Tag Archives: islam

Kisah Nabi Ibrahim Sunat Menggunakan Kampak di Usia 80 Tahun


Jakarta

Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Islam. Ia dikenal sebagai “Khalilullah,” yang berarti “Sahabat Allah” atau “Temannya Allah”.

Tak hanya itu, Nabi Ibrahim juga dianggap sebagai salah satu nabi ulul azmi, yaitu kelompok nabi pilihan yang memiliki keteguhan dan keberanian luar biasa dalam menyampaikan ajaran Allah. Pengajaran dan contoh kehidupan Nabi Ibrahim sangat dihormati dalam agama Islam dan menjadi inspirasi bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan yang taat kepada Allah dan penuh kesabaran serta keimanan.

Selain kurban, Nabi Ibrahim juga mengajarkan umat Islam untuk melaksanakan khitan atau sunat. Hal ini tercantum dalam sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah, beliau berkata:


“Nabi Ibrahim adalah orang yang pertama kali memakai celana panjang, membersihkan rambut yang kotor, mencukur bulu kemaluan, dan orang yang pertama kali melakukan khitan dengan qadum saat beliau berusia 80 tahun. Beliau dikenal sebagai orang yang pertama kali menjamu tamu dan orang yang pertama kali rambutnya beruban.” (HR Ibnu Hibban).

Mengutip buku Kisah Para Nabi oleh Imam Ibnu Katsir, beberapa pendapat mengatakan bahwa qadum ini adalah sebuah alat yang digunakan oleh tukang kayu berupa kampak. Ada juga yang menyebut bahwa qadum adalah nama sebuah tempat (yakni, ia disunat di daerah Qadum).

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keterangan dari ahli kitab itu semuanya benar. Meskipun sedikit berbeda dari hadits nabi, namun bisa saja keduanya digabungkan.

Lantas, mengapa menggunakan kampak? bisa saja pada saat itu perintah Allah SWT datang kepada Nabi Ibrahim secara mendadak. Ibrahim yang tidak ingin menundanya akhirnya mengambil kampak yang ada di sekitarnya dan langsung berkhitan.

Tak hanya Ibrahim, Allah SWT juga memerintahkannya untuk mengkhitan Ismail dan juga semua hamba sahayanya. Begitu pun setiap laki-laki yang ada pada keluarganya. Kala itu Nabi Ismail dikhitan pada usia 13 tahun.

Nabi Ibrahim Sunat Usia 80 Tahun

Dalam riwayat lain, usia Nabi Ibrahim AS saat disunat juga disebutkan sama. Ia khitan di umur 80 tahun.

اختتن إبراهيم عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

“Rasulullah SAW bersabda, “Ibrahim al Khalil berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun dan beliau berkhitan menggunakan kampak.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan dalam riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Usia Ibrahim ketika dikhitan telah mencapai 120 tahun. Kemudian setelah itu Ibrahim masih menjalani kehidupannya selama 80 tahun.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Dalam kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tidak menutup kemungkinan jika Nabi Ibrahim dikhitan pada usia lebih dari 80 tahun. Wallahu a’lam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masuk Islamnya Abu Bakar Ash-Shiddiq di Hadapan Rasulullah SAW



Jakarta

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang kerap mendampingi beliau semasa hidupnya. Bahkan, sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ditunjuk menjadi Khalifah pertama untuk memimpin kaum muslim.

Dijelaskan dalam buku Abu Bakar Ash-Shiddiq: Syakhshiyatu Wa ‘Ashruhu karya Ali Muhammad Ash-Shalabi nama asli Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi.

Sementara itu, nama Abu Bakar ia dapatkan setelah memeluk agama Islam. Setelah menyatakan keislamannya, Rasulullah SAW mengubah nama Abu Bakar menjadi Abdullah bin Abu Quhafah yang artinya hamba Allah putra Quhafah Utsman, demikian dikutip dari Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah oleh Imam As-Suyuthi.


Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki nasab langsung dari Rasulullah SAW. Disebutkan dalam Sirah wa Hayah Ash-Shiddiq karya Majdi Fathi As-Sayyid, nasab Abu Bakar Ash Shiddiq bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakek keenam, yaitu Murrah bin Ka’ab.

Melansir dari Tarikh Khulafa oleh Ibrahim Al-Quraibi, Abu Bakar disebut sebagai orang pertama yang memeluk Islam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Asma’ binti Abu Bakar yang berkata,

“Ayahku masuk Islam, sebagai muslim pertama. Dan demi Allah aku tidak mengingat tentang ayahku kecuali ia telah memeluk agama ini.”

Dalam pendapat lainnya disebutkan bahwa Khadijah-lah yang pertama kali memeluk Islam. Ada juga yang mengatakan Ali bin Abi Thalib, wallahu alam.

