Tag Archives: lebaran 2023

Meneguhkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin



Jakarta

Umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 2023 atau Lebaran 2023 setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa. Idul Fitri 2023 jatuh pada tanggal Sabtu, 22 April 2023 dimana di hari itu, umat Islam dianjurkan untuk mendirikan sholat sunnah Idul Fitri.

Adapun dalil yang menjadi dasar anjuran pelaksanaan khutbah Idul Fitri adalah hadits Ibnu Abbas:

شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الخُطْبَةِ


Artinya, “Saya melaksanakan sholat id bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra. Semuanya melaksanakan sholat sebelum khutbah berlangsung.” (Muttafaq ‘alaih).

Dalam rangkaian sholat Idul Fitri terdapat khutbah yang hukumnya sunnah muakad. Berikut contoh naskah khutbah Idul Fitri dengan tema ‘Meneguhkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin’. Naskah khutbah dari H. Basyir Fadlullah, Ketua LDNU Kabupaten Purbalingga Jateng:

Naskah Khutbah Idul Fitri 1444 H

Khutbah I
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أكبَرُ (3×)
اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأبْدَر
اللهُ أَكْبَرُ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَر
اللهُ أَكْبَرُ كُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَأَمْطَر
وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ وَأَزْهَر
وَكُلَّمَا اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَر.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَ للهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلأَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ.
اللهُ أَكْبَرُ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلأَكْبَرُ وَأَشْهَدٌ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّر. اللهُ أَكْبَرُ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah.

Pada hari raya yang berbahagia ini mari kita merenung sejenak tentang kondisi bangsa kita akhir-akhir ini mulai mengarah pada kondisi terjadinya intoleransi. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya kecenderungan memaksakan kehendak dengan cara ekstrem, bahkan teror, demi mewujudkan apa yang mereka yakini sebagai yang paling benar. Hal ini bermula dari mudahnya seseorang menghukumi kafir orang lain, mudah menghukumi sesat orang lain, dan meyakini tidak ada kemungkinan kebenaran di pihak lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi tersebut bersumber dari kesalahpahaman tentang ajaran Islam, yang kemudian membuka peluang timbulnya paham keislaman yang melenceng dari semangat rahmatan lil ‘alamin. Akibatnya, munculah intoleransi yang menjurus kepada tindakan radikal, ekstrem, dan teror.

Perselisihan dalam umat Islam akhirnya juga tak jarang dimanfaatkan pihak lain yang mengingikan umat Islam tidak bersatu dan tidak mengingikan Islam sebagai agama pembawa rahmat dan pembawa kesejahteraan bagi seluruh alam. Pihak lain ini mengusung agenda menjauhkan dari negara yang berdasarkan spiritualitas dalam menjalankan, kebernegaraan dengan terus dijejali oleh kehidupan serba matrialis (duniawi) dan liberal (bebas).

‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah.

Karena itu, pemahaman awal yang perlu ditanamkan adalah bahwa Islam hadir sebagai agama kasih sayang yang dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Artinya: “Dan tidak saya utus Engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al Anbiya: 107)

Misi Islam yang mulia ini tidak akan terwujud kecuali dengan landasan berpikir dan bertindak bijak, adil, dan proporsional . Allah telah berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

Artinya: “Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.” (QS. al-Baqarah: 143)

Lantas bagaimana agar bisa berpikir dan bertindak bijak, adil dan proposional? Jawabannya adalah dengan mengikuti manhaj atau sistem yang telah disepakati oleh mayoritas para ulama dan ada jaminan ketersambungan sanad keilmuannya sampai kepada Rosululloh SAW. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan petikan teks hadits berbunyi “ma ana alaihi wa ashabi” yang kemudian masyhur di sebut dengan golongan Ahlussunnah wal Jamaah atau sering disingkat dengan aswaja.

Dalam kitab Syarhul ‘Aqidati at Thahawiyyah Halaman 43 diterangkan bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan yang dimaksud dengan pengikut Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.

فَبَيَّنَ صلى الله عليه وسلم أَنَّ عَامَةَ الْمُخْتَلِفِيْنَ هَالِكُونَ مِنَ الْجَانِبَيْنِ إِلَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

Artinya: “Maka Nabi Muhammad SAW menjelaskan, sesungguhnya seluruh orang-orang yang berselisih itu binasa kecuali kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.”

Bagi warga NU sendiri, pola yang diambil dalam mengikuti manhaj Ahlussunnah wal Jamaah adalah dengan model bermadzhab. Bermadzhab yang berarti taklid atau mengikuti metode dan produk hukumnya para imam mujtahid. Sebagaimana telah menjadi kesepakatan para ulama tentang bermadzhab. Dalam kitab al-Kaukab as-Sathi’ fi Jam’il Jawami’ disebutkan:

حُكْمُ التَّقْلِيْدِ حَرَامٌ عَلَى مُجْتَهِدٍ وَوَاجِبٌ عَلَى غَيْرِ مُجْتَهِدٍ كَمَا قَالَ اَلسُّيُوطِي: ثُمَّ اَلنَّاسُ مُجْتَهِدٌ وَغَيْرُهُ فَغَيْرُ الْمُجْتَهِدِ يَلْزَمُهُ اَلتَّقْلِيْدُ مُطْلَقاً عَامِيًا كَانَا أَوْ عَالِمًا.

