Tag Archives: kisah haji

Perjuangan Uwais Al Qarni Gendong Ibunya dari Yaman untuk Naik Haji



Jakarta

Uwais al Qarni adalah seorang pemuda fakir yang berbakti kepada sang ibu. Ia menggendong ibunya dari Yaman ke Makkah agar bisa menunaikan haji.

Merujuk dari buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Uwais al Qarni memiliki nama lengkap Uwais bin Amir bin Jaza’ bin Malik al Qarni. Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga besar Qarn, salah satu silsilah keluarga dari bani Murad di Yaman.

Ia memang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW tetapi tidak pernah bertemu dengan beliau. Mengenai Uwais al Qarni, Rasulullah SAW pernah berkata kepada Umar bin Khattab RA,


“Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama dengan pasukan bantuan dari bani Murad, kemudian dari Qarn. Ia adalah orang yang menderita penyakit kusta, lalu penyakitnya sembuh, kecuali tempat seluas mata uang dirham. Ia adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Jika kamu bisa memintanya untuk memohon ampunan untukmu, maka lakukanlah!”

Ketika banyak pembebasan wilayah baru pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA, Uwais datang bersama dengan beberapa orang dari Yaman dalam rangka untuk berjihad di jalan Allah SWT. Ketika Umar bin Khattab RA bertemu dengan Uwais ia memintanya untuk memohon ampunan kepada Allah SWT lalu Uwais pun melakukannya.

Mengenai Uwais, salah seorang warga Kufah pernah berkata, “Ia hidup sangat sederhana dan bersahaja. Ia suka bergabung bersama kami dalam halaqah dzikir. Jika ia berdzikir menyebut nama Allah, maka dzikirnya tersebut sangat merasuk dalam hati sanubari kami.”

Ia hidup di Kufah di tengah-tengah komunitas awam. Tidak seorang pun di antara mereka yang mengenal identitasnya. Bahkan, terkadang di antara mereka tidak ada yang mengenal Uwais al Qarni. Bahkan di antara mereka ada yang suka mengejeknya, hingga akhirnya Umar bin Khattab RA menceritakan tentang jati diri Uwais.

Setelah itu, identitas Uwais diketahui oleh publik luas, kemudian ia pergi meninggalkan Kufah, dan bergabung bersama Ali bin Abi Thalib RA dalam Perang Shiffin.

Mengenai kebaktian Uwais al-Qarni ini dijelaskan pula dalam buku Unconditional Marriage karya Mega Anindyawati.

Uwais Al-Qarni adalah seorang pemuda dari Yaman yang begitu taat kepada ibunya. Semua permintaan sang ibu yang buta dan lumpuh selalu ia penuhi. Namun, ada satu keinginan ibunya yang belum bisa dikabulkan yaitu ingin pergi haji ke Makkah.

Uwais yang merupakan seorang pemuda miskin tidak memiliki biaya untuk memberangkatkan haji ibunya. Sehingga setiap hari ia menggendong seekor kambing yang ia gembala untuk naik turun bukit. Orang-orang banyak yang mengira bahwa ia sudah gila.

Ternyata, saat musim haji tiba Uwais yang sudah lebih kuat dan berotot menggendong ibunya untuk pergi ke Makkah. Ia menempuh jarak ratusan kilometer selama berhari-hari demi baktinya kepada sang ibu. Hal itulah yang membuat Uwais al Qarni menjadi seseorang yang tidak terkenal di bumi namun terkenal di langit.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haji Mabrur yang Tidak Pernah Berangkat ke Makkah



Jakarta

Setiap muslim pasti menginginkan untuk dapat melaksanakan ibadah haji dan mendapatkan predikat haji mabrur. Namun, ada sebuah kisah tentang seseorang yang disebut sebagai haji mabrur, meskipun dia tidak pernah pergi ke Baitullah, Makkah. Bagaimanakah kisahnya?

Kisah ini diambil dari buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim karya Ahmad Saifudin dan Mahdi dan laman resmi Kementerian Agama (Kemenag).

Kisah Seorang Haji Mabrur Tanpa ke Baitullah

Kisah ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Mubarak yang menceritakan bahwa setelah menyelesaikan ibadah haji, ia beristirahat dan tidur. Selama tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.


Salah satu malaikat bertanya kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang datang untuk menunaikan ibadah haji tahun ini?”

“Mereka berjumlah enam ratus ribu jemaah,” jawab malaikat yang ditanya.

