Tag Archives: keputusasaan

Ketika Hidup Tak Sesuai Harapan, Ini Cara Bersabar Menurut Islam


Jakarta

Setiap manusia tentu memiliki harapan yang baik dalam hidup. Namun kenyataannya, tak semua harapan itu terwujud. Ada kalanya seseorang harus menghadapi kegagalan, kesedihan, kehilangan, kemiskinan, atau berbagai ujian yang menyakitkan.

Saat itulah kesabaran menjadi kunci utama untuk tetap bertahan dan tidak terjerumus dalam keputusasaan.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45, Allah SWT berfirman,


وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ

Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.

1. Memahami Bahwa Ujian adalah Bagian dari Takdir Allah

Dikutip dari buku Hijrah dari Hidup yang Pedih: Tentang Bagaimana Menjadi Akhwat Tangguh dan Istiqomah di Jalan Allah karya Assabiya A. Sungkar, dalam Islam, setiap kejadian di dunia, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, telah ditentukan oleh Allah SWT.

Dalam surat At-Taghabun ayat 11, Allah SWT berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat ini menegaskan bahwa setiap muslim harus meyakini bahwa Allah SWT tidak menakdirkan sesuatu kecuali dengan kebaikan di baliknya.

2. Bersabar dengan Hati yang Ridha

Bersabar bukan hanya menahan amarah atau tangisan, tapi lebih dalam dari itu yakni menerima dengan ikhlas apa yang Allah SWT tetapkan. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa sabar adalah menahan jiwa dari keluh kesah, menahan lisan dari perkataan buruk, dan menahan anggota tubuh dari perbuatan tercela.

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda,

“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah kebaikan. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu pun kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

3. Jangan Mengeluh, Perbanyak Dzikir dan Doa

Dalam buku The Power of Sabar karya Muhammad Sholikhin, ketika hati mulai gelisah karena kenyataan yang pahit, jangan larut dalam keluhan. Ucapkan dzikir dan doa karena itu adalah obat hati yang paling mujarab.

Doa yang diajarkan Rasulullah SAW ketika menghadapi kesulitan,

اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

Latin: “Allahumma ajirni fii musibati wakhluf lii khairan minha.”

Artinya: “Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan gantilah dengan sesuatu yang lebih baik.”
(HR. Muslim)

4. Yakin Bahwa Setelah Kesulitan Ada Kemudahan

Setiap penderitaan yang kita alami pasti akan berakhir, karena Allah SWT sudah menjanjikan hal itu sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an ayat 5-6,

Surat al-Insyirah Ayat 5-6
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

Artinya: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

Artinya: sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Ulama menafsirkan bahwa satu kesulitan akan diiringi oleh dua kemudahan, sebagaimana dalam redaksi ayat tersebut. Maka tidak ada kesulitan yang abadi jika kita bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT.

5. Jangan Bandingkan dengan Kehidupan Orang Lain

Salah satu penyebab kekecewaan adalah membandingkan hidup kita dengan kehidupan orang lain. Kita melihat orang lain sukses, menikah, kaya, bahagia sementara kita masih tertatih. Padahal setiap orang diuji dengan cara berbeda.

Rasulullah SAW mengingatkan dalam hadits,

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian. Hal itu lebih baik agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.” (HR. Muslim)

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perjuangan Warga Gaza Bertahan Hidup Melawan Kelaparan dan Keputusasaan


Jakarta

Setiap pagi di tenda pengungsian yang berlokasi di tepi laut Gaza, Abeer dan Fadi Sobh membuka mata dengan satu pertanyaan yang selalu menghantui: Bagaimana caranya memberi makan keenam anak mereka hari ini?

Pilihan mereka terbatas. Jika dapur umum buka, mungkin mereka bisa membawa pulang sepanci lentil encer. Jika tidak, mereka harus bersaing dengan ratusan orang lain untuk sekarung tepung dari truk bantuan. Dan jika semua gagal, hanya satu jalan tersisa: mengemis.

“Kadang kami tidak makan sama sekali,” ujar Abeer, 29 tahun dalam Aljazeera (2/8/2025) . “Kelaparan bukan lagi ancaman-ia sudah menjadi keseharian.”


Hidup dari Hari ke Hari di Tengah Perang

Masih dalam sumber yang sama, Keluarga Sobh telah berpindah-pindah tempat berkali-kali sejak perang berkecamuk. Kini, mereka tinggal di tenda seadanya di kamp pengungsian di Gaza Barat. Seperti ribuan keluarga lainnya, mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman.

