Tag Archives: kisah

Doa Nabi Yunus: Arab, Latin dan Terjemahannya


Jakarta

Nabi Yunus punya doa khusus saat dirinya sedang berada dalam kesulitan. Kala itu, ia memohon pertolongan kepada Allah SWT ketika dilahap oleh ikan paus.

Mengutip buku Kumpulan Kisah & Doa Para Nabi karya Abi Abbari, kisah ini berawal saat Nabi Yunus marah dan kecewa pada penduduk Ninawa yang menyembah berhala. Karena tidak bisa dinasihati, Nabi Yunus memohon kepada Allah agar mereka dihukum.

Nabi Yunus kemudian pergi meninggalkan kaumnya. Ia berlayar menggunakan kapal sampai akhirnya terjun ke laut.


Allah SWT yang marah kepada Nabi Yunus kemudian mengutus seekor paus yang bernama Nun untuk menelannya. Nabi Yunus yang terjebak dalam perut ikan paus kemudian memohon ampun kepada Allah SWT.

Setelah berdoa, Nabi Yunus dikeluarkan dari ikan paus dalam keadaan sakit. Ia dilembar ke darat hingga akhirnya kembali ke Ninawa.

Nabi Yunus terkejut karena tidak adalagi berhala di sana. Orang-orang yang menentangnya telah beribadah kepada Allah SWT dan menanti kedatangan Nabi Yunus.

Doa Nabi Yunus

Menukil buku Dahsyatnya Doa Para Nabi karya Syamsuddin Noor, berikut doa yang dipanjatkan oleh Nabi Yunus saat berada di dalam perut ikan paus.

لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Latin: lā ilāha illā anta sub-ḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn

Artinya: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.”

Doa ini tercantum dalam Al-Quran surat Al Anbiyaa ayat 87 yang berbunyi:

وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya: Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”. (Q.S Al Anbiyaa: 78).

Keutamaan Doa Nabi Yunus

Rasulullah SAW pernah mengamalkan doa Nabi Yunus ketika dirinya sedang bersedih. Hal ini berdasarkan riwayat dari Imam Muslim dan Imam Bukhari dari Ibnu Abas RA, Rasulullah SAW bersabda:

لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ

Latin: Laailaaha illalloohul ‘azhiimil haliim, laa ilaaha illallohu robbul ‘arsyil ‘azhiim, laa ilaaha illalloohu robbus samaawaati wa robbul ardhi wa robbul ‘arsyil kariim

Artinya: “Tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, Tuhan yang Mahaagung lagi Mahasantun, tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, Tuhan yang menguasai Arasy yang agung, Tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, Tuhan yang menguasai langit dan bumi dan menguasai Arasy yang agung.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Thabrani mengatakan, doa Nabi Yunus dinamakan sebagai doa Al Kurb. Artinya doa kesedihan atau kesusahan. Para ulama salafus shalih disebut biasa mengamalkan bacaan doa ini. Mereka kemudian sepakat memberikan nama doa ini “Al Kurb” artinya doa kesedihan atau kesusahan.”

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah dan Seorang Anak Yatim di Hari Raya Idul Fitri



Jakarta

Hari Raya Idul Fitri merupakan momen suka cita bagi seluruh umat Islam. Pasalnya, setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan sebulan penuh, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk merayakan Idul Fitri.

Berkenaan dengan itu, terdapat sebuah kisah mengenai Rasulullah SAW dengan seorang anak yatim di hari Idul Fitri. Menukil dari buku Al-Qur’an Hadis Madrasah Ibtidaiyah oleh Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanuddin, pada siang itu di sudut Kota Madinah ada sejumlah anak kecil yang bermain.

Mereka mengenakan pakaian baru dan terlihat sangat gembira di hari raya. Namun, agak jauh dari mereka ada seorang anak yang tengah menangis dan bersedih hati.


Rasulullah SAW yang melihat pemandangan itu lantas mendekati sang anak, beliau kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tidak bermain seperti teman-temanmu itu?”

Dengan air mata yang bercucuran, si anak menjawab, “Wahai Tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru dan saya tak punya siapa-siapa untuk membelikan pakaian baru,”

Mendengar hal itu, Nabi SAW kembali bertanya terkait keberadaan orang tua dari sang anak. Ia lalu mengatakan bahwa ayahnya telah syahid karena berperang, sementara ibunya menikah lagi dan seluruh harta sang ayah dibawa oleh ayah tirinya. Anak itu juga mengaku diusir dari rumah.

Rasulullah lantas segera memeluk dan membelai anak tersebut sambil berkata, “Wahai ananda, maukah engkau saya menjadi ayamu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah menjadi saudarimu?”

Anak itu awalnya terkejut dan tampak gembira. Rasulullah SAW lalu membawanya ke rumah dan memberikan pakaian yang layak untuk si anak.

Kisah ini juga diceritakan dalam kitab Durratun Nashihin oleh Syekh Utsman Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy, seorang ulama pada abad ke-13. Semula sang anak tidak mengetahui bahwa laki-laki tersebut adalah Nabi SAW, namun setelah menyadarinya anak tersebut berkata,

“Bagaimana mungkin aku tidak senang wahai Rasulullah?” ujarnya.

Setelah diberikan pakaian yang layak, anak tersebut kemudian kembali menemui teman-temannya. Dia tampak lebih bahagia dengan mengenakan pakaian yang baru.

Melihat itu, teman-teman sebayanya bingung. Si anak lantas berkata, “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi, sekarang aku bahagia karena Rasulullah SAW menjadi ayahku, Aisyah ibuku, Ali pamanku, dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia?”

