

wa mā`im maskụb

31. dan air yang tercurah,

وَفَٰكِهَةٍ كَثِيرَةٍ

wa fākihating kaṡīrah

32. dan buah-buahan yang banyak,

لَّا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ

lā maqṭụ’atiw wa lā mamnụ’ah

33. yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya.

وَفُرُشٍ مَّرْفُوعَةٍ

wa furusyim marfụ’ah

34. dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.

إِنَّآ أَنشَأْنَٰهُنَّ إِنشَآءً

innā ansya`nāhunna insyā`ā

35. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung

فَجَعَلْنَٰهُنَّ أَبْكَارًا

fa ja’alnāhunna abkārā

36. dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.

عُرُبًا أَتْرَابًا

‘uruban atrābā

37. penuh cinta lagi sebaya umurnya.

لِّأَصْحَٰبِ ٱلْيَمِينِ

li`aṣ-ḥābil-yamīn

38. (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan,

ثُلَّةٌ مِّنَ ٱلْأَوَّلِينَ

ṡullatum minal-awwalīn

39. (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu.

وَثُلَّةٌ مِّنَ ٱلْءَاخِرِينَ

wa ṡullatum minal-ākhirīn

40. dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.

وَأَصْحَٰبُ ٱلشِّمَالِ مَآ أَصْحَٰبُ ٱلشِّمَالِ

wa aṣ-ḥābusy-syimāli mā aṣ-ḥābusy-syimāl

41. Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu?

فِى سَمُومٍ وَحَمِيمٍ

fī samụmiw wa ḥamīm

42. Dalam (siksaan) angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih,

وَظِلٍّ مِّن يَحْمُومٍ

wa ẓillim miy yaḥmụm

43. dan dalam naungan asap yang hitam.

لَّا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ

lā bāridiw wa lā karīm

44. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.

إِنَّهُمْ كَانُوا۟ قَبْلَ ذَٰلِكَ مُتْرَفِينَ

innahum kānụ qabla żālika mutrafīn

45. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan.

وَكَانُوا۟ يُصِرُّونَ عَلَى ٱلْحِنثِ ٱلْعَظِيمِ

wa kānụ yuṣirrụna ‘alal-ḥinṡil-‘aẓīm

46. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.

وَكَانُوا۟ يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَٰمًا أَءِنَّا لَمَبْعُوثُونَ

wa kānụ yaqụlụna a iżā mitnā wa kunnā turābaw wa ‘iẓāman a innā lamab’ụṡụn

47. Dan mereka selalu mengatakan: “Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali?

أَوَءَابَآؤُنَا ٱلْأَوَّلُونَ

a wa ābā`unal-awwalụn

48. apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (juga)?”

قُلْ إِنَّ ٱلْأَوَّلِينَ وَٱلْءَاخِرِينَ

qul innal-awwalīna wal-ākhirīn

49. Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian,

لَمَجْمُوعُونَ إِلَىٰ مِيقَٰتِ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ

lamajmụ’ụna ilā mīqāti yaumim ma’lụm

50. benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.

ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا ٱلضَّآلُّونَ ٱلْمُكَذِّبُونَ

ṡumma innakum ayyuhaḍ-ḍāllụnal-mukażżibụn

Artinya: 51. Kemudian sesungguhnya kamu hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan,

لَءَاكِلُونَ مِن شَجَرٍ مِّن زَقُّومٍ

la`ākilụna min syajarim min zaqqụm

52. benar-benar akan memakan pohon zaqqum,

فَمَالِـُٔونَ مِنْهَا ٱلْبُطُونَ

fa māli`ụna min-hal-buṭụn

53. dan akan memenuhi perutmu dengannya.

فَشَٰرِبُونَ عَلَيْهِ مِنَ ٱلْحَمِيمِ

fa syāribụna ‘alaihi minal-ḥamīm

54. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.

فَشَٰرِبُونَ شُرْبَ ٱلْهِيمِ

fa syāribụna syurbal-hīm

55. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum.

هَٰذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ ٱلدِّينِ

hāżā nuzuluhum yaumad-dīn

56. Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan”.

نَحْنُ خَلَقْنَٰكُمْ فَلَوْلَا تُصَدِّقُونَ

naḥnu khalaqnākum falau lā tuṣaddiqụn

57. Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan?

أَفَرَءَيْتُم مَّا تُمْنُونَ

a fa ra`aitum mā tumnụn

58. Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.

ءَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُۥٓ أَمْ نَحْنُ ٱلْخَٰلِقُونَ

a antum takhluqụnahū am naḥnul-khāliqụn

59. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ ٱلْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ

naḥnu qaddarnā bainakumul-mauta wa mā naḥnu bimasbụqīn

60. Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan,

عَلَىٰٓ أَن نُّبَدِّلَ أَمْثَٰلَكُمْ وَنُنشِئَكُمْ فِى مَا لَا تَعْلَمُونَ

‘alā an nubaddila amṡālakum wa nunsyi`akum fī mā lā ta’lamụn

Artinya: 61. untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ ٱلنَّشْأَةَ ٱلْأُولَىٰ فَلَوْلَا تَذَكَّرُونَ

wa laqad ‘alimtumun-nasy`atal-ụlā falau lā tażakkarụn

62. Dan Sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)?

أَفَرَءَيْتُم مَّا تَحْرُثُونَ

a fa ra`aitum mā taḥruṡụn

63. Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.

ءَأَنتُمْ تَزْرَعُونَهُۥٓ أَمْ نَحْنُ ٱلزَّٰرِعُونَ

a antum tazra’ụnahū am naḥnuz-zāri’ụn

64. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?

لَوْ نَشَآءُ لَجَعَلْنَٰهُ حُطَٰمًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ

lau nasyā`u laja’alnāhu huṭāman fa ẓaltum tafakkahụn

65. Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kamu heran dan tercengang.

إِنَّا لَمُغْرَمُونَ

innā lamugramụn

66. (Sambil berkata): “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian”,

بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ

bal naḥnu mahrụmụn

67. bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa.

أَفَرَءَيْتُمُ ٱلْمَآءَ ٱلَّذِى تَشْرَبُونَ

a fa ra`aitumul-mā`allażī tasyrabụn

68. Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.

ءَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ ٱلْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ ٱلْمُنزِلُونَ

a antum anzaltumụhu minal-muzni am naḥnul-munzilụn

69. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?

لَوْ نَشَآءُ جَعَلْنَٰهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ

lau nasyā`u ja’alnāhu ujājan falau lā tasykurụn

70. Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?

أَفَرَءَيْتُمُ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى تُورُونَ

a fa ra`aitumun-nārallatī tụrụn

Artinya: 71. Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu).

ءَأَنتُمْ أَنشَأْتُمْ شَجَرَتَهَآ أَمْ نَحْنُ ٱلْمُنشِـُٔونَ

a antum ansya`tum syajaratahā am naḥnul-munsyi`ụn

72. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?

نَحْنُ جَعَلْنَٰهَا تَذْكِرَةً وَمَتَٰعًا لِّلْمُقْوِينَ

naḥnu ja’alnāhā tażkirataw wa matā’al lil-muqwīn

73. Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.

فَسَبِّحْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلْعَظِيمِ

fa sabbiḥ bismi rabbikal-‘aẓīm

74. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.

فَلَآ أُقْسِمُ بِمَوَٰقِعِ ٱلنُّجُومِ

fa lā uqsimu bimawāqi’in-nujụm

75. Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.

وَإِنَّهُۥ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ

wa innahụ laqasamul lau ta’lamụna ‘aẓīm

76. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.

إِنَّهُۥ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ

innahụ laqur`ānung karīm

77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,

فِى كِتَٰبٍ مَّكْنُونٍ

fī kitābim maknụn

78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ

lā yamassuhū illal-muṭahharụn

79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

tanzīlum mir rabbil-‘ālamīn

80. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.

أَفَبِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ

a fa bihāżal-ḥadīṡi antum mud-hinụn

81. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini?

وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ

wa taj’alụna rizqakum annakum tukażżibụn

82. kamu mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.

فَلَوْلَآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلْحُلْقُومَ

falau lā iżā balagatil-ḥulqụm

83. Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,

وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ

wa antum ḥīna`iżin tanẓurụn

84. padahal kamu ketika itu melihat,

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَٰكِن لَّا تُبْصِرُونَ

wa naḥnu aqrabu ilaihi mingkum wa lākil lā tubṣirụn

85. dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat,

فَلَوْلَآ إِن كُنتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ

falau lā ing kuntum gaira madīnīn

86. maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)?

تَرْجِعُونَهَآ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

tarji’ụnahā ing kuntum ṣādiqīn

87. Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?

فَأَمَّآ إِن كَانَ مِنَ ٱلْمُقَرَّبِينَ

fa ammā ing kāna minal-muqarrabīn

88. adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),

فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّتُ نَعِيمٍ

fa rauḥuw wa raiḥānuw wa jannatu na’īm

89. maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta jannah kenikmatan.

وَأَمَّآ إِن كَانَ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلْيَمِينِ

wa ammā ing kāna min aṣ-ḥābil-yamīn

90. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan,

فَسَلَٰمٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلْيَمِينِfa

salāmul laka min aṣ-ḥābil-yamīn

91. maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan.

وَأَمَّآ إِن كَانَ مِنَ ٱلْمُكَذِّبِينَ ٱلضَّآلِّينَ

wa ammā ing kāna minal-mukażżibīnaḍ-ḍāllīn

92. Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat,

فَنُزُلٌ مِّنْ حَمِيمٍ

fa nuzulum min ḥamīm

93. maka dia mendapat hidangan air yang mendidih,

وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ

wa taṣliyatu jaḥīm

94. dan dibakar di dalam jahannam.

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ حَقُّ ٱلْيَقِينِ

inna hāżā lahuwa ḥaqqul-yaqīn

95. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.

فَسَبِّحْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلْعَظِيمِ

fa sabbiḥ bismi rabbikal-‘aẓīm

96. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Besar.

Keutamaan Membaca Surat Al-Waqiah

Dalam buku Mau Hartamu Berlimpah? Yuk Baca Al-Waqiah (2020) dijelaskan bahwa Surat Al-Waqiah memiliki sejumlah keutamaan, di antaranya sebagai berikut:

1. Terhindar Dari Kemiskinan

Mengamalkan Surah Al-Waqiah diyakini dapat melindungi seseorang dari kemiskinan dan kesulitan hidup.

“Barang siapa membaca surah Al-Waqiah setiap malam, dia tidak akan mengalami kefakiran [kemelaratan].” HR Al- Baihaqi.

Berdasarkan hadis Rasulullah serta pandangan para ulama, dapat disimpulkan bahwa membaca Surah Al-Waqiah dengan memahami maknanya akan membuat seseorang terhindar dari kefakiran.

2. Lancar Rezekinya

Selain melindungi dari kemiskinan, Surah Al-Waqiah juga diyakini mampu menjadi wasilah untuk membuka pintu rezeki.

“Ajarkan surah Al-Waqiah kepada istri-istrimu, karena sesungguhnya Al-Waqiah merupakan surat kekayaan.” HR Ibnu Ady.

3. Dijauhkan dari Kesusahan

Surah Al-Waqiah diyakini mampu melindungi kita dari berbagai kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupan.

“Barang siapa membaca Surah Al-Waqiah di malam Jum’at, dia akan dicintai oleh Allah dan manusia, dia tidak akan melihat kesengsaraan, kefakiran, kebutuhan serta penyakit dunia.” Imam Ja’far Al Shadiq.

