Tag Archives: madinah

Kisah Zuhudnya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Serahkan Seluruh Hartanya untuk Amal



Jakarta

Abu Bakar Ash-Shiddiq bukan hanya dikenal sebagai sahabat Rasulullah SAW yang setia, bijaksana dan tegas. Ia juga sosok zahid, seorang yang meninggalkan kesenangan dunia untuk tujuan akhirat.

Tidak banyak orang yang bisa tegas mengambil sikap zuhud karena gemerlap dunia tak jarang menjadi godaan.

Dalam buku Tasawuf untuk Kita Semua karya M. Fethullah Gulen dijelaskan zuhud adalah meninggalkan kenikmatan dunia dan melawan kecenderungan jasmani. Di kalangan kebanyakan sufi, zuhud dikenal sebagai menjauhi kenikmatan dunia, menghabiskan umur dengan menjalani kehidupan yang sederhana sambil menjadikan takwa sebagai dasar dari kehidupan.


Dalam artian lain, zuhud adalah meninggalkan ketenangan dunia yang fana, demi meraih kebahagiaan akhirat yang kekal. Seorang yang melakoni hidup dengan zuhud disebut sebagai “az-zâhid” (pelaku zuhud).

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dikenal sebagai zahid.

Merangkum buku Kisah Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq yang ditulis oleh Mustafa Murrad dijelaskan bahwa Abu Bakar telah menalak dunia dengan talak tiga, talak yang tidak ada rujuk padanya.

Sebagai bukti zuhudnya, Abu Bakar tidak meninggalkan harta pusaka bahkan satu dirham atau satu dinar pun. Sebelum wafat ia telah menyerahkan seluruh hartanya ke Baitul Mal.

Suatu hari Salman al-Farisi RA menemui Abu Bakar RA, ia menceritakan keadaan dirinya, lalu berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, nasihatilah aku.”

Abu Bakar RA berkata, “Sesungguhnya Allah telah membukakan pintu dunia bagimu. Jangan mengambil darinya kecuali seperlunya. Ketahuilah, orang yang salat Subuh namun hatinya mencela Allah maka Allah akan menenggelamkannya dalam celaannya itu dan kelak akan menjebloskannya ke dalam siksa neraka.”

Sebuah riwayat menuturkan betapa Abu Bakar selalu zuhud dari dunia, bahkan ketika para sahabat lain berlarian menyambut dunia. Ia tetap bertahan mendengarkan khutbah Jumat yang disampaikan oleh Nabi SAW dan sama sekali tidak memperhatikan rombongan pedagang yang datang pada saat itu ke Madinah. Sementara itu, sebagian sahabat serabutan berlari menyambut kedatangan rombongan pedagang itu.

Jabir ibn Abdullah RA mengisahkan bahwa ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jumat, datang sekelompok pedagang ke Madinah. Para sahabat berlarian menyambut rombongan itu sehingga yang tersisa di hadapan Nabi hanya dua belas orang.

Pada saat itu turunlah ayat Al-Qur’an surah Al-Jumu’ah ayat 11,

وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

Artinya: Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki

Abu Bakar RA dan Umar ibn Khattab RA termasuk di antara dua belas orang yang bertahan mendengarkan khutbah Nabi SAW.

Dan diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Bakar RA berkhutbah di hadapan orang-orang. Setelah memuji Allah, ia berkata, “Sungguh pintu-pintu dunia akan dibukakan untuk kalian sehingga kalian akan mendatangi berbagai pelosok bumi dan menikmati roti serta zaitun. Kalian akan membangun masjid-masjid di sana. Maka berhati-hatilah. Ingatlah, Allah mengetahui (langkah) kalian. Kalian tidak mendatanginya untuk main-main, tetapi semua itu dibangun untuk mengingat (Allah).”

Demi Allah, benarlah Muawiyah RA ketika ia berkata, “Sesungguhnya dunia tidak pernah menginginkan Abu Bakar dan ia tidak pernah menginginkannya. Dunia menginginkan Umar namun ia tidak menginginkannya.”

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorang pun di sisiku yang mempunyai ‘buah tangan’ (oleh-oleh), kecuali aku telah membalasnya, selain Abu Bakar. Sesungguhnya Abu Bakar di sisiku mempunyai buah tangan yang Allah sendiri akan membalasnya kelak pada Hari Kiamat. Tidak ada harta seorang pun yang memberi manfaat kepadaku sebagaimana manfaat harta Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengambil kekasih dari manusia, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah, sesungguhnya sandara kalian ini adalah kekasih Allah.” (HR At Tirmidzi)

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Sosok Abdullah bin Ubay, Pemimpin Kaum Munafik Madinah di Zaman Rasulullah


Jakarta

Abdullah bin Ubay adalah sosok munafik yang hidup pada zaman Rasulullah SAW. Ia menampakkan keislamannya secara lisan, tapi yang sebenarnya adalah ia menyembunyikan kekafirannya. Kisahnya menjadi salah satu penyebab turunnya ayat dalam Al-Qur’an.

Adapun ciri orang munafik dijelaskan secara umum dalam surah Al Munafiqun ayat 4. Allah SWT berfirman,

وَاِذَا رَاَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ اَجْسَامُهُمْۗ وَاِنْ يَّقُوْلُوْا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْۗ كَاَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۗيَحْسَبُوْنَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْۗ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْۗ قَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۖاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ


Artinya: “Apabila engkau melihat mereka, tubuhnya mengagumkanmu. Jika mereka bertutur kata, engkau mendengarkan tutur katanya (dengan saksama karena kefasihannya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?”

