Tag Archives: kisah

Kisah Cinta Khadijah dan Rasulullah, Paling Romantis dalam Islam


Jakarta

Kisah cinta Sayyidah Khadijah RA dengan Nabi Muhammad SAW tidak kalah romantis dari Romeo dan Juliet. Kecintaan Rasulullah SAW kepada istri pertamanya itu sangat dalam, hingga saat kepergian Khadijah RA membuat dirinya bersedih dan menjadi Amu al-Huzn (tahun kesedihan) bagi Rasulullah SAW.

Muhammad Ibnu Saad dalam bukunya The Women of Madina, Khadijah binti Khuwailid merupakan istri pertama Rasulullah SAW dan merupakan satu-satunya istrinya yang tidak ia poligami. Sebelum menikahi Rasulullah SAW, Khadijah RA telah berhasil membangun bisnisnya sendiri dan menjadi wanita sukses.

Khadijah RA dikenal sebagai perempuan yang lahir dari keluarga yang terhormat dan mulia. Masyarakat pada zaman Jahiliyah bahkan memberinya julukan at-Thahirah, yaitu seorang wanita yang suci.


Dalam beberapa riwayat menyebutkan, Khadijah RA berstatus janda sebelum menikah dengan Rasulullah SAW. Beliau dikatakan sudah menikah dua kali dan kedua suaminya meninggal dunia.

Awal Pertemuan Khadijah RA dan Rasulullah SAW

Dalam Kitab Ar-Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury menjelaskan, Sayyidah Khadijah RA adalah seorang wanita yang pandai berbisnis dalam masyarakat patriarki sehingga beliau membutuhkan laki-laki untuk membantunya. Lalu, Khadijah RA mencari pemuda yang jujur dan mampu menjalankan bisnisnya.

Pada masa itu, Rasulullah SAW yang belum diangkat menjadi nabi mendatangi Khadijah RA untuk melamar posisi tersebut. Tanpa ragu, Khadijah RA memberikan posisi itu kepada Rasulullah SAW.

Beliau memerintahkan Rasulullah SAW agar menjajakan barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani seorang pelayan bernama Maisarah. Beliau juga dibekali modal yang cukup besar dibanding pekerja lain.

Di negeri Syam, Rasulullah SAW mulai menjual barang-barang dagangannya. Keuntungan yang diperoleh Rasulullah SAW berlipat ganda, sehingga Khadijah RA memberi bonus dari hasil penjualan tersebut.

Pernikahan Khadijah RA dengan Rasulullah SAW

Berdasarkan buku Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Kisah Istri-Istri Nabi Muhammad SAW karya Herwanti Subekti dan Sutarman, saat menikah Khadijah RA berusia 40 tahun sedangkan Rasulullah SAW berusia 25 tahun. Tapi perbedaan usia yang sangat jauh ini tidak menghalangi cinta mereka.

Sepulang dari negeri Syam, Khadijah RA bertanya kepada pelayannya mengenai sikap Rasulullah SAW. Maisarah bercerita bahwa Rasulullah SAW adalah pria paling baik dan lembut yang pernah ia temui.

Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga sangat mumpuni dalam menjalankan tugasnya sebagai mitra dagang. Khadijah RA pun mulai terkesan dan menaruh perhatian pada Rasulullah SAW.

Kemudian, Khadijah RA mengutarakan keinginannya untuk menikah dengan Rasulullah SAW. Beliau mengutus sahabatnya, Nafisah, untuk menyampaikan berita ini ke Rasulullah SAW.

Setelah melalui berbagai perbincangan, Rasulullah SAW bersedia menerima tawaran Nafisah untuk menikahi Khadijah RA. Kabar gembira ini disampaikan kepada kedua pihak keluarga.

Rasulullah SAW dan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib RA bersiap untuk mendatangi rumah Khuwailid bin Asad RA selaku wali dari Khadijah RA. Dua bulan setelah perjalanan bisnis pertamanya, Rasulullah SAW resmi menikah dengan Sayyidah Khadijah RA.

Kehidupan Pernikahan Khadijah RA dengan Rasulullah SAW

Selain menjadi istri pertama, Sayyidah Khadijah RA adalah satu-satunya istri Rasulullah SAW yang tidak dipoligami. Pernikahan mereka dikaruniai dua orang putra dan empat orang putri. Mereka adalah Abdullah, Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.

Saat Rasulullah SAW menerima wahyu dan diangkat menjadi nabi, Khadijah RA menjadi orang pertama yang percaya kepada Allah SWT dan rasul beserta ajaran-ajarannya. Khadijah RA juga senantiasa menemani Rasulullah SAW saat berdakwah.

Hubungan suami-istri Sayyidah Khadijah RA dengan Rasulullah SAW berlangsung selama kurang lebih 25 tahun. Ketika Rasulullah SAW berusia 50 tahun, Khadijah RA wafat pada usianya yang menginjak 65 tahun.

Mengutip buku Pengantin Al-Quran karya Quraish Shihab, meskipun Khadijah RA telah meninggal, cinta Rasulullah SAW kepadanya tidak pernah hilang. Rasulullah SAW bahkan pernah menangis ketika tak sengaja melihat kalung yang biasa digunakan oleh almarhum istrinya.