Kemudian, malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima?”

“Tidak ada satu pun dari mereka,” jawab malaikat yang pertama.

Percakapan ini membuat Abdullah bin Al Mubarak merasa gemetar. Sambil menangis dia berkata, “Apakah semua orang ini datang dari tempat yang jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?”

Dengan gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat tersebut.

“Namun ada seseorang yang meskipun tidak melaksanakan haji, amal perbuatannya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni. Karena dia, seluruh jemaah haji diterima oleh Allah.”

“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” tanya malaikat pertama.

“Itu adalah kehendak Allah.”

“Siapakah orang tersebut?” tanya malaikat pertama lagi.

“Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu di Kota Damaskus.”

Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah bin Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah kembali dari ibadah haji, dia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan pergi langsung ke Damaskus, Suriah. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.

Ketika dia tiba di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.

“Iya, dia ada di tepi kota,” jawab salah satu tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya

Setelah sampai di tempat tersebut, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. “Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?” tanya Abdullah bin Al Mubarak.

“Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda layak menerima pahala haji yang diterima oleh Allah, padahal Anda tidak pergi menunaikan haji.”

“Saya sendiri tidak tahu, tuan.”

“Ceritakanlah kehidupan Anda selama ini.”

Ali bin Al Muwaffaq kemudian menceritakan, “Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saya sudah siap untuk berangkat haji.”

“Tapi Anda tidak pergi menunaikan haji.”

“Benar.”

“Apa yang terjadi?”

“Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak pergi, dia sangat menginginkan aroma makanan yang lezat.”

“Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan yang enak ini?”

“Iya, sayang.”

“Cobalah cari siapa yang memasak, aroma masakannya sangat harum. Tolong mintakan sedikit untukku,” pintanya.

“Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya memberitahunya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya,” ungkap Ali bin Al Muwaffaq.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, “Tidak boleh, tuan.”

“Apa pun harganya, saya akan membelinya.”

“Makanan ini tidak dijual, tuan,” katanya sambil meneteskan air mata.

“Mengapa?” tanya Ali.

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, “Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan.”

Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal baginya, tapi haram bagiku, padahal kita semua muslim?” Oleh karena itu, dia mendesaknya lagi, “Kenapa?”

“Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan,” janda itu menjelaskan sambil menangis.

Mendengar cerita itu, Ali bin Al Muwaffaq menangis dan pulang ke rumah. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada istrinya dan ia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

“Kami membawa makanan untukmu.”

Ali bin Al Muwaffaq memberikan 350 dirham, uang yang dikumpulkannya untuk pergi menunaikan haji, kepada mereka. “Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi.”

Mendengar cerita itu, Abdullah bin Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Ali bin Al Muwaffaq sehingga Allah SWT menerima amalan hajinya meskipun dia tidak mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jusuf Hamka Naik Haji, Kelaparan di Pesawat



Jakarta

Tiga tahun setelah mengucap syahadat sebagai tanda menjadi muslim, Jusuf Hamka alias Babah Alun menunaikan ibadah haji pada 1984. Ia menuangkan pengetahuan dan pengalamannya hampir 40 tahun lalu itu ke dalam buku bertajuk, “Babah Alun Naik Haji”.

Membaca buku setebal 136 halaman yang diterbitkan Gramedia pada 2020 ini kita akan mendapat gambaran apa dan bagaimana perubahan ibadah haji ke Tanah Suci sejak 1984.

Babah Alun Naik Haji karya HM Jusuf Hamka, terbitan Gramedia, 2020Babah Alun Naik Haji karya HM Jusuf Hamka, terbitan Gramedia, 2020 Foto: Sudrajat / detikcom

Dalam hal layanan selama penerbangan di pesawat, misalnya. Dalam buku ini Jusuf Hamka menyebut menumpang pesawat Boeing 747 berkapasitas 500 orang. Dengan jumlah penumpang sebanyak itu ditambah pemahaman yang terbatas terkait penggunaan toilet membuat ‘kekacauan’ tersendiri. Belum lagi kebiasaan membuang sampah sembarangan di dalam kabin membuat kesibukan para pramugara dan pramugari bertambah. Akibatnya, tugas mereka untuk membagikan jatah makan siang untuk para penumpang terlambat.


“Sudah terlambat dari waktunya, eh kotak-kotak yang disajikan ternyata cuma berisi kue-kue ringan,” keluh Jusuf Hamka.