Abdullah bin Ubay dan Sifat Munafiknya

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Anshari. Dia berasal dari bani Auf, kabilah Khazraj, pemimpin kabilah Khazraj pada masa jahiliah. Inilah salah satu kabilah yang menampung dan menolong kaum Muhajirin.

Dikutip dari buku Tokoh Yang Diabadikan Al-Qur`an 4 karya Abdurrahman Umairah, Abdullah bin Ubay adalah ayahanda seorang sahabat yang mulia, yaitu Abdullah, dan sepupu Amir sang pendeta. Amir telah mengakui adanya Tuhan pada masa jahiliah, menggunakan pakaian berbahan kasar, dan berperilaku sebagai pendeta.

Sebelum Muhammad SAW diutus, dia senantiasa mencari informasi tentang kedatangannya, mulai menceritakan hal itu kepada kaumnya, dan menyampaikan bahwa kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai berita gembira.

Setelah Nabi SAW lahir, Amir merasa iri kepadanya, menzaliminya, menetap dalam kekafirannya, memaklumkan perang terhadap kaum muslimin, dan ikut Perang Uhud bersama kaum musyrikin. Rasulullah SAW pun menamainya sebagai orang fasik.

Abdullah bin Ubay adalah orang yang dihormati secara luas oleh kaum jahiliah. Dia memiliki kekayaan yang banyak sehingga disegani.

Kekayaan itu dikumpulkannya dengan berbagai cara. Di antaranya melalui perdagangan, dengan meminjamkannya kepada orang yang membutuhkan melalui sistem riba, dan menawarkan budak perempuan (pelacur) ke pangkuan orang-orang keji.

Dari pekerjaan pelacur itu, dia menarik keuntungan dan mendapatkan anak laki-laki untuk menambah jumlah pelayan dan sekutunya. Dia senantiasa menawarkan budak perempuan kepada tamu-tamunya yang singgah di rumahnya supaya dianggap sangat dermawan, mendapat keuntungan materi, dan mendapatkan simpati dari orang lain yang kemudian menjadi pengikut dan pembelanya.

Sebelum Rasulullah SAW hijrah, penduduk Madinah dan para pemuka masyarakatnya mengumpulkan batu marjan untuk dibuat mahkota bagi Abdullah bin Ubay dan mengangkatnya sebagai raja dan pemimpin mereka.

Setelah Rasulullah SAW datang, manusia menjauh dari sisi Abdullah bin Ubay, kemudian berpindah ke sisi Rasulullah SAW. Bahkan kabilah, kerabat, dan keluarga yang merupakan manusia yang paling dekat dengan Abdullah bin Ubay pun menjadi pengikut Rasulullah SAW.

Karena Abdullah bin Ubay tidak memiliki strategi untuk menghalanginya, dia menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafirannya. Caranya itu diikuti oleh sejumlah pelayan dan budaknya yang sangat membutuhkan bantuan dan pemberiannya, serta oleh sekelompok orang yang hatinya telah dikunci mati oleh Allah SWT.

Dengan demikian, dia menjadi pemimpin bagi sekelompok manusia yang dikenal sebagai kaum munafik yang ikut mewarnai dunia Islam periode pertama.

Turunnya Surah Al-Munafiqun karena Kemunafikan Abdullah bin Ubay

Kemunafikan Abdullah bin Ubay juga menjadi alasan turunnya surah Al-Munafiqun. Diceritakan dalam buku Berdakwah dengan Hati karya Syaikh Ibrahim bin Shalih, hal tersebut diterangkan dalam riwayat dari Zaid bin Arqam, ia berkata,

“Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Ketika itu orang-orang mengalami kesulitan. Maka Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya, ‘Jangan berinfak kepada orang dekat Rasulullah SAW sampai mereka menjauhi. Kalau kita pulang ke Madinah negeri kita, yang lebih mulia akan mengeluarkan yang paling hina’.”

Ucap Zaid, “Maka aku melaporkannya kepada Rasulullah.”

Mendengar laporan itu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk menanyakannya. Abdullah bin Ubay bersumpah bahwa ia tidak berkata seperti itu.

“Zaid bohong”, ucap Abdullah bin Ubay. Maka ada ganjalan dalam batin Zaid karena hal itu, sampai Allah SWT menurunkan ayat yang membenarkannya, yaitu dalam surah Al-Munafiqun ayat 1. Allah SWT berfirman,

اِذَا جَاۤءَكَ الْمُنٰفِقُوْنَ قَالُوْا نَشْهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُ اللّٰهِۘ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُهٗۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَكٰذِبُوْنَۚ ۝١

Latin: idzâ jâ’akal munâfiqûna qâlû nasy-hadu innaka larasûlullâh, wallâhu ya’lamu innaka larasûluh, wallâhu yasy-hadu innal-munâfiqîna lakâdzibûn

Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasulullah SAW. Dan Allah SWT mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya, dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Apa Alasan Rasulullah Sering Bersembunyi di Gua Hira?


