Tag Archives: kafarat

Hukum Membatalkan Sumpah dalam Islam, Apakah Ada Kafaratnya?


Jakarta

Sumpah atas nama Allah memiliki kafarat jika dilanggar. Kafarat ini merupakan denda yang harus dibayar dan wajib hukumnya apabila sumpah tersebut dilanggar.

Menukil dari kitab Al-Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah susunan Syaikh Abdurrahman Al Juzairi yang diterjemahkan Nabhani Idris, hukum sumpah dalam Islam berbeda-beda sesuai keadaan. Sumpah bisa menjadi wajib jika suatu kewajiban bergantung padanya, seperti keselamatan nyawa orang yang tidak berdosa.


Sebaliknya, sumpah juga bisa menjadi haram apabila dilakukan atas perbuatan yang haram. Mazhab Syafi’i berpendapat hukum asal dari sumpah adalah makruh sebagaimana mengacu pada surah Al Baqarah ayat 224.

وَلَا تَجْعَلُوا۟ ٱللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَٰنِكُمْ أَن تَبَرُّوا۟ وَتَتَّقُوا۟ وَتُصْلِحُوا۟ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ada kalanya hukum sumpah menjadi mubah seperti bersumpah untuk melakukan ibadah atau untuk tidak melakukan hal makruh atau dalam berdakwah di depan hakim serta kejujuran, bisa juga untuk menekankan suatu pernyataan.

Lantas, bagaimana hukum membatalkan sumpah?

Hukum Membatalkan Sumpah dalam Islam

Mengacu pada sumber yang sama, setidaknya ada lima hukum terkait membatalkan sumpah. Apa saja itu?

1. Wajib

Wajib hukumnya membatalkan sumpah untuk berbuat maksiat atau tidak mengerjakan yang wajib. Misalnya, wajiblah orang yang bersumpah untuk minum arak atau tidak salat membatalkan sumpahnya dan wajib pula membayar kafarat atau denda pelanggaran.

2. Haram

Haram hukumnya membatalkan sumpah untuk salat fardhu atau tidak berzina. Dengan begitu, orang yang sudah bersumpah demikian harus memenuhi sumpahnya dan haram membatalkannya.

3. Dianjurkan

Hukum bisa jadi dianjurkan ketika bersumpah untuk melakukan hal yang dianjurkan dan tidak melakukan hal makruh.

4. Makruh

Hukum membatalkan sumpah bisa menjadi makruh ketika seseorang bersumpah untuk tidak melakukan hal yang dianjurkan dan mengerjakan hal makruh.

5. Menyalahi yang Terbaik

Hukum menjadi menyalahi yang terbaik (khilaful awla) ketika bersumpah untuk mengerjakan yang mubah atau tidak mengerjakannya, seperti makan dan minum. Di sini yang terbaik ialah memenuhi sumpahnya demi menjaga nama Allah SWT.

Dari semua hukum dan keadaan di atas, wajib bagi seseorang membayar kafarat jika membatalkan sumpahnya. Pendapat ini merujuk pada mazhab Syafi’i.

Kafarat Membatalkan Sumpah

Menurut buku Anta Tas’alu wal Islaamu Yujiibu susunan Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi yang diterjemahkan Abu Abdillah Almansyur, kafarat terkait kafarat sumpah disebutkan dalam surah Al Maidah ayat 89. Allah SWT berfirman,

لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلْأَيْمَٰنَ ۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيْمَٰنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَٱحْفَظُوٓا۟ أَيْمَٰنَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarah (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”

Menurut Tafsir Kementerian Agama RI, dalam surah Al Maidah ayat 89 dijelaskan bahwa kafarat atau denda melanggar sumpah yang diucapkan secara sadar. Namun, kafarat ini tak berlaku apabila sumpah diucapkan secara tidak sengaja.

Kafarat yang berlaku adalah memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu kali makan. Imam Abu Hanifah memperbolehkan memberi makan satu orang miskin saja, tetapi dalam waktu sepuluh hari. Makanannya haru sama mutunya dengan makanan yang sehari-hari dikonsumsi pembayar kafarat dan keluarganya.

