Tag Archives: khulafaur rasyidin

Masjid Agung Damaskus, Bangunan yang Berdiri Sejak 1.300 Tahun yang Lalu


Jakarta

Masjid Agung Damaskus atau biasa dikenal sebagai Masjid Umayyah adalah salah satu masjid bersejarah di Damaskus, Suriah. Sebagaimana diketahui, Damaskus sendiri merupakan kota tertua yang ada di dunia.

Mengutip dari laman Education World, Damaskus diperkirakan berusia sekitar 11 ribu tahun. Dalam catatan sejarah, Damaskus pertama kali dihuni manusia pada milenium ketujuh sebelum Masehi (SM). Kini, Damaskus berkembang menjadi wilayah metropolitan yang dihuni lebih dari dua juta penduduk.

Sementara itu, Masjid Umayyah yang letaknya di Damaskus merupakan masjid yang dibangun pada masa bani Umayyah, dinasti Islam pertama setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin di Madinah. Berdirinya dinasti ini sebagai babak baru perjalanan sejarah Islam.


Sejarah Berdirinya Masjid Agung Damaskus

Menukil dari buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam oleh Abdul Syukur al Azizi, Masjid Agung Damaskus itu dibangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik sekitar tahun 705-715 Masehi dengan hiasan dinding dan ukiran yang indah. Arsitektur masjid tersebut berpengaruh terhadap seni bangunan masjid di seluruh dunia.

Dari Masjid Umayyah itulah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan, menara segi empat, dan maksurah. Selama berabad-abad, Masjid tersebut menjadi ikon kota Damaskus.

Masjid Agung Damaskus ini berkali-kali berpindah tangan. Awalnya, bangunan tersebut merupakan Kuil Yupiter peninggalan Romawi Kuno pada awal abad pertama Masehi, lalu beralih fungsi menjadi Gereja St John the Baptist pada akhir abad ke-4 sampai akhirnya menjadi masjid di bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.

Khalifah Al Walid memberi ganti rugi kepada orang-orang kristen setelah membongkar bangunan gereja menjadi Masjid Umayyah. Menurut beberapa riwayat, Al Walid sendiri yang memulai pembongkaran itu dengan memancangkan paku emas ke dalam gereja.

Jadi Inspirasi Model Berbagai Masjid Dunia

Masih dari sumber yang sama, Masjid Agung Damaskus berbentuk segi empat dengan ukuran 157 x 100 meter yang terbagi dua. Setengahnya adalah ruangan terbuka dengan air mancur di tengah.

Turut dijelaskan dalam buku Pengantar Sejarah Peradaban Islam karya Murdiono, Masjid Umayyah memiliki kubah besar dan menggunakan pola geometris dan ornamen yang rumit. Bentuk Masjid Umayyah menjadi inspirasi berbagai masjid di dunia seperti Al Azhar di Kairo, Masjid Agung Cordoba di Spanyol, dan Masjid Agung Bursa di Turki.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Pajak dan Zakat Sudah Ada Sejak Zaman Rasulullah, Seperti Ini Praktiknya


Jakarta

Pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam pengelolaan keuangan negara modern. Namun dalam perspektif Islam, pengaturan keuangan umat sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW, meski tidak disebut sebagai “pajak” dalam istilah modern.

Pada masa Rasulullah SAW, sistem pengelolaan harta lebih difokuskan pada kewajiban keagamaan dan kontribusi sosial umat Islam. Rasulullah SAW menata mekanisme pemasukan dan pengeluaran harta negara secara jelas melalui baitul mal, dengan landasan Al-Qur’an dan sunnah.

Dikutip dari buku Pajak dan Syariat Islam: Tinjauan Historis dan Sosiokultural karya Mochammad Arif Budiman, pemasukan pemerintah Islam berasal dari zakat, kharaj, fay, ghaniman, khumus, wakaf, jizyah, usyur dan dharibah/nawa’ib. Jenis-jenis pemasukan ini ada yang berlaku khusus untuk muslim atau nonmuslim saja dan ada pula yang berlaku untuk semua penduduk tanpa membedakan agama yang dianut.


Pendapatan Negara di Masa Rasulullah SAW

Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwal, Abu Yusuf dalam Kitab Al Kharaj, Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’atul Fatawa dan Imam Al Mawardi dalam Kitab Al Ahkam Al Shulthaniyah menjelaskan pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Ghanimah, Fa’i, dan Shadaqah atau Zakat. Fa’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu Kharaj, ‘Usyr dan, Jizyah.

1. Ghanimah

Dilansir dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, Minggu (17/8/2025) pada masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah (622-632 M/1-10 H), terdapat sistem keuangan negara yang teratur dan bersumber dari beberapa pos pendapatan. Sumber utama pendapatan negara pada saat itu adalah ghanimah, yaitu harta rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir melalui peperangan.

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 1 dan 41 bahwa harta ghanimah harus dibagi dengan ketentuan 4/5 menjadi hak pasukan yang ikut berperang, sedangkan 1/5 sisanya dibagikan untuk Allah SWT, Rasulullah SAW, kerabat beliau, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Dari harta inilah kebutuhan negara ditopang, termasuk gaji tentara, biaya perang, peralatan, hingga biaya hidup Nabi SAW dan keluarganya.

Hal ini juga merupakan keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anfal ayat 69,

فَكُلُوا۟ مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَٰلًا طَيِّبًا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Fa’i

Selain ghanimah, sumber kedua adalah fa’i, yakni harta rampasan yang diperoleh tanpa adanya peperangan. Harta ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 6, dibagikan untuk Allah, Rasulullah SAW, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Karena fa’i diperoleh tanpa pertempuran, tentara tidak memiliki hak atasnya. Salah satu contoh fa’i pertama adalah harta yang diperoleh dari Bani Nadhir, sebuah suku Yahudi di Madinah yang melanggar perjanjian.