Jakarta

Gua Hira adalah gua yang terkenal dalam sejarah Islam. Sebab, di dalam gua inilah, Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul. Bahkan, sebelum menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad SAW menjadikannya sebagai tempat beribadah dan mengasingkan diri dari berbagai kerusakan moral penduduk Makkah. Lantas, apa yang membuat Nabi Muhammad SAW sampai mengasingkan diri di Gua Hira?

Menurut buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim, letak Gua Hira berada di puncak Jabal Nur, di bagian utara kota Makkah, sekitar 5 km dari Masjidil Haram. Tinggi puncak Jabal Nur sekitar 200 m.

Bentuk gunung ini terlihat berdiri tajam. Jika ingin mendekat ke gua hira diperlukan waktu paling tidak setengah jam. Adapun bentuk Gua Hira agak memanjang, pintunya sempit, bisa dilalui hanya oleh satu orang. Di dalam gua, hanya bisa didiami sekitar 5 orang. Tinggi gua hanya sebatas orang berdiri.


Alasan Nabi Muhammad SAW Sempat Bersembunyi di Gua Hira

Dikisahkan dalam buku 20 Kisah Teladan Perjalanan Hidup Nabi Muhammad SAW karya Tim Gema Insani, suatu ketika di kota Makkah, Nabi Muhammad SAW mulai mengajak kaumnya untuk memeluk agama Islam melalui dakwah. Namun yang didapatkan oleh Nabi Muhammad SAW hanya makian dan cercaan. Siksaan tak hentinya menimpa mereka yang beriman kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya semakin menderita hidup di Makkah.

Akhirnya Nabi Muhammad SAW mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah ke Madinah. Nabi Muhammad SAW ditemani oleh Abu Bakar, sahabatnya yang setia saat memulai perjalanan. Mereka bersembunyi di Gua Hira, untuk menghindari kejaran kaum Quraisy yang berniat membunuh mereka.

Ketika Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar berada di Gua Hira, seekor merpati dan laba-laba berusaha melindungi Nabi Muhammad SAW dengan membohongi kaum kafir Quraisy, yang berniat ingin membunuh Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW hanya memerlukan waktu delapan hari untuk pergi ke Makkah dan Madinah dengan mengendarai unta. Sedangkan waktu tempuh dari Makkah ke Madinah rata-rata sampai sebelas hari. Padahal, Nabi Muhammad SAW dan rombongannya hanya berjalan pada malam hari, karena siang harinya mereka bersembunyi untuk menghilangkan jejak.

Selama perjalanan, tak henti-hentinya Nabi Muhammad SAW berdoa agar Allah SWT melindungi beliau dan rombongannya.

Berkat pertolongan dari Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan rombongan hampir sampai di kota Madinah. Dari kejauhan tampak pohon-pohon kurma yang menjulang tinggi. Mereka semua kembali mengucap syukur kepada Allah SWT, karena telah selamat dari kejaran musuh.

Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah 40, https://www.detik.com/hikmah/quran-online/at-taubah/tafsir-ayat-40-1275

اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Latin: Illâ tanshurûhu fa qad nasharahullâhu idz akhrajahulladzîna kafarû tsâniyatsnaini idz humâ fil-ghâri idz yaqûlu lishâḫibihî lâ taḫzan innallâha ma’anâ, fa anzalallâhu sakînatahû ‘alaihi wa ayyadahû bijunûdil lam tarauhâ wa ja’ala kalimatalladzîna kafarus-suflâ, wa kalimatullâhi hiyal-‘ulyâ, wallâhu ‘azîzun ḫakîm

Artinya: “Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Merujuk kembali buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW, dari dalam Gua Hira, terlihat pemandangan berupa pegunungan dan Kota Makkah. Di antara keistimewaan Gua Hira adalah pemandangan atas berupa langit yang demikian luas dan pemandangan bawah berupa Ka’bah. Namun demikian, perlu upaya cukup besar untuk sampai ke Gua Hira.

Di dalam Gua Hira, aktivitas Nabi Muhammad SAW tak lain adalah duduk sambil mengamati, merenung, dan bertanya, “Siapakah yang menciptakan langit, bintang, dan seluruh makhluk ini?”

Itulah ibadah yang dilakukan beliau sejak usia 30-40 tahun. Seolah-olah, itu merupakan persiapan bagi beliau untuk menjadi nabi.

Di tempat inilah, Gua Hira, beliau menerima ayat pertama Al-Qur’an, dan tempat Malaikat Jibril menyampaikan bahwa beliau harus mengumumkan pada dunia bahwa hanya ada satu Tuhan. Dan, beliau, harus menyebarkan pesan ini.

Ibnu Ishaq menyatakan dari Wahab bin Kaisan bahwa Ubaid berkata, “Pada bulan itu (bulan Ramadan), Rasulullah SAW menetap di Gua Hira. Beliau memberi makan kepada orang- orang miskin yang datang kepada beliau.

Hingga pada bulan di mana Allah SWT berkehendak memuliakan beliau dengan mengutus sebagai nabi pada bulan Ramadan. Pada bulan tersebut, beliau pergi ke Gua Hira seperti biasanya dengan diikuti keluarganya. Pada suatu malam, Allah SWT memuliakan beliau dengan memberi risalah dan merahmati hamba-hamba-Nya dengan beliau.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Siapa Sahabat Rasulullah yang Buruk Rupa tapi Bisa Menikahi Bidadari?


Jakarta

Ada sahabat Rasulullah yang memiliki penampilan fisik yang buruk dan miskin, namun ia berhasil menikahi seorang gadis cantik yang salihah. Ia adalah Julaibib.

Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib.

Dalam buku 99 Asmaul Husna Kisah dan Mukjizat yang ditulis Chris Oetoyo, dijelaskan bahwa tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alasan sulitnya orang lain mendekat dengannya.


Penampilan fisik dan keseharian Julaibib sangat menyedihkan. Wajahnya jelek dan menyeramkan, pendek, bungkuk, hitam, dan miskin. Kainnya sudah kusam dan pakaiannya lusuh.

Ia tidak memiliki rumah untuk berteduh. Ia sungguh miskin, namun ketika Allah SWT berkehendak menurunkan rahmat-Nya, tidak ada satu makhluk pun yang bisa menghalangi.

Ia selalu berada di shaf terdepan ketika salat maupun jihad. Meski hampir semua orang memperlakukannya seolah ia tidak ada, tetapi Rasulullah SAW memperlakukan Julaibab sama seperti umat lainnya.

Julaibib tidak pernah menyesali apa yang ada pada dirinya. Ia yakin bahwa Allah SWT mempunyai rencana sendiri untuknya.

Pada suatu hari, Julaibib menerima hidayah atas bantuan Rasulullah SAW. Akhirnya Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi menikah dengan seorang gadis cantik yang salihah. Berikut kisah selengkapnya.

Kisal Julaibib RA yang Menikahi Bidadari Salehah

Dikisahkan dalam buku Jangan Berhenti Mencoba karya Nasrul Yung, Julaibib yang tinggal di shuffah masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Rasulullah SAW,

“Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil. “Tidakkah engkau ingin menikah?” lanjut beliau.

“Siapakah orangnya ya Rasulullah, yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah SWT pada kata-kata ataupun mukanya. Rasulullah pun tersenyum. Mungkin memang tidak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib.

Di hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah SAW menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau ingin menikah?”.

Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama, tiga kali, dan tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Rasulullah SAW menggenggam lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.

“Aku ingin menikahkan putri kalian.” Kata Rasulullah SAW pada si tuan rumah.

“Betapa indahnya dan betapa berkahnya.” Begitu si tuan rumah menjawab dengan berseri-seri, mengira bahwa sang Rasul lah calon menantunya.

“Oh… ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku.”, kata Rasulullah SAW. “Kupinangkan putri kalian untuk Julaibib.”

“Julaibib?” nyaris berteriak ayah sang gadis. “Ya, untuk Julaibib.” Jawab Rasulullah SAW

“Ya Rasulullah…” terdengar helaan napas berat ayah sang gadis. “Saya meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini.”

Setelah meminta pertimbangan sang istri, ternyata ibu dari sang gadis itu pun menolak.

“Dengan Julaibib?” Istri seorang pemimpin kaum Anshar pun turut terkejut.

“Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lacak, tidak berpangkat, tidak bernasab, tidak berkabilah, dan tidak bertahta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kami menikah dengan Julaibib.”

Perdebatan itu tidak berlangsung lama, Kemudian sang putri cantik asal Madinah itu mendengarnya dari balik tirai dan berkata dengan lembut, “Siapa yang meminta?”.

Sang ayah dan ibunya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW lah yang meminta.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah yang meminta, maka tidak akan membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Jawab sang gadis.

Sang gadis yang salehah kemudian membaca surah Al-Ahzab ayat 36, https://www.detik.com/hikmah/quran-online/al-ahzab/tafsir-ayat-36-3569

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْۗ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Arab Latin: wa mâ kâna limu’miniw wa lâ mu’minatin idzâ qadlallâhu wa rasûluhû amran ay yakûna lahumul-khiyaratu min amrihim, wa may ya’shillâha wa rasûlahû fa qad dlalla dlalâlam mubînâ

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Rasulullah SAW dengan tertunduk berdoa untuk si gadis salehah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Jangan Engkau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.”

Akhirnya dilaksanakanlah pernikahan antara Julaibib si buruk rupa dengan gadis tercantik Madinah putri pemuka Anshar.

Mengutip buku Tetes Embun karya Iqbal Syafi’i, beberapa hari kemudian setelah Julaibib dan istrinya menikah, terjadilah perang Uhud.

Mendapatkan seruan dari Rasulullah SAW untuk berperang, Julaibib dengan antusias mengikutinya. Ia termasuk pasukan terdepan di perang itu, namun ditengah peperangan, ia pergi dengan syahid.

Rasulullah SAW bersedih atas kepergian Julaibib, karena ia baru saja menikah. Disaat pemakamannya, Rasulullah SAW tiba-tiba memalingkan wajahnya dari Julaibib.

Lalu ada sahabat yang menanyakan sebabnya, beliau menjawab, “Kulihat para bidadari memperebutkannya, hingga salah seorang dari mereka tersingkap betisnya.” Karena itulah Rasulullah SAW memalingkan wajahnya.

Si gadis cantik salehah asal Madinah itu tidak mencintai Julaibib kecuali karena diminta Rasulullah SAW, Julaibib pun tidak mencintai kecuali karena Rasulullah SAW. Jadi, dibawah naungan sang Rasul lah keduanya saling mencintai.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Naik ke Sidratul Muntaha untuk Terima Perintah Salat


Jakarta

Salat adalah rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Perintah untuk melaksanakannya tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam surah Al-Baqarah ayat 43.