Anak-anak lain yang mendengar pengakuan itu merasa iri. “Andai saja bapak kami syahid saat peperangan, pasti sudah seperti engkau,”

Ketika Rasulullah SAW wafat, anak tersebut kembali yatim. Abu Bakar RA kemudian mengasuhnya.

Kisah antara Rasulullah SAW dan anak yatim di Hari Raya Idul Fitri ini memberi pelajaran bahwa menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim merupakan tanggung jawab setiap muslim, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad. Terlebih dalam sebuah hadits, beliau bersabda:

“Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya,” (HR Imam Al-Bukhari)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang mengasuh anak yatim kelak akan menjadi tetangga Nabi Muhammad SAW di surga, sebagaimana diterangkan Syaikh Sa’ad Yusuf Mahmud Abu Aziz dalam Kitab Mausu’ah Al-Huquq Al-Islamiyah.

Pengibaratan tersebut dimaksudkan balasan mulia bagi orang yang mengurus anak yatim, yakni lebih cepat masuk surga dan disediakan kedudukan tertinggi di dalamnya.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Inspirasi Kisah Kesederhanaan Ali bin Abi Thalib saat Lebaran



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyimpan sejumlah kisah menginspirasi. Salah satunya saat Lebaran tiba.

Merangkum berita Hikmah detikcom, sahabat yang memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim ini lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab. Ali RA lahir pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Terdapat juga yang menyebutkan jika Ali RA dilahirkan pada 21 tahun sebelum hijrah.


Menurut beberapa keterangan, disebutkan bahwa ayah beliau adalah paman dari Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Dilihat secara garis keturunan kedua orang tuanya, Ali RA merupakan keturunan berdarah Hasyimi yang dikenal oleh masyarakat pada zamannya sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, pemegang kepemimpinan masyarakat, dan memiliki sejarah cemerlang di masyarakat Makkah.

Ibunya memberikan nama Haidarah (macan) kepada Ali RA, diambil dari nama kakek Ali RA, Asad. Dengan harapan bahwa buah hati mereka kelak menjadi seorang laki-laki pemberani. Namun, ayahnya memberinya nama Ali (yang leluhur), hingga sekarang nama Ali-lah yang lebih dikenal masyarakat luas.

Ali bin Abi Thalib RA telah memeluk Islam sejak ia masih berusia sangat belia. Dikutip dari buku tulisan Mustafa Murrad berjudul Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, ia bahkan disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam.

Rasulullah SAW adalah salah satu orang yang paling berpengaruh yang telah mengasuh, mendidik, dan mengajarinya sejak kecil. Kasih sayang dan kemuliaan Rasulullah SAW inilah yang membentuk karakter Ali RA hingga matang saat dewasa.

Semasa hidupnya, Ali RA hidup dengan sangat sederhana. Bahkan dalam beragam riwayat, dijelaskan bahwa beliau cukup makan dengan lauk cuka, minyak, dan roti kering yang dipatahkan dengan lututnya.

Dikutip dari buku Rezeki Level 9 The Ultimate Fortune karya Andre Raditya, dijelaskan terdapat kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA saat Lebaran. Dikisahkan pada suatu suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

Didapatinya beliau sedang memakan roti yang keras. Lalu sang tamu ini berkata,

“Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pun menjawab,

“Sesungguhnya hari ini adalah lebarannya orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Id bagi kami, demikian juga esok, dan bahkan setiap hari pun engkau juga bisa lebaran (Id) seperti ini.”

Merasa ingin tahu lagi, orang itu kembali bertanya,

“Bagaimana bisa aku berlebaran setiap hari?”

Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah pun memberikan jawabannya,

“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah SWT di hari itu, maka sesungguhnya ia sedang berlebaran (Id).” Subhanallah.

Kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA yang makan roti kasar saat Lebaran turut diceritakan dalam Kitab Ahlur-rahmah fil Qur’an was-Sunnah karya Syekh Thaha Abdullah al-Afifi.

Dikatakan, oleh sebab itulah, Sayyidina Ali RA terus berada dalam hari raya yang berkelanjutan karena ia termasuk di antara orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemenggalan Malik bin Nuwairah, Si Pemimpin yang Enggan Bayar Zakat



Jakarta

Malik bin Nuwairah merupakan kepala suku dari Bani Tamim. Ia merupakan salah satu tokoh pembangkang pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Pria yang tinggal di Buthah itu menolak membayar zakat. Selain itu, ia juga memerangi para pengikut-pengikut Islam yang ada di dalam sukunya, seperti dikisahkan dalam buku Kisah Empat Khalifah tulisan Fazl Ahmad.

Seusai wafatnya Nabi Muhammad SAW, mulailah muncul sosok pembangkang di Islam, seperti nabi palsu hingga sosok Malik bin Nuwairah. Kesesatan Malik ini diperangi oleh Abu Bakar dengan mengutus Khalid bin Walid, seorang panglima perang Islam yang tersohor pada masanya.


Kala itu, setelah mendengar Khalid akan datang menggempur pasukannya, Malik langsung membubarkan pasukannya. Sahabat Rasulullah yang dijuluki Pedang Allah itu bermain cerdik demi mengatasi kelicikan Malik, akhirnya dengan kepintarannya Khalid berhasil menangkap Malik.

Mengutip dari buku Lelaki Penghuni Surga oleh Ahmed Arkan, sebagian kaum Anshar tidak ingin menuruti Khalid untuk menyerang Malik. Khalid lantas berkata:

“Hal ini harus dilakukan karena ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Walaupun aku tidak mendapatkan instruksi, namun aku adalah pimpinan kalian dan akulah yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, aku tidak bisa memaksakan kalian untuk mengikutiku, yang jelas aku harus ke Al-Buthah,” ujarnya.