3. Kharaj

Pendapatan ketiga berasal dari kharaj, yaitu sewa tanah yang dikenakan kepada non-muslim setelah penaklukan wilayah, seperti pada peristiwa penaklukan Khaibar tahun ke-7 H. Awalnya tanah-tanah yang ditaklukkan menjadi milik negara, namun pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, kebijakan ini berubah. Umar berijtihad agar tanah tetap dimiliki oleh penduduk non-muslim, namun mereka diwajibkan membayar sewa (kharaj) atas tanah yang mereka kelola.

4. Ushr

Sumber berikutnya adalah ‘ushr, yaitu semacam bea masuk atas barang dagangan yang melewati perbatasan negara. Bea ini hanya dipungut sekali dalam setahun untuk barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tarifnya berbeda antara muslim dan non-muslim: Muslim membayar sebesar 2,5%, sedangkan non-muslim sebesar 5%. Menariknya, bagi kaum muslim, pembayaran ini dihitung sebagai zakat.

5. Jizyah

Pendapatan kelima adalah jizyah, yaitu pajak kepala yang dibebankan kepada non-muslim, khususnya ahli kitab. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan jaminan perlindungan jiwa, harta, tempat ibadah, serta dibebaskan dari kewajiban militer.

6. Zakat

Adapun sumber keenam adalah zakat, yakni kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab tertentu. Zakat ini diatur langsung oleh Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Pada masa Rasulullah SAW, zakat mulai diberlakukan pada tahun ke-2 H, dan pelaksanaannya secara penuh baru diwujudkan pada tahun ke-9 H.

Selain sumber utama tersebut, terdapat pula pendapatan sekunder yang sifatnya tidak tetap, seperti harta ghulul (hasil korupsi yang dikembalikan), kaffarat (denda tebus kesalahan), luqathah (barang temuan), waqaf, uang tebusan tawanan, rikaz (harta karun), pinjaman, hadiah, maupun amwal fadhla (kelebihan harta). Seluruh sumber ini menjadikan negara pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau, seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, hingga Harun Al-Rasyid, mengalami surplus dan kejayaan ekonomi.

Dari keseluruhan sumber tersebut, terlihat jelas bahwa pendapatan negara pada masa Islam awal berasal dari dua pihak: dari kaum kafir melalui ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan ‘ushr; serta dari kaum muslimin melalui zakat. Namun seiring dengan meluasnya wilayah Islam, banyak kaum kafir yang akhirnya masuk Islam. Hal ini berdampak pada berkurangnya sumber pendapatan dari pihak non-muslim, sementara kebutuhan negara tetap harus ditanggung.

Situasi ini kemudian mendorong para ulama melakukan ijtihad untuk merumuskan sumber pendapatan baru. Salah satu hasil ijtihad tersebut adalah ditetapkannya pajak (dharibah) sebagai sumber keuangan negara pada masa kini, guna menggantikan sebagian pos pendapatan yang tidak lagi relevan sebagaimana praktik pada masa Rasulullah SAW.

Pajak dalam Pandangan Islam

Dikutip dari buku Sistem Perpajakan dalam Perekonomian Islam: Kontribusi Abu Yusuf karya Dr. Nasaiy Aziz, MA dan Nurhasibah, pajak sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, zaman khulafaur Rasyidin dan zaman-zaman sesudahnya. Kemudian antar periode tersebut terdapat perbedaan yang substansial, sehingga sumber pajak juga berbeda dan berubah-ubah antar periode dalam penetapannya.

Pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (muamalah), oleh sebab itu ia merupakan bagian dari syariat. Tanpa adanya rambu-rambu syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh penguasa pada rakyat (kaum muslim).

Gusfahmi dalam buku Pajak Menurut Syariah, ketika pajak tidak memiliki batasan syariat, pemerintah akan menetapkan dan memungut pajak sesuka hati dan menggunakannya menurut apa yang diinginkannya (pajak dianggap sebagai upeti hak milik penuh sang raja).

Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla berpendapat bahwa kewajiban negara adalah menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana, seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, jika kas negara kosong atau tidak mencukupi, maka pajak menjadi sesuatu yang wajib dipungut. Akan tetapi, menurut Al-Maliki, hukum Islam mengharamkan negara mengambil harta rakyat dengan cara paksa. Jika pemungutan dilakukan secara sewenang-wenang dan merampas hak rakyat, maka hal tersebut haram hukumnya karena sama dengan tindakan perampasan.

Al-Marghinani dalam kitab al-Hidayah juga menegaskan bahwa apabila sumber pendapatan negara tidak cukup, maka negara berhak menghimpun dana dari rakyat untuk kepentingan umum. Selama manfaat dari dana tersebut kembali kepada rakyat, maka masyarakat berkewajiban menanggung biayanya.

Dilansir dari laman Jakarta Islamic Center, Minggu (17/8/2025), penerapan pajak sebagai sumber pendapatan negara di luar zakat sejatinya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, kemudian diteruskan pada era Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga kekhalifahan Islam setelahnya. Pajak dalam tradisi Islam memiliki berbagai istilah, seperti jizyah, ‘usyr, kharaj, dan dharibah.

Sebagaimana negara modern saat ini, penerimaan negara dari pajak pada masa Islam klasik juga dialokasikan untuk membiayai berbagai kebutuhan pemerintahan. Dana tersebut digunakan dalam berbagai sektor kehidupan, seperti pembangunan, keamanan, pendidikan, serta pemeliharaan fasilitas umum.

Misalnya, pada masa Dinasti Abbasiyah, sejumlah khalifah mengalokasikan anggaran khusus dari pajak untuk memperluas tanah negara yang kemudian menjadi salah satu sumber penting keuangan pemerintahan. Strategi ini terbukti memberikan dampak positif, sehingga pada masa Khalifah al-Mansur dan Harun ar-Rasyid, negara memiliki keuangan yang lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan rakyat.

Kewajiban membayar pajak dalam Islam tidak hanya dibebankan kepada umat Islam, melainkan juga kepada non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Kelompok non-muslim diwajibkan membayar jizyah sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan mereka di negara Islam sekaligus sebagai imbalan atas perlindungan keamanan, ketertiban, serta pemanfaatan fasilitas umum yang mereka nikmati.