Terkait kisah keislaman Abu Bakar ini diceritakan dalam riwayat Abu Hasan Al-Athrabulusi melalui Al-Bidayah yang dikutip oleh Suparnno dalam buku Sahabat Rasululloh Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sebagai kawan Rasulullah SAW sejak zaman Jahiliyah, Abu Bakar suatu hari menemui beliau dan bertanya,

“Wahai Abul Qosim (panggilan Nabi), ada apa denganmu, sehingga engkau tidak terlihat di majelis kaummu dan orang-orang yang menuduh bahwa engkau telah berkata buruk tentang nenek moyangmu dan lain-lain lagi?”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah SWT dan aku mengajak kamu kepada Allah SWT.”

Setelah Rasulullah SAW selesai berbicara, Abu Bakar langsung memeluk Islam. Setelahnya, beliau menjadi seorang sahabat yang memperjuangkan Islam bersama Rasulullah SAW. Saat masuk Islam, Abu Bakar menginfakkan 40.000 dirham hartanya di jalan Allah SWT.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Nabi Yahya AS yang Dibunuh saat Ibadah


Jakarta

Nabi Yahya AS termasuk 25 nabi dan rasul yang wajib diimani umat Islam. Beberapa kisahnya semasa hidup turut diceritakan dalam Al-Qur’an dan buku-buku kisah nabi, salah satunya kisah wafatnya Nabi Yahya AS.

Nabi Yahya AS adalah putra satu-satunya Nabi Zakaria AS dan merupakan mukjizat yang diberikan Allah SWT kepadanya. Bagaimana tidak? Nabi Zakaria AS memiliki anak ketika usianya sangat lanjut dan bahkan istrinya adalah seorang wanita mandul. Hal ini dijelaskan dalam buku Riwayat 25 Nabi dan Rasul oleh Gamal Komandoko.

Diceritakan dalam buku tersebut, jetika Nabi Yahya AS dilahirkan, keadaan Bani Israil sedang berada di bawah penjajahan bangsa Romawi. Saat itu Raja Herodes menjabat sebagai wakil kekaisaran Romawi yang berkedudukan di Palestina. Ia merupakan pemimpin yang amat kejam, bengis, dan tidak mengenal perikemanusiaan.


Pada saat itu juga, Bani Israil terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok mayoritas adalah kaum Bani Israil yang tidak lagi menjadikan Allah SWT sebagai Tuhan dan sesembahan, sedangkan kelompok minoritas tetap berpegang teguh pada ajaran Taurat dan Zabur.

Nabi Yahya AS dikenal sebagai pemuda yang saleh. Ia sering berjuang bersama ayahnya untuk mengemban risalah Allah SWT yakni dengan menyadarkan kaum Bani Israil kepada jalan yang benar.

Nabi Yahya AS muda benar-benar bisa merasakan permusuhan dan pertentangan yang dilakukan kaumnya kepadanya dan ayahnya. Terlebih lagi ketika tokoh-tokoh Bani Israil bersekutu dengan Raja Herodes untuk menentang dakwah mereka.

Allah SWT lalu mengangkat Yahya AS menjadi seorang nabi yang mengajarkan ajaran kitab Taurat kepada kaumnya. Beberapa dari kaum tersebut tersadar atas perbuatan dosa mereka, sehingga Nabi Yahya AS melakukan pertobatan atas mereka.

Nabi Yahya AS memercikkan air dari sungai Yordan di atas kepala orang yang hendak bertobat. Kegiatan yang disebut dengan pembaptisan ini memiliki maksud sebagai tanda pertobatan dan bukan pencucian dosa-dosa. Oleh karena itu, Nabi Yahya AS dikenal sebagai Yahya Sang Pembaptis.

Kisah Wafatnya Nabi Yahya AS

Kisah wafatnya Nabi Yahya AS berawal dari berita menggemparkan dari Raja Herodes yang hendak menikahi anak tirinya sendiri yang bernama Herodia.

Pernikahan antara Raja Herodes dan putrinya, Herodia sudah mendapatkan persetujuan dari istri Herodes yang juga merupakan ibu Herodia. Oleh sebab itu, tidak ada lagi orang yang berani untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya.

Berbeda dari semua orang, Nabi Yahya AS justru sangat menentang pernikahan antar keluarga ini. Pernikahan ini merupakan perbuatan yang terlarang dalam kitab Taurat dan tentu saja Nabi Yahya AS harus meluruskannya.

Nabi Yahya AS tidak gentar untuk menentang pernikahan Raja Herodes tersebut. Ia menyatakan dengan lantang apa yang akan diperbuat oleh Raja Herodes adalah sebuah kesalahan.

Raja Herodes pun sangat murka dengan Nabi Yahya AS. Ia berniat untuk menangkap dan menjatuhkan hukuman terberatnya karena keberanian Nabi Yahya AS menentang kehendaknya.

Berbeda dari ayahnya, Herodia berusaha membujuk Nabi Yahya AS dengan cara yang berbeda. Ia memanfaatkan kecantikan dan tubuhnya yang bagus untuk merayu Nabi Yahya AS dan hendak melakukan hal yang tidak pantas.

Nabi Yahya AS pun menolak dengan tegas ajakan Herodia tersebut. Hal ini berujung pada kemarahan Herodia dan fitnah yang menyebar berkaitan dengan Nabi Yahya AS. Ia dituduh ingin menikahi Herodia sehingga ia membuat peraturan bahwa pernikahan dengan ayahnya sendiri dilarang di dalam Taurat.