4. Dimudahkan Pekerjaannya

Di samping tiga keutamaan tersebut, Surah Al-Waqiah juga memiliki manfaat lain, yaitu mempermudah urusan karier dalam kehidupan. Misalnya, bagi seorang pebisnis atau pedagang yang rutin mengamalkannya, urusan usahanya akan dipermudah dan bisnisnya berkembang dengan baik serta pesat.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Hati-Hati, Ini 4 Dosa Besar yang Mengundang Murka Allah


Jakarta

Dalam Islam, ada beberapa perbuatan yang tergolong dosa besar dan sangat dilarang karena dapat mendatangkan murka Allah SWT. Rasulullah SAW telah menyebutkan dosa-dosa ini dalam berbagai hadis sebagai peringatan bagi umatnya.

Salah satu hadis dari Anas bin Malik RA menyebutkan, “Rasulullah SAW ditanya tentang dosa-dosa besar. Maka beliau menjawab, ‘Berbuat syirik kepada Allah SWT, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa yang diharamkan dan memberi kesaksian palsu’.”

Dari hadis tersebut, para ulama menjelaskan bahwa ada empat dosa yang paling berat. Mari kita pahami lebih dalam mengenai dosa-dosa besar ini.


1. Syirik (Menyekutukan Allah)

Menurut buku Hadits-hadits Tarbiyah karya Wafi Marzuqi Ammar, Rasulullah SAW menempatkan syirik sebagai dosa terbesar pertama. Syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah SWT dengan hal lain.

Syirik terbagi menjadi dua kategori, yaitu syirik besar (akbar) dan syirik kecil (asghar). Pembagian ini dijelaskan dalam buku 101 Dosa-Dosa Besar oleh TB. Asep Subhi dan Ahmad Taufik.

  • Syirik Besar: Perbuatan ini dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam (murtad) dan terancam kekal di neraka. Dosa syirik besar tidak akan diampuni kecuali pelakunya bertobat dengan sungguh-sungguh dan kembali mengimani keesaan Allah.
  • Syirik Kecil: Dosa ini tidak sampai membuat pelakunya murtad, tetapi tetap tergolong perbuatan dosa. Contohnya adalah riya’ (beribadah untuk dipuji) dan bersumpah dengan selain nama Allah. Dosa syirik kecil bisa diampuni, tetapi juga bisa mendatangkan azab.

2. Durhaka kepada Orang Tua

Berbakti kepada kedua orang tua adalah perintah langsung dari Allah SWT. Sebaliknya, durhaka kepada mereka termasuk dosa besar yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa’ ayat 36:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”

Ayat ini menegaskan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang tua setelah perintah untuk tidak berbuat syirik, menunjukkan betapa besar posisi mereka dalam Islam.

3. Membunuh Jiwa yang Diharamkan

Membunuh jiwa yang tidak bersalah adalah salah satu dosa besar yang paling membinasakan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ash Shahihain dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah tujuh perkara yang membinasakan.” Beliau kemudian menyebutkan, “Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.”

Pembunuhan tanpa hak merupakan kejahatan yang sangat berat karena merampas hak hidup yang diberikan oleh Allah SWT. Islam sangat menjunjung tinggi nyawa manusia dan melarang segala bentuk kekerasan yang mengarah pada hilangnya nyawa.

4. Memberikan Kesaksian Palsu

Kesaksian palsu atau tazwir adalah perbuatan dusta dan pemalsuan. Dosa ini dianggap sangat besar karena dapat menimbulkan banyak kezaliman. Kesaksian palsu di hadapan hakim, misalnya, bisa membuat keputusan yang salah, merugikan orang yang tidak bersalah, atau menguntungkan pihak yang jahat.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menempatkan kesaksian palsu sebagai salah satu dosa besar yang harus dihindari, karena kebohongan ini dapat merusak tatanan sosial dan keadilan.

Dengan memahami keempat dosa besar ini, semoga kita semua dapat menjauhinya dan selalu memohon ampunan kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com