Sebagai informasi, kala itu Malik tengah berdiam diri di suatu tempat yang dinamai Al-Buthah. Khalid dengan semangatnya yang berkobar untuk memerangi para pembangkang lalu melakukan perjalanan selama dua hari ke Buthah.

Menyaksikan hal itu, kaum Anshar lalu mengikuti dan menyusul Khalid untuk memerangi Malik di Buthah. Sesampainya di sana, Khalid memanggil Maik bin Nuwairah yang sedang berdiam diri.

Kemudian, Khalid menyatakan bahwa apa yang dilakukan Malik tidaklah baik. Terlebih zakat wajib ditunaikan oleh tiap umat Islam.

“Tidakkah engkau tahu bahwa zakat itu seiring dengan salat?” tanya Khalid.

Alih-alih merasa bersalah dan berdosa, Malik justru menjawab dengan enteng, “Begitulah yang dikatakan oleh sahabat kalian (Abu Bakar),”

“Berarti Abu Bakar adalah sahabat kami dan bukan sahabatmu?” kata Khalid kembali melontarkan pertanyaan dengan geram.

Melihat hal itu, Khalid kemudian meminta Dhirar ibnul Azur, salah satu bala tentaranya yang ia bawa untuk memenggal leher Malik. Mematuhi perintah sang panglima, Dhirar segera memenggal leher Malik tanpa pikir panjang. Terlebih, sikap Malik terlihat sangat melecehkan panglima perangnya dan merendahkan Islam.

Sayangnya, berita pemenggalan leher Malik sampai ke telinga Umar bin Khattab. Mendengar hal itu, Umar merasa kurang senang dengan keputusan sang panglima perang yang dinilai terburu-buru untuk menghabisi nyawa Malik bin Nuwairah.

Lantas, Umar berkata kepada Abu Bakar:

“Copotlah Khalid dari jabatannya! Sesungguhnya pedangnya terlampau mudah mencabut nyawa orang,” beber Umar.

Abu Bakar yang tidak setuju lalu menjawab, “Aku tidak akan menyarungkan pedang yang dihunus Allah terhadap orang kafir,”

Muttammim bin Nuwairah juga turut melaporkan perbuatan Khalid yang memenggal Malik. Umar lantas membantunya agar Abu Bakar membayarkan diyat untuk keluarga Malik dari harta pribadinya.

Diyat adalah uang darah. Nantinya saudara atau kerabat terdekat dari seseorang yang membunuh harus mengumpulkan dana untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan.

Meski Abu Bakar telah menyatakan tidak akan mencabut jabatan Khalid, Umar bin Khattab masih memaksa dan terus menyakinkannya. Akhirnya, Khalid dibawa ke Madinah dengan mengenakan baju perang yang berkarat karena banyak terkena darah.

Ketika menghadap Abu Bakar, Khalid pun meminta maaf atas tindakannya memenggal kepala Malik bin Nuwairah. Melihat Khalid yang seperti itu, Abu Bakar lantas memaafkannya dan tidak mencopot jabatan Khalid.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Uhud pada Bulan Syawal yang Gugurkan Banyak Kaum Muslim



Jakarta

Perang Uhud termasuk perang besar dalam Islam. Menurut sejumlah riwayat, perang melawan kaum kafir Quraisy ini terjadi pada bulan Syawal.

Perang Uhud pada bulan Syawal ini merupakan salah satu dari tiga perang besar yang pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.

Ibrahim Al-Qurabi dalam Tarikh Khulafa, menjelaskan mengenai kapan terjadinya Perang Uhud. Menurut Ibnu Katsir, yang valid adalah pendapat mayoritas ulama bahwa Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun ketiga.


Turut diceritakan pula dalam Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, Perang Uhud ini terjadi dilatarbelakangi kebencian yang begitu besar dari kaum kafir Quraisy terhadap orang-orang muslim karena kekalahannya di Perang Badar.

Dalam Perang Badar banyak sekali pemimpin dan bangsawan Quraisy terbunuh. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas.

Bahkan, kaum Quraisy melarang semua penduduk Makkah meratapi korban Perang Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus tawanan. Hal tersebut bertujuan supaya kaum Muslimin tidak merasa di atas angin karena mengetahui kesedihan hati mereka.

Setelah Perang Badar selesai, semua orang Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan habis-habisan terhadap orang-orang Muslim, agar kebencian mereka bisa terobati dan dendam mereka bisa tersuapi.

Setelah genap setahun, persiapan Quraisy pun sudah matang, prajurit yang dipersiapkan mencapai 3000 dan sudah berhimpun bersama dengan sekutu-sekutu serta kabilah kecil.

Mereka juga membawa 3000 unta, 200 penunggang kuda, dan 700 baju besi. Setelah dirasa cukup mereka bergerak menuju Madinah.

Sementara itu, dari pihak Nabi Muhammad SAW sudah mengetahui rencana dari kaum Quraisy dan mempersiapkan pasukannya pula. Setiap pintu gerbang di Madinah pasti terdapat sekumpulan penjaga.

Ada pula sekumpulan orang Muslim yang bertugas memata-matai, mereka berputar-putar di setiap jalur yang bisa dilalui oleh kaum Quraisy.

Namun, Abdullah bin Ubay yang semula menjadi bagian dari pasukan Muslim mendadak membelot dengan alasan karena Rasulullah SAW tidak mendengarkan alasannya. Oleh karena itu, sisa pasukan dari Nabi Muhammad SAW hanya 700 prajurit.