Mendengar aduan dari anaknya dan calon istrinya tersebut, Raja Herodes lantas marah besar. Ia memerintahkan para prajuritnya untuk menangkap dan membunuh Nabi Yahya AS.

Para prajurit pun menemukan Nabi Yahya AS. Ia sedang beribadah kepada Allah SWT. Tanpa basa basi, prajurit itu pun langsung menebaskan pedangnya ke arah kepala Nabi Yahya AS.

Nabi Yahya AS wafat seketika karena terpenggal kepalanya. Ia wafat sebagai seorang syuhada yang selalu membela agama Allah SWT.

Kisah wafatnya Nabi Yahya AS tersebut tidak diceritakan dalam Al-Qur’an maupun hadits nabi, melainkan dari israiliyat–sebuah riwayat Bani Israil yang bersumber dari orang Yahudi dan Nasrani. Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Seorang Penggembala Jujur yang Digoda Ibnu Umar



Jakarta

Dalam kitab ‘Uyunul Hikayat karya Imam Ibnu Jauzi, terdapat kisah menarik antara Abdullah bin Umar dengan seorang penggembala kambing. Di mana, Ibnu Umar menggoda penggembala tersebut yang sedang melintas di depannya.

Kisah ini disampaikan oleh Abdul Aziz, yang diperolehnya dari Nafi’. Mengutip buku berjudul 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah yang ditulis oleh Imam Ibnul Jauzi, begini ceritanya.

Pada suatu hari, Abdullah bin Umar dan sahabat-sahabatnya pergi ke pinggiran kota Madinah. Saat beristirahat dan makan, mereka bertemu dengan seorang penggembala yang sedang melintas.


Ketika berjumpa dengan penggembala tersebut, Ibnu Umar mengundangnya untuk bergabung dan makan bersama.

“Silakan bergabung, mari makan bersama kami,” ajak Ibnu Umar kepada penggembala yang tengah melintas.

“Terima kasih, tapi saya sedang puasa,” jawab si penggembala singkat.

Ibnu Umar kagum melihat penggembala tersebut. Bisa-bisanya ia tetap menjalankan ibadah puasa di tengah terik matahari.

“Di hari yang begitu panas seperti ini, di tengah perbukitan sambil menggembala kambing, engkau masih tetap berpuasa?” tanya Ibnu Umar.

“Waktu berlalu dengan cepat, saya tidak ingin menyia-nyiakannya,” kata penggembala itu.

Ibnu Umar kemudian menawarkan kepada penggembala untuk menjual salah satu kambingnya. Nantinya, sebagian dari daging tersebut akan ia bagikan untuk si penggembala sebagai bekal berbuka puasa.

Namun si penggembala enggan untuk menjualnya. Sebab kambing tersebut bukanlah miliknya.

“Mereka bukanlah milikku, melainkan milik majikanku,” jawab si penggembala menolak tawaran Ibnu Umar.

Kemudian Ibnu Umar mencoba untuk menggoda penggembala tersebut. Ia mengajarkan si penggembala untuk berbohong jika ditanya oleh majikannya ke mana satu ekor kambingnya yang hilang.

“Mudah, katakan saja pada majikanmu bahwa salah satu kambingnya dimakan oleh serigala,” kata Ibnu Umar.

Jawaban si penggembala cukup mencengangkan. Ia sama sekali tidak tergoda oleh rayuan Ibnu Umar.

“Namun, di mana Allah berada?” jawab penggembala dengan tegas meyakinkan Ibnu Umar bahwa Allah selalu mengawasi hamba-Nya.

Tak lama kemudian, penggembala itu melanjutkan perjalanannya. Ia meninggalkan Ibnu Umar yang sedang beristirahat bersama kawan-kawannya.

Setelah kembali ke Madinah, Umar menemui majikan penggembala yang ternyata adalah seorang hamba sahaya. Ibnu Umar lalu membeli kambing-kambingnya.

Namun, tak hanya itu, Ibnu Umar juga memerdekakan penggembala tersebut dan memberikannya kambing-kambing yang baru saja dibelinya.

Berkat sebuah kejujuran, si penggembala akhirnya memperoleh kambing yang berlimpah dan mendapatkan kemerdekaan. Seandainya penggembala itu mau menjual kambingnya saat pertama kali bertemu dengan Ibnu Umar, ia mungkin akan tetap menjadi budak dan hanya menerima bayaran seharga satu kambing beserta sepotong daging.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi dengan Seekor Burung



Jakarta

Cerita ini tentang dua sufi terkemuka yang bernama Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Saat bertemu di Makkah, Ibrahim bin Adham mampu mengubah pandangan Syaqiq Al-Balkhi tentang konsep perjalanan spiritual.

Kisah ini tercatat di kitab ‘Uyunul Hikayat karya Imam Ibnu Jauzi. Ia mendapatkan cerita tersebut dari Khalaf bin Buhaim.