Dana yang terkumpul dari pajak diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi para pemungut pajak. Adapun pemungut pajak hanya mendapatkan upah (remunerasi) sebagai balasan atas tugas mereka dalam mengelola dan mengumpulkan pajak dari masyarakat. Dengan demikian, sistem pajak dalam Islam bukan hanya sekadar mekanisme ekonomi, tetapi juga instrumen sosial untuk menciptakan keadilan, pemerataan, dan perlindungan bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Pesan Khusus Ali bin Abi Thalib RA kepada Pemungut Pajak


Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Semasa peninggalan sang rasul, beliau termasuk satu dari empat Khulafaur Rasyidin atau Khalifah yang memimpin umat Islam.

Menurut buku ‘Ali ibn Abi Thalib susunan Musthafa Murad yang diterjemahkan Dedi Slamet Riyadi, nama lengkap Ali bin Abi Thalib RA adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia merupakan sosok yang cerdas dan mementingkan ilmu pengetahuan ketimbang harta.


Ali bin Abi Thalib RA menjadi khalifah menggantikan kedudukan Utsman bin Affan. Ia meneruskan cita-cita Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA serta mengembalikan kekayaan yang diperoleh dari para pejabat melalui cara yang tidak baik.

Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga bertekad mengganti seluruh gubernur yang dianggap tidak mampu memimpin dan tidak disenangi masyarakat. Ali mencopot jabatan Gubernur Basrah dari tangan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr dan digantikan oleh Utsman bin Hanif.

Mengutip buku Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam susunan Nurdila Oktia Risanti dan Desi Isnaini, Ali bin Abi Thalib RA sebagai khalifah juga mendistribusikan pendapatan pajak per tahun sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan Umar bin Khattab RA. Pada masa pemerintahannya, Ali menentukan pajak terhadap pemilik hutan sebesar 4.000 dirham serta mengizinkan Ibnu Abbas RA yang kala itu menjadi Gubernur Kufah untuk mengumpulkan zakat pada sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan.

Semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib RA, prinsip yang paling utama dari pemerataan distribusi uang rakyat sudah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya dilakukan.

Hari pendistribusian atau hari pembayaran adalah hari Kamis. Pada hari itu, seluruh perhitungan harus diselesaikan dan pada Sabtu dimulai perhitungan yang baru.

Bahkan Ali bin Abi Thalib RA memiliki pesan khusus bagi para pemungut pajak, zakat dan sejenisnya. Menukil dari buku Sejarah Hidup Imam Ali RA susunan H M H Al Hamid Al Husaini terbitan Lembaga Penyelidikan Islam, seperti apa pesannya?

Pesan Khusus Ali bin Abi Thalib RA kepada Pemungut Pajak

“Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah berhadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: ‘Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya.”

Selain itu, Ali bin Abi Thalib RA juga berpesan agar pemungut pajak, zakat dan semacamnya tidak memaksa ketika orang tersebut mengatakan tidak ada.

“Jika orang yang bersangkutan menjawab ‘tidak’, janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab ‘ya’, pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu.”

Ali RA berpesan pula pada para pemungut pajak untuk tidak menakut-nakuti orang yang ingin diambil pajaknya atau mengancam. Ia melarang mereka untuk membentak dan bersikap kasar.

Bahkan, khalifah Ali bin Abi Thalib RA melarang mereka untuk masuk memeriksa tanpa seizin yang punya. Meskipun orang tersebut memiliki ternak yang banyak.

“Janganlah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa seizin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ternak.”

Apabila orang tersebut memberi izin, barulah mereka diperkenankan memeriksanya.

“Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya.”

Selain itu, Ali bin Abi Thalib RA juga berpesan agar mereka menentukan sendiri harta kekayaan yang ingin diberikan.

“Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!”

Ali bin Abi Thalib RA juga berpesan kepada penguasa daerah setempat agar berlaku adil terhadap rakyatnya. Jangan sampai mereka terpaksa melunasi pajak dengan menjual ternak atau hamba sahaya yang dimilikinya.

“Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup
kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan melunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!”

Pesan dan amanah dari Ali bin Abi Thalib RA itu menunjukkan secara jelas keadilan yang dijunjung tinggi oleh sang khalifah. Bahkan, pernah suatu ketika Ali menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah.

Roti tersebut lalu dipotong-potong oleh Ali bin Abi Thalib RA menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Setiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

Wallahu a’lam.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Sepupu Nabi Muhammad yang Pertama Kali Masuk Islam



Jakarta

Setelah mendapatkan wahyu pertamanya, Nabi Muhammad SAW masih melaksanakan dakwah dengan cara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW hanya memprioritaskan teman-teman dekat dan kerabatnya. Orang pertama yang menyambut dakwah Nabi Muhammad SAW ialah istri beliau, Siti Khadijah diikuti dengan sepupu Nabi Muhammad SAW.

Sepupu Nabi Muhammad SAW yang masuk Islam adalah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim. Ali bin Abi Thalib menjadi keluarga sekaligus laki-laki pertama yang menerima dakwah Nabi Muhammad SAW.

Pada saat itu, Ali bin Abi Thalib masih berusia 10 tahun. Setelah itu, sahabat karib Rasulullah SAW sejak kecil, yakni Abu Bakar, diikuti oleh Zaid bin Haritsah serta Ummu Aimah menerima dengan baik dakwah Rasulullah SAW, seperti dijelaskan dalam buku Nabiku Teladanku karya Lutfiya Cahyani.


Sosok Ali bin Abi Thalib, Sepupu Nabi Muhammad yang Masuk Islam

Menurut buku Biografi Ali bin Abi Thalib karya Ali Muhammad Ash-Shalabi, Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul Muthalib adalah anak paman Rasulullah SAW yang bernama Abu Thalib. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya yang pertama, Abdul Muthalib bin Hasyim, yang memiliki anak bernama Abu Thalib, saudara laki-laki kandung Abdullah, bapak Nabi Muhammad SAW.

Ali memiliki nama lahir Asad (singa). Nama tersebut merupakan pemberian dari sang ibu sebagai kenangan dari bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim. Hal ini turut diceritakan melalui syair yang dilantunkan Ali saat peristiwa Perang Khaibar.