Rasulullah SAW lalu pergi menuju bukit Uhud, hingga tiba di kaki bukit Uhud pasukan Muslimin mengambil tempat dengan posisi menghadap ke arah Madinah dengan memunggungi Uhud. Dengan posisi ini, pasukan musuh berada di tengah antara mereka dan Madinah.

Rasulullah SAW lalu membagi tugas pasukannya dan membariskan mereka sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran. Di bagian depan ia menempatkan para pemanah ulung dan Rasulullah SAW juga melarang semua pasukan untuk melancarkan serangan kecuali atas perintah beliau.

Meskipun kaum Quraisy sempat untuk menghasut para kaum Muslimin sebelum peperangan dimulai dengan cara mengirim surat, namun hal itu tidak mempan dan tidak membuat pasukan Muslimin merasa goyah.

Hingga akhirnya perang pun pecah, secara bergantian orang-orang bani Abdid-Dar yang menjadi bagian pasukan Quraisy bertugas membawa bendera. Hingga 10 kali semua yang membawa bendera berhasil di bunuh oleh orang Muslimin. Hingga tidak ada lagi yang mau untuk membawa bendera.

Di sisi lain pertempuran juga terjadi di beberapa titik, Abu Dujanah merupakan orang Muslimin yang dengan gagah berani maju ke depan menuju pasukan Quraisy. Siapa pun orang musyrik yang berpapasan dengannya pasti dibabatnya hingga meninggal.

Abu Dujanah berhasil menyusup hingga ke tengah barisan kaum Quraisy, ketika hendak mengayunkan pedangnya ia berhenti ketika mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita. Ia menganggap bahwa pedang yang diberikan Rasulullah SAW terlalu mulia untuk membunuh seorang wanita.

Di lain sisi Hamzah bin Abdul Muthalib bertempur bagaikan singa yang sedang mengamuk, ia menyusup ke tengah barisan tanpa mengenal rasa takut. Dia terus menerjang dan mengejar tokoh-tokoh musuh, hingga akhirnya dia terbunuh di barisan paling depan. Ia terbunuh layaknya orang baik-baik yang terbunuh di tengah kegelapan malam.

Perang ini menjadi salah satu perang yang besar dan banyak menelan korban. Disebutkan dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad II karya Moenawar Chalil, menurut Ibnu Hisyam pasukan kaum Muslimin yang gugur dalam Perang Uhud ada 70 orang. Adapun, menurut Ibnu Ishaq jumlahnya ada 70. Mereka terdiri dari golongan Anshar dan Muhajirin.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Perang Uhud Dipimpin oleh Nabi Muhammad Langsung, Begini Kisahnya



Jakarta

Perang Uhud dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Perang tersebut menjadi kenangan penting dalam sejarah islam.

Sebab, pada peperangan tersebut kaum muslimin yang hanya berjumlah 1.000 pasukan harus melawan kaum kafir Quraisy sebanyak 3.000 pasukan. Dijelaskan dalam buku Sang Panglima Tak Terkalahkan “Khalid Bin Walid” karya Hanatul Ula Maulidya, pasukan Quraisy terdiri dari 200 pasukan berkuda, 700 pasukan berkendara unta, dan sisanya pasuka pemanah serta pejalan.

Sementara itu, 1.000 pasukan muslimin terdiri dari gabungan orang Makkah dan Madinah. Namun, dalam perjalanan menuju Gunung Uhud, Abdullah bin Ubay salah satu pemimpin bani terbesar di kaum Quraisy membelot dan membawa 300 pasukan muslimin, karenanya sisa dari prajurit muslim yang ada hanya 700 orang.


Meski Abdullah bin Ubay berkhianat, Nabi SAW tetap fokus pada kaum muslimin dan tidak mengambil pusing pembelotan tersebut. Rasulullah SAW sebagai pemimpin dari perang tersebut melakukan persiapan matang untuk menghadapi kaum kafir Quraisy.

Mahdi Rizqullah Ahmad dkk dalam Biografi Rasulullah menjelaskan, Perang Uhud meletus pada tanggal 15 bulan Syawal tahun ketiga Hijriah. Perang ini terjadi sekitar setahun setelah Perang Badar, dan umat Islam meraih kekalahan dari Perang Uhud.

Nabi Muhammad SAW menempatkan 50 pasukan pemanah di atas Gunung Uhud untuk melakukan serangan jikalau pasukan berkuda kaum Quraisy menyerbu. Beliau juga berpesan kepada para prajurit muslim agar tidak meninggalkan tempatnya apapun yang terjadi saat perang.

Sementara itu, pasukan kafir Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Perang Uhud berlangsung selama 7 hari, pada awal pertempuran perang masih dikuasai oleh pasukan muslimin.

Sayangnya, karena ada kesalahan yang dilakukan oleh pasukan pemanah di atas bukit maka kaum muslimin mengalami kekalahan. Kekalahan itu bermula ketika beberapa dari prajurit muslim berteriak,

“Harta rampasan, harta rampasan… Kita sudah menang! Apalagi yang kita tunggu?”

Teriakan tersebut lantas membuat pasukan pemanah yang berada di atas bukit ikut turun ke bawah untuk mengambil harta rampasan perang. Karena itu pula, komandan pasukan pemanah kaum muslim yaitu Abdullah bin Jubair berkata,

“Apakah kalian lupa pesan Nabi Muhammad kepada kalian?”

Peringatan dari sang komandan tidak digubris. Akibatnya, pasukan pemanah yang turun untuk mengambil harta rampasan itu justru dimanfaatkan oleh prajurit kafir Quraisy untuk menyerang pasukan muslim.