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham memulai obrolannya pada Syaqiq dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Ia penasaran dengan kisal awal perjalanan spriritual Syaqiq.


“Bagaimana kisah awal perjalanan spiritualmu?” tanya Ibrahim kepada Syaqiq.

Syaqiq segera berbagi pengalaman pribadinya kepada Ibrahim. Seekor burunglah yang menjadi titik awal perjalanan spiritualnya.

Syaqiq menceritakan bahwa suatu hari ia sedang melakukan perjalanan di sebuah gurun. Merasa kelelahan, ia memutuskan untuk beristirahat untuk mengembalikan energi yang telah terkuras oleh teriknya matahari.

Ketika sedang istirahat, tiba-tiba Syaqiq terkejut karena melihat seekor burung jatuh tak jauh dari tempat ia duduk. Setelah diperhatikan, ternyata sayap burung tersebut patah, sehingga burung itu tak mampu terbang dan mencari makanan.

“Kita perhatikan dari mana burung ini bisa mendapatkan makanan,” gumam Syaqiq di dalam hati.

Sambil mendekati, Syaqiq terus memperhatikan burung itu. Ibrahim bin Adham pun fokus mendengarkan kisah Syaqiq Al-Balkhi hingga tak berkomentar.

Tiba-tiba, kata Syaqiq, datanglah seekor burung sehat dan normal mendekati burung yang sakit dan terjatuh itu. Burung yang sehat ini membawa belalang di paruhnya, kemudian menyodorkan belalang tersebut ke paruh burung yang sayapnya patah.

Syaqiq terkesima oleh peristiwa tersebut. Ia memuji kekuasaan Allah yang memberikan rezeki kepada burung tak berdaya di tengah gurun.

Dengan penuh keyakinan, Syaqiq percaya hal yang sama juga bisa terjadi padanya. Sejak saat itu, Syaqiq akhirnya memutuskan diri untuk fokus ibadah dan tidak bekerja.

Ia percaya bahwa Allah akan tetap memberikan rezeki kepada Syaqiq, seperti yang dialami oleh burung yang sayapnya patah itu.

“Saya yakin, Allah juga akan memberikan rezeki kepada saya di mana pun saya berada,” ujar Syaqiq.

Setelah cerita Syaqiq selesai, Ibrahim bin Adham memberikan tanggapan yang membuat Syaqiq tercengang. Ia melontarkan sebuah pertanyaan dan pernyataan yang tidak terpikirkan oleh Syaqiq.

“Ya Syaqiq, mengapa kamu memilih menjadi seperti burung yang sayapnya patah? Mengapa tidak memilih menjadi burung yang sehat dan memberi makan burung yang sakit itu?” ucap Ibrahim bin Adham.

Ibrahim kemudian mengeluarkan dalil yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.

“Tidakkah kamu pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima?'” imbuh Ibrahim.

“Dan bukankah di antara tanda seorang mukmin yang sejati adalah keinginannya untuk mendapatkan salah satu dari dua derajat yang lebih tinggi dalam berbagai hal, sehingga ia mencapai tingkatan Al-Abrar?” lanjutnya.

Setelah mendengar penjelasan dari Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balkhi langsung memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, “Anda adalah guru kami, wahai Abu Ishaq.”

Dari kisah ini, dapat diambil hikmah bahwa menempuh perjalanan spiritual tidak selalu berarti meninggalkan aspek kehidupan ekonomi dan sosial. Lebih dari itu, perjalanan spiritual dapat ditingkatkan dengan selalu menyebarkan kebaikan dan terus memberikan manfaat kepada orang lain.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rabiah Al Adawiyah, Wanita Cantik Bersuara Merdu yang Cinta kepada Allah



Jakarta

Kisah Rabiah Al Adawiyah tidak bisa dilewatkan ketika kita membahas tentang wanita solehah. Ceritanya begitu menarik dan inspiratif sebab ia tidak tertarik pada kehidupan duniawi.

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang terkenal di dunia tasawuf. Dirinya banyak diketahui karena ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya demi beribadah dan mendekat kepada Allah SWT.

Diambil dari arsip detikHikmah, Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang lahir pada tahun 713 Hijriah di Basrah, Irak. Ia sudah menjadi sebatang kara setelah ditinggal orang tuanya wafat dan ketiga kakaknya yang juga wafat karena wabah kelaparan.


Oleh sebab itu, Rabiah Al Adawiyah sudah harus hidup sendiri dan jauh dari masyarakat. Dirinya menghidupi diri sendiri dengan bekerja menjadi budak.

Ketika ia punya waktu luang atau tidak sedang bekerja, maka ia memilih untuk menghabiskan waktunya untuk bermeditasi.

Rabiah Al Adawiyah hidup dalam kemiskinan. Harta yang ia punya hanyalah sebuah tikar lusuh, sebuah periuk tanah, dan sebuah batu bata.

Meski demikian, hidup Rabiah Al Adawiyah penuh dengan kemuliaan. Setiap hari, dia senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT tanpa mempedulikan urusan dunianya. Tujuannya hanya satu, yaitu surga-Nya yang amat dirindukan.