Dalam buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, sifat fisik Ali bin Abi Thalib digambarkan sebagai seorang laki-laki dengan perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Namun, cenderung lebih sedikit pendek.

Ia memiliki tubuh yang kokoh, kuat, dan terlihat agak gemuk. Lehernya proporsional dengan pundak yang lebar layaknya tipikal laki-laki perkasa pada umumnya.

Ali bin Abi Thalib disebut memiliki wajah tampan dengan kulit sawo matang. Sebagai keturunan bani Hasyim, ketampanan ini merupakan hal wajar karena memang rata-rata fisik mereka seperti itu.

Kisah Ali bin Abi Thalib saat Masuk Islam

Pada saat itu, Ali bin Abi Thalib masih berusia 10 tahun. Dikisahkan dalam buku berjudul 150 Qishah min Hayati ‘Ali ibn Abi Thalib karya Ahmad ‘Abdul ‘Al Al-Thahtawi yang diterjemahkan oleh Rashid Satari, Ibn Ishaq meriwayatkan bahwa pada saat itu Ali bin Abi Thalib datang ke rumah Nabi Muhammad SAW tepat ketika beliau dan istrinya sedang melaksanakan salat.

Ali bertanya, “Muhammad, apakah yang engkau lakukan itu?” Nabi SAW menjawab, “Inilah agama Allah dan untuk itu dia mengutus utusan-nya. Aku mengajak engkau untuk masuk ke jalan Allah yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hendaklah engkau kafir kepada patung Latta dan Uzza.”

Ali berkata, “Sesungguhnya ajakan ini sama sekali belum pernah aku dengar sampai hari ini. Karena itu, aku harus berunding dengan ayahku, Abi Thalib. Sebab, aku tidak dapat memutuskan sesuatu tanpa dia.”

Namun, Nabi SAW mencegahnya karena khawatir kabar ajarannya akan menyebar sebelum diperintahkan Allah SWT untuk disiarkan. Beliau berkata, “Ali, jika engkau belum mau masuk Islam, sembunyikanlah dahulu kabar ini!”

Pada saat itu Ali mendengarkan ucapan Rasulullah SAW, hingga pada akhirnya ia mantab untuk masuk dan menerima Islam, namun masih merahasikannya.

Ali bin Abi Thalib termasuk ke dalam orang yang sangat dipercaya oleh Rasulullah SAW. Ia banyak membantu Rasulullah SAW, bahkan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk melakukan hijrah ke Madinah. Pada saat itu, Ali bin Abi Thalib menggantikan Rasulullah SAW di atas tempat tidurnya.

Kaum Quraisy yang ingin untuk membunuh Nabi Muhammad SAW merasa kecolongan karena mendapati Ali bin Abi Thalib yang tidur dalam ranjang tersebut. Hingga pada akhirnya, kaum Quraisy memukulinya dan membawanya ke Masjidil Haram.

Sepeninggalnya Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib juga menjadi salah satu sahabat Rasulullah SAW yang menjadi Khulafaur Rasyidin. Khulafaur Rasyidin sendiri artinya para khalifah yang sangat arif bijaksana.

Bukan hanya itu saja, Ali bin Abi Thalib juga menyandang sebagai gelar Amirul Mukminin, yang berati pemimpin orang-orang yang beriman. Betapa luar biasanya Ali bin Abi Thalib dalam membantu Rasulullah SAW untuk meneruskan ajarannya.

Ia juga dikenal sebagai orang yang paling memahami ketentuan syariat Islam. Pada saat malam tiba, Ali bin Abi Thalib akan tunduk dan merendah di hadapan Allah SWT. Di siang hari, ia berpuasa dan senantiasa dekat dengan Allah SWT, sebagaimana diceritakan dalam buku Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib karya Mustafa Murrad.

Sifat Ali bin Abi Thalib yang sangat pemberani serta taat kepada Rasul dan Allah SWT ini wajib untuk kita teladani. Itulah tadi sosok dan kisah singkat sepupu Nabi Muhammad SAW yang masuk Islam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Saat Khalifah Abu Bakar Perintahkan Bakar Pelaku Homoseksual



Jakarta

Abu Bakar As-Shiddiq RA adalah khalifah pertama yang memerintah sepeninggalan Rasulullah SAW. Pada masa kepemimpinannya, ia memerintahkan untuk membakar hidup-hidup para pelaku homoseksual.

Hukuman mati dengan cara dibakar bagi para penyuka sesama jenis yang ditetapkan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ini dijelaskan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, sebuah kitab yang memuat tentang hukum-hukum dalam memutuskan perkara.

Diceritakan, alasan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA menetapkan hukuman ini karena ia ingin para pelaku homoseksual merasakan panasnya api dunia sebelum merasakan panasnya api neraka. Para sahabat lain juga mengatakan bahwa pemerintah boleh membakar kaum homoseksual jika sudah menjadi ketetapan.


Pada saat itu, Khalid bin Al-Walid RA mengirim surat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq RA yang isinya di beberapa wilayah Arab, terdapat seorang lelaki yang “dinikahi” sebagaimana wanita juga “dinikahi.”

Untuk menjawab surat itu, Abu Bakar RA kemudian meminta saran dari para sahabat Radhiyallahu Anhum, termasuk di antaranya Ali bin Abu Thalib RA yang merupakan sahabat paling keras pendapatnya.

Ali RA berkata, “Dosa ini tidak dilakukan oleh umat manapun selain satu umat (umat Nabi Luth). Karena itu, Allah menurunkan azab-Nya sebagaimana yang juga kalian tahu. Aku berpendapat, mereka dibakar saja.”

Setelah mendengar saran Ali RA, Abu Bakar RA mengirimkan surat balasan kepada Khalid RA yang isinya memerintahkan agar membakar pelaku homoseksual, “Dia (pelaku homoseksual) dibakar.” Khalid RA pun membakar orang tersebut, sebagaimana diceritakan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari jalur Shafwan bin Sulaim dengan derajat hadits mursal.