Hal itu pula yang jadi penyebab kaum kafir Quraisy yang dikomandoi Khalid bin Walid menguasai keadaan dan mengepung pasukan muslimin dari berbagai arah. Menurut buku Islam at War karya George F. Nafziger, Strategi Khalid membuat pasukan muslim kalah dalam Perang Uhud.

Singkat cerita, Khalid bin Walid kemudian menjadi tangan kanan Rasulullah SAW setelah masuk Islam. Dirinya bahkan dikenal sebagai panglima yang berhasil dan menjadi andalan Nabi Muhammad SAW.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wanita Pelacur Bani Israil Lahirkan 7 Nabi usai Bertobat



Jakarta

Ada suatu kisah tentang wanita nakal dari bani Israil yang melahirkan tujuh nabi dari rahimnya. Hal itu terjadi usai dirinya benar-benar tobat.

Kisah tersebut diceritakan oleh Ibnu Qudamah, seorang imam, ahli fikih, dan zuhud, dalam Kitab at-Tawwabin dan turut dinukil Ibnu Watiniyah dalam buku Nisa’ul Auliya’: Kisah Wanita-wanita Kekasih Allah.

Ibnu Qudamah menceritakan, wanita bani Israil tersebut menggoda laki-laki dengan kecantikan parasnya. Setiap hari ia membiarkan pintu rumahnya terbuka. Ia duduk-duduk di atas ranjang yang letaknya berhadapan dengan pintu rumahnya.


Setiap pria yang lewat di depan rumahnya pasti tergoda akan kecantikannya. Ia lantas membuka kesempatan kepada siapa saja yang ingin bersenang-senang bersamanya dengan membayar 100 dinar.

Pada suatu hari, ada seorang pemuda ahli ibadah yang melintas di depan rumah wanita tersebut. Seperti pria lainnya, sang ‘abid juga tergoda begitu melihat wanita itu. Namun, ia lantas berdoa kepada Allah SWT supaya menghilangkan hawa nafsunya dari hatinya.

Namun, nafsu tersebut tak kunjung hilang. Hingga akhirnya pemuda itu tergoda untuk menuruti hawa nafsunya. Ia bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar 100 dinar agar bisa bersenang-senang dengan wanita itu.

Setelah terkumpul, ia bergegas pergi ke rumah wanita itu dan menyerahkan uangnya kepada wakil si wanita. Si wanita lantas menyiapkan waktu khusus untuk menyambut tamunya itu.

Tiba pada waktu yang telah ditentukan, pemuda ahli ibadah itu menemui si wanita. Wanita itu pun telah siap segalanya, ia berdandan dan duduk di atas ranjang yang berlapis emas.

“Sesungguhnya engkau telah memikatku sehingga aku bekerja keras untuk mendapatkan 100 dinar agar bisa mendapatkanmu,” kata pemuda itu.

Dengan senyuman hangat, wanita pelacur itu lantas memintanya untuk masuk. Tak lama kemudian, si pemuda yang telah tergoda ini mengulurkan tangannya. Namun, Allah SWT menurunkan rahmat-Nya dari berkah ibadah serta tobat yang dilakukan pemuda itu.

“Sungguh Allah melihat perbuatan ini dan melebur semua amalmu,” kata pemuda itu dalam hatinya.

Seketika ia teringat akan menemui Tuhannya dan berdiri di hadapan-Nya. Ia lantas dilanda ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar dan raut wajahnya berubah.

“Biarkan aku keluar dari sini dan 100 dinar ini milikmu,” ucap laki-laki itu.

Melihat keadaan yang aneh ini, si wanita bertanya, “Apa yang terjadi denganmu? Bukankah engkau kumpulkan uang itu untuk bisa bersenang-senang denganku? Tetapi ketika sudah tercapai apa yang engkau inginkan, engkau tinggalkan begitu saja?”

“Aku takut kepada Allah. Sungguh uang yang telah aku berikan kepadamu itu halal untukmu. Tolong izinkan aku keluar!” ucap laki-laki itu.

Wanita itu kembali bertanya, “Apakah kamu tidak akan berbuat apa pun kepadaku?”

“Tidak!” jawabnya.

“Kalau demikian, maka sungguh tidak ada yang pantas menjadi suamiku melainkan dirimu,” ucap wanita itu dengan nada penuh penyesalan dan tobat.

“Tinggalkan aku, biarkan aku keluar!” teriak laki-laki itu dengan tetap memaksa pergi.

Lelaki itu mendesak agar bisa segera meninggalkan rumah si wanita itu. Namun, wanita itu tidak mengizinkan hingga laki-laki itu mau menjadikannya istri.

Singkat cerita, laki-laki itu pun pergi meninggalkan rumah si wanita dengan penuh penyesalan. Sebelum pergi, ia sempat memberi tahu nama dan rumahnya.

Sejak ditinggal oleh pemuda ahli ibadah itu, wanita nakal itu diselimuti rasa takut karena mendapatkan berkah dari sang pemuda. Dalam hatinya ia berkata, “Ini adalah dosa yang pertama kali yang dilakukannya, dan ia sangat merasa takut. Sedangkan aku telah melakukan dosa ini selama satu tahun. Tuhan yang ditaatinya adalah Tuhanku juga. Dan seharusnya rasa takutku melebihi rasa takutnya.”

Wanita bani Israil itu lantas bertobat. Hingga pada suatu ketika ia memutuskan untuk menemui lelaki itu dengan penampilan tertutup dan memakai cadar. Setelah bertanya ke sana ke mari kepada penduduk desa, ia pun bertemu dengan lelaki itu.