Besarnya Cinta Rabiah Al Adawiyah kepada Allah SWT

Rabiah Al Adawiyah begitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Takwanya bahkan sudah mencapai tahap cinta yang besar kepada Sang Khalik. Dirinya memilih dalam kesederhanaan, meskipun bisa hidup mewah mengandalkan parasnya yang cantik dan suaranya yang merdu.

Dalam sebuah buku yang berjudul Rabiah Al Adawiyah karya Makrum Gharib disebutkan pernyataannya mengenai cintanya yang besar kepada Allah SWT bisa mengalahkan rasa takutnya kepada Dia.

“Aku tidak menyembah Allah karena takut akan neraka, tidak juga karena mengharap surga. Jika aku menyembah-Nya karena takut neraka atau mengharap surga maka aku seperti buruh yang buruk yang bekerja karena rasa takut. Aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah yang besar kepada Allah SWT ini biasa dikenal dengan istilah “mahabbah,” jelas Abrar M. Daud Faza dalam bukunya yang berjudul Moderasi Beragama Para Sufi.

Bagi Rabiah Al Adawiyah, mahabbah adalah cinta yang besar yang dilandasi rasa iman yang sangat tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah SWT.

Mahabbah yang dimiliki Rabiah Al Adawiyah sudah memenuhi aspek makhluk dan Khalik. Ketika itu, dirinya bermunajat kepada Allah SWT dengan berbicara, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai mu oleh api neraka?”

Tiba-tiba saja, ada sebuah suara yang menjawabnya dengan berkata, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Hal ini sebagaimana dinukil dari buku Risalah Al-Qusyairiyah.

Mahabbah yang diajarkan oleh Rabiah Al Adawiyah menunjukkan betapa besarnya cintanya kepada Allah SWT sampai-sampai tidak ada perasaan benci sedikitpun kepada yang lainnya, baik alam maupun manusia.

Semua hal yang berkaitan dengan Rabiah Al Adawiyah dipenuhi dengan cinta dan kasih atau mahabbah. Konsep mahabbahnya juga sangat berkaitan erat dengan konsep aulawiyah atau mendahulukan yang prioritas.

Rabiah Al Adawiyah pasti mendahulukan sesuatu yang menjadi prioritas atau yang lebih penting. Salah satu contohnya adalah ketika ada dua pemuka agama yang kelaparan hendak bertamu ke rumah Rabiah Al Adawiyah.

Di sana, keduanya sudah mendapati dua buah roti di atas meja. Mereka sudah senang akan segera mendapat roti tersebut. Namun, ternyata ada seorang pengemis datang untuk meminta makanan.

Maka, Rabiah Al Adawiyah pun memberikan kedua roti tadi kepada si pengemis. Dua orang pemuka agama tadi kecewa karena tentunya mereka tidak jadi mendapat makanan.

Lalu, ternyata ada seorang pelayan datang ke rumah Rabiah Al Adawiyah dengan membawa dua buah roti yang baru saja matang. Maka ia langsung memberikan roti itu kepada kedua tamunya.

Tentunya, Rabiah Al Adawiyah memberikan roti kepada pengemis tadi bukan karena ingin mengecewakan tamunya. Namun, ia tahu mana yang lebih menjadi prioritas.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Nabi Musa Pernah Sakit Gigi, Begini Kisahnya



Jakarta

Nabi Musa Alaihissalam pernah mengalami sakit gigi yang luar biasa. Ia sampai mengeluh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala saking tak kuat menahan kesakitan tersebut.

Mengutip laman Kemenag, Nabi Musa yang merasakan sakit gigi itu memohon doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar sakit giginya segera sembuh. Pada saat itu juga, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menyembuhkan sakit giginya dengan menggunakan tanaman obat.

“Ambillah rumput itu dan letakkan di gigimu,” perintah Allah kepada Nabi Musa, sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nurudh Dholam.


Setelah menerima petunjuk dari Allah, Nabi Musa melaksanakan perintah-Nya dengan memetik tanaman obat dan meletakkannya di giginya yang sedang bermasalah. Pada saat itu juga, sakit giginya segera sembuh berkat penggunaan tanaman obat sebagai wasilah.

Beberapa waktu setelahnya, Nabi Musa mengalami kekambuhan sakit gigi. Tanpa mengeluh atau berdoa kepada Allah seperti sebelumnya, ia langsung memetik tanaman obat dan meletakkannya di gigi yang sakit.

Tindakan tersebut dilakukan oleh Nabi Musa dengan keyakinan bahwa tanaman obat sebelumnya telah terbukti berkhasiat dalam menyembuhkan sakit gigi.

Namun sayang, usahanya tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, sakit gigi Nabi Musa justru semakin parah.

Dalam buku Genius Dari Syurga karya Ainizal Abdul Latif, Nabi Musa bertanya kepada malaikat mengapa sakit giginya tak hilang meskipun sudah banyak daun yang dikunyahnya. Malaikat mengatakan bahwa dulu ia meletakkan seluruh kepercayaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tapi kali ini Nabi Musa meletakkan kepercayaannya kepada daun.