Tak cuma dia yang mengeluh, banyak penumpang lain pun demikian. Beberapa di antaranya malah ada yang mengecam pelayanan Garuda seolah tega menyengsarakan perut penumpang.

“Maklum, perut orang Indonesia walau dijejali kue segerobak, kalau belum terisi nasi namanya belum makan,” imbuhnya.

Ada seorang ibu yang menyesalkan kenapa suguhan beberapa potong lemper yang disajikan saat di Asrama Haji Pondok Gede tak dibawa serta. Tapi si suami buru-buru mengingatkan bahwa apa yang terjadi boleh jadi merupakan bagian dari ujian ibadah haji.

Beruntung ketika petang tiba, jatah makan siang akhirnya tiba. Menunya, sejumput nasi berikut lauk-pauk, sayuran, sambal, kerpuk, dan buah. “Kami pun sigap menyantap. Suasana suram di pesawat selama berjam-jam berubah menjadi cerah. Alhamdulillah,” tulis Jusuf Hamka.

Selepas makan siang di petang itu, azan magrib berkumandang di dalam kabin pesawat. Mereka semua bertayamum. “Ini pengalaman baru, mendengarkan suara azan dengan khusuk dan tawakal di pesawat. “Jiwa relijus saya terasa bangkit. Kami menjamak salat magrib dan isya,” imbuhnya.

Dibandingkan dengan peristiwa 40 tahun lalu, Jusuf Hamka menilai pelayanan ibadah haji saat ini pasti jauh lebih baik. “Saya pribadi cuma sekali haji kala itu saja. Selebihnya saya beberapa kali umrah,” kata Jusuf Hamka kepada detikhikmah.

(dvs/jat)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jusuf Hamka Naik Haji, Ada Razia Ajaran Sesat di Buku Manasik



Jakarta

Situasi di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, pada pukul 20.00 benar-benar hiruk-pikuk. Ribuan Jemaah yang akan menunaikan ibadah haji dari berbagai negara tumplek-blek di sana. Jusuf Hamka dan sekitar 500 jemaah asal Indonesia termasuk di antaranya, dan harus menunggu masuk pintu imigrasi sejam kemudian.

Rasa lelah mereka harus menghadapi ujian tambahan oleh sikap petugas keimigrasian yang bertele-tele. Mereka tak cuma kurang sigap tapi juga terkadang malah asyik ngobrol kanan-kiri, seolah mengabaikan antrean ribuan Jemaah.

“Sungguh menjengkelkan. Tapi apakah ini termasuk ujian kesabaran, hanya Allah yang tahu,” tulis Jusuf Hamka dalam bukunya, “Babah Alun Naik Haji” yang diterbitkan Gramedia, 2020.


Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama rekan-rekan saat berhaji, 1982Jusuf Hamka alias Babah Alun bersama rekan-rekan saat berhaji, 1982 Foto: Repro buku “Babah Alun Naik Haji”

Persoalan selanjutnya, ia melanjutkan, tak kalah berat. Mereka harus mencari koper dan barang-barang jinjingan yang ternyata ditumpuk seperti gunung.

Kala itu, 1984, belum ada sistem ban berjalan yang memudahkan dan membuat koper lebih aman dari potensi rusak. Setelah koper ditemukan, bea cukai akan memeriksa dengan cara yang seolah mengacak-acak seenaknya. Tak cuma pakaian, buku manasik haji pun diteliti isinya.

“Mereka khawatir kalau ajaran sesat masuk ke Saudi melalui buku,” tulis Jusuf Hamka yang berhaji didampingi Mochtar Sum, aktor dan pengurus Himpunan Seni Budaya Indonesia.

Di bandara yang megah dan luas tersebut, kata Jusuf Hamka, terdapat keistimewaan bagi Jemaah haji Indonesia. Mereka bisa antre dengan tertib untuk mendapatkan satu boks makanan dari catering khusus.

Jusuf Hamka alias Babah Alun tak melulu berkisah tentang kualitas manajemen pelayanan haji yang belum baik. Dalam buku setebal 136 halaman ini juga memaparkan kondisi dari tempat-tempat yang dikunjunginya. Dia melengkapinya dengan sejarah tempat-tempat tersebut, seperti soal pengalamannya beribadah di Masjid Nabawi di Madinah dan mengunjungi Makam Nabi.

Tak hanya menguraikan pengalaman spiritualnya, Babah Alun juga menjelaskan tentang sejarah Masjid Nabawi yang didirikan oleh Nabi Muhammad.