Konflik yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini telah membuat akses bantuan kemanusiaan nyaris mustahil. Blokade total selama dua setengah bulan oleh Israel-yang bertujuan menekan Hamas untuk membebaskan sandera sejak serangan 7 Oktober 2023-memicu krisis pangan terburuk yang pernah terjadi di Gaza. Meskipun bantuan mulai masuk lagi sejak Mei, jumlahnya jauh dari cukup.

“Ini bukan lagi peringatan. Ini adalah kelaparan yang sedang terjadi,” ujar para ahli pangan.

Mandi Air Laut dan Tak Bisa Makan

Saat matahari belum tinggi, Abeer menyiapkan anak-anak untuk ‘mandi’ dengan air laut yang dia ambil sendiri. Mereka berdiri di baskom logam, sementara air asin dituang ke kepala mereka. Bayi mereka, Hala yang baru berusia sembilan bulan, menangis kesakitan karena perih di matanya.

Tanpa makanan sisa dari hari sebelumnya, Abeer keluar untuk meminta-minta. Kadang tetangga memberinya sedikit lentil, kadang tidak ada yang bisa diberikan. Jika beruntung, ia mencampur lentil dengan air untuk diberikan pada Hala.

“Satu hari terasa seperti seratus hari,” katanya. “Karena panas, kelaparan, dan tekanan yang tidak berhenti.”

Mencari Makanan di Dapur Umum dan Titik Bantuan

Sementara Abeer mencoba mencari sarapan, Fadi menuju dapur umum terdekat-yang hanya buka sekali seminggu. Kebanyakan, ia pulang dengan tangan kosong.

Dulu, Fadi masih sanggup ikut berdesakan di Gaza utara, tempat truk bantuan kadang muncul. Tapi sejak ia tertembak di kaki saat mencoba mengambil makanan, ia tak bisa lagi bersaing. Kini, hanya dapur umum yang tersisa sebagai harapan.

Sementara itu, Abeer dan ketiga anak sulung mereka-Youssef (10), Mohammed (9), dan Malak (7) berjalan jauh untuk mengisi jeriken air dari truk bantuan. Jeriken yang berat membuat anak-anak harus menyeretnya di jalanan berdebu. Tapi itu satu-satunya cara agar keluarga mereka bisa memiliki air bersih untuk hari itu.

Mengemis dan Memohon di Antara Kerumunan

Terkadang, Abeer pergi sendiri ke titik distribusi bantuan. Dikelilingi para pria yang lebih kuat dan cepat, dia hampir selalu kalah. “Tapi saya tetap mencoba,” katanya.

Kalau gagal, ia meminta belas kasih dari mereka yang berhasil mendapatkan makanan. “Kalian selamat hari ini karena Tuhan, tolong beri saya sedikit saja,” ucapnya. Ada yang mengabaikannya, tapi banyak pula yang membagi sedikit tepung atau makanan.

Abeer dan putranya kini dikenal di antara para penerima bantuan. Salah satu dari mereka, Youssef Abu Saleh, sering melihat Abeer berjuang. “Kami semua lapar,” katanya, “tapi mereka lebih butuh.”

Bertahan di Tengah Puing dan Sampah

Saat panas mereda, anak-anak keluar menjelajah reruntuhan kota. Mereka mencari apa saja yang bisa dibakar-potongan kayu, kertas, plastik, bahkan sepatu tua untuk menyalakan kompor darurat keluarga. Satu hari, mereka menemukan panci di tempat sampah yang kini jadi harta berharga mereka.

“Kami nyaris tak punya barang apa-apa lagi,” kata Abeer. “Tapi saya harus bisa bertahan, untuk anak-anak.”

Setelah seharian mencari makan, air, dan bahan bakar, jika semua tersedia, Abeer bisa memasak. Biasanya hanya sup lentil encer, tapi itu sudah cukup untuk membuat anak-anak tertidur tanpa kelaparan yang menyiksa.

Namun, lebih sering dari itu, mereka tidur tanpa makan.

“Saya makin lemah,” katanya pelan. “Sering pusing saat berjalan mencari air atau makanan. Saya tidak tahu berapa lama lagi saya bisa seperti ini.”

Di ujung ceritanya, Abeer tak bisa menahan air mata. “Kalau perang ini terus begini… saya mulai berpikir lebih baik saya mati saja. Saya sudah kehabisan kekuatan.”

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com