Di tengah keadaan tersebut, Nabi Musa segera mencurahkan keluhannya dan berdoa kembali kepada Allah. Kemudian Allah berfirman:

“Ya Musa, Aku adalah Dzat yang memberi kesembuhan, Dzat yang memberikan kesehatan, Dzat yang memberikan bahaya, Dzat yang memberikan manfaat. Pada sakit pertama kamu datang menghadap kepada-Ku maka Aku hilangkan penyakitmu. Kali ini, kamu tidak datang kepada-Ku tapi kamu datang kepada tanaman obat itu.”

Dari kisah ini, setidaknya dapat diambil dua hikmah. Pertama, Allah memiliki sifat Jaiz yang memberikan-Nya kebebasan untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.

Allah dapat meningkatkan atau menurunkan derajat seseorang sesuai kebijakan-Nya. Selain itu, Allah juga memiliki kuasa untuk menimpakan penyakit atau memberikan kesembuhan kepada siapa pun sesuai dengan kehendak-Nya.

Kedua, Allah adalah pemilik segala yang ada di langit dan bumi, termasuk kesehatan dan kesembuhan. Oleh karena itu, tindakan yang perlu dilakukan oleh umat Islam ketika sakit adalah memohon kesehatan dan kesembuhan kepada Allah melalui doa.

Selain itu, mereka diwajibkan untuk tetap melakukan usaha nyata seperti penggunaan obat dan berbagai bentuk pengobatan, sambil meyakini bahwa hal tersebut hanya sebagai wasilah atau perantara untuk mencapai kesehatan dan kesembuhan.

Wallahu a’lam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Asiyah binti Muzahim, Istri Fir’aun Wanita Mulia Penghuni Surga


Jakarta

Asiyah binti Muzahim atau Asiyah adalah istri Fir’aun pada zaman Nabi Musa AS dan dipandang menjadi salah satu perempuan mulia dalam sejarah Islam. Dalam Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab dikatakan, jika Asiyah adalah seorang Bani Israil.

Asiyah merupakan wanita yang beriman dan tidak menyembah Fir’aun. Oleh karenanya, dia adalah salah satu dari keempat wanita penghuni surga yang paling utama.

Dari Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a mengatakan:


سَيِّدَاتُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَرْبَعٌ: مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَآسِيَةُ

“Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam binti Imran, Fatimah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah.”

Asiyah Menjadi Istri Fir’aun

Fir’aun adalah sosok raja Mesir yang kejam dan angkuh. Saat menjabat jadi raja, Fir’aun membedakan dua suku yang ada pada zaman itu, yakni Qibthi dan Bani Israil.

Suku Qibthi adalah pembela raja, maka mereka memiliki kebebasan dan memiliki apapun yang dikehendaki karena mereka membela raja. Sedangkan Bani Israil, para lelaki dijadikan budak dan perempuan sebagai pemuas nafsunya.

Merujuk buku Siti Asiyah karya Syukur Yanuardi, suatu hari kecantikan Asiyah dan beberapa kelebihannya sampai ke telinga Fir’aun. Ia tertarik untuk melamar Asiyah dan mengutus seorang menteri.

Ternyata lamaran itu ditolak oleh Asiyah dan keluarganya. Mendengar lamarannya ditolak, Fir’aun sangat murka kemudian menyuruh tentaranya untuk menangkap kedua orang tua Asiyah dan mengancam akan membakar mereka berdua jika Asiyah tidak mau menerima lamaran Fir’aun.

Karena tidak mau melihat orang tuanya disiksa, akhirnya Asiyah mau menerima lamaran Fir’aun tapi dengan beberapa syarat. Salah satu syaratnya adalah Asiyah akan menghadiri acara-acara Fir’aun tetapi tidak tidur bersama Fir’aun. Fir’aun pun setuju dan mereka berdua akhirnya menikah.

Asiyah Disiksa Fir’aun

Mengutip buku Wanita-Wanita Hebat Pengukir Surga oleh Ibrahim Mahmud Abdul Radi, ketika mendengar mukjizat kenabian Nabi Musa, Asiyah langsung beriman kepada ajaran Nabi Musa dan Asiyah menjadi perempuan pertama yang beriman dan mengikuti ajarannya. Saat mengetahui istrinya beriman kepada Allah SWT, Fir’aun pun menyiksa Asiyah dan memaksanya meninggalkan keyakinannya itu.

Kedua tangan Asiyah diikat oleh suaminya sendiri di bawah terik matahari. Namun, siksaan dari Fir’aun justru kian meneguhkan keyakinannya.

Tatkala Fir’aun dan para pengawalnya meninggalkan Asiyah sendiri di bawah terik matahari, malaikat datang memberikan naungan karena doa yang telah ia panjatkan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam surat At-Tahrim ayat 11:

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّـلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِىۡ عِنۡدَكَ بَيۡتًا فِى الۡجَـنَّةِ وَنَجِّنِىۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِىۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِيۡنَۙ

Artinya: Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim,”

Setelah itu Fir’aun meminta pengawalnya untuk mengawasi Asiyah. Namun, saat para pengawal Fir’aun datang ke Padang pasir, tempat Asiyah diikat di bawah terik matahari, mereka melihatnya tengah memandang langit.