Idealnya, buku ini dibaca sebelum berangkat haji atau umrah. Dengan pengetahuan tentang tempat-tempat yang dikunjungi dan sejarahnya, niscaya ibadah akan menjadi lebih khusyuk.

(dvs/jat)



Sumber : www.detik.com

Bermata Sipit, Askar Izinkan Jusuf Hamka Jenguk Makam Nabi dan Sahabat



Jakarta

“Hanya mereka yang tidak berperasaan bersusah payah menunaikan ibadah haji ke Mekah tapi tega tidak berziarah ke makam kekasihnya di Madinah.” Kalimat Buya Hamka itu terus terngiang di telinga Babah Alun alias Jusuf Hamka saat berhaji pada 1984. Atau tiga tahun setelah dia mengucap syahadat.

Kekasih yang dimaksud Buya Hamka adalah Rasulullah Muhammad SAW. Hal itu tertuang dalam buku “Babah Alun Naik Haji” terbitan Gramedia, 2020.

Begitu tiba di Madinah, dia pun bergegas menuju Masjid Nabawi. Sahabatnya, Mochtar Sum (aktor dan pengurus Himpunan Seni Budaya Indonesia), menjadi pembimbing pribadinya.


Masjid ini didirikan Nabi Muhammad SAW di atas lahan yang sebagian milik dua anak yatim, Sahal dan Suhail putra Amr bin Amarah. Keduanya sejak kecil diasuh oleh Mu’adz bin Afra. Sebagian lahan merupakan area pekuburan yang telah rusak dan terbengkalai yang diwakafkan oleh Asád bin Zurarah.

Nabi berpatungan dengan sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli lahan seharga sepuluh dinar. Saat pembangunan, turut meletakan batu pertama masjid adalah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Masjid terbuat dari batu tanah setinggi setengah meter. Tiang-tiangnya dari batang pohon kurma, atapnya dari pelepah daun kurma. Lantainya ditutup dengan batu-batu halus. Dengan luas 70×60 meter, masjid yang semula menghadap Baitul Maqdis di Yerusalem itu diberi tiga pintu. Satu di belakang, dan dua di samping.

Di bagian sisi masjid itulah dibangun kediaman Nabi Muhammad, yang kemudian di sana pula dimakamkan.
Kompleks pemakaman Nabi disebut Maqshurah, berada di sebelah timur. Di sana juga ada dua makam sahabat Nabi, yakni Abu Bakar Ashiddiq dan Umar bin Khattab.

Haji Jusuf Hamka, 28 Oktober 1982Haji Jusuf Hamka, 28 Oktober 1982 Foto: Repro buku “Babah Alun Naik Haji”

Butuh perjuangan tersendiri untuk bisa mendekati makam. Ribuan orang berdesakan, beberapa di antaranya bersikap berlebihan. Penjagaan oleh Askar (tentara) sangat ketat, dan akan langsung mengusir mereka yang meratap-ratap di muka makam. Toh begitu ada saja Jemaah yang mencuri-curi kesempatan untuk sekedar mencium pagar atau menggosokan sorban ke dinding makam.

Selesai berdoa, Jusuf memohon kepada Askar agar diizinkan lebih dekat ke makam. Tapi si Askar malah menanggapinya dengan bertanya, “Shin (maksudnya, kamu orang Cina)?” Jusuf tegas menggeleng. Ketika menyebut dirinya orang Indonesia, si Askar yang tak percaya. “Your eyes man, your eyes, like Chinese or Japanese,” ujarnya dengan kedua tangan menarik pelipis sehingga matanya yang liar menjadi sipit.

Jusuf dan Mochtar Sum pun tertawa melihat tingkah si Askar. “Terserah Anda saja, mau bilang Cina atau Jepang. Kami datang sebagai muslim, tamu Allah. Tak ada yang berbeda di antara kita,” balas Jusuf disambut pelukan erat si Askar.

“Mabrur ya akhir! Mabrur, insya Allah,” ujarnya kemudian dan membolehkan Jusuf menjenguk ketiga makam dengan leluasa. “Tapi jangan lama-lama,” ujarnya mengingatkan.