Khalifah lain yang menerapkan hukuman serupa dengan Abu Bakar ash-Siddiq RA adalah Abdulah bin Zubair. Ia membakar para pelaku homoseksual. Hal yang sama juga dilakukan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

Perilaku menyimpang dalam skala besar pernah terjadi pada masa Nabi Luth AS. Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa menceritakan, kaum Nabi Luth AS adalah penyuka sesama jenis. Hingga Allah SWT menurunkan azab kepada mereka.

Kisah homoseksual kaum Nabi Luth AS diceritakan dalam Al-Qur’an surah Al Qamar ayat 33-40. Allah SWT berfirman,

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوْطٍ ۢبِالنُّذُرِ ٣٣ اِنَّآ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِبًا اِلَّآ اٰلَ لُوْطٍ ۗنَجَّيْنٰهُمْ بِسَحَرٍۙ ٣٤ نِّعْمَةً مِّنْ عِنْدِنَاۗ كَذٰلِكَ نَجْزِيْ مَنْ شَكَرَ ٣٥ وَلَقَدْ اَنْذَرَهُمْ بَطْشَتَنَا فَتَمَارَوْا بِالنُّذُرِ ٣٦

وَلَقَدْ رَاوَدُوْهُ عَنْ ضَيْفِهٖ فَطَمَسْنَآ اَعْيُنَهُمْ فَذُوْقُوْا عَذَابِيْ وَنُذُرِ ٣٧ وَلَقَدْ صَبَّحَهُمْ بُكْرَةً عَذَابٌ مُّسْتَقِرٌّۚ ٣٨ فَذُوْقُوْا عَذَابِيْ وَنُذُرِ ٣٩ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ ࣖ ٤٠

Artinya: “Kaum Luth pun telah mendustakan peringatan-peringatan. Sesungguhnya Kami menimpakan atas mereka badai batu, kecuali pengikut Luth. Kami menyelamatkan mereka sebelum fajar menyingsing sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sungguh, dia (Luth) benar-benar telah memperingatkan mereka akan hukuman Kami, tetapi mereka membantah peringatan itu.

Sungguh, mereka benar-benar telah membujuknya berkali-kali (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka). Lalu, Kami butakan mata mereka. Maka, rasakanlah azab-Ku dan peringatan-peringatan-Ku! Sungguh, pada esok harinya mereka benar-benar ditimpa azab yang terus-menerus. Maka, rasakanlah azab-Ku dan peringatan-peringatan-Ku! Sungguh, Kami benar-benar telah memudahkan Al-Qur’an sebagai pelajaran. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab dan Ummu Kultsum yang Bantu Perempuan Melahirkan



Jakarta

Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Umar menjadi khalifah kedua dari empat Khulafaur Rasyidin.

Di masa kepemimpinannya, Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang hebat, adil dan bijaksana. Banyak kisah kebaikan yang dilakukan kepada orang-orang di bawah kepemimpinannya.

Mengutip buku Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi oleh Muhammad Nasrulloh, dikisahkan pada suatu malam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab melakukan kebiasaannya berjalan di tengah malam melihat langsung kondisi rakyatnya.


Ia kemudian penasaran melihat sebuah tenda baru yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Dalam tenda tersebut terdengar
suara perempuan sedang merintih sehingga mengundang tanya Sang Khalifah.

Lalu dipanggil penghuni tenda tersebut dan keluarlah seorang laki-laki dan terjadilah percakapan.

Umar: “Siapakah engkau?”

Laki-laki: “Aku seorang pria pedesaan yang datang ke kota mencari keadilan Umar sang Amirul Mukminin yang terkenal sangat mengayomi rakyatnya dan mementingkan kebutuhan rakyat.”

Umar: “Lantas suara apa rintihan itu?”

Laki-laki: “Itu istriku yang sedang kesakitan hendak melahirkan.”

Umar: “Apakah di sampingnya ada orang yang merawat dan membantu melahirkan?”

Laki-laki:”Tidak ada selain aku sendiri.”

Umar: “Apakah kamu punya bekal untuk dimakan?”

Sang laki-laki hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

Umar: “Tunggu di sini, aku akan kembali membawa makanan dan orang yang membantunya melahirkan.”

Kemudian Umar bergegas pulang dan segera menemui istrinya Ummu Kultsum bin Abi Thalib

Umar: “Apakah engkau dalam kondisi sehat?”

Ummu kultsum: “Kenapa engkau bertanya begitu?”

Umar: “Di ujung kota tergeletak perempuan miskin yang sedang kesakitan di tendanya karena hendak melahirkan tanpa ditemani seorang yang ahli dalam membantu
melahirkan. Dapatkah engkau membantunya dan menyiapkan apa yang dia butuhkan?”

Ummu Kultsum: “Tentu!”

Lalu Umar segera menuju tenda tersebut bersama istrinya seraya ia pikul makanan yang diambil dari rumahnya. Sang istri masuk ke dalam tenda membantu persalinan dan Umar mempersiapkan makanan dengan tangannya sendiri ditemani sang laki-laki di luar tenda.

Dengan berharap cemas, terdengarlah suara dari Ummu Kultsum.

Ummu Kultsum: “Wahai Amirul Mukminin, Allah SWT telah mengaruniai seorang anak dan ibunya dalam kondisi baik”.

Mendengar kata-kata Ummu Kultsum, sang laki-laki segera memalingkan diri ditemani rasa tidak percaya bahwa orang yang telah membantunya adalah Umar bin Khattab sang Amirul Mukminin.

Melihat tingkah sang laki-laki, Umar pun tertawa dan memanggilnya.

Umar: “Mendekatlah!”. Memang benar aku adalah Umar bin Khattab, Amirul Mukminin dan yang di dalam tenda adalah istriku Ummu Kultsum putri Ali Bin Abi Thalib

Laki-laki: “Keluarga Nabi membantu persalinan istriku. Sementara Amirul Mukminin yang memasak untukku dan istriku,” ia berkata sembari menjatuhkan dirinya dan menangis terharu.