Selain itu, kafarat sumpah juga bisa berupa memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin yang sama mutunya dengan pakaian yang dipakai sehari-hari. Bisa juga membayar kafarat dengan memerdekakan hamba sahaya yang diperoleh dengan cara membeli atau menawarnya dalam peperangan.

Kafarat juga dapat dibayarkan dengan cara berpuasa selama tiga hari. Ini berlaku bagi pelanggar sumpah yang tidak mampu membayar kafarat sumpahnya dengan salah satu dari tiga macam kafarat yang disebutkan di atas.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Saksikan Perdebatan Malaikat soal Kafarat dan Derajat



Jakarta

Malaikat pernah saling berdebat tentang dua hal, kafarat (pelebur dosa) dan derajat. Perdebatan ini disaksikan Rasulullah SAW.

Kisah Rasulullah SAW menyaksikan perdebatan malaikat diceritakan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas RA yang terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi dan Musnad Ahmad.

Rasulullah SAW kala itu didatangi Tuhan dalam wujud paling indah. Beliau awalnya tidak mengetahui apa yang terjadi di alam malaikat. Namun, setelah Tuhan memberikan kuasa-Nya, barulah beliau mengetahuinya.


Beliau SAW bersabda, “Malam ini, aku didatangi Tuhanku dalam wujud yang paling indah kemudian Dia bertanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu apa yang diperdebatkan oleh al-Mala’ al-A’la?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’

Kemudian Dia letakkan tangan di atas pundakku hingga aku merasakan dinginnya tangan itu di dadaku. Tiba-tiba aku bisa mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Selanjutnya, Dia bertanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu apa yang diperdebatkan oleh al-Mala’ al-A’la?’

Aku pun menjawab, ‘Iya. Mereka berdebat tentang kafarat (pelebur dosa) dan derajat. Kafarat adalah tetap berada di masjid sesudah salat, berjalan kaki menuju salat berjamaah, dan menyempurnakan wudhu pada waktu yang tidak menyenangkan.’

Dia berfirman, ‘Engkau benar wahai Muhammad. Siapa yang melakukan semua ini maka ia akan hidup dengan baik dan mati dengan baik. Ia bebas dari kesalahan seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.’

Dia berfirman, ‘Wahai Muhammad, jika engkau salat, bacalah: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu (kemampuan untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai kaum miskin, Engkau ampuni aku dan kasihi aku lalu Engkau terima tobatku. Jika Engkau menghendaki fitnah terhadap hamba-Mu, ambillah nyawaku aku kepada-Mu tanpa mengalami fitnah.’

Adapun derajat adalah menyebarkan salam, memberikan makanan, dan salat pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur’.”

Hadits tersebut turut dinukil Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar dalam ‘Alam al-Mala’ikah al-Abrar dan Alam al-Jinn wa asy-Syayathin yang diterjemahkan Kaserun AS. Rahman.

Muhaddits Imam Ibnu Katsir menilai hadits tersebut sebagai hadits tentang mimpi yang populer. Ia berkata, “Siapa yang menganggapnya sebagai cerita dalam keadaan jaga maka ia salah.”

Hadits yang terdapat dalam Sunan diriwayatkan dari berbagai jalur. Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkannya dari Jahdham bin Abdullah al-Yamamami Bih.

Al-Hasan menyatakannya hadits shahih. Ia menjelaskan, maksud perdebatan malaikat dalam hadits di atas bukanlah perdebatan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Sad ayat 69-70,

مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍۢ بِالْمَلَاِ الْاَعْلٰٓى اِذْ يَخْتَصِمُوْنَ ٦٩ اِنْ يُّوْحٰىٓ اِلَيَّ اِلَّآ اَنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ ٧٠

Artinya: “Aku tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang malaikat langit ketika mereka berbantah-bantahan. Tidaklah diwahyukan kepadaku, kecuali aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata.”

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com