Namun, begitu lelaki itu mengetahui bahwa yang datang adalah wanita pelacur yang pernah membuatnya tergoda, ia lantas terkejut, menjerit dengan keras lalu meninggal dunia.

Setelah kejadian itu, si wanita bertambah sedih. Ia pun bertanya kepada penduduk di sana, “Aku keluar hanya untuk ia dan kini ia telah meninggal. Apakah ada di antara keluarganya yang membutuhkan seorang perempuan untuk dinikahi?”

Penduduk desa kemudian memberitahu bahwa lelaki tersebut memiliki saudara laki-laki yang saleh tetapi miskin. “Ya ada. Pemuda itu mempunyai saudara laki-laki yang saleh, akan tetapi ia miskin tidak memiliki harta,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Tidak masalah, karena aku memiliki banyak harta,” ucap wanita yang telah bertobat itu

Singkat cerita, wanita tersebut akhirnya menikah dengan laki-laki saleh itu karena kecintaannya kepada saudaranya. Menurut cerita, di antara keturunan mereka terdapat tujuh nabi dari bani Israil. Jumlah nabi sendiri disebut sangat banyak dan hanya 25 di antaranya yang wajib kita ketahui.

Ada pendapat yang menyebut eks pelacur bani Israil yang akhirnya melahirkan tujuh nabi tersebut bernama Al Malikah.

Kisah tentang wanita pelacur yang bertobat juga banyak terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Salah satunya seorang wanita dari Juhainah yang mendatangi Rasulullah SAW dalam keadaan hamil karena berzina.

Wanita tersebut meminta hukuman rajam atas perbuatannya. Singkat cerita, setelah mendapatkan hukuman, Rasulullah SAW menyalatkan dan mendoakannya. Beliau mengatakan bahwa wanita tersebut telah melakukan tobat yang luas.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas yang Menjual Raja untuk Dijadikan Budak



Jakarta

Abu Nawas dikenal sebagai sufi cerdas sekaligus pujangga sastra Arab klasik. Ia lahir sekitar tahun 757 di Provinsi Ahwaz, Khuzistan sebelah barat daya Persia.

Dijelaskan dalam buku Abu Nawas: Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka karya Muhammad Ali Fakih, Abu Nawas telah ditinggal wafat ayahnya sejak kecil. Sang ibu membawanya ke sebuah kota di Irak karena alasan ekonomi.

Abu Nawas kecil dititipkan kepada seseorang bernama Attar untuk melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan anak kecil. Walau begitu, Attar memperlakukan Abu Nawas dengan baik, ia disekolahkan di sekolah A-Qur’an hingga menjadi seorang hafiz.


Nah, berkaitan dengan sosok Abu Nawas, ada sebuah kisah menarik dan jenaka darinya. Suatu hari, dia berencana untuk menjual sang raja yang kala itu bernama Khalifah Harun ar-Rasyid.

Alasannya sendiri karena Khalifah tersebut pantas dijual menurutnya. Mengutip dari buku Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh karya Nur Hasan, akibat rencana tersebut lantas Abu Nawas menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid seraya berkata,

“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada paduka yang mulia,”

Mendengar hal itu, Khalifah tersebut menjawab dengan rasa penasaran,

“Apa itu wahai Abu Nawas?”

“Sesuatu yang hamba yakin tidak pernah terlintas di dalam benak paduka yang mulia,”

“Oke, kalau begitu cepatlah ajak saya ke sana untuk menyaksikannya,”

Abu Nawas memang terkenal sebagai sosok yang selalu membuat orang penasaran akan sesuatu. Karenanya, ia kembali berkata,

“Tapi baginda…”

“Tetapi apa?” Jawab sang raja yang sudah tidak sabar dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Abu Nawas.

“Oke, baginda. Jadi begini, baginda harus menyamar sebagai rakyat biasa, supaya orang-orang tidak banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu,”

Sang raja yang sudah sangat penasaran lantas mengiyakan anjuran Abu Nawas. Ia bersedia menyamar sebagai seorang rakyat biasa dan keduanya pergi ke sebuah hutan.

Sesampainya di sana, Abu Nawas mengajak mendekat ke sebuah pohon yang rindang dan memohon kepada sang raja untuk menunggu di situ. Lalu, Abu Nawas menemui seorang badui yang merupakan penjual budak, ia mengajaknya untuk melihat calon budak yang ingin dijual namun Abu Nawas mengaku tak tega menjual budak di depan matanya langsung, ia mengaku budak tersebut merupakan temannya.

Setelah dilihat dari kejauhan, badui tersebut merasa cocok dengan orang yang ingin dijual Abu Nawas. Usai kesepakatan terjalin beserta kontrak, Abu Nawas mendapat beberapa keping uang mas.

Sang raja yang tidak tahu menahu terus menunggu Abu Nawas. Sayangnya, beliau justru tak kunjung menampakkan dirinya, malahan terdapat seorang penual budak yang menghampiri raja.

“Siapa engkau?” tanya raja.

“Aku adalah tuanmu sekarang,” ujar badui tersebut yang menghampiri sang raja tanpa mengetahui bahwa yang ada di depannya sekarang merupakan seorang raja.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” jawab sang raja dengan wajah yang memerah.

Dengan enteng, penjual budak itu mengeluarkan surat kuasa seraya menjawab, “Abu Nawas telah menjualmu kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,”

“Apa??? Abu Nawas menjual diriku kepadamu?”

“Yaaa!” jawab sang badui dengan nada membentak.