Sungguh indah ketika dua insan memadu cinta, melewati susah senangnya kehidupan bersama, dalam bahtera rumah tangga. Kisah kesetiaan keduanya dapat menjadi inspirasi bagi pasangan suami istri.

(hnh/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah SAW Menerima Wahyu Pertamanya



Jakarta

Rasulullah SAW merupakan nabi sekaligus rasul penutup yang terakhir diutus oleh Allah SWT. Beliau lahir di Makkah pada 12 Rabiul Awwal tahun Gajah yang mana bertepatan dengan 570 M.

Ayah Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan ibunya Aminah binti Wahab. Abdullah adalah seorang saudagar yang sering bepergian ke Negeri Syam.

Sayangnya, Abdullah wafat ketika usia kandungan Aminah 2 bulan. Akhirnya, Nabi Muhammad lahir tanpa sosok ayah.


Setelah lahir pun, ia diserahkan pada Halimah Sa’diah untuk disusui. Zaman dahulu, masyarakat Arab memiliki kebiasaan menyusui anak-anak mereka kepada perempuan desa seperti mengutip dari arsip detikHikmah.

Adapun, mengenai wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW ialah di Gua Hira yang berupa surat Al Alaq ayat 1-5. Dalam pendapat terkuatnya, momen penerimaan wahyu itu terjadi pada 17 Ramadan 610 M.

Dalam buku 1001 Fakta Dahsyat Mukjizat Kota Makkah oleh Asima Nur Salsabila, Gua Hira juga disebut sebagai Jabal Nur. Letaknya di sebelah timur laut Masjidil Haram yang berada di jalur jalan Thaif (Sael), sekitar 4 km dari Masjidil Haram.

Pada bukit tersebut, Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu: “Iqra” yang artinya bacalah. Kisah turunnya wahyu pertama Rasulullah diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA, ia berkata:

“Turunnya wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW dalam bentuk mimpi ketika waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak saat itu hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri (khalwat) ke Gua Hira. Dan di situ beliau beribadah selama beberapa malam, dan tidak pulang ke rumah istrinya Khadijah RA. Kemudian beliau membawa perbekalan yang cukup. Setelah perbekalannya habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Lalu beliau kembali ke Gua Hira, pada suatu ketika datang kepadanya kebenaran (wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira.

Malaikat Jibril datang kepadanya, lalu berkata: “Bacalah,”

Nabi menjawab: “Aku tidak bisa membaca,”

Nabi menceritakan maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan di suruh membaca. Malaikat Jibril berkata: “Bacalah,”

Aku menjawab: “Aku tidak bisa membaca,”

Lalu aku dilepaskannya dan di suruh membaca. Malaikat Jibril berkata: “Bacalah,”

Aku menjawab: “Aku tidak bisa membaca,”

Maka aku ditarik dan dipeluknya lagi untuk ketiga kali. Kemudian aku dilepaskannya sambil dia berkata:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya,” (QS Al-Alaq 1-5)

Disebutkan dalam buku Fikih Sirah karya Said Ramadhan Al-Buthy bahwa gambaran ketakutan yang dialami oleh Rasulullah SAW saat itu semakin tebal karena beliau mengira yang menemuinya di dalam Gua Hira adalah sebangsa Jin.

(aeb/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Keberanian Nabi Ibrahim AS Menghancurkan Berhala Raja Namrud



Jakarta

Nabi Ibrahim termasuk ke dalam 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Ia tergolong sebagai rasul ulul azmi, sebuah gelar yang Allah berikan bagi rasul-Nya dengan kedudukan tinggi.

Ibnu Katsir melalui Qashash Al-Anbiyaa mengatakan bahwa nama Nabi Ibrahim AS adalah Ibrahim bin Tarikh. Beliau berasal dari keluarga Nahur, Sarugh, Raghu, Faligh, ‘Abir, Syalih, Arfakhsyadz, Sam, dan Nuh. Nama ibunya adalah Buna binti Karbita bin Kartsi yang berasal dari Bani Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.

Disebutkan dalam buku Ibrahim Alaihissalam susunan Abu Haafizh Abdurrahmad, Nabi Ibrahim AS adalah ayahanda dari para nabi atau dijuluki Abul Anbiya. Putra Ibrahim juga merupakan seorang nabi yaitu Ismail AS.


Sebagai seorang rasul, tugas Nabi Ibrahim AS sangatlah berat. Ia dilahirkan di tengah masyarakat jahiliyah penyembah berhala dan tinggal pada masa Kerajaan Babilonia yang dikuasai oleh Raja Namrud.

Berkaitan dengan itu, ada kisah menarik mengenai Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala menggunakan kapaknya. Diceritakan dalam buku Kisah 25 Nabi dan Rasul For Kids oleh Yudho Pramuko, suatu hari Raja Namrud dan pengikutnya pergi keluar dari kampung halaman.

Mereka hendak melakukan upacara keagamaan, sehingga suasana gedung tempat berhala menjadi sepi. Kesempatan itu lantas digunakan oleh Ibrahim untuk menghancurkan berhala-berhala yang ada di dalamnya.

Sebelumnya, Ibrahim AS memang sudah berencana untuk menghancurkan para berhala. Hal ini dimaksudkan agar mereka berhenti menyembah berhala dan beriman kepada Allah SWT.