Artinya: “Hukum taklid adalah haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi bukan seorang mujtahid, sebagaimana as-Suyuthi telah berkata bahwa manusia itu ada yang mujtahid ada yang bukan, dan yang bukan mujtahid wajib baginya taklid secara mutlak baik orang umum maupun orang yang ‘alim

‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah,

Mengikuti paham Aswaja dengan pola bermadzhab mempunyai kelebihan; pertama akan meminimalisir ketersesatan. NU memahami betul bahwa kadar kemampuan umat Islam sebagai individu seorang muslim sangat beragam kemampuan, apalagi wilayah garapan NU adalah masyarakat awam yang berada di pelosok pedesaan, tentunya tanpa mengharamkan individu umat Islam menjadi seorang mujtahid. Disebutkan dalam kitab Miaznul Kubro yang teksnya berbunyi:

فِيْ الْمِيْزَانِ الشَّعْرَانِيِّ مَا نَصُّهُ: كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَاصُّ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقْيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ. هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دَامَتْ لَمْ تَصِلْ إِلَى الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِيْ الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ

Artinya: Imam Al-Sya’roni dalam Kitab Mizanul Kubro menegaskan, Tuanku Ali al-Khawash ditanya tentang bermadzhab, apakah wajib atau tidak? Beliau menjawab, kamu wajib bermadzhab selagi belum mampu untuk memahami syari’ah secara sempurna, khawatir terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Itulah yang diamalkan oleh manusia saat ini.

Kelebihan yang kedua, adalah bahwa Aswaja NU berkiblat kepada para Imam Mujtahid yang dalam menyusun methode dan produk hukum tersebut bersumber dari semua potensi yang ada. Potensi yang dimaksud adalah sumber dalil atau petunjuk yang didapati dari ad-dalail as-sam’iyyah berupa Al-Qur’an, al-Hadits dan perkataan ulama, ad-dalail al ‘aqliyyah berupa; rasio dan panca indera, dan ad-dalail al ‘irfaniyyah berupa;Kasyaf dan Ilham. Dengan memanfaatkan sumber dalil dari semua potensi yang ada menjadikan hati hati dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap persoalan.

Seperti di dalam kitab Ithaafu al-Saadati al-Muttaqiin juz 2, halaman 6, Imam Taajuddin al-Subki (semoga Allah merahmatinya) telah berkata:

اِعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ كُلَّهُمْ اِتَّفَقُوا عَلَى مُعْتَقِدٍ وَاحِدٍ فِيْمَا يَجِبُ وَيَجُوْزُ وَيَسْتَحِيْلُ، وَاِنْ اِخْتَلَفُوا فِي الطُّرُقِ اَلْمَبَادِئِ اَلْمُوْصِلَةِ لِذَلِكَ أَوْ فِي لُمِيَّةِ مَا هُنَالِكَ وَبِالْجُمْلَةِ فَهُمْ بِاْلِاسْتِقْرَاءِ ثَلَاثُ طَوَائِفٍاَلُأوْلَى: أَهْلُ الْحَدِيْثِ وَمُعْتَمِدُ مَبَادِيهِمْ اَلْأَدِلَّةُ اَلسَّمْعِيَّةُ: أَعْنِى اَلْكِتَابُ ، اَلسُّنَّةُ وَاْلِإجْمَاعُ. اَلثَّانِيَةُ: أَهْلُ النَّظْرِاَلْعَقْلِي وَالصِّنَاعَةِ اَلْفِكْرِيَّةِ وَهُمْ اَلْأَشْعَرِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ وَشَيْخُ الْأَشْعَرِيَّةِ أَبُو الْحَسَنِ اِلْأَشْعَرِي، وَشَيْخُ الْحَنَفِيَّةِ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ اَلْمَاتُرِيْدِيِّ اَلثَّالِثَةُ: أَهْلُ الْوُجْدَانِ وَالْكَشْفُ وَهُمْ اَلصُّوْفِيَّةُ ، وَمَبَادِيْهِمْ مَبَادِئُ أَهْلِ النَّظْرِ وَالْحَدِيْثِ فِي الْبِدَايَةِ ، وَالْكَشْفُ وَالْإِلْهَامُ فِي النِّهَايَةِ.