Merasa makin geram, sang raja lantas berkata, “Tahukah engkau siapa sebenarnya diriku ini?”

“Tidak. Itu tidak penting dan tidak perlu,” ujar sang badui singkat. Ia kemudian menyeret bahu budak barungnya ke belakang rumah.

Sesampainya di sana, badui tersebut memberikan parang kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dan memintanya untuk membelah serta memotong kayu. Melihat tumpukan kayu yang banyak, sang raja memandangnya dengan ngeri, apalagi beliau harus membelahnya.

Sayangnya, sang raja tidak mampu membelah kayu tersebut dengan baik. Malahan, ia menggunakan bagian parang yang tumpul ke arah tumpukan kayu.

Sang badui kemudian memarahi Khalifah Harun ar-Rasyid. Dengan begitu, si raja membalik parangnya sehingga bagian yang tajam mengarah ke kayu dan berusaha membelahnnya.

Menurutnya, pekerjaan tersebut terasa aneh. Dalam hati ia bergumam, seperti inikah derita orang-orang miskin demi mencari sesuap nasi? Harus bekerja keras lebih dulu.

Badui tersebut kerap memandang Khalifah Harun ar-Rasyid dengan tatapan heran dan berujung marah. Dirinya merasa menyesal telah membeli seorang budak bodoh. Si raja lalu berkata,

“Hei badui! Semua ini sudah cukup, aku tidak tahan,”

Mendengar hal itu, sang badui semakin marah. Ia lalu memukul raja seraya berkata,

“Kurang ajar kau budakku. Kau harus patuh kepadaku!”

Khalifah Harun ar-Rasyid yang tidak pernah disentuh oleh orang lain tiba-tiba menjerit keras akibat pukulan dengan kayu yang dilakukan oleh si badui. Karena tidak kuat, ia lalu berkata sambil memperlihatkan tanda kerajaannya,

“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultann Harun ar-Rasyid!”

Melihat hal itu, sang badui langsung menjatuhkan diri sambil menyembah sang raja yang habis dipukulnya. Walau begitu, sang raja mengampuninya karena si badui tidak tahu menahu mengenai dirinya yang merupakan seorang raja. Sementara itu, Khalifah Harun ar-Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas dan ingin segera menghukumnya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Awan Diperintah Menyiram Kebun Petani yang Rajin Bersedekah



Jakarta

Sedekah mengandung banyak keutamaan. Salah satunya seperti kisah seorang petani yang diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Zuhd wa ar-Raqaq.

Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang berada di sebuah tempat yang sunyi. Tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang ghaib, yakni sebuah awan yang lewat di atas kepalanya.

Dari awan tersebut, lelaki itu mendengar suara perintah agar menyiram kebun Fulan. Mendengar hal itu, lantas ia mendengarkan sembari melihat ke arah mana awan itu pergi, seperti dikisahkan dalam buku Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh tulisan Nur Hasan.


Setelah mengamati, awan tersebut ternyata berhenti dan menurunkan air hujan di sebuah tanah dengan batu-batu hitam. Air hujan itu kemudian membentuk aliran air yang mengalir ke sebuah tempat tertentu.

Semakin penasaran, laki-laki itu menelusuri air hujan yang sudah mengalir hingga akhirnya sampai di sebuah kebun. Ini dijelaskan oleh Imam Muslim bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

“Ketika seorang laki-laki berada di tempat yang sunyi, ia mendengar suara awan, ‘Siramilah kebun Fulan,”

Nah, air hujan itu mengalir dan mengarah ke sebuah kebun. Lelaki itu kemudian melihat seseorang yang tengah berdiri di kebun tersebut dan sedang mengalirkan air dengan cangkul yang dibawanya ke semua penjuru kebun.

Menurut buku Kisah-Kisah yang Menunjukkan Keutamaan Amal yang disusun oleh Dr Umar Sulaiman al-Asqor, orang itu merupakan petani yang kebunnya dijaga oleh Allah SWT dari kekeringan karena dirinya ikhlas dan istiqomah mengeluarkan hasil taninya sesuai yang diperintahkan Allah. Kala itu, tanah-tanah di sekitar wilayah tersebut terbengkalai karena kekeringan.

Saking keringnya, sudah hampir satu setengah tahun hujan tidak kunjung turun. Sementara itu, lelaki yang dari awal mendengar suara awan tersebut juga merupakan seorang petani.

Ia heran, mengapa harus kebun si Fulan yang disirami dan bukan kebunnya? Padahal semua petani di wilayah itu membutuhkan siraman air. Setelah menemui orang yang kebunnya disirami, ia lantas bertanya,

“Wahai hamba Allah, siapa namamu?”

Orang tersebut menjawab, “Fulan,”

Kemudian, si pemilik kebun yang lahannya baru saja disirami air hujan balik bertanya, “Wahai hamba Allah, kenapa engkau bertanya tentang namaku?”

“Sebetulnya saya mendengar suara dari langit yang kemudian memerintahkan awan agar memberikan air kepadamu. Apa yang kamu lakukan pada kebun ini hingga mendapat keistimewaan luar biasa seperti itu?” tanyanya dengan rasa penasaran.

Pemilik kebun lalu menjawab, “karena kamu berkata seperti itu, maka aku melihat hasil kebunku. Sepertiganya aku sedekahkan kepada para fakir miskin, sepertiganya lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiganya lagi aku kembalikan kepada kebun ini yang mempunyai haknya, yaitu dengan merawatnya dari hasil yang sudah aku peroleh ini,”

Karena sedekahnya yang membagi hasil kebun dengan adil, pemilik kebun itu mendapat kemuliaan dari Allah SWT hingga awan pun diperintahkan untuk menyirami kebunnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah menjaga orang-orang shaleh yang adil dan suka bersedekah.