Umar: “Ambillah makanan ini, aku akan kembali dengan membawa makanan lainnya untukmu.”

Sebagai sosok pemimpin Umar bin Khattab bukan hanya dikenal bijaksana dan adil. Ia juga adalah pribadi yang sederhana dan selalu mementingkan rakyatnya.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab dan Kebijakan Subsidi Makanan bagi Rakyatnya



Jakarta

Umar bin Khattab merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang kemudian menjadi khalifah kedua. Di masa kepemimpinannya, Umar dikenal sebagai sosok yang bijaksana.

Rasulullah SAW memberikan julukan Abu Faiz bagi Umar bin Khattab. Julukan ini disematkan karena kecerdasan Umar dalam mengatur pemerintahan dan strategi perang. Umar memang lihai dalam mengatur sistem pemerintahan, termasuk mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi makanan bagi rakyatnya.

Dirangkum dari buku Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi oleh Muhammad Nasrulloh, dikisahkan bahwa Umar memberikan subsidi makanan bagi anak-anak yang telah disapih. Ternyata kebijakan ini disalahartikan oleh beberapa orang.


Suatu malam tiba, Umar bin khattab mendapati kafilah dagang yang sedang singgah di salah satu tempat di kota Madinah. la mendapati Abdurrahman bin ‘Auf sedang bersama mereka. Umar pun berkata pada Abdurrahman bin ‘Auf yang juga merupakan sahabat Rasulullah SAW ini.

“Apakah engkau sedang menemani dan menjaga mereka?” tanya Umar.

Abdurrahman bin ‘Auf: “Benar!”

Umar: “Kalau begitu aku bantu menemanimu terjaga untuk menjaga mereka”.

Di tengah malam, Umar mendengar isak tangis anak kecil, kemudian ia mencari sumber suara dari mana asal tangisan tersebut. Umar akhirnya mengetahui bahwa anak itu tengah bersama ibunya.

Umar pun mengingatkan ibu tersebut: “Berbuat baiklah pada buah hatimu”. Kemudian Umar mendengar lagi isak tangis anak kecil tersebut dan kembali memperingatkan si ibu untuk berlaku baik pada anaknya.

Hingga di penghujung malam, Umar mendengar kembali isak tangis anak kecil tersebut lalu ia berkata pada ibunya.

“Celaka engkau! Sungguh engkau ibu yang buruk! Tidak henti-hentinya aku melihat dan mendengar putramu menangis sejak malam tadi”.

Ibu: “Wahai tuan, aku sudah berusaha memberinya makan. Namun ia tidak mau.”

Ibu ini tidak mengetahui kalau lawan bicaranya adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab.

Umar: “Kenapa engkau paksa ia makan?”

Ibu: “Karena Umar tidak memberi subsidi makanan kecuali hanya bagi anak yang telah disapih”.

Umar: “Berapa usia anakmu?”

Ibu: “Masih beberapa bulan”

Umar: “Celaka engkau. Jangan tergesa-gesa menyapihnya!”

Dari pengalaman ini, Umar kemudian sadar bahwa kebijakannya memberi subsidi dengan membagikan makanan hanya kepada anak yang telah disapih telah membuat banyak ibu-ibu mempercepat menyapih bayinya. Tujuan tidak lain yakni agar para ibu mendapatkan makanan dari pemerintah.

Menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan, ia pun berkata pada dirinya sendiri: “Buruk sekali engkau Umar. Sudah berapa anak yang telah engkau sengsarakan?”

Umar lalu membuat kebijakan baru agar setiap orang tidak tergesa-gesa menyapih anaknya. Dan subsidi makanan kemudian diberikan kepada setiap anak yang lahir tanpa menunggu disapih.

Dikutip dari buku ‘Umar Ibn Al-Khattab His Life and Times Vol. 1, kekeringan dan kelaparan parah juga sempat terjadi pada tahun ke 18 setelah hijrah. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad.

Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya. Bencana alam ini terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab.

Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Umar memastikan agar rakyatnya tidak ada yang kesulitan mendapatkan makanan. Ia bahkan tak segan untuk turun langsung dan membagikan makanan.

Kebijakan memberikan makanan bagi rakyatnya bukan satu atau dua kali dilakukan Umar tetapi menjadi kegiatan yang rutin.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Tempat Umar bin Khattab Nyatakan Keislamannya di Hadapan Rasulullah



Jakarta

Umar bin Khattab RA merupakan sahabat Nabi SAW yang menjadi Khulafaur Rasyidin kedua. Dulunya ia sangat menentang nabi, namun kemudian menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW.

Umar bin Khattab RA menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW di rumah Arqam bin Abi al-Arqam. Allah SWT membalikkan hatinya yang semula sangat membenci Islam, menjadi sahabat Nabi SAW yang berjihad melawan kekafiran bersama beliau.

Umar bin Khattab RA tentu pernah melalui masa-masa jahiliah sebelum menjadi orang mukmin. Kisah jahiliahnya diulas dalam buku Jejak Langkah Umar bin Khattab oleh Abdul Rohim.


Masa Jahiliyah Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab RA adalah seorang mantan orang yang jahil (kafir). Masa kecilnya ia habiskan dengan melakukan adat masyarakat Quraisy yang tidak beradab dan penuh kesesatan.

Sejak kecil ia menjadi penggembala kambing dan unta. Hal tersebut memunculkan sikap luhur yang dimilikinya, seperti bertanggung jawab, tegar, dan berani menghadapi sesuatu.

Masa mudanya ia juga terkenal terampil dalam berbagai olahraga seperti gulat dan berkuda. Ia juga merupakan seseorang yang cerdas yang ahli dalam menciptakan syair dan mendendangkannya.

Ketika dewasa, dirinya menjadi orang yang penting bagi masyarakat Quraisy. Ia sangat mencintai masyarakatnya dan siapa pun yang mengganggu mereka, dia akan menjadi tokoh terdepan dalam membela dan mempertahankan masyarakatnya. Termasuk dakwah Nabi Muhammad SAW.

Ia sangat membenci Rasulullah SAW dan ajarannya karena ia menganggap hal ini memecah belah masyarakat Quraisy yang menurutnya sudah baik.