Allah SWT berfirman,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ ۝٤٣


Artinya: “Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Di balik diwajibkannya seseorang untuk melaksanakan ibadah ini, salat memiliki sejarah pada awal permulaannya. Berikut penjelasan singkatnya.

Sejarah Singkat Awal Diwajibkannya Salat

Dikutip dari buku Sejarah Kenabian karya Aksin Wijaya, istilah salat berasal dari bahasa Aramaik (shala) yang bermakna rukuk. Dalam perjalanannya, makna salat berubah menjadi ibadah sebagaimana umum dikenal.

Kemudian, kaum Yahudi menggunakan istilah itu sehingga salat yang awalnya berbahasa Aramaik berubah menjadi berbahasa Ibrani. Kaum Yahudi menggunakan istilah (shalutuhu).

Salat awalnya turun dalam Al-Qur’an dalam surah Al-‘Alaq, Al-A’la, Al-Baqarah, dan Taha. Dalam Islam, salat diwajibkan pada peristiwa Isra dan Mi’raj pada pertengahan periode Makkah. Tujuan diperintahkannya salat adalah membersihkan hati dari syirik yang kala itu berkembang merata di masyarakat Arab.

Merangkum buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3 karya Ahmad Sarwat, sebelum salat lima waktu ini diwajibkan syariat, sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabat sudah disyariatkan untuk menjalankan ibadah salat. Hanya saja ibadah salat itu belum seperti salat lima waktu yang disyariatkan sekarang ini.

Aisyah RA menyebutkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para sahabat telah menjalankan ibadah salat di malam hari sebagai kewajiban. Setidaknya selama setahun sebelum kewajiban salat malam itu diringankan menjadi salat sunnah.

Awalnya, umat Islam mendapatkan rukhshah (kemudahan) dalam bersuci untuk bertayamum, terutama saat berada dalam perjalanan pulang dari peperangan dan tidak menemukan air untuk berwudhu. Meskipun demikian, bersuci dengan air (wudhu) tetap diutamakan.

Sementara itu, perintah untuk menjaga kesucian pakaian terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Muddassir. Selanjutnya, perintah untuk melaksanakan salat khauf dan salat Jumat diturunkan di Madinah. Nabi Muhammad SAW pertama kali melaksanakan salat Jumat di rumah Hay bin Auf setelah tiba di Madinah.

Pada masa itu, tidak terdapat syariat azan dalam Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah karena jumlah umat Islam masih sedikit. Azan baru dilaksanakan di Madinah, yang berdasarkan pada hadits Nabi, bukan ketentuan Al-Qur’an. Selain itu, salah satu unsur dalam salat adalah kiblat, yang menunjukkan arah yang harus dihadapi oleh umat Islam saat melaksanakan ibadah.

Kisah Rasulullah Menerima Perintah Salat yang Awalnya 50 Kali

Merujuk kembali pada buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3, salat fardu yang kita kenal saat ini dimulai dengan jumlah yang sangat berbeda. Awalnya, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan salat lima puluh kali dalam sehari semalam.

Peristiwa ini terjadi pada malam Isra Mi’raj, tepatnya pada tanggal 27 Rajab tahun kelima sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait waktu Isra Mi’raj ini. Adapun menurut pendapat mayoritas, Isra Mi’raj terjadi setelah Fatimah putri Rasulullah SAW lahir.

Menurut riwayat yang diceritakan dalam kitab al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Jalaluddin As-Suyuthi yang diterjemahkan Arya Noor Amarsyah, perjalanan Isra Mi’raj berlangsung dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan berlanjut ke Sidratul Muntaha melewati setiap lapisan langit hingga langit ketujuh.

Dari Anas bin Malik RA, “Telah difardhukan kepada Nabi SAW salat pada malam beliau diisra’kan lima puluh salat, kemudian dikurangi hingga tinggal lima salat saja. Lalu diserukan, “Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima salat ini sama bagimu dengan lima puluh kali salat.” (HR Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmidzi)

Setelah Nabi Muhammad SAW turun dari Mi’raj di langit ketujuh, yang ditetapkan saat itu adalah salat lima waktu. Namun, jumlah rakaat untuk setiap salat tersebut masih dua rakaat, sehingga totalnya hanya sepuluh rakaat dalam sehari semalam.

Kemudian, Allah SWT menurunkan penyempurnaan yang mengubah jumlah rakaat untuk salat fardu. Salat Zuhur, Asar, dan Isya ditambah dari dua rakaat menjadi empat rakaat, sedangkan salat Magrib ditingkatkan dari dua rakaat menjadi tiga rakaat. Sementara itu, salat Subuh tetap dengan dua rakaat.

Dari Aisyah RA berkata: “Awal mula diwajibkan salat itu dua rakaat kemudian ditetapkan bagi salat safar dan disempurnakan (empat rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar). (HR Bukhari Muslim)

Terdapat penambahan riwayat dari Bukhari, “Kemudian beliau SAW hijrah maka diwajibkan salat itu empat rakaat dan ditetapkan bagi salat safar atas yang pertama (dua rakaat).”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ali bin Abi Thalib Berbaring Gantikan Rasulullah SAW



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA berbaring di tempat tidur Rasulullah SAW agar beliau bisa hijrah ke Madinah. Kisah ini abadi dan masyhur dan tercatat sebagai salah satu peristiwa di momen hijrah.

Ali RA berbaring di atas ranjang Rasulullah SAW atas perintah beliau langsung.