Dari kisah di atas, dapat kita ketahui bahwa sedekah bukanlah hal yang sia-sia. Justru sebaliknya, Allah membalas hamba-Nya yang rajin bersedekah dengan hal yang ganjaran yang luar biasa.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Dujanah yang Membuat Rasulullah Menangis



Jakarta

Rasulullah SAW memiliki sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dengan budi pekerti yang luhur. Banyak dari sahabat Beliau SAW yang memiliki kisah yang diriwayatkan dan diturunkan hingga masa kini, salah satunya Abu Dujanah.

Nama salah satu sahabat yang memiliki kisah luar biasa adalah Abu Dujanah. Abu Dujanah sendiri terkenal sebagai seorang yang pemberani di medan perang dan selalu menjaga keluarganya dari suatu hal yang haram.

Kisah Abu Dujanah sendiri salah satunya diceritakan dalam Buku Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas VI karya Yusak Burhanudin dan Muhammad Najib, Abu Dujanah, sahabat yang membuat Rasulullah menangis memiliki kisah yang menarik.


Kisah Abu Dujanah

Pada zaman kenabian Rasulullah, ada salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Abu Dujanah. la seorang sahabat yang ketika selesai salat selalu langsung pulang dengan tidak membaca doa.

Ia pun tidak menunggu agar Rasulullah selesai membaca doa beliau terlebih dahulu. Perilaku Abu Dujanah ini pun kemudian dirasakan oleh Rasulullah SAW, sehingga suatu saat beliau bertanya ke Abu Dujanah.

“Apa yang menyebabkan engkau berperilaku demikian wahai Abu Dujanah?”

Abu Dujanah selanjutnya menjawab, “Ini karena ada pohon kurma yang menjuntai di pekaranganku. Pohon ini bukan milikku. Jadi aku buru-buru membersihkannya dan kurma itu aku serahkan kepada pemiliknya, yakni tetanggaku (dikenal sebagai seorang yang munafik)”.

“Aku melakukannya tanpa sedikit pun diberi dan mengharapkan imbalan. Hal ini aku lakukan juga agar anak-anakku tidak memakan kurma tersebut karena kurma itu tidak halal untukku dan keluargaku. Tetapi, suatu ketika aku jumpai anakku sudah lebih dahulu bangun dan kulihat dia tengah memakan kurma tersebut. Oleh karena itu, aku datangi anakku dan lekas aku masukkan tanganku agar bisa mengeluarkan kurma tersebut dari mulutnya. Namun saking kencangnya, anakku menangis berlinangan air mata. Begitulah ya Rasulullah,” jelas Abu Dujanah.

Mendengar kisah itu Rasulullah SAW seketika menangis dan kemudian beliau memanggil tokoh munafik tersebut. Kepadanya, Rasulullah berkata,

“Maukah engkau jika aku minta kamu menjual pohon kurma yang kamu miliki itu? Aku akan membelinya dengan sepuluh kali lipat dari harga pohon kurma itu. Pohonnya terbuat dari batu zamrud berwarna biru. Disirami dengan emas merah, tangkainya dari mutiara putih. Di situ tersedia bidadari yang cantik jelita sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada.”

Begitu tawaran Nabi SAW Namun, lelaki yang dikenal sebagai seorang penjual yang munafik ini lantas menjawab dengan tegas,

“Aku tak pernah berdagang dengan memakai sistem jatuh tempo. Aku tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan dan tidak pakai janji.”

Di tengah proses itu, tiba-tiba Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu datang. Ia lantas berkata,

“Ya sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat dari harga kurma yang paling bagus di kota ini.”

Mendengar ini, orang munafik tersebut berkata kegirangan, “Baiklah, aku jual pohon ini.”

Setelah sepakat, Abu Bakar segera menyerahkan pohon kurma kepada Abu Dujanah pada saat itu juga. Rasulullah SAW kemudian bersabda,

“Hai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu.” Mendengar sabda Nabi ini, Sayidina Abu Bakar merespon dengan bergembira bukan main. Begitu pula Abu Dujanah.

Si munafik berlalu. la berjalan mendatangi istrinya. Lalu mengisahkan kisah yang baru saja terjadi pada hari itu.

“Aku telah mendapat untung banyak hari ini. Aku mendapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus. Padahal kurma yang aku jual itu tidaklah berpindah dan masih tetap di pekarangan rumahku. Aku tetap yang akan memakannya lebih dahulu lalu buah-buahnya pun tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kita itu sedikit pun.”

Pada malam harinya, saat si munafik tidur terjadi peristiwa yang tak diduga. Pohon kurma yang berada di pekarangan rumah si munafik itu tiba-tiba berpindah posisi.

Pohon kurma itu kini berdiri di atas tanah milik Abu Dujanah. Seolah-olah tak pernah sekalipun tampak pohon tersebut tumbuh di atas tanah si munafik dan berpindah dengan bantuan tangan manusia ke pekarangan Abu Dujanah.

Tempat asal pohon itu tumbuh diketahui rata dengan tanah seperti tanah rata yang normal. Saat terbangun pagi harinya, si munafik keheranan.

Kisah ini dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kita, yakni betapa hati-hatinya sahabat Rasulullah, Abu Dujanah, menjaga diri dan keluarganya dari makanan yang haram. Sesulit dan seberat apa pun hidup, seseorang tidak boleh memakan makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya dari barang haram.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com