Umar bin Khattab RA sering menyiksa para pengikut Nabi Muhammad SAW dengan kejam. Ia tak segan-segan untuk memukul wanita, hamba sahaya, dan bahkan membuat rencana pembunuhan untuk Rasulullah SAW.

Bagi umat Islam, Umar bin Khattab RA adalah sebuah ancaman yang besar dan sangat menakutkan. Sehingga Nabi Muhammad SAW pun berdoa kepada Allah SWT untuk mengokohkan Islam dengan melunakkan hati salah satu dari dua ancaman besar untuk kaum muslim, Abu Jahal dan Umar bin Khattab RA.

Awal Mula Benih Islam Masuk ke Hati Umar bin Khattab RA

Dikisahkan dalam buku Sejarah Keteladanan Nabi Muhammad SAW: Memahami Kemuliaan Rasulullah Berdasarkan Tafsir Mukjizat Al-Qur’an oleh Yoli, suatu malam, Umar bin Khattab RA keluar rumah dan pergi menuju Ka’bah. Saat itu Nabi SAW tengah salat dan membaca surah al-Haqqah.

Peristiwa ini menjadi awal mula bergetarnya hati Umar bin Khattab RA karena prasangka buruknya langsung dijawab dengan ayat-ayat yang tengah dibaca oleh Nabi SAW.

Umar RA berkata, “Demi Allah! Ini (benar) adalah (ucapan) tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!”

Rasulullah SAW membaca surah Al-Haqqah ayat 40-41 dalam salatnya,

اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ ٤٠ وَّمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍۗ قَلِيْلًا مَّا تُؤْمِنُوْنَۙ ٤١

Artinya: “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman (kepadanya).”

Umar RA lalu berkata pada dirinya, “Ini adalah (ucapan) tukang tenung.”

Lalu Nabi SAW meneruskan bacaannya pada surah Al-Haqqah ayat 42-43,

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ ٤٢ تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ ٤٣

Artinya: “(Al-Qur’an) bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran (darinya). (Al-Qur’an itu) diturunkan dari Tuhan semesta alam.”

Selanjutnya kisah Umar bin Khattab menyatakan keislamannya di rumah Arqam>>>

Umar bin Khattab RA Menyatakan Keislamannya di Rumah Arqam

Umar bin Khattab RA merasa sangat marah atas kehadiran Nabi Muhammad SAW yang menurutnya memecah belah kaum Quraisy. Ia lantas memutuskan untuk membunuh Nabi SAW agar keadaan Makkah kembali seperti semula dalam kejahilan.

Umar RA sudah siap dengan pedangnya hendak menuju rumah Arqam bin Abi al-Arqam untuk membunuh Rasulullah SAW. Namun dalam perjalanannya ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah an-Nahham al-‘Adawiy.

Orang tersebut bertanya tujuan perginya. Ia pun menyatakan kepada Umar RA bahwa saudara perempuan dan suaminya telah memeluk Islam. Umar RA pun langsung mendatangi keduanya.

Ternyata di dalam rumah itu, keduanya sedang dibacakan shahifah (lembaran Al-Qur’an) oleh Khabbab bin al-Arat.

Umar RA berkata, “Tampaknya kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shabiah (Islam).”

Iparnya berkata, “Wahai Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?”

Umar RA langsung marah dan menginjak-injak iparnya itu. Tak cukup sampai di situ, ketika adiknya mencoba membela agamanya, Umar RA pun tega untuk memukul adiknya hingga memar/berdarah.

Adiknya berkata, “Wahai Umar! Jika kebenaran ada padaselain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”

Umar RA merasa bersalah dan malu setelah menampar adiknya tersebut. Lantas ia meminta untuk diberikan shahifah (lembaran-lembaran Al-Qur’an) tersebut, namun ditolak oleh adiknya karena Umar RA masih najis.

Setelah mandi, ia kembali memegang shahifah tersebut dan membaca surah Thaha ayat 14,

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku.”

Maka hati Umar bin Khattab RA pun bergetar. Ia lalu meminta untuk diantar ke hadapan Nabi SAW.

Setelah tiba di rumah Arqam bin Abi al-Arqam, ia mengetuk pintu dan dari celah-celah pintu itu ada seorang penjaga yang mengintip dan melihat dirinya menghunus pedang.

Rasulullah SAW mendapat laporan tersebut dan langsung menghadapi Umar RA sendiri. Beliau lantas membuka pintu itu dan langsung memegang gagang pedang Umar bin Khattab RA dan menariknya dengan keras.

Rasulullah SAW berkata, “Tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai Umar, hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughairah?”

Umar RA tak menjawab pertanyaan Nabi SAW, melainkan ia menjawab dengan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah Rasulullah.”

Pernyataan Umar bin Khattab RA ketika masuk Islam ini membawa kebahagiaan dan disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar sampai luar.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Masa Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, Capai Berbagai Kemajuan



Jakarta

Ali bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang juga sepupu dari sang nabi. Ia lahir di Makkah pada 13 Rajab pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad. Pendapat lain ada yang menyebut Ali lahir 21 tahun sebelum hijriah.

Dalam buku Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib oleh Dr Musthafa Murad, disebutkan nama lengkap Ali ialah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Dirinya masuk Islam saat usia muda bahkan masih anak-anak.

Nabi Muhammad SAW mengasuh, mendidik, dan mengajari Ali sejak kecil. Setelah dewasa, kasih sayang sang rasul-lah yang membentuk karakter Ali.


Ali dikenal sebagai sosok yang cerdas. Saking pintarnya, tak jarang Abu Bakar, Umar, dan Utsman mendatangi beliau untuk meminta bantuan memecahkan permasalahan yang sulit.

Jabatannya sebagai khalifah diperoleh Ali seusai Utsman bin Affan wafat. Pada tahun 35 Hijriah, Ali dinobatkan sebagai khalifah keempat seperti dinukil dari buku Sejarah Peradaban Islam susunan Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah.