Artinya: “Ketahuilah bahwa Ahlussunnah wal Jamaah itu adalah mereka yang telah bersepakat terhadap akidah yang satu didalam apa yang wajib, jaiz dan mustahil. Jika mereka terdapat perselisihan itu hanya dalam metode atau didalam sebab dan illatnya.Secara umum dapat digolongkan menjadi tiga yaitu; pertama; ahlul hadits. Prinsip dasar mereka adalah penggunaan dalil-dalil wahyu (naqli) yaitu; al Qur’an, as Sunnah, dan Ijma’. Kedua: ahlun nadzri (kelompok yang menggunakan dalil akal) mereka adalah pengikut asy’ariy dan hanafiy. Guru besar pengikut asy;ariy adalah Abul Hasan al Asy’ariy dan guru besar pengikut Hanafi adalah Abu Manshur al Maaturidi. Ketiga: kelompok yang konsern mengolah rasa (wujdan) dan membuka tabir (kasyaf). Mereka adalah ahlut tasawuf .Pada awalnya mereka adalah seorang yang berkemampuan dasar-dasar ahlun nadzri dan ahlul hadits dan pada akhirnya menjadi seorang yang berkemampuan mukasyafah (membuka tabir) dan mendapatkan ilham (petunjuk)”.

Kelebihan yang ketiga; adalah adanya ketersambungan sanad keilmuannya dari ulama NU sampai kepada Rosululloh SAW lewat para Mujtahid dan muridnya,

Hal ini disandarkan pula kepada instruksi pendiri NU/Rois ‘Akbar K.H. Hasyim Asy’ari yang terdapat dalam pengantar Anggaran Dasar 1947 yang berbunyi:

أَيَا أَيُّهَا الْعُلَمَاءُ وَالسَّادَةُ اَلْأَتْقِيَاءُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَهْلُ مَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ أَنْتُمْ قَدْ أَخَذْتُمْ اَلْعُلُوْمَ مِمَّنْ قَبْلِكُمْ وَمَنْ قَبْلُكُمْ مِمَّنْ قَبْلِهِ بِاتِّصَالِ السَّنَدِ إِلَيْكُمْ وَتَنْظُرُوْنَ عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ فَأَنْتُمْ خِزْنَتُهَا وَأَبْوَابُهَا وَلَا تُؤْتُوا اَلْبُيُوْتَ إِلَّا مِنْ أَبْوَابِهَا فَمَنْ أَتاَهَا مِنْ غَيْرِ أَبْوَابِهَا سُمِّيَ سَارِقًا.

Artinya: Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlusunnah wal Jama’ah, golongan madzhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara tersambung sampai pada kalian. Dan engkau sekalian tidak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama. Maka karenanya kalianlah gudang bahkan pintu ilmu tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan melalui pintunya. Barangsiapa memasuki rumah tidak melalui pintunya maka disebut pencuri

Kelebihan yang keempat, adalah para imam mujtahid dengan para muridnya hingga para ulama NU pengikutnya telah memperlihatkan akhlak/etika yang baik hubungan antara guru dengan murid. Seorang guru tidak mempersoalkan bila diberi masukkan oleh muridnya namun seorang murid tetap menghormati gurunya. Perselisihan mereka tidak sampai pada saling sesat menyesatkan tidak juga saling mengkafirkan. Para mujtahid dan para muridnya sangat hati-hati untuk mengklaim dirinya paling benar, berani menyesatkan apalagi mengkafirkan. Perselisihan mereka memperkaya hasanah keilmuan karena dituangkan dalam karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Mereka mampu saling menempatkan posisinya secara proposional sebagai guru dan murid sehingga berdampak pada tetap terjalinnya persaudaraan antar umat Islam.

‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah.

Dengan demikian manhaj Aswaja NU akan terus menjadi pilihan mayoritas umat Islam dunia tidak hanya Indonesia. Umat di luar Islam pun akan lebih dapat merasa nyaman hidup berdampingan dalam menjalankan kehidupan beragamanya di samping pula memang adanya sikap toleransi atas pluralitas beragama dalam berdakwah serta bijak dalam menyikapi budaya setempat. Menjalani kehidupan keberagamaan yang saling memberi kenyamanan antar umat tentunya sangat mempengaruhi dalam menjalani kehidupan bernegara.

Keberadaan negara sendiri dalam pandangan Aswaja NU menjadi wajib karena negara berfungsi mewujudkan kesejahteraan bagi warganya sejalan dengan misi agama Islam itu sendiri yaitu sebagai agama kasih sayang yang dapat mensejahterakan seluruh alam. NU menemukan bentuk negara dan system kepemerintahannya yang diyakini sangat sesuai dengan watak ke-Indonesiaan yang beragam suku, ras, etnis, budaya dan agama. Mendapatkan keyakinannya itu dijalani dengan sabar dengan mengedepankan hal hal yang prioritas terlebih dahulu daripada mendapatkan kesemuannya namun mendatangkan kerusakan. Perubahan dilakukan secara evolutif (bertahap) bukan revolusif (seketika). Dan sampailah pada keyakinan bahwa NKRI sebagai bentuk negara dan demokrasi pancasila sebagai system kepemerintahannya sangat sesuai dengan Indonesia dan tidak keluar dari manhaj Aswaja NU.

‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah.

Maka bersatu dengan menjadi anggota NU itu sangat penting karena menjadi anggota NU adalah sebuah kebutuhan. NU sendiri adalah wadah berkumpulnya para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, wadahnya para pemegang tongkat estafet risalah Rasulullah SAW;

اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

Artinya: “Ulama adalah pewaris para nabi.”

NU adalah wadahnya hamba-hamba Allah SWT yang takut pada-Nya;

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ اَلْعُلَمَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambanya adalah ulama.” (QS. Al-Fathir: 68)

Dan NU adalah wadahnya para ulama untuk membina umat pengikutnya agar tidak tersesat serta senantiasa bersama-sama dalam satu keyakinan.

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وإِيَّاكُمْ وَاْلفِرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمْ اَلْجَمَاعَةَ

Artinya: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena setan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (setan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”(HR. al-Tirmidzi).

‘Aidin ‘aidaat yang dirahmati Allah.

Demikian khutbah Idul Fitri kali ini semoga bermanfaat.

Mari kita bersama-sama berdoa sembari mengangkat tangan, semoga Allah senantiasa memberikan tambahan nikmat, rahmat kasih sayang dan anugerah-Mu kepada kita semua. Semoga memberikan tambahan kekuatan lahir dan batin kepada kita semua guna mewujudkan keadilan dan kemakmuran.

Ya Allah, semoga kita semua dijadikan umat yang hidup rukun, saling kasih, tetap teguh lahir batin untuk menanggulangi kezaliman dan kecurangan serta kebakhilan. Serta dijadikan termasuk golongan orang-orang shalih yang sanggup menyelesaikan tugas-tugas pembangunan lahir dan batin.

Ya Allah semoga Engkau mengampuni semua dosa dan kesalahan serta kekhilafan kami serta Engkau jaga, lindungi kami dari tipu daya iblis, setan dan sekutunya.

يَا الله يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اِجْعَلْنَا مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الْمَغْفُوْرِيْنَ السَّالِمِيْنَ وَاَدْخِلْنَا فِى زُمْرَةِ الصَّالِحِيْنَ الْمَرْزُوْقِيْنَ وَبَاعِدْنَا مِنْ مَكَايِدِ الشَّيَاطِيْنَ وَالنَّفْسِ الْاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ.
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَاَبْقَى. فَاسْتَغْفِرُوْا وَتُوْبُوْا اِلَى اللهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II
اللهُ أَكْبَرُ (3×) اللهُ أَكْبَرُ (4×) اللهُ أَكْبَرُ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصِيْلاً لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ أَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللّهُمَّ اَعِزِّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. وَاَعْلِ جِهَادَهُمْ بِالنَّصْرِ الْمُبِيْنَ. وَدَمِّرْ اَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اَللّهُمَّ اكْفِنَا شَرَّ الظَّالِمِيْنَ. وَاكْفِنَا شَرَّ الْمُنَافِقِيْنَ. وَسَلِّمْنَا مِنْ مَكَايِدِ الشَّيَاطِيْنَ.
اَللّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

(H. Basyir Fadlullah, Ketua LDNU Kabupaten Purbalingga Jateng)

Itulah naskah khutbah Idul Fitri 1444 H yang bisa jadi referensi.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Khutbah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha



Jakarta

Rasulullah SAW biasa merangkaikan salat Id di dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Adha dengan khutbah di setelahnya. Berikut tata cara pelaksanaan khutbah hari raya sesuai sunnah.

Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah mengemukakan hukum khutbah hari raya, yakni sunnah. Ia mengambil hadits riwayat Abdullah bin Sa’ib sebagai dalil dasar, yang mana Rasulullah SAW bersabda:

“Kami sekarang akan menyampaikan khutbah. Barang siapa yang ingin duduk untuk mendengarnya, duduklah, tetapi siapa yang hendak pergi, dia boleh pergi.” (HR Nasa’i, Abu Dawud & Ibnu Majah)


Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam buku Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah juga menyebut khutbah dua hari raya hukumnya sunnah menurut pendapat sejumlah ulama mazhab, kecuali Malikiyah yang berpemahaman khutbah ini hanya dianjurkan saja, tidak sampai disunnahkan.

Untuk pelaksanaannya sendiri, khutbah hari raya dilakukan setelah salat Id selesai didirikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

Artinya: “Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar, melaksanakan salat dua Id sebelum khutbah.” (HR Bukhari & Muslim)

Ibnu Abbas juga meriwayatkan, “Aku pernah keluar (rumah) bersama Rasulullah SAW pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, lalu beliau salat dan berkhutbah.”