Mengutip buku 150 Kisah Ali bin Abi Thalib karya Ahmad Abdul `Al Al-Thahthawi, dikisahkan pada suatu malam, Rasulullah SAW berkata kepada Ali Ra, “Tidurlah di pembaringanku. Tutuplah tubuhmu dengan selimut hijauku. Tidurlah dengan mengenakannya. Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu hal buruk kepadamu dari mereka.”


Mendengar perkataan itu, Ali RA pun kemudian tidur di ranjang milik Rasulullah SAW.

Tujuan dari Rasulullah SAW menyuruh Ali RA berbaring di ranjangnya yakni agar lolos dari kejaran kaum kafir Quraisy yang menentang ajaran Islam dan hendak menahan Rasulullah SAW.

Sementara itu, kaum Quraisy berselisih dan masih berdebat tentang siapa yang akan menyerang pemilik pembaringan dan menangkapnya hingga subuh tiba. Namun, mereka mendapati yang tertidur bukanlah Rasulullah SAW, melaikan Ali RA.

Kaum Quraisy marah dan gencar menanyai keberadaan Rasulullah SAW, namun Ali menjawab, “Tidak tahu.”

Ketika kaum Quraisy menyadari bahwa mereka telah lalai, maka kemarahan ditimpakan kepada Ali RA. Sahabat setia Rasulullah SAW ini dipukuli habis-habisan dan dibawa ke Masjid Al Haram serta megurungnya selama beberapa saat.

Ali RA sama sekali tidak menyesal karena telah menggantikan posisi Rasulullah SAW di ranjang milik beliau. Ali RA justru percaya bahwa hal ini akan membawa kebaikan dan mendapat ridha Allah SWT.

Kegembiraan menghampiri Ali RA saat ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW berhasil meninggalkan Makkah bersama Abu Bakar RA.

Ali RA kemudian tinggal di Makkah selama beberapa hari. Dia berkeliling menelusuri setiap jalan untuk menemui para pemilik barang yang pernah menitipkan barangnya kepada Rasulullah SAW.

Selanjutnya, setelah semua amanat ditunaikan, sehingga terbebaslah tanggungan Rasulullah SAW, Ali RA pun bersiap pergi menyusul Rasulullah SAW setelah tiga malam ia habiskan di Makkah.

Ali RA menyusul Rasulullah SAW yang telah lebih dulu ke Madinah bersama Abu Bakar RA. Dalam perjalanan ini, ia bersembunyi agar tidak diketahui kaum Quraisy.

Pada siang hari, Ali RA bersembunyi dan pada malam hari ia melakukan perjalanan ke Madinah. Perjalanan yang panjang dan medan yang sulit membuat Ali RA tiba di Madinah dengan kondisi kaki penuh luka dan berlumuran darah.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Abdullah ibn Al-Zubair, Muhajirin Pertama yang Lahir di Madinah


Jakarta

Pada masanya, masyarakat Madinah dibuat bahagia karena telah lahir seorang bayi pertama dari kaum Muhajirin. Bayi ini kemudian menjadi seorang sahabat Nabi SAW, yang juga merupakan anak dari seorang sahabat Nabi SAW, Al-Zubair ibn Al-Awwam ibn Khuwailid ibn Asad.

Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Al-Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asas bin Abdil Uzza bin Qushay Al-Asadi. Ia dipanggil dengan julukan Abu Bakar, ada juga yang menyebutnya Abu Khubaib.

Kelahiran Abdullah ibn Al-Zubair

Mengutip buku Tarikh Khulafa Imam As-Suyuthi, Abdullah ibn Al-Zubair dilahirkan di Madinah dua puluh bulan setelah hijrahnya Rasulullah SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1 H.


Ia adalah anak Muhajirin pertama yang dilahirkan di Madinah setelah hijrah.

Dalam buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi diceritakan bahwa ketika Asma binti Abu Bakar melahirkan Abdullah ibn Al-Zubair, seluruh kaum muslim bersukacita. Mereka berkeliling di jalan-jalan kota Madinah.

Mereka merasa bahagia karena orang Yahudi pernah berkata, “Kami telah menyihir kalian.” Karenanya, tidak akan lahir seorang anak pun bagi mereka. Namun, Allah SWT mematahkan sihir dan celaan mereka ketika Asma melahirkan Abdullah ibn Al-Zubair.

Beberapa saat setelah kelahirannya, Rasulullah SAW mengolesi langit-langit mulutnya dengan sebutir kurma yang telah beliau kunyah, lalu memberinya nama Abdullah ibn Al-Zubair, yang kemudian dijuluki sebagai Abu Bakar, sesuai dengan nama kakeknya.

Abdullah ibn Al-Zubair adalah seorang sahabat nabi yang gemar berpuasa dan melakukan salat malam. Ia adalah seorang yang sangat memelihara silaturahmi dan sangat pemberani.

Ia membagi malamnya menjadi tiga bagian. Ia memiliki kebiasaan berdiri, rukuk, dan sujud semalaman dalam salat hingga pagi menjelang. Abdullah ibn Al-Zubair telah meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW sebanyak 33 buah.

Kehidupan Abdullah ibn Al-Zubair Dihabiskan dengan Sang Ibu

Merujuk sumber sebelumnya, saat telah memasuki usia dewasa, Abdullah ibn Al-Zubair selalu ikut serta dalam peperangan oleh ayahnya, Al-Zubair ibn Al-Awwam. Ayahnya mendidiknya menjadi perwira yang berani dan disiplin.