Masa kekhalifahan Ali tidak lama, hanya berselang 5 tahun sampai akhirnya ia wafat pada 40 Hijriah. Sebagai seorang pemimpin, Ali bin Abi Thalib merupakan pribadi yang senantiasa berakhlak baik.

Ali sering berkeliling hanya untuk menantikan siapa saja yang menghampiri beliau guna meminta bantuan atau bertanya padanya. Suatu ketika, pada siang yang terik Ali tiba di pasar.

Sang khalifah mengenakan dua lapis pakaian, gamis sebatas betis, sorban melilit tubuhnya, dan bertumpu pada sebatang tongkatnya. Ali bin Abi Thalib berjalan menyusuri pasar untuk berdakwah, mengingatkan manusia agar senantiasa bertakwa pada Allah SWT dan melakukan transaksi jual beli dengan baik.

Disebutkan, Ali bin Abi Thalib memiliki kebiasaan berjalan ke pasar seorang diri. Umumnya ia menasihati orang yang tersesat, menunjukkan arah pada orang yang kehilangan, menolong orang yang lemah, serta menasihati para pedagang dan penjual sayur.

Meski masa kepemimpinannya sebagai khalifah cukup singkat, ada sejumlah prestasi yang Ali capai. Dirinya mampu mengganti beberapa pejabat yang kurang cakap dalam bekerja demi pemerintahan yang efektif dan efisien.

Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga membenahi keuangan negara atau Baitul Mal. Sebab, pada masa Khalifah Utsman bin Affan banyak kerabatnya yang diberi fasilitas negara.

Ali bertanggung jawab untuk membereskan permasalahan tersebut. Ia menyita harta para pejabat yang diperoleh secara tidak benar, selanjutnya harta itu disimpan di Baitul Mal untuk keperluan rakyat.

Tak sampai di situ, capaian prestasi Ali lainnya adalah memajukan bidang ilmu bahasa. Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari sumber utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Lalu, pada bidang pembangunan Ali juga berhasil membangun Kota Kuffah secara khusus. Mulanya, kota tersebut disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan, namun pada akhirnya Kota Kuffah berkembang sebagai pusat ilmu tafsir, hadits, nahwu, dan ilmu pengetahuan lainnya.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, Gantikan Utsman bin Affan



Jakarta

Ali bin Thalib adalah salah satu sahabat yang juga merupakan sepupu Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf.

Ali menjabat sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan. Masa kekhalifahannya tidak lama karena hanya berjalan selama 5 tahun sebelum ia wafat.

Menukil Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII oleh Dr H Murodi MA, setelah Utsman bin Affan meninggal kaum muslimin merasa bingung seakan-akan kehilangan tokoh yang akan menggantikan beliau. Pada situasi itu, Abdullah bin Saba yang merupakan seorang pemimpin di Mesir mengusulkan agar Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah.


Usulan tersebut lantas disetujui oleh mayoritas masyarakat muslim kecuali mereka yang berada di sisi Muawiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib mulanya menolak usulan tersebut dan tidak ingin menerima jabatan karena situasinya kurang tepat. Kala itu banyak terjadi kerusuhan di berbagai tempat.

Menurutnya, situasi demikian harus diatasi terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah kepemimpinan. Namun, para pengikutnya kian mendesak Ali bin Abi Thalib sehingga ia menerima tawaran tersebut dan menjabat sebagai khalifah pada 23 Juni 656 M.

Sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah menggantikan kedudukan Utsman bin Affan. Dijelaskan dalam buku Parlemen di Negara Islam Modern oleh Prof Dr Ali Muhammad Ash Shallabi, pada dasarnya pembaiatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dilakukan oleh mayoritas masyarakat dan sebagian besar dari mereka memilih secara langsung .

Masyarakat umum dan anggota dewan perwakilan berpartisipasi bersama-sama dalam pembaiatan tersebut. Alasannya karena Ali bin Abi Thalib menolak pembaiatan kecuali dilaksanakan di masjid secara terbuka dan di hadapan semua orang.

Saat masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Selain itu, ia juga mengembalikan semua kekayaan yang diperoleh para pejabat melalui cara-cara yang tidak baik ke dalam perbendaharaan negara atau Baitul Mal.

Kemudian, Ali bin Abi Thalib juga bertekad mengganti semua gubernur yang ia anggap tidak mampu memimpin dan tidak disenangi masyarakat. Ia mencopot jabatan gubernur Basrah dari tangan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr dan digantikan oleh Utsman bin Hanif.

Mengutip buku Sejarah Peradaban Islam karya Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah, Ali bin Abi Thalib merupakan sosok pemimpin yang berakhlak baik. Ia sering berkeliling hanya untuk menantikan siapa saja yang menghampirinya untuk meminta bantuan atau bertanya.

Suatu ketika, pada siang yang terik Ali tiba di pasar. Sang khalifah mengenakan dua lapis pakaian, gamis sebatas betis, sorban melilit tubuhnya, dan bertumpu pada sebatang tongkatnya. Ali berjalan menyusuri pasar untuk berdakwah, mengingatkan manusia agar senantiasa bertakwa pada Allah SWT dan melakukan transaksi jual beli dengan baik.

Dirinya memiliki kebiasaan berjalan ke pasar seorang diri. Umumnya ia menasehati orang yang tersesat, menunjukkan arah pada orang yang kehilangan, menolong orang yang lemah, serta menasehati para pedagang dan penjual sayur.

Meski masa kepemimpinannya sebagai khalifah cukup singkat, ada sejumlah prestasi yang Ali capai. Salah satunya ialah memajukan bidang ilmu bahasa.

Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari sumber utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Pada bidang pembangunan Ali juga berhasil membangun Kota Kuffah secara khusus. Mulanya, kota tersebut disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan, namun pada akhirnya Kota Kuffah berkembang sebagai pusat ilmu tafsir, hadits, nahwu, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Ali bin Abi Thalib wafat pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ia meninggalkan 33 anak yang terdiri atas 15 laki-laki dan 18 perempuan. Penyebab kematiannya ialah ditikam ketika hendak salat Subuh.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com