Menukil buku Al-Tadzhib fi Adillati Matn Al-Ghayah wa al-Taqrib oleh Musthafa Dib Al-Bugha, misal saja imam atau khatib berkhutbah terlebih dahulu sebelum salat Id karena lupa, maka baginya disunnahkan untuk mengulangi khutbah hari raya setelah salat Id.

Tata Cara Khutbah Idul Fitri & Idul Adha

Masih dari buku Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, dijelaskan bahwa rukun khutbah hari raya sama dengan rukun khutbah Jumat. Bedanya hanya terletak pada kalimat pembukanya saja, lantaran khutbah Id dianjurkan untuk dimulai dengan takbir, sedang khutbah Jumat diawali dengan tahmid.

Khutbah salat Id dilaksanakan dua kali. Sebelum memulainya, khatib ada baiknya agar duduk untuk istirahat (setelah salat). Setelah mengerjakan khutbah pertama, khatib duduk sejenak di antara dua khutbah, seperti pada khutbah Jumat.

Dalam memulai khutbah juga terdapat bacaan khusus yang dibaca, sesuai riwayat Ubaidillah bin Abddullah, “Yang sunnah pada saat membuka khutbah adalah mengucapkan sembilan takbir terus menerus pada khutbah pertama dan tujuh takbir terus menerus pada khutbah kedua.” (HR Baihaqi)

Sementara isi khutbahnya sendiri yang dinukil dari buku Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, bahwa mazhab Syafi’i sebagai aliran yang paling banyak dianut masyarakat Indonesia menyatakan, dalam khutbah terdapat 4 rukun isinya yang mesti dipenuhi; bersholawat, berwasiat kepada jamaah yang mendengarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, membacakan ayat Al-Qur’an, serta memanjatkan doa untuk kaum mukmin.

Sebagaimana dalam buku Syama’il Rasulullah karya Ahmad Mustafa Mutawalli juga dijelaskan, “Selesai salat (Id), beliau menghadap ke arah jamaah (yang tetap duduk dalam shaf) untuk memberikan nasihat, menyampaikan perintah atau larangan.”

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hadits Larangan Puasa 1 Syawal bagi Umat Islam



Jakarta

Setelah satu bulan penuh melaksanakan ibadah puasa Ramadan, umat Islam dilarang untuk berpuasa pada 1 Syawal atau hari raya Idul Fitri. Hal ini dijelaskan dalam hadits larangan puasa 1 Syawal bagi umat Islam.

Mengutip dari Kitab Al-Lu’Lu wal Marjan yang disusun oleh Muhammad Fu’ad Abdul Bagi, berikut hadits larangan puasa 1 Syawal:

حَدِيثُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: هَذَانِ يَوْمَانِ نَهى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ أخرجه البخاري في: ۳۰ كتاب الصوم: ٦٦ باب صوم يوم الفطر

Artinya: “Umar bin Khattab RA berkata: “Pada kedua hari ini Nabi SAW telah melarang orang berpuasa, yaitu pada hari raya Idul Fitri sesudah Ramadan dan hari raya Idul Adha sesudah wuquf di Arafah.” (HR Bukhari, Kitab ke-30, Kitab Shaum bab ke-66, bab shaum di hari fitri)


حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ : الْفِطْرِ وَالأَضْحى أخرجه البخاري في: ٢٠ كتاب فضل الصلاة في مسجد مكة والمدينة : ٦ باب مسجد بیت المقدس

Artinya: “Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata: “Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘Tidak boleh berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.'” (HR Bukhari, Kitab ke-20, Kitab Keutamaan Salat di Masjid Makkah dan Madinah bab ke-6, bab Masjid Baitul Maqdis)

. حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ عَنْ زِيَادِ ابْنِ جُبَيْرٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَقَالَ: رَجُلٌ تَذَرَ أَنْ يَصُومَ يَوْمًا قَالَ: أَظْتُهُ قَالَ: الأثنين فَوَافَقَ يَوْمَ عبد فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: أَمَرَ اللهُ بوَفَاء النذر ونهى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ صَوم هذا اليوم أخرجه البخاري في: ٣٠ كتاب الصوم: ٦٧ باب الصوم يوم النحر

Ziyad bin Jubair berkata: “Ada seorang lelaki yang datang dan bertanya kepada Ibnu Umar RA: ‘Bagaimana bila seorang nadzar akan berpuasa hari senin, tiba-tiba bertepatan dengan hari raya?’ Ibnu Umar RA menjawab: ‘Allah menyuruh menepati janji nadzar tetapi Nabi Muhammad SAW melarang puasa pada hari raya.” (HR Bukhari, Kitab ke-30, Kitab Shaum bab ke-67, bab shaum pada hari Nahr/10 Zulhijah)

Hadits larangan puasa tanggal 1 Syawal turut disebutkan dalam Kitab Tisirul-Allam Syarh Umdatul-Ahkam karya Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam.

عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ وَاسْمُهُ سَعْدُ بْنُ عُبَيْدٍ، قَالَ: شَهِدَتِ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ: هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ الَّذِي تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

Artinya: “Dari Abu Ubaid, majikan Ibnu Azhar yang namanya Sa’ad bin Ubaid, dia berkata: ‘Aku pernah shalat ‘Id bersama Umar bin Khattab RA, lalu dia berkata, ‘Ini adalah dua hari (Idul Fitri dan Idul Adha), maka Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari ini, yaitu hari berbuka bagi kalian dari puasa kalian dan hari yang lain ketika kalian memakan dari hean kurban kalian'”

Masih di dalam buku yang sama juga dijelaskan mengenai makna dari hadits tersebut. Bahwasanya Idul Fitri dan Idul Adha merupakan dua hari raya bagi umat Islam, yang dijadikan sebagai hari bergembira dan bersuka ria.

Para muslim melakukan kesenangan dengan saling bersilaturahmi, makan, minum, menggunakan pakaian yang bagus dan sebagainya. Diharamkannya puasa pada dua hari raya ini karena berbuka merupakan penghentian puasa.

Hal itu disamakan artinya dengan salam yang menghentikan salat. Hikmah larangan berpuasa pada dua hari raya seperti yang diisyaratkan dalam hadits tersebut ialah, bahwa pada Idul Fitri merupakan hari berakhirnya bulan Ramadan.

Sehingga perlunya perbedaan dan harus diketahui batasan puasa yang wajib, dengan cara tidak berpuasa. Hal itu sebagaimana beliau SAW melarang puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan, agar terdapat perbedaan dengan yang lain.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Bacaan Doa untuk Orang yang Memberikan Makan



Jakarta

Mendoakan orang yang memberi makan merupakan sunnah Rasulullah SAW. Doa untuk orang yang memberi makan ini disebutkan dalam sejumlah hadits.

Memberi makan orang lain memiliki sejumlah keutamaan. Salah satunya seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Riyadhus Shalihin, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Iman bab “Memberi makan”

وَعَنْ عَبْد الله بن عَمْرُو بْن الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَن رَجُلاً سَأَلَ رَسُول الله : أَي الإسلام خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عرفت ومَنْ لَمْ تَعرف متفق عليه


Artinya: “Dari Abdullah bin Amr bin ibnul Ash RA bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW. “Amalan Islam apa yang paling baik?” Beliau bersabda, “Engkau memberikan makanan, serta mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan yang tidak kau kenal.” (Muttafaq’alaih)

وَعَنْ أُمّ عَمَّارَةَ الْأَنْصَارِيَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنْ النبي ﷺ دَخَلَ عَلَيْهَا، فَقَدِّمَتْ إِلَيْهِ طَعَامًا، فَقَالَ: «كُلي» فَقَالَتْ: إِنِّي صَالِمَةٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ «إنّ الصَّالِمَ تُصَلَّى عَلَيْهِ الْمَلائِكَةُ إذا أكل عِنْدَهُ حَتَّى يَفْرَعُوا

Artinya: Dari Ummu Umarah al-Anshariyah RA bahwa Nabi Muhammad SAW datang ke rumah Ummu Umarah lalu ia menghidangkan makanan untuk beliau. kemudian beliau bersabda, “Makanlah, ya Ummu Umarah.” Ia menjawab, “Aku sedang berpuasa.” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang berpuasa itu didoakan oleh malaikat, jika ada orang makan di tempatnya sampai selesai makan.” Atau beliau bersabda, “Sampai orang yang makan itu merasa kenyang.” (HR At-Tirmidzi. Dan menurutnya hadits ini hasan shahih)

Doa untuk Orang yang Memberi Makan

Mengutip Kitab adz-Dzikru wa ad-Du`a` fi Dhau`il Kitab wa as-Sunnah karya Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al Badr, di antara doa-doa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari Al-Miqdad RA dia berkata, “Aku datang bersama dua orang sahabatku, sementara pendengaran dan penglihatan kami telah hilang karena kelelahan, maka kami datang kepada Nabi Muhammad SAW, disebutkan hadits lengkapnya, dan di dalamnya dikatakan, “Sungguh Nabi SAW berdoa:

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

Arab latin: Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqaa-nii

Artinya: ‘Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, dan berilah minum orang yang memberiku minum.'” (Shahih Muslim, no 2055)