Akhirnya, Nabi Ibrahim AS memasuki gedung tempat berhala-berhala itu bersemayam. Dengan penuh semangat, Ibrahim AS menghancurkan satu persatu hingga menyisakan satu berhala yang paling besar.

Setelahnya, Nabi Ibrahim AS meletakkan kapaknya di leher berhala besar itu dalam keadaan menggantung. Ia lalu pulang kembali pulang ke rumahnya.

Ketika Raja Namrud dan para pengikutnya kembali, mereka sangat terkejut melihat berhala-berhala yang mereka sembah justru hancur. Mengetahui Ibrahim yang menghancurkan berhala tersebut, Raja Namrud kemudian memerintahkan para prajurit untuk menangkapnya.

Setelah berhasil ditangkap, Nabi Ibrahim dibawa ke pengadilan raja yang disaksikan oleh masyarakat umum. Sidang itu terbuka dengan tujuan rakyat mengetahui jalannya persidangan pelaku penghancuran berhala-berhala yang mereka sembah.

Raja Namrud bertanya, “Hai Ibrahim! Apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu?”

“Bukan,” jawab Nabi Ibrahim cepat.

Raja Namrud yang geram lantas mendesak Ibrahim, “Jangan mungkir, hai Ibrahim! Akui saja perbuatanmu itu,”

“Tidak!” ujar Nabi Ibrahim sambil bersikukuh.

Jawaban itu justru memancing kemarahan sang raja. Akhirnya, Ibrahim AS melanjutkan ucapannya, “Baiklah, kita sama-sama berakal. Persoalan saat ini adalah mencari pelaku penghancuran berhala itu. Siapa yang telah memperlakukan berhala-berhala seperti itu. Sebetulnya, buktinya sudah ada. Sekarang di hadapan kita ada satu patung besar dan di lehernya tergantung kapak besar. Mungkin dialah pelakunya!”

Ucapan Nabi Ibrahim AS semakin membuat Raja Namrud marah. Ia berkata, “Hai Ibrahim! Kau banyak akal. Kau pikir aku dan rakyatku sebodoh itu? Mana mungkin patung bisa aku ajak bicara dan aku tanyakan siapa pelakunya. Kau terlalu bodoh, hai Ibrahim!”

“Hai Raja Namrud! Rupanya yang bodoh bukan aku, tapi engkau dan seluruh rakyatmu. Buktinya, patung yang tidak berdaya apa–apa, tidak bisa bicara, tidak bisa dimintai pertolongan, dan tidak bisa mendatangkan kebaikan dan kejelekan itu, engkau sembah dan engkau puja,” kata Ibrahim AS menanggapi Raja Namrud.

Ia lalu melanjutkan, “Kalau engkau dan rakyatmu sudah tahu bahwa patung dan berhala yang kalian sembah itu tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa dimintai pertolongan, mengapa kalian sembah dan kalian puja? Di hadapannya, kalian berdoa. Kalian meminta kebaikan dan keselamatan. Sudah jelas, patung-patung yang kalian sembah itu tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari bahaya kehancuran,”

Mendengar jawaban Nabi Ibrahim AS, Raja Namrud dan para pengikutnya merasa terpojok. Ucapan beliau memang masuk akal, sehingga mereka tidak bisa berkata-bata.

Namun, akhirnya secara serentak mereka menangkap Nabi Ibrahim AS dan hendak membakarnya. Seketika itu juga, Raja Namrud menyuruh rakyatnya mencari kayu bakar.

Atas izin Allah, ketika api dinyalakan justru Nabi Ibrahim AS tidak merasa panas. Sebaliknya, api tersebut malah menyejukkan Ibrahim. Hal ini termasuk ke dalam salah satu mukjizat yang Allah SWT berikan kepada beliau.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Jahal, Musuh Islam yang Tamak



Jakarta

Nama Abu Jahal Al Makhzumi telah terpahat dalam lembaran sejarah Islam. Julukan “Abu Jahal,” yang artinya “bapak kebodohan,” digunakan untuk menggambarkan masa ketika masyarakat Arab berada dalam keadaan yang kurang mengenal dan tidak beriman kepada Allah SWT, sebagian besar dari mereka menyembah berhala.

Dikutip dari Buku Get Smart Pendidikan Agama Islam tulisan Udin Wahyudin, dijelaskan bahwa Abu Jahal Al Makhzumi adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di suku Quraisy, suatu kelompok masyarakat terkemuka di Makkah pada masa itu. Namun, reputasinya lebih banyak dikenal karena sikapnya yang sangat menentang dan memusuhi Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya dikenal sebagai seorang yang menentang ajaran Islam, Abu Jahal Al Makhzumi juga memiliki sifat sombong. Sikap angkuhnya dan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari yang lain, semakin memperkuat image Abu Jahal sebagai tokoh yang dzalim.


Perang Badar menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, di mana para pemeluk agama Islam berhasil mempertahankan diri dan memenangkan pertempuran melawan para penentang. Dalam perang Badar, Abu Jahal ikut terlibat di dalamnya.

Meskipun Abu Jahal Al Makhzumi terus berusaha menghalangi dakwah Islam, sejarah membuktikan bahwa ajaran Islam terus berkembang pesat.