Namun Al-Zubair, ayahnya, berperangai kasar. Ia bersikap keras kepada wanita, terutama istrinya. Hingga suatu hari, Abdullah mendengar ibunya meminta tolong karena dipukul ayahnya. Ketika ia akan masuk kamar untuk menenangkan ibunya, ayahnya mengancam, “Jika kau berani masuk, ibumu aku talak.”

Abdullah tidak peduli dengan ancaman ayahnya. la masuk ke kamar ibunya sehingga jatuhlah talak kepada Asma. Setelah bercerai dengan Al-Zubair, Asma hidup bersama putranya, Abdullah ibn Al-Zubair.

Dengan segala upaya, ia mendidik dan menanamkan nilai-nilai kehormatan dan kemuliaan pada diri Abdullah. Ia sangat tidak suka jika Abdullah tumbuh menjadi orang yang mudah menyerah dan gampang patah. la harus menjadi laki-laki yang kuat dan teguh pendirian.

Kekhalifahan Abdullah ibn Al-Zubair

Merangkum kembali buku Tarikh Khulafa, di era kekhilafahan Abdullah ibn Al-Zubair, seluruh wilayah tunduk kepadanya, kecuali Syam dan Mesir. Kedua wilayah ini menyerahkan bai’at kepada Mu’awiyah bin Yazid.

Namun, masa itu tidak berlangsung lama, ketika Mu’awiyah meninggal, penduduk Syam dan Mesir mengalihkan kesetiaan mereka kepada Abdullah ibn Al-Zubair.

Abdullah ibn Al-Zubair juga merupakan penunggang kuda yang sangat tangkas pada masanya. Ia mengabadikan banyak kisah kepahlawanannya.

Abu Ya’la di dalam Musnadnya meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa suatu ketika Rasulullah SAW berbekam. Setelah selesai Rasulullah SAW berkata kepadanya,

“Wahai Abdullah, bawalah darah ini dan pendamlah di suatu tempat yang tidak seorang pun melihatmu.”

Abdullah pun pergi lalu meminum darah bekas bekaman Rasulullah SAW itu. Setelah ia kembali, Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang kaulakukan dengan darah itu, wahai Abdullah?” Ia menjawab, “Aku ingin menyembunyikannya di tempat yang paling tersembunyi dan telah kutaruh ia di tempat yang paling tersembunyi itu.”

Rasulullah SAW bertanya lagi, “Apakah engkau telah meminumnya?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah SAW bersabda, “Manusia akan celaka karenamu dan engkau akan celaka karena manusia.” Orang-orang melihat bahwa kekuatan yang dimilikinya adalah berkat darah tersebut.

Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Nauf Al-Bikali, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya, kutemukan di Kitab Allah yang diturunkan bahwa Abdullah ibn Al-Zubair adalah khalifah yang paling tangkas menunggang kuda.”

Dalam riwayat lain, Mujahid berkata “Tidak ada pintu ibadah yang sukar ditembus oleh seseorang (artinya sangat sulit untuk dilakukan), kecuali Abdullah ibn Al-Zubair melakukannya. Suatu ketika, banjir menenggelamkan Ka’bah, tetapi ia tetap melakukan thawaf dengan berenang.”

Disebutkan pula bahwa orang yang pertama kali menutup Ka’bah dengan kain sutra adalah Abdullah ibn Al-Zubair. Kelambunya ia buat dari bulu dan kulit.

Abdullah ibn Al-Zubair juga memiliki seratus orang pelayan. Setiap pelayan memiliki logat bahasa sendiri dan Abdullah ibn Al-Zubair berbicara menggunakan logat bahasa mereka masing-masing.

Jika sedang melihatnya bicara tentang dunianya, Umar bin Qais selalu berkata, “Orang ini sama sekali tidak menginginkan Allah.” Namun, jika sedang melihatnya bicara tentang agama, ia selalu berkata, “Orang ini sama sekali tidak menginginkan dunia.”

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abdullah bin Amr yang Jasadnya Tetap Utuh setelah 46 Tahun Lamanya


Jakarta

Dalam sejarah Islam, terdapat kisah menakjubkan tentang Abdullah bin Amr, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud. Jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh bahkan puluhan tahun setelah kematiannya menjadi salah satu keistimewaannya sebagai sahabat nabi.

Sebelum perang, Abdullah bin Amr merasa yakin bahwa ia akan gugur dalam pertempuran tersebut. Kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh menjadi sebuah keajaiban yang menggambarkan betapa tinggi kedudukan beliau di sisi Allah SWT, bahkan setelah syahid. Inilah kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh setelah 46 tahun lamanya.

Dibalik Kematian Abdullah bin Amr

Dikisahkan dalm buku Biografi 60 Sahabat Rasulullah SAW yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, ketika 73 orang kaum Anshar membaiat Rasulullah SAW dalam Baiat Aqabah II, Abdullah bin Amr bin Haram adalah salah seorang dari mereka.


Demikian juga, ketika Rasulullah SAW memilih beberapa yang terbaik dari mereka, Abdullah bin Amr adalah salah satu yang terpilih. Rasulullah SAW menunjuknya sebagai orang pilihan dari kaumnya, Bani Salamah.