Dari tahun ke tahun, zaman ke zaman, Masjid Nabawi diperbaiki, diperluas, diperindah. Sekarang luas keseluruhan sekitar 16.326 m2. Tiangnya berjumlah 232 buah dengan tinggi lima meter. Pintunya terbuat dari kayu dengan ukiran tembaga kuning model Arab. Di keempat sudut bangunan tegak menjulang empat menara dan sebuah kubah hijau yang menambah cantiknya masjid ini.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Cucu Abu Bakar yang Wafat saat Haji dengan Jalan Kaki


Jakarta

Ketika zaman Rasulullah SAW, menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki merupakan hal yang lazim. Hal ini juga yang dilakukan oleh cucu sahabat Nabi SAW yaitu Al-Qasim bin Muhammad.

Mengutip buku Mendidik Anak Mendidik Anak dengan Al Quran Sejak Janin karya Bunda Fathi, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah cucu Abu Bakar RA sekaligus keponakan Ummul Mukminin Aisyah RA. Ayahnya ialah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. kemudian ibunya merupakan putri Yazdajird, raja Persia yang terakhir.

Al-Qasim dikaruniai ketakwaan dan ilmu. Ia tumbuh menjadi seorang yang cendekiawan.


Al-Qasim menjadi salah satu di antara tujuh fuqaha (ahli hukum Islam) Madinah, yang mewarisi sifat, akhlak, ilmu, bentuk fisik, keteguhan iman, dan kezuhudan kakeknya, Abu Bakar RA. Pada zamannya, ia adalah orang yang paling utama dalam ilmu, paling tajam kecerdasan otaknya, dan paling terpuji sifatnya.

Kisah Al-Qasim yang Wafat ketika Haji dengan Jalan Kaki

Dikisahkan dalam buku 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah karya Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny, pada saat itu Al-Qasim yang berusia sekitar 72 tahun menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki.

Meskipun terdengar sudah tua renta, tetapi ia masih memiliki kondisi yang terlihat kuat. Hal itu terbukti ia masih mampu menunaikan ibadah haji menuju Makkah dan Madinah dengan berjalan kaki.

Namun, ketika dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, ajal pun menjemput Al-Qasim. Ketika merasa ajalnya sudah dekat, Al-Qasim berpesan kepada putranya, “Apabila aku mati kafanilah aku dengan pakaian yang biasa dipakai untuk salat, gamisku, kainku dan serbanku,” ucapnya.

Al-Qasim mengatakan kepada anaknya bahwa ia ingin dikafani seperti kakeknya, Abu Bakar RA dengan pakaian yang biasa dipakai salat sehari-hari. “Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar Ash-Shiddiq,” katanya.

Tidak hanya itu, Al-Qasim meminta kepada keluarganya agar tidak meratapi kepergiannya dengan berlebihan ketika proses pemakamannya. Ia meminta anaknya untuk segera meninggalkan makam setelah proses pemakaman selesai.

“Maka tutup makamku dengan tanah dan segera kembalilah kepada keluarga. Jangan engkau berdiri di atas makamku seraya berkata, ayahku begini dan begitu karena aku bukanlah apa-apa,” itulah pesan terakhir Qasim kepada anaknya.

Sebelum wafat saat melaksanakan ibadah haji, Al-Qasim sempat terlibat pertikaian dengan seseorang ketika membagi-bagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Ia berusaha membagikan harta sedekah dengan adil.

Namun, ada seorang laki-laki yang tidak terima dengan bagiannya. Karena merasa tidak puas, orang tersebut langsung menghampiri Al-Qasim di masjid.

Laki-laki itu langsung datang di hadapan Al-Qasim yang tengah salat. Seolah tidak menghiraukan Al-Qasim yang sedang salat, laki-laki itu langsung membahas persoalan harta sedekah. Ia menuduh Al-Qasim tidak adil dalam membagikan harta sedekah.

Putra Al-Qasim yang tak terima mendengarnya tuduhan tersebut langsung membentak balik laki-laki tersebut, “Demi Allah! Engkau telah melemparkan tuduhan kepada orang yang tidak sepeser pun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan darinya walaupun sebutir kurma.”

Setelah Al-Qasim menyelesaikan salatnya, ia kemudian menoleh kepada putranya dan berkata, “Wahai putraku mulai hari ini janganlah engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui.”

Bukannya memarahi orang yang mengkritiknya, Al-Qasim malah menegur anaknya sendiri. Meski begitu, putranya memang benar kalau tuduhan itu salah, tetapi Al-Qasim hanya ingin mendidik putranya agar tidak mencampuri urusan orang lain yang ia tidak ketahui.

Wallahu a’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com