Kisah Abu Jahal

Dikutip dari Buku Dahsyatnya Tobat: 42 Kisah Orang yang Bertobat dikisahkan terdapat seorang raja di Makkah yang merasa berterimakasih kepada Rasulullah SAW karena telah membuatnya beriman. Singkat cerita, Rasulullah SAW membuatnya beriman dengan mukjizat membelah bulan dan menyatukannya kembali.

Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan penghargaan kepada Rasulullah SAW, raja ini kemudian memberikan hadiah yang sangat melimpah kepada Rasulullah SAW.

Dia menyiapkan lima ekor unta yang membawa emas, perak, dan kain untuk dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, serta beberapa budak untuk diberikan kepadanya. Namun, ketika rombongan pengantar hadiah mendekati kota Makkah, Abu Jahal menghadang mereka dan bertanya untuk siapa barang-barang tersebut.

Salah seorang dari rombongan menjawab bahwa semua barang ini ditujukan kepada Rasulullah, namun Abu Jahal menolak dan ingin merebutnya. Akhirnya, terjadi pertengkaran antara rombongan pengantar hadiah dan Abu Jahal beserta kawanannya.

Keributan ini baru mereda setelah warga Makkah dan paman-paman Rasulullah turun tangan. Para budak yang dihadiahkan kepada Rasulullah menyatakan bahwa harta tersebut memang untuk Nabi Muhammad.

Namun, Abu Jahal masih bersikeras bahwa hadiah itu sebenarnya ditujukan untuk dirinya, mencoba mengklaimnya sebagai miliknya. Rasulullah SAW yang juga hadir berbicara kepada warga Makkah, menanyakan apakah mereka masih mempercayainya. Mereka menjawab bahwa mereka masih percaya kepadanya.

Lalu, Rasulullah mengusulkan agar masalah ini diselesaikan dengan cara menanyakan langsung kepada unta-unta yang membawa hadiah. Jika mereka adalah hadiah untuk Nabi Muhammad, maka unta-unta itu akan memberikan jawaban yang jujur.

Namun, Abu Jahal menolak usulan itu dan meminta agar masalah ini ditunda hingga esok hari. Rasulullah setuju dengan usulan tersebut.

Keesokan harinya, Abu Jahal pergi ke kuil berhala dan berdoa dengan penuh kesungguhan kepada berhala-berhalanya sampai pagi hari, berharap untuk mendapatkan dukungan dari berhala-berhalanya.

Namun, ketika matahari terbit, seluruh penduduk Makkah berkumpul di tempat hadiah-hadiah dari sang raja. Rasulullah juga hadir di sana. Abu Jahal tampil dengan penuh percaya diri dan meminta unta-unta itu untuk berbicara atas nama berhala-berhalanya, yaitu Latta, Uzza, dan Manat.

Tidak ada satu pun dari unta-unta itu yang memberikan jawaban seperti yang diminta oleh Abu Jahal. Bahkan, salah satu unta secara luar biasa berbicara dengan suara yang nyaring dan dapat dipahami oleh semua orang yang hadir. Ia mengatakan bahwa mereka adalah hadiah dari sang raja yakni Habib bin Malik untuk Muhammad SAW.

Setelah itu, unta tersebut dibawa oleh Rasulullah ke Gunung Abu Qubais. Semua isi muatan emas, perak, dan kain dielu-elukan menjadi satu tumpukan. Rasulullah menyatakan kepada tumpukan hadiah yang berharga itu, “Jadilah kalian tanah.” Lalu, dengan ajaib, emas, perak, dan kain yang berasal dari hadiah Habib bin Malik berubah menjadi tanah, dan keajaiban itu masih menjadi kenyataan sampai saat ini.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Hunain, Saat Pasukan Muslim Nyaris Menelan Kekalahan



Jakarta

Perang Hunain menjadi salah satu bentuk teguran dan peringatan bagi kaum muslimin. Pertempuran itu terjadi setelah peristiwa Fathu Makkah, tepatnya pada bulan Syawal tahun ke-8 Hijriyah.

Menurut buku Manhaj Dakwah Rasulullah karya Prof Dr Muhammad Amahzun, pada awal perang berlangsung kaum muslimin sempat mengalami kekalahan. Mereka lari dan mundur seribu langkah ke belakang tiap kali berhadapan dengan kaum musyrikin yang bersenjata lengkap dengan strategi jitu.

Namun, atas pertolongan Allah SWT maka kaum muslimin berhasil mengalahkan mereka. Dijelaskan dalam buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Perang Hunain juga disebut kebalikan dari Perang Uhud.


Pada Perang Uhud, kaum muslimin sempat mengalami kemenangan dan diakhiri dengan kekalahan. Sebaliknya, di Perang Hunain justru banyak pasukan muslim yang terbunuh karena kepanikan dan keraguan mereka sendiri.

Peristiwa Perang Hunain diabadikan dalam surat At Taubah ayat 25-27 yang berbunyi,

لَقَدْ نَصَرَكُمْ اللّٰهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمْ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (٢٥) ثُمَّ أَنزَلَ اللّٰهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (٢٦) ثُمَّ يَتُوبُ اللّٰهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللّٰهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٧)

Artinya, “Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir. Setelah itu Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Allah maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS At Taubah: 25-27)

Ketika perang berlangsung, Nabi Muhammad SAW mengirim pasukan sebanyak 12.000 orang. Dari 12.000 itu, sebanyak 2.000 tentara merupakan kaum Quraisy yang baru masuk Islam setelah peristiwa Fathu Makkah.

Rasulullah SAW menunjuk Khalid bin Walid menjadi pimpinan pasukan garis depan yang bertugas sebagai pasukan pengintai. Sayangnya, Khalid gagal menjalankan tugas, hampir seluruh prajuritnya melarikan diri.

Perang Hunain sempat kacau karena pasukan muslim termakan sifat sombong. Mereka merasa tidak akan kalah karena berjumlah banyak ketimbang musuhnya, karenanya banyak pasukan yang lari tunggang langgang dari medan perang.

Walau begitu, Perang Hunain diakhiri dengan kemenangan pasukan muslim. Hal ini juga disebutkan oleh Anas bin Malik dalam sebuah riwayat.

Anas bin Malik berkata,

“Pada Perang Hunain, musuh Islam terdiri atas Hawazin, Ghathfan, dan suku lainnya. Mereka datang dengan membawa harta dan budak-budak mereka. Sedangkan Rasulullah SAW membawa 10.000 pasukan ditambah dengan orang-orang Makkah yang baru masuk Islam. Pada perang itu, para sahabat melarikan diri meninggalkan Rasulullah SAW sendirian. Akhirnya beliau menengok ke arah kanan, dan berkata, ‘Wahai muslimin Anshar!’ Mereka menjawab, ‘Bergembiralah, wahai Rasulullah, kami selalu bersamamu,’ Kemudian, beliau menengok ke arah kiri, dan berkata, ‘Wahai muslimin Anshar!’ Yang dipanggil menjawab, ‘Bergembiralah, wahai Rasulullah, kami selalu bersamamu,’ Lalu, beliau turun dari bagal putihnya, dan berkata, ‘Aku ini hamba Allah dan Rasul-Nya,” (HR Bukhari)

Situasi saat itu terbilang genting. Nabi Muhammad SAW bersama sekelompok muslimin yang salah satunya Ali bin Abi Thalib tetap bertahan di barisan depan. Lalu, beliau berteriak memanggil para pasukannya yang lari kocar-kacir itu, “Akulah Rasulullah, mari bergabung bersamaku!”

Kemudian, Nabi SAW memerintahkan pamannya yang bernama Abbas untuk menyeru kaum muslimin, karena suaranya lantang. Maka, Abbas berseru, “Wahai kelompok Anshar, wahai mereka yang berbaiat di bawah pohon! Rasulullah bersama orang-orang beriman yang benar sedang bertempur dengan dahsyat,”

Demikianlah, kaum muslimin menepis rasa takut yang menghantui mereka. Setelahnya, prajurit muslim berkumpul mengelilingi Nabi SAW yang berhasil mengubah kekalahan mereka menjadi kemenangan.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib ketika Melihat Nabi SAW Salat



Jakarta

Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu sahabat sekaligus sepupu Rasulullah SAW. Ia termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun yang berarti orang-orang pertama masuk Islam.

Mengutip buku Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib susunan Dr Musthafa Murad, nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia lahir 33 tahun setelah kelahiran Nabi SAW, tepatnya pada 13 Rajab.

Ali sendiri memeluk agama Islam saat usianya masih anak-anak. Menukil dari buku Biografi Ali bin Abi Thalib oleh Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi, diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, suatu ketika setelah Khadijah memeluk Islam, Ali bin Abi Thalib menghampiri Rasulullah SAW, ia mendapati keduanya tengah melaksanakan salat.


Lalu Ali bertanya, “Ini apa, wahai Muhammad?”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih dengan kehendak-Nya, dengannya Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan untuk menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza,”

Ali berkata kepada Nabi SAW, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada Abu Thalib,”

Namun, Nabi Muhammad SAW tidak ingin Ali menceritakan rahasianya kepada siapa pun, termasuk ayahnya, sebelum Allah SWT memerintahkan untuk menceritakan hal itu. Rasulullah lalu berkata kepada Ali,

“Wahai Ali, jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini,”

Ali pun berdiam selama satu malam. Atas kuasa dan izin Allah SWT, ia mendapat hidayah Islam. Hingga pada suatu pagi, Ali menghadap kepada Rasulullah dan berkata,

“Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”

Rasulullah bersabda, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari Tuhan Latta dan Uzza, serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah,”

Ali pun melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ada yang menyebut hal ini merupakan pengorbanan dan rasa terima kasih Ali RA atas jasa Nabi SAW yang telah mengasuh serta mendidiknya.

Menukil dari buku Barisan Pemuda Pembela Nabi SAW karya Imron Mustofa, ada perbedaan pendapat terkait usia berapa Ali bin Abi Thalib masuk Islam. Ada yang menyebut 7 tahun, 8 tahun, dan 10 tahun. Namun, dari perbedaan pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Ali memeluk Islam ketika usianya masih belia.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Saat Surga dan Neraka Berdebat soal Siapa Penghuninya



Jakarta

Surga dan neraka diyakini sebagai tempat tinggal yang kekal setelah berakhirnya kehidupan dunia. Diceritakan dalam sebuah riwayat, dua tempat akhir tersebut saling berdebat tentang siapa penghuninya.

Riwayat tentang perdebatan antara surga dan neraka ini dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Zhilaalul Jannah. Dikatakan, neraka akan dimasuki oleh orang-orang yang perkasa, sedangkan surga akan dihuni oleh orang-orang yang lemah.

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,


“Surga dan neraka saling berbangga diri. Neraka berkata, ‘Aku diberi prioritas sebagai tempat orang-orang yang sombong dan orang-orang perkasa yang bengis.’ Surga berkata, ‘Aku hanya akan dimasuki orang-orang yang lemah, orang-orang yang tidak cinta dunia, dan orang-orang yang baik.’

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada surga, ‘Sesungguhnya kamu hai surga, adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Ku yang Aku kehendaki.’

Lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada neraka, ‘Sesungguhnya kamu hai neraka, adalah siksa-Ku yang denganmu Aku menyiksa hamba-hamba-Ku yang Aku kehendaki. Dan masing-masing di antaramu akan memiliki penghuni.’

Neraka tidak akan pernah penuh hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menginjakkan kaki-Nya. Setelah itu, neraka akan berkata, ‘Cukup! Cukup! Cukup!’ Itu berarti neraka menjadi penuh sesak dengan injakan tersebut, hingga para penghuninya saling berhimpitan. Allah tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya. Selain itu, Allah juga akan menciptakan surga untuk para penghuninya.”

Imam an-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyebut riwayat tentang perdebatan antara surga dan neraka tersebut dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dari Nabi SAW, dengan redaksi berikut,

اخْتَحتَ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتِ النَّارُ : فِي الجارُونَ وَالْمُنكَرُونَ، وَقَالَتِ الْحَةٌ فِي ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَمَسَاكِينُهُم فَقَضَى اللَّهُ بَيْنَهُمَا: إِنَّكِ الْجَنَّةُ رحْمَنِي أَرْحَمُ بِكَ مَنْ أَشَاءُ وَإِنَّكَ النَّارُ عَذَابِي أُعَذِّبُ بك مَنْ أَشَاءُ وَلَكِلَيْكُمَا عَلَيَّ مِلْوهَا

Artinya: “Surga dan neraka itu berbantah-bantahan. Neraka berkata, ‘Di dalamku ada orang-orang yang sewenang-wenang dan orang-orang yang congkak.’ Surga berkata, ‘Di dalamku ada manusia yang lemah dan kaum fakir miskin.’ Lalu Allah memutuskan perdebatan mereka itu dan berfirman, ‘Engkau, surga, adalah rahmat-Ku. Denganmu Aku merahmati siapa saja yang Kukehendaki. Kau, neraka, adalah azab-Ku. Denganmu Aku menyiksa siapa saja yang Aku hendaki. Aku-lah yang menentukan isi bagi kalian berdua.” (HR Muslim. Imam At-Tirmidzi turut mengeluarkan hadits ini dalam Sunan-nya dan ia menyebutnya hasan shahih)

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin, yang dimaksud dengan orang-orang lemah dan miskin dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang fitrah mereka selamat dari makar atau intrik, tidak bertindak kejahatan, dan tidak berpura-pura lemah dan miskin untuk menarik simpati manusia terhadap mereka.

Dijelaskan pula bahwasanya Allah SWT membiarkan manusia bebas memilih amal apa yang disukainya. Dia telah mengetahui bahwa ada kelompok yang akan memilih jalan kejahatan dan nasib akhirnya menjadi penghuni neraka, serta ada kelompok yang memilih jalan kebaikan sehingga kelak berakhir di surga.

Wallahu a’lam.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Putri Rasulullah



Jakarta

Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah berlangsung pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriyah. Kisah cinta keduanya hingga kini dikenang dan menjadi inspirasi banyak orang.

Sosok Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ia juga termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama kali memeluk Islam.

Ketika berusia 6 tahun, Ali pernah menjadi anak asuh Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau bersama sang istri membimbing Ali di rumahnya dan mengasuhnya dengan penuh kasih layaknya anak sendiri.


Perasaan Terpendam Ali terhadap Fatimah

Dikisahkan dalam buku Perempuan-Perempuan Surga oleh Imron Mustofa, tatkala Fatimah lahir, Ali bin Abi Thalib menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama putri Rasulullah SAW dan Siti Khadijah di rumah yang menjadi tempat tinggalnya.

Ali bin Abi Thalib telah mengetahui kemuliaan Fatimah sejak kecil. Ia sering memperhatikan Fatimah hingga diam-diam mengaguminya. Meskipun demikian, Ali bin Abi Thalib tetap berusaha menjaga hati dan pandangannya. Bahkan, Fatimah pun tidak tahu bahwa Ali menyimpan rasa yang luar biasa untuknya.

Ketika keduanya beranjak dewasa, Ali bin Abi Thalib berniat menghadap Rasulullah SAW untuk melamar sang putri yang selama ini dikaguminya. Akan tetapi, terbesit sedikit keraguan di dalam hatinya sebab menyadari ia hanyalah pemuda miskin dan tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada Fatimah.

Di tengah kembimbangannya, terdengar kabar bahwa Abu Bakar RA sudah lebih dulu mengajukan lamaran kepada Rasulullah SAW untuk Fatimah. Kemudian disusul dengan Umar bin Khattab RA yang juga datang untuk melamar putri beliau.

Sungguh berat perasaannya mengetahui Abu Bakar dan Umar yang terlihat lebih pantas mendampingi Fatimah. Namun, sungguh tidak ada yang mengetahui rencana Allah SWT.Di tengah perasaannya yang sempat layu, tak disangka lamaran Abu Bakar dan Umar bin Khattab ditolak secara halus oleh Rasulullah SAW.

Di tengah kegalauannya, salah seorang teman Ali dari kalangan Anshar berkata, “Mengapa kamu tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, kamulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

Ali bin Abi Thalib menyadari, secara ekonomi tidak ada yang menjanjikan pada dirinya. Ia hanya memiliki satu set baju besi beserta persediaan tepung untuk makanannya. Namun, ia ingin mencoba menjemput cintanya kepada Fatimah.

Lamaran Ali kepada Fatimah Putri Rasulullah

Melansir dari buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, Ali bin Abi Thalib akhirnya memberanikan diri menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah RA.

Setibanya di rumah Rasulullah SAW, Ali duduk di samping beliau dan tertunduk diam. Nabi SAW lalu bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Dengan suara bergetar dan tubuh berkeringat, Ali menjawabnya, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Setelah mengatakan perasaannya, seluruh beban yang selama ini menghimpit perasaannya terasa lega. Rasulullah SAW tidak terkejut mendengar pernyataan Ali, sebab beliau mengetahui Ali mencintai putrinya.

Sebagai ayah yang bijaksana, Rasulullah SAW menanyakan dahulu kepada putri tercinta atas ketersediaannya menerima lamaran tersebut. Setelah Fatimah menyetujui lamaran Ali, Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Ali, apakah kamu memiliki sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin?”

Kala itu, Ali bin Abi Thalib merasa malu karena dirinya tidak memiliki apapun. Terlebih sejak kecil ia dihidupi oleh Rasulullah SAW.

Ali kemudian menjawab, “Demi Allah, Anda sendiri mengetahui keadaanku. Tidak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak memiliki apapun selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta.”

Mendengar jawaban Ali, Rasulullah SAW berkata, “Tentang pedangmu, kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT, dan untamu kamu perlukan untuk mengambil air bagi keluargamu serta untuk perjalanan jauh.

Karena itu, aku akan menikahkan kamu dengan mas kawin sebuah baju besi. Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dulu menikahkan kamu di langit sebelum aku menikahkanmu di bumi ini.”

Pernikahan Ali dan Fatimah dengan Mahar Baju Besi

Pada akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah berbekal baju besi yang dijualnya seharga 400 dirham. Ia menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW sebagai mahar pernikahannya.

Setelah itu, Rasulullah SAW membagi uang tersebut menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali untuk membiayai jamuan makan bagi para tamu yang menghadiri pernikahan.

Nabi SAW menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib seraya membacakan ijab kabul, “Wahai Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku menikahimu dengan Fatimah. Sungguh, aku telah menikahkanmu dengannya dengan mas kawin 400 dirham.”

Lantas Ali menjawabnya, “Aku ridha dan puas hati, wahai Rasulullah.”

Selesai mengucapkan akad, Ali bin Abi Thalib langsung sujud syukur kepada Allah SWT. Pernikahannya dengan Fatimah melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Kedua putranya bernama Hasan dan Husein, sementara kedua putrinya bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Saat Rasulullah SAW Terkena Sihir, Ini Doa yang Beliau Panjatkan


Jakarta

Praktik sihir sudah terjadi sejak zaman nabi. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah terkena sihir dari orang Yahudi bani Zuraiq.

Disebutkan dalam Ash-sihr karya Mutawalli Sya’rawi, orang Yahudi yang mengirim sihir kepada Rasulullah SAW bernama Labid bin Al A’sham. Hal ini diketahui dari riwayat yang diceritakan oleh Aisyah RA.

Kisah saat Rasulullah SAW Terkena Sihir

Aisyah RA menceritakan, Rasulullah SAW pernah disihir oleh seorang Yahudi bani Zuraiq yang bernama Labid bin Al ‘Asham. Sehingga, kata Aisyah RA, Rasulullah SAW mengkhayalkan suatu perbuatan padahal beliau tidak mengerjakannya.


Pada suatu waktu, Rasulullah SAW terus berdoa kepada Allah SWT. Beliau kemudian berkata kepada Aisyah RA, “Hai, Aisyah, aku merasa Allah telah menjawab apa yang aku tanyakan. Aku didatangi dua orang laki-laki. Yang seorang duduk di dekat kepalaku dan yang seorang lainnya duduk di sisi kakiku.

Orang yang duduk di dekat kepalaku berkata kepada yang duduk di sisi kakiku, atau sebaliknya, yang duduk di sisi kakiku kepada yang di dekat kepalaku, ‘Apa penyakit orang ini?’ Orang itu menjawab, ‘Ia terkena sihir.’ Ia bertanya, ‘Siapa yang menyihirnya?’ Orang itu menjawab, ‘Labid bin Al A’sham.’ Ia bertanya, ‘Di mana diletakkan?’ Dia menjawab, ‘Di sumur Zarwan.'”

Selanjutnya Aisyah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW datang ke sumur itu bersama beberapa sahabatnya. Kemudian beliau bersabda, “Hai, Aisyah, demi Allah, seolah-olah warna airnya seperti warna air daun inai dan seakan-akan kurmanya seperti kepala-kepala setan.”

Aisyah RA lalu berkata, “Ya Rasulullah apakah tidak sebaiknya engkau bakar saja?”

Rasulullah SAW menjawab, “Tidak. Sesungguhnya Allah sudah menyembuhkan itu. Aku sudah memerintahkannya supaya ditanam saja.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dikatakan dalam buku Kumpulan Kisah dan Doa Para Nabi yang disusun oleh Abi Abbari, benda yang digunakan sebagai media menyihir Rasulullah SAW tersebut adalah sebuah boneka yang dibuat menyerupai Rasulullah SAW dengan menggunakan rambut dan ramuan lainnya. Boneka tersebut ditusuk dengan sebelas jarum.

Allah SWT menurunkan surah Al-Falaq sebagai doa penyembuhan untuk Rasulullah SAW. Baginda Nabi SAW diperintahkan untuk membacanya dan meniupkan ke dalam segelas air putih. Kemudian, air putih tersebut dioleskan ke seluruh tubuh Rasulullah SAW. Dengan keistimewaan surah Al-Falaq dan anugerah Allah SWT, Rasulullah SAW sembuh dari sihir yang ditujukan kepada beliau.

Doa agar Terhindar dari Sihir

Selain surah Al Falaq dan An Nas, ada juga doa yang bisa dibaca agar terhindar dari sihir. Diambil dari buku Do’a & Wirid: Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah tulisan Yazid bin Abdul Qadir Jawas, berikut doanya.

لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

Arab Latin: Laa ilaha illallah wahdahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit, wa huwa ‘ala syai’in qadir

Artinya: “Tidak ada Tuhan Selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik Allah segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,”

Dijelaskan dalam buku tersebut, doa itu dapat dibaca 100 kali setiap hari, kapan pun, terutama setelah bangun tidur, sebelum tidur dan selepas salat wajib maupun sunnah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq RA merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun. Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi.

Menukil dari Tarikh Khulafa tulisan Ibrahim Al-Quraibi, Abu Bakar RA disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam. Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra dari Asma’ binti Abu Bakar yang menuturkan,

“Ayahku masuk Islam, sebagai muslim pertama. Dan demi Allah aku tidak mengingat tentang ayahku kecuali ia telah memeluk agama ini,”


Sepeninggalan Rasulullah SAW, Abu Bakar RA ditunjuk sebagai khalifah. Menurut buku Pengantar Studi Islam susunan Shofiyun Nahidloh, S Ag, M H I, Abu Bakar RA menerima jabatan sebagai khalifah pada saat Islam dalam keadaan krisis dan gawat.

Kala itu, muncul berbagai perpecahan, adanya para nabi palsu, serta terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah berdasarkan keputusan bersama balai Tsaqidah Bani Sa’idah.

Keputusan terkait pemilihan Abu Bakar RA sebagai khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

  • Dekat dengan Rasulullah SAW baik dari ilmunya maupun persahabatannya
  • Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah SAW
  • Dipercaya oleh rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As-Siddiq atau orang yang sangat dipercaya
  • Seorang yang dermawan
  • Abu Bakar RA merupakan sahabat yang diperintah oleh Rasulullah SAW untuk menjadi imam salat jamaah
  • Abu Bakar RA ialah seseorang yang pertama memeluk agama Islam

Abu Bakar RA menjabat sebagai khalifah pada tahun 632-634 Masehi. Usai wafatnya Rasulullah SAW, pengangkatan Abu Bakar RA dilakukan dengan persiaran Umar bin Khattab RA dalam sebuah pertemuan di Safiqah melalui musyawarah yang disetujui oleh para tokoh kabilah dan suku lain.

Pada saat itu, pemilihan Abu Bakar RA sebagai khalifah terkesan mendadak karena kondisi dan situasi cukup genting bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan. Di sela-sela ketegangan itu, kaum Anshar menyarankan harus ada dua kelompok untuk menjadi khalifah.

Hal tersebut berarti sama seperti perpecahan kesatuan Islam, akhirnya dengan segala risiko, Abu Bakar RA tampil ke depan dan berkata, “Saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih di antara kedua orang ini,”

Suasana di Safiqah masih belum kondusif, kemudian Umar bin Khattab RA berbicara untuk mendukung Abu Bakar RA dan mengangkat setia kepadanya. Umar bin Khattab RA tidak memerlukan waktu yang lama untuk meyakinkan kaum Anshar dan yang lain bahwa Abu Bakar RA adalah orang yang tepat di Madinah untuk menjadi penerus setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Lalu, musyawarah secara bulat menentukan bahwa Abu Bakar RA-lah yang akan menjadi khalifah dengan gelar Amirul Mu’minin. Pertemuan tersebut merupakan sebuah implementasi dari sebuah politik dengan semangat musyawarah.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com