Saat itu Asiyah tengah memandang rumah yang telah dibangun untuknya di dalam surga. Dan dia tetap teguh pada ucapan serta keyakinannya hingga ajal menjemputnya.

Sungguh Asiyah adalah sosok wanita yang teguh memegang keyakinannya kepada Allah SWT, meskipun ia harus menerima siksaan dari suaminya sendiri. Dia adalah pribadi wanita tangguh dan memiliki kesabaran luar biasa dalam menghadapi ujian dan siksaan fisik lainnya.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Shuhaib bin Sinan, Sahabat Nabi yang Dermawan tapi Kaya Raya



Jakarta

Islam adalah agama yang berperan besar dalam mengubah dunia dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang benderang. Berbagai tokoh Islam juga memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran agama Islam.

Di antara tokoh Islam tersebut adalah para Nabi utusan Allah SWT hingga para sahabat Nabi SAW. Salah satu sahabat Nabi yang berperan menyebarkan Islam adalah Shuhaib bin Sinan.

Shuhaib bin Sinan adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang selalu untung. Berikut kisahnya.


Biografi Shuhaib bin Sinan

Merujuk pada buku Ensiklopedia Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, Shuhaib bin Sinan merupakan putra Sinan bin Malik dan Salma binti Qa’id. Orang tua Shuhaib adalah orang Arab tulen.

Ketika kecil, Shuhaib bin Sinan dipanggil al-Rumi karena ia pernah ditawan oleh Bangsa Romawi. Sedangkan Rasulullah SAW memanggilnya Abu Yahya.

Shuhaib merupakan seorang anak yang sangat dicintai dan disayangi orang tuanya. Keluarga mereka hidup damai di dekat Sungai Efrat.

Kisah Shuhaib bin Sinan, Sahabat Nabi yang Selalu Untung

Dirangkum dari buku Rijal Haula Ar-Rasul oleh Khalid Muhammad Khalid, bahwa pada suatu ketika, negeri yang menjadi tempat tinggal Shuhaib diserang oleh Romawi. Tak hanya menyerang, Romawi juga menawan sejumlah penduduk untuk dijual belikan sebagai budak, termasuk Shuhaib bin Sinan.

Shuhaib bin Sinan adalah anak yang cerdas, rajin, dan jujur. Atas dasar itulah, majikannya tertarik dan memerdekakan Shuhaib bin Sinan. Majikannya juga memberinya kesempatan untuk berniaga bersamanya.

Suatu ketika, Shuhaib bin Sinan dan Ammar bin Yasir pergi ke rumah Arqam. Mereka menuju ke sana dengan penuh keberanian dalam menghadapi bahaya.

Shuhaib telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Pernah diceritakan keadaan yang membuktikan besarnya rasa tanggung jawabnya sebagai seorang muslim yang telah bai’at kepada Rasulullah SAW dan bernaung di bawah panji-panji Islam.

Shuhaib bin Sinan menjadi pribadi yang keras, ulet, zuhud tak kenal lelah, hingga dengan bekal tersebut ia berhasil mengatasi berbagai peristiwa dan menjinakkan marabahaya. Ia selalu menghadapinya dengan keberanian yang luar biasa. Shuaib tak pantang mundur dari segala pertempuran dan bahaya.

Ketika Rasulullah SAW hendak hijrah, kafir Quraisy mencegahnya. Shuhai terjebak dan terhalang untuk hijrah, sedangkan Rasulullah SAW dan sahabatnya berhasil lolos atas barkah Allah SWT.

Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraisy dengan cara bersilat lidah. Hingga ketika mereka lengah, Shuhaib naik ke punggung untanya dan melarikan diri menuju Sahara. Mengetahui hal itu, Quraisy menyusulnya dan usaha mereka hampir berhasil.

Shuhaib kemudian menawar Quraisy yang hendak menangkapnya dengan menunjukkan tempat penyimpanan harta bendanya dengan syarat Quraisy harus membebaskannya. Quraisy pun menerima tawaran itu.

Setelah menunjukkan tempat hartanya disimpan, Quraisy membiarkan Shuhaib hijrah hingga berhasil menyusul Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW sedang duduk dikelilingi beberapa sahabat, ketika dengan tidak diduga Shuhaib mengucapkan salamnya.

Rasulullah SAW yang melihatnya berseru dengan gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya! Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!”

Kemudian turunlah surah Al Baqarah ayat 207,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ رَءُوْفٌۢ بِالْعِبَادِ ٢٠٧

Artinya: “Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari rida Allah. Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba(-Nya).”

Memang, Shuhaib menebus dirinya yang beriman itu dengan segala harta kekayaannya. Shuhaib tidak merasa rugi sedikit pun karena hartanya tidak begitu berarti baginya.

Di samping keshalihan dan ketaqwaannya, Shuhaib adalah seorang periang dan jenaka. Shuhaib juga merupakan sosok yang pemurah dan dermawan.

Shuhaib membelanjakan tunjangannya dari Baitul Mal untuk di jalan Allah SWT. Uang itu ia gunakan untuk membantu orang yang kemalangan dan menolong fakir miskin dalam kesengsaraan.

Ketika Umar bin Khattab RA dipilih sebagai imam salat kaum muslim, beliau memilih enam sahabat untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Khalifah kaum muslimin biasanya menjadi imam dalam salat-salat mereka.

Saat ruhnya yang suci hendak menghadap Allah SWT, Umar bin Khattab RA kemudian memilih Shuhaib bin Sinan RA sebagai imam kaum muslimin menunggu munculnya khalifah baru. Maka peristiwa ini merupakan kesempurnaan karunia Allah SWT terhadap hamba-Nya yang shalih, Shuahaib bin Sinan.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Badar, Salah Satu Pertempuran Besar dalam Sejarah Islam



Jakarta

Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Pertempuran ini disebut terbesar yang pertama dalam sejarah Islam.

Kala itu, jumlah pasukan kaum muslimin dan kafir Quraisy tidak seimbang. Penyebab meletusnya sendiri ialah karena perseteruan umat Islam dengan kaum Quraisy yang musyrik, seperti dijelaskan dalam Kitab As-Sirah an-Nabawiyah tulisan Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi.

Kaum Quraisy kerap kali berupaya memerangi Islam. Mereka menghalangi jalan Allah SWT dan membuat berbagai kesulitan terhadap kaum muslimin.


Saat Perang Badar, pasukan muslimin berjumlah 313 orang, sementara tentara Quraisy mencapai 1.000 orang lebih.

Mengutip Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Perang Badar terjadi saat pasukan Madinah menghadang kafilah dagang Quraisy yang pulang dari Syam menuju Makkah.

Kafilah dagang Quraisy itu membawa harta kekayaan penduduk Makkah yang jumlahnya melimpah, yaitu sebanyak 1.000 unta membawa harta benda yang nilainya tidak kurang dari 5.000 dinar emas. Hal ini jadi kesempatan emas bagi pasukan Madinah untuk melancarkan pukulan yang telak bagi orang-orang kafir Quraisy. Ini menjadi serangan dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Karenanya, Nabi Muhammad SAW mengumumkan kepada orang-orang muslim seraya mengatakan,

“Ini adalah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta benda mereka. Hadanglah kafilah itu, semoga Allah SWT memberikan barang rampasan itu kepada kalian.”

Akhirnya, hal tersebut menyebabkan Perang Badar pecah. Tanpa rasa takut, Nabi Muhammad SAW dan pasukannya berangkat dari Madinah menuju medan pertempuran.

Dengan taktik dan siasat dari Rasulullah SAW pasukan Islam sampai terlebih dahulu ke mata air Badar. Hal ini menjadi taktik dan siasat bagi pasukan muslim supaya mereka memiliki cadangan air di tengah lembah gurun Badar.

Hingga akhirnya peperangan pun dimulai. Orang pertama yang menjadi korban ialah Al-Aswad bin Abdul Asad Al-Makhzumi ia adalah seorang laki-laki yang kasar dan buruk akhlaknya.

Ia keluar barisan dan mengancam pasukan muslim, ia datang untuk merebut mata air dan mengambil air minum. Namun kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthalib.

Setelah saling berhadapan Hamzah langsung menebas kaki Al-Aswad di bagian betis hingga putus, ia pun lalu merangkak dan tercebur ke dalamnya. Tetapi secepat kilat Hamzah berhasil menyerangnya dan membuatnya meninggal dunia.

Setelah itu, perang pun pecah dan orang Quraisy kehilangan 3 orang penunggang kuda yang merupakan komando pasukan mereka. Hal itu, membuat pasukan Quraisy murka dan menyerang pasukan muslim dengan membabi buta.

Di sisi lain, Rasulullah SAW berdoa kepada Allah SWT dan memohon kemenangan, hingga akhirnya Rasulullah SAW dilanda rasa kantuk. Dalam riwayat Muhammad bin Ishaq disebutkan: “Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar. Telah datang pertolongan Allah SWT kepadamu. Inilah Jibril yang datang sambil memegang tali kekang kuda yang ditungganginya di atas gulungan-gulungan debu.”

Orang-orang muslim pun bertempur dengan bantuan para malaikat. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Sa’d dari Ikrimah, dia berkata, “Pada saat itu ada kepala orang musyrik yang terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah membabatnya. Ada pula tangan yang putus, tanpa diketahui siapa yang membabatnya.” Hingga akhirnya pasukan muslim pun menang dan orang Quraisy mundur dari pertempuran.

Saking pentingnya Perang Badar Allah SWT bahkan menamai hari berlangsungnya pertempuran itu dengan Yaum al-Furqan. Maknanya sendiri ialah hari perbedaan. Kala itu, Allah SWT ingin membedakan antara yang hak dan batil.

Peperangan hebat itu berlangsung selama dua jam. Pasukan muslim berhasil menghancurkan garis pertahanan tentara Quraisy yang menyebabkan mereka mundur secara berurutan.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com