Di antaranya pula apa yang diriwayatkan Abdullah bin Busr RA beliau berkata, “Rasulullah SAW singgah pada bapakku…” Beliau berkata, “Kami mendekatkan kepadanya makanan dan wathbah (yakni sejenis makanan yang terbuat dari kurma, keju, dan samin), lalu beliau memakan sebagian di antaranya. Kemudian didatangkan kurma, maka beliau memakannya dan membuang bijinya di antara kedua jarinya seraya mengumpulkan jari telunjuk dan jari tengah. Setelah itu didatangkan minuman dan beliau meminumnya. Kemudian beliau memberikan kepada orang yang ada di kamarnya.” Beliau berkata, “Bapakku berkata sambil memegang kekang hewan tunggangannya, ‘Doakanlah kepada Allah SWT untuk kami.’ Beliau berdoa:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْهُمْ وَارْحَمْهُمْ

Arab latin: Allahumma baarik lahum fii maa razaqtahum, waghfir lahum, warhamhum

Artinya: ‘Ya Allah, berkahilah untuk mereka pada apa yang Engkau karuniakan bagi mereka, dan ampunilah mereka, serta rahmatilah mereka.'” (Shahih Muslim, No 2042)

Riwayat tentang mendoakan orang yang memberi makan turut disebutkan dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam an-Nawawi. Ulama Syafi’iyah ini menukil riwayat dalam Kitab Sunan Abi Dawud dengan sanad shahih mengenai hadits tentang doa untuk orang yang memberi makan. Dari Anas RA, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عِبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَجَاءَ بِخَيْرِ وَزَيْتٍ فَأَكَلَ، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ المَلَائِكَةُ

Artinya: “Nabi SAW datang kepada Sa’d ibn Ubadah RA, lalu Sa’d menghidangkan roti dan minyak. Maka beliau makan, kemudian bersabda, “Telah berbuka pada kalian orang-orang yang puasa, dan telah memakan makanan kalian orang-orang yang bertakwa, serta telah mendoakan kalian para malaikat.”

Bukan hanya itu, di dalam Kitab Sunan Abi Dawud melalui seorang lelaki dari Jabir RA yang menceritakan:

صَنَعَ أَبُو الْهَيْثَمِ بْنُ التَيَهَانِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَاماً، فَدَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ، فَلَمَّا فَرَغْوا، قَالَ: أَيْبُوا أَخَاكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا إِثَابَتُهُ؟ قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا دُخِلَ بَيْتُهُ فَأُكِلَ طَعَامُهُ وَشُرِبَ شَرَابُهُ، فَدَعَوْا لَهُ، فَذَلِكَ إِثَابَتُه

Artinya: Abu Haitsam ibnu Taihan membuat jamuan makan untuk Nabi Muhammad SAW. Lalu ia mengundang Nabi SAW dan para sahabatnya. Ketika mereka selesai makan, Nabi SAW bersabda, “Balaslah jasa saudara kalian!” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, bagaimana cara membalasnya?” Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang lelaki apabila rumahnya dikunjungi, lalu makanannya dimakan dan minumannya diminum, kemudian mereka mendoakan untuknya, maka itulah balasan jasanya.”

Sementara itu, Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram menjelaskan mengenai hadits yang berkaitan dengan hal tersebut.

Dituturkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

أَيُّمَا مُسْلِمٍ كَسَا مُسْلِمًا تَوْبًا عَلَى عُرْيِ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ خُضْرِ الجَنَّةِ وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ أَطْعَمَ مُسْلِمًا عَلَى جُوْعِ أَطْعَمَهُ اللَّهُ مِنْ ثِمَارِ الْجَنَّةِ وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ سَقَى مُسْلِمًا عَلَى ظَمَا سَقَاهُ اللهُ مِنَ الرَّحِيقِ المختوم

Artinya: “Siapa saja Muslim yang memberi pakaian Muslim lainnya yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah SWT akan memberinya pakaian dari hijaunya surga. Siapa saja Muslim yang memberi makan Muslim lainnya yang kelaparan, niscaya Allah SWT akan memberinya makanan dari buah-buahan surga. Dan siapa saja Muslim yang memberi minum Muslim lainnya yang kehausan, niscaya Allah akan memberi minuman dari minuman suci yang tertutup.” (HR Abu Daud dan dalam sanadnya ada kelemahan).

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Inspirasi Kisah Kesederhanaan Ali bin Abi Thalib saat Lebaran



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyimpan sejumlah kisah menginspirasi. Salah satunya saat Lebaran tiba.

Merangkum berita Hikmah detikcom, sahabat yang memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim ini lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab. Ali RA lahir pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Terdapat juga yang menyebutkan jika Ali RA dilahirkan pada 21 tahun sebelum hijrah.


Menurut beberapa keterangan, disebutkan bahwa ayah beliau adalah paman dari Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Dilihat secara garis keturunan kedua orang tuanya, Ali RA merupakan keturunan berdarah Hasyimi yang dikenal oleh masyarakat pada zamannya sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, pemegang kepemimpinan masyarakat, dan memiliki sejarah cemerlang di masyarakat Makkah.