Abdullah bin Amr menyerahkan dirinya, harta, dan keluarganya untuk mengabdi kepada Islam. Termasuk saat Perang Badar dan Perang Uhud, ia menunjukkan keberanian yang luar biasa.

Sebelum Perang Uhud, Abdullah bin Amr merasa yakin bahwa ia akan gugur dalam pertempuran tersebut. Hatinya terbang karena bahagia. Ia panggil anaknya, Jabir bin Abdullah, lalu berpesan kepadanya,

“Aku merasa yakin akan gugur dalam perang ini. Bahkan, mungkin aku akan menjadi muslim pertama yang menjadi syuhada. Demi Allah, aku tak meninggalkan seorang pun yang lebih aku cintai sesudah Rasulullah, melebihi dirimu. Sungguh aku memiliki utang maka bayarlah utangku dan berbuat baiklah kepada para saudaramu!”

Setelah Perang, Abdullah bin Amr adalah salah seorang yang pertama kali terbunuh. Jabir bin Abdullah, anaknya, turut serta ketika kaum muslimin mencari jasad para syuhada, termasuk jasad ayahnya di antara para syuhada.

Ia menemukan ayahnya di tengah-tengah tubuh para syuhada, yang jasadnya telah diperlakukan dengan kejam oleh kaum musyrikin sebagaimana yang dialami oleh para pahlawan lainnya.

Ketika Jabir dan beberapa keluarga menangisi sang syuhada Islam, Abdullah bin Amr bin Haram, Rasulullah SAW melihat mereka, lalu bersabda,

“Kalian tangisi atau tidak maka ia telah berada dalam naungan sayap-sayap para malaikat.”

Iman Abdullah bin Amr sangatlah kokoh. Cintanya kepada syahid di jalan Allah SWT adalah puncak harapan dan keinginannya. Suatu ketika, Rasulullah SAW memberitahukan suatu kabar besar yang menggambarkan keinginannya untuk menjadi syuhada.

Suatu hari Rasulullah SAW bersabda kepada Jabir putra Abdullah bin Amr,

“Wahai Jabir, Allah tidak pernah berfirman kepada seorang pun, kecuali dari balik tabir. Namun, Dia telah berfirman kepada ayahmu secara langsung. Dia berfirman kepada ayahmu:

“Wahai hamba-Ku, mintalah kepada-Ku, Aku pasti memberimu!”

Abdullah bin Amr berkata: “Wahai Tuhan, aku minta kepada-Mu agar Engkau kembalikan aku ke dunia untuk sekali lagi berperang di jalan-Mu.”

Allah SWT menjawab: “Sesungguhnya, Aku telah berfirman bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia.”

Abdullah bin “Amr berkata: ‘Kalau begitu, sampaikanlah nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami kepada orang-orang sesudahku!”

Selanjutnya, Allah SWT menurunkan surat Ali Imran ayat 169-170 berikut:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati’.”

Jasad Abdullah bin Amr yang Tetap Utuh

Kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh terjadi ketika kaum muslimin mulai mengenali para syuhada, keluarga Abdullah bin Amr pun berhasil menemukan jasadnya, istri Abdullah kemudian mengangkat jasad sang suaminya dan menaruhnya di atas unta, bersama dengan jasad saudara laki-lakinya yang juga syahid dalam pertempuran tersebut.

Sang istri membawa keduanya ke Madinah untuk dimakamkan di sana sebagaimana yang dilakukan oleh keluarga syuhada lainnya.

Namun, seorang utusan Rasulullah SAW menyusul mereka dan menyerukan perintah Rasulullah SAW,

“Makamkanlah para korban yang gugur di tempat mereka gugur!” Akhirnya, setiap dari mereka pun kembali dengan membawa pahlawan syahidnya. Nabi sendiri memimpin pemakaman para sahabat yang menjadi syuhada. Mereka yang telah menepati apa yang mereka janjikan dengan Allah, mengorbankan nyawa yang berharga dengan mendekatkan diri dan tawadhu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika tiba giliran Abdullah bin Amr untuk dimakamkan, Rasulullah SAW menyeru,

“Makamkanlah Abdullah bin ‘Amr dan ‘Amr bin Jamûh dalam satu liang karena saat di dunia mereka berdua saling mencintai dan saling setia!”

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Kisah Karomah Para Wali Allah yang ditulis oleh Abul Fida’ Abdurraqib bin Ali Al-Ibi, Abdullah bin Amr memiliki ciri khas berkulit merah, berkepala botak, dan berpostur tinggi. Begitu pun dengan Amr bin Jamuh yang juga memiliki postur tubuh tinggi, sehingga keduanya dapat dikenali. Makam mereka terletak di area yang rawan terkena banjir. Akibatnya, ketika terjadi banjir, kuburan mereka terbongkar.

Ketika kubur mereka dibongkar, jasad mereka ditemukan masih dalam keadaan utuh. Kain kafan mereka masih dalam kondisi sempurna, bahkan luka di wajah Abdullah bin Amr masih tampak.

Saat anaknya, Jabir, mencoba menggeser tangannya dari luka, darah mengalir dengan deras. Namun, ketika tangannya dikembalikan ke posisi semula, darah berhenti mengalir. Jabir merasa bahwa ayahnya seolah tidur dengan tenang, tanpa ada perubahan.

Kain selimut yang digunakan sebagai kafan untuk menutupi wajahnya, masih dalam keadaan utuh. Begitