Tag Archives: larangan

Larangan Membunuh Katak dalam Islam dan Hukum Halal Haramnya


Jakarta

Larangan membunuh katak dalam Islam ada dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. Beliau melarang membunuh katak, walaupun digunakan sebagai obat. Berikut penjelasannya.

Katak merupakan hewan amfibi yang bisa hidup di air maupun di darat. Hewan ini banyak ditemukan di daerah lembab, contohnya di negara Indonesia.

Masyarakat kerap kali mengonsumsi hewan ini sebagai bahan makanan. Hal ini pun menuai pro kontra khususnya di kalangan muslimin.


Mengenai halal haram mengonsumsinya terdapat berbagai pendapat yang berbeda. Sebagian ulama menghalalkan dagingnya, sedangkan sebagian lainnya mengharamkannya.

Apalagi terdapat sebuah hadits yang melarang membunuh katak dalam Islam. lantas, bagaimana larangan tersebut?

Larangan Membunuh Katak dalam Islam

Terdapat sebuah hadits yang menunjukkan larangan membunuh katak dalam Islam. Dinukil dari buku Halalkah Makanan Kita?: Bagaimana Mencarinya di Pasaran karya Saadan Man dan Zainal Abidin Yahya, hadits tersebut berbunyi:

أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا

Artinya: “Sesungguhnya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah SAW tentang katak yang dibuat obat, lalu baginda melarang membunuhnya.” (HR Abu Daud dan An-Nasai)

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang untuk membunuh katak walaupun tujuannya adalah sebagai obat.

Sebagai tambahan, dijelaskan dalam buku Peran Negara dalam Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk Halal karya Zulham, ada beberapa hewan lain yang dilarang untuk dibunuh.

Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hud-hud, burung suradi, dan katak. Dalil mengenai hal ini adalah hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas, ia berkata,

“Nabi SAW melarang membunuh empat macam binatang, yaitu semut, lebah, burung hud-hud, dan burung suradi.” (Abu Daud dan Ibnu Majah)

Mengenai larangan membunuh katak, muncullah berbagai pendapat yang menjelaskan tentang halal atau haram dalam hal mengonsumsi hewan tersebut. Apa saja pendapat itu? Benarkah katak halal dimakan?

Hukum Memakan Katak

Menurut sumber sebelumnya, Saadan Man dan Zainal Abidin Yahya menuliskan, jumhur ulama sepakat bahwa hewan katak tidak boleh dikonsumsi. Dengan kata lain, haram hukumnya untuk memakan katak.

Hal ini tentu saja didasarkan pada hadits larangan membunuh katak dalam Islam yang sudah dijelaskan di atas. Hadits itu menunjukkan bahwa memakan katak itu haram, sebab ada larangan untuk membunuhnya.

Sementara itu, Zulham menuliskan, menurut Khan atas hewan yang dilarang membunuhnya, jika pengharamannya karena hewan tersebut mengandung khabais, maka pengharamannya karena demikian dan bukan karena dilarang membunuhnya.

Tapi menurut Imam Syafi’i, pengharaman hewan salah satunya adalah karena adanya larangan membunuh hewan tersebut.

Di lain sisi, ulama mazhab Maliki berpendapat berbeda dari ulama mahzab Syafi’i. Mereka memutuskan, katak termasuk dalam daftar hewan yang halal dimakan karena tidak terdapat nas atau larangan yang jelas tentang pengharamannya.

Mereka menganggap benda kotor atau jijik yang diharamkan adalah setiap perkara yang dinaskan oleh syarak saja. Jadi apabila perkara yang tidak dinaskan atau ditetapkan sebagai benda haram oleh syarak, namun dianggap menjijikkan bagi manusia, hal itu tidaklah membuat makanan atau hewan menjadi haram.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Larangan Salat setelah Subuh dan Ashar, Ini Haditsnya


Jakarta

Mendirikan salat setelah salat Subuh dan Ashar termasuk perkara yang dilarang. Larangan ini bersifat mutlak.

Larangan salat setelah Subuh dan Ashar disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri sebagaimana dihimpun dalam kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang diterjemahkan Irfan Maulana Hakim. Diriwayatkan, Abu Said Al Khudri mendengar Rasulullah SAW bersabda,

لا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ


Artinya: “Tidak ada salat (sunnah) setelah salat Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada salat (sunnah) setelah salat Ashar hingga matahari terbenam. (HR Bukhari dan Muslim. Dalam redaksi Muslim dikatakan, “Tidak ada salat (sunnah) setelah salat Fajar.”)

Menurut penjelasan dalam At-Tadzhib fi Adillati Matnil Ghaya wa Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al Husain Al-Ashfahani yang diterjemahkan Abu Firly Bassam Taqiy, maksud “tidak ada salat” dalam hadits tersebut adalah dilarang salat atau dengan kata lain redaksinya, “Janganlah kalian salat pada waktu-waktu itu.”

Muhyidin Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyyah yang diterjemahkan Harun Nur Rosyid, waktu setelah salat Subuh hingga matahari adalah waktu keluarnya manusia dari alam barzakh menuju alam tampak, sedangkan salat hanya ditentukan waktunya di alam indrawi. Begitu pula dengan waktu setelah salat Ashar.

Disebutkan dalam Mausu’ah Masa’Il Al Jumhur Fi Al-Fiqh Al-Islamiy karya Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i yang diterjemahkan Masturi Irham dan Asmui Taman, jumhur ulama berpendapat bahwa larangan salat sunnah setelah salat Ashar bersifat mutlak tanpa batasan matahari berwarna kuning atau terbenamnya.

Sementara itu, minoritas ulama, seperti dikatakan Ibnu Mundzir yang menukil pendapat para ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in, ada yang memperbolehkan salat sunnah setelah Ashar. Dalam pendapat ini, waktu larangan hanya terbatas pada terbit matahari dan terbenamnya.

Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i juga menyampaikan pendapatnya terkait larangan salat setelah salat Subuh dan Ashar. Dijelaskan dalam buku Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i karya Asmaji Muchtar, Imam Syafi’i mengatakan larangan tersebut berlaku bagi salat yang tidak seharusnya dilakukan pada saat itu.

“Barang siapa mengetahui bahwa Rasulullah SAW melarang salat sesudah Subuh dan Ashar, sebagaimana beliau melarang salat saat matahari terbit dan terbenam, hendaklah ia mengetahui apa yang kami katakan bahwa larangan tersebut berlaku bagi salat yang tidak seharusnya dilakukan pada saat itu,” jelas Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i juga mengatakan adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Sebagian penduduk di daerahnya mengatakan salat jenazah setelah Ashar bisa dikerjakan selama matahari belum berubah dan sesudah salat Subuh sebelum matahari mendekati waktu terbitnya. Kelompok ini berpegang pada riwayat Ibnu Umar.

Imam Syafi’i menyampaikan ada tiga waktu yang diharamkan untuk salat. Di antaranya sejak mengerjakan salat Subuh sampai matahari terbit, sejak mengerjakan salat Ashar sampai matahari terbenam secara sempurna, dan ketika tengah hari sampai matahari tergelincir.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hadits Larangan Meminta Jabatan, Pemimpin Harus yang Dicintai dan Mencintai Rakyat



Jakarta

Larangan meminta jabatan dijelaskan dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. Seorang calon pemimpin dilarang untuk meminta jabatan karena hal tersebut dapat membawa pada kesesatan.

Menjabat posisi sebagai pemimpin bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan sosok yang cerdas, kuat, bijaksana serta adil agar dapat menjalankan tanggung jawabnya secara amanah.

Seorang pemimpin hendaknya memiliki rasa cinta kepada rakyatnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits,


“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim).

Hadits Larangan Meminta Jabatan

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang larangan meminta jabatan. Dari Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi SAW berkata,

عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Artinya: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR. Bukhari).

Dalam buku 100 Hadits Pilihan (Materi Hafalan, Kultum dan Ceramah Agama) karya Muhammad Yunan Putra, Lc., M.HI. hadits ini memiliki kandungan bahwa pemimpin adalah orang yang diberikan amanah dan menaungi kehidupan orang banyak, tidak hanya bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup masyarakatnya (kemakmuran) tapi juga melindungi dari segala yang membahayakan mereka. Seorang pemimpin adalah orang yang menempakan kaki kanannya berada di surga dan kaki kirinya berada di neraka; artinya sedikit saja ia tergelincir maka neraka adalah tempat mereka namun apabila mereka adil terhadap rakyatnya, maka surgalah tempatnya.

Maka dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kandungan, diantaranya:

1. Larangan meminta untuk ditunjuk atau dipilih menjadi seorang pemimpin, namun larangan ini tidak bersifat mutlak; artinya seseorang boleh saja meminta meminta namun dengan syarat hendaknya ia benar-benar mampu dalam segala hal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf ketika ia meminta untuk ditunjuk menjadi seorang bendahara negara.

2. Terdapat juga kisah seorang sahabat yang meminta jabatan, namun ditolak oleh Rasulullah SAW karena dianggap tidak mampu dan Rasulullah mengkhawatirkan akan menjerumuskannya dalam neraka.

Ia adalah Abu Dzar RA, seorang sahabat yang meminta jabatan kepada Nabi SAW, lalu nabi menolaknya:

يَا رسول الله، ألا تَسْتَعْمِلُني؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبي، ثُمَّ قَالَ: ((يَا أَبَا ذَرٍّ، إنَّكَ ضَعِيفٌ، وإنّها أمانةٌ، وَإنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلا مَنْ أخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا)). رواه مسلم.

Dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (Muslim)

3. Pemimpin yang diangkat bukan karena meminta maka akan ditolong oleh Allah SWT, berbeda dengan pemimpin yang ditunjuk karena meminta jabatan, mereka akan ditelantarkan oleh Allah SWT.

4. Ketika seorang pemimpin tidak mampu menunaikan janji yang mereka ucapkan, maka wajib membayar kafarat sumpah (kafaratul yamin). Kafarat sumpah ini bersifat umum, tidak hanya sumpah atau janji yang dilakukan oleh para pemimpin namun kepada siapa saja yang telah melakukan sumpah, janji atau bernazar terhadap sesuatu.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Al-Abbas pernah meminta kepada Rasulullah SAW jabatan sebagai gubernur Makkah dan Thaif atau Yaman, maka beliau bersabda kepadanya, “Hai paman, satu jiwa yang engkau selamatkan lebih baik dari kekuasaan yang tidak dapat engkau pertanggungjawabkan.”

Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abbas pamanku, dan Shafiyah bibiku, serta Fatimah binti Muhammad, aku sama sekali tidak dapat menjadi jaminan keselamatan bagi kalian di hadapan Allah nanti. Bagiku mal ibadahku dan bagi kalian amal ibadah kalian.”

Hadits Pemimpin yang Memberikan Jabatan pada Orang yang Tidak Amanah

Mengutip buku 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah karya Imam Ibnul Jauzi, jabatan bisa menjadi sebuah cobaan, jika pemimpin tidak amanah maka langit dan bumi serta gunung, niscaya semuanya enggan menerimaya dan merasa berat.

Yazid bin Jabir meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Amrah Al-Anshari, bahwa Umar bin Khattab mempekerjakan seorang lelaki dari Anshar untuk mengurus sedekah, kemudian dia melihatnya setelah beberapa hari berdiam dir rumah. Dia pun berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak pergi ke tempat kerjamu? Apakah engkau tidak tahu bahwa dengan bekerja engkau akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah?”

Dia menjawab, “Saya tidak tahu. Mengapa bisa seperti itu?”

Lalu dia melanjutkan, “Saya mendengar kabar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja pemimpin yang memegang suatu jabatan mengurus urusan manusia, niscaya dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan terikat tangannya ke lehernya. Kemudian dia dihentikan di jembatan neraka, dan jembatan itu pun bergerak keras sehingga seluruh bagian tubuh orang itu terlepas dari tempatnya. Kemudian bagian-bagian tubuhnya itu dikembalikan ke tempatnya. Dam, dia pun diperhitungkan perbuatannya. Jika dia berbuat baik, maka dia selamat dengan perbuatan baiknya itu. Sedangkan jika dia berbuat buruk, maka jembatan itu akan terbakar membakar dirinya, dan dia pun jatuh ke neraka yang dalamnya tujuh puluh tahun.”

Mendengar hadits ini, Umar RA yang memberikan jabatan kepada orang yang tidak amanah tersebut lantas berucap, “Duhai malangnya Umar, bukankah ia adalah orang yang memegang tampuk kekuasaan umat dengan segala tanggung jawabnya?”

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, “Seburuk-buruk pemimpin adalah al huthamah.” Dia adalah orang yang binasa.

Al-huthamah adalah pemimpin yang tegas dan keras terhadap pegawainya, namun memberikan kelonggaran bagi dirinya sendiri untuk bertindak korupsi.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Muslimah Wajib Tahu! Ini Larangan Berhias dalam Islam



Jakarta

Sebagai muslimah, ada beberapa hal yang wajib menjadi perhatian. Termasuk dalam hal berhias. Islam sangat memuliakan wanita sehingga ada aturan berhias yang harus diikuti untuk melindungi kaum Hawa.

Berhias tidaklah dilarang dalam Islam. Wanita ataupun laki-laki muslim diperbolehkan berhias asalkan tetap dalam koridor yang telah ditetapkan secara syariat.

M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, menjelaskan bahwa berhias adalah namuri manusiawi dan hal ini tidak menyalahi ajaran Islam. Berhias yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah.


Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 33, Allah SWT berfirman,

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Ayat ini menegaskan bahwa tabarruj al-jahiliyah adalah segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami istri.

Al-Qur’an memperbolakan wanita berjalan di hadapan lelaki, tetapi dingatkan agar cara berjalannya jangan sampai mengundang perhatian.

Larangan Berhias bagi Muslimah

Merangkum buku Inilah Wanita yang Paling Cepat Masuk Surga karya Ukasyah Habibu Ahmad, berikut beberapa perbuatan berhias yang tergolong tabarruj dan dilarang dalam Islam.

1. Mengenakan Pakaian Tipis

Pakaian berfungsi sebagai penutup aurat, perhiasan serta pelindung. Dalam Al-Qur’an tercatat perintah untuk mengenakan pakaian yang baik sebagaimana termaktub dalam surat Al-A’raf ayat 26,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَٰرِى سَوْءَٰتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Artinya: Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Wanita yang mengenakan pakaian tipis atau busana yang ketat dan merangsang termasuk dalam kategori tabarruj. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua golongan manusia yang menajdi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya. Pertama sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti manusia. Kedua, wanita yang membuka auratnya serta berpakaian tipis merangsang, berlenggak-lenggok dan berlagak. Mereka tidak dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal bau surga bisa tercium dari jarak sekian.” (HR Muslim)

2. Menggunakan Wewangian di Hadapan Laki-laki

Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah berzina.” (HR Nasai)

Menurut Ibnu Abi Najih, wanita yang keluar rumah dengan memakai wewangian termasuk kategori tabarruj jahiliyah. Oleh karena itu, seorang muslimah dilarang keluar rumah atau berada di antara laki-laki dengan mengenakan wewangian yang dominan baunya.

3. Berhias untuk Selain Suami

Seorang wanita muslim juga dilarang berhias untuk selain suaminya. Dalam hadits, Rasulullah SAW mengingatkan, “Seorang wanita dilarang berhias untuk selain suaminya.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai)

Islam mengajarkan agar seorang wanita tampil cantik di hadapan suaminya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW, sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan ketika sang suami melihatnya.

Diperbolehkan berpakaian seksi, wangi dan tampil cantik asalkan ditujukan untuk suaminya.

4. Memasang Tato

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Abu Dawud, Rasulullah SAW telah melaknat pemasang tato dan orang yang minta ditato. Dalam hadits lain yang diriwayatkan Thabrani, Rasulullah SAW juga melaknat wanita yang mentato dan minta ditato, serta mengikir gigi dan meminta dikikir giginya.

5. Merawat Rambut Tidak Sesuai Syariat

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Fatimah, adapun wanita yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya di dalam neraka adalah wanita yang di dunia tidak mau menutup rambutnya, dan ia lebih suka dilihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya.” (HR Bukhari)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menyambung rambut dan orang yang disambung rambutnya, serta orang yang membuat tahi lalat dan orang yang minta dibuatkan tahi lalat.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com