Ibunya memberikan nama Haidarah (macan) kepada Ali RA, diambil dari nama kakek Ali RA, Asad. Dengan harapan bahwa buah hati mereka kelak menjadi seorang laki-laki pemberani. Namun, ayahnya memberinya nama Ali (yang leluhur), hingga sekarang nama Ali-lah yang lebih dikenal masyarakat luas.

Ali bin Abi Thalib RA telah memeluk Islam sejak ia masih berusia sangat belia. Dikutip dari buku tulisan Mustafa Murrad berjudul Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, ia bahkan disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam.

Rasulullah SAW adalah salah satu orang yang paling berpengaruh yang telah mengasuh, mendidik, dan mengajarinya sejak kecil. Kasih sayang dan kemuliaan Rasulullah SAW inilah yang membentuk karakter Ali RA hingga matang saat dewasa.

Semasa hidupnya, Ali RA hidup dengan sangat sederhana. Bahkan dalam beragam riwayat, dijelaskan bahwa beliau cukup makan dengan lauk cuka, minyak, dan roti kering yang dipatahkan dengan lututnya.

Dikutip dari buku Rezeki Level 9 The Ultimate Fortune karya Andre Raditya, dijelaskan terdapat kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA saat Lebaran. Dikisahkan pada suatu suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

Didapatinya beliau sedang memakan roti yang keras. Lalu sang tamu ini berkata,

“Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pun menjawab,

“Sesungguhnya hari ini adalah lebarannya orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Id bagi kami, demikian juga esok, dan bahkan setiap hari pun engkau juga bisa lebaran (Id) seperti ini.”

Merasa ingin tahu lagi, orang itu kembali bertanya,

“Bagaimana bisa aku berlebaran setiap hari?”

Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah pun memberikan jawabannya,

“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah SWT di hari itu, maka sesungguhnya ia sedang berlebaran (Id).” Subhanallah.

Kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA yang makan roti kasar saat Lebaran turut diceritakan dalam Kitab Ahlur-rahmah fil Qur’an was-Sunnah karya Syekh Thaha Abdullah al-Afifi.

Dikatakan, oleh sebab itulah, Sayyidina Ali RA terus berada dalam hari raya yang berkelanjutan karena ia termasuk di antara orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

5 Tips Seks Kilat, Hidupkan Gairah Bercinta Tanpa Khawatir Ketahuan Mertua


Jakarta

Bagi sebagian pasangan, gairah bercinta mungkin kembali menggebu-gebu setelah berpuasa. Akan tetapi, mungkin hal ini terhalang ketika sedang berkunjung ke rumah mertua saat lebaran. Tak perlu khawatir, seks kilat bisa jadi solusi.

Seks kilat alias quickie menjadi solusi untuk berhubungan badan tanpa takut ketahuan mertua. Ketika melakukan ini, faktor urgensi, intensitas, dan rasa takut ketahuan dapat meningkatkan adrenalin sehingga beberapa pasangan mungkin dapat lebih cepat mencapai klimaks.

Untuk memperlancar quickie, simak beberapa tips berikut.


1. Pakai busana yang mudah diakses

Busana bisa menjadi hambatan dan membuat sesi bercinta lebih lama. Untuk itu, pilihlah pakaian yang mudah di akses. Tak perlu lingerie seksi atau melakukan adegan melepas kancing kemeja satu per satu. Cobalah gunakan daster atau rok yang bisa diakses lebih cepat.

2. Cari lokasi tak biasa

Daripada melakukannya di ranjang, cobalah untuk berhubungan badan di kamar mandi. Selain bisa bereksplorasi lebih banyak tanpa ketahuan mertua, seks di kamar mandi dapat memudahkan untuk selanjutnya mandi besar.

3. Posisi yang pas

Meskipun kilat, quickie tidak berarti melupakan kepuasan. Seks kilat bisa dilakukan dengan nikmat dengan melakuaknnya pada posisi yang tepat. Cobalah bersandar pada kursi, meja, atau menumpu pada dinding, lalu biarkan pasangan mempenetrasi dari belakang.

4. Tak melulu harus orgasme

Seks kilat tidak melulu harus mencapai orgasme. Ini adalah bonus yang jika tidak tercapai, bukan berarti mengurangi kesenangan.

Seks kilat bertujuan untuk bersenang-senang, menambah keintiman, dan menghidupkan gairah bercinta. Sebaiknya, fokus pada sentuhan-sentuhan dan rangsangan yang dapat membangkitkan gairah.

5. Goda pasangan

Gairah dapat memuncak jika seseorang tahu titik sensitif mana yang harus disentuh. Jika sudah mengetahui hal ini maka mudah bagi pasangan untuk membuat si dia ‘on’ dan seks bisa dilakukan dengan cepat. Berikan stimulasi seperti sentuhan dengan ujung-ujung jari, belaian, atau ciuman.

(suc/suc)

Sumber : health.detik.com

Image : unsplash.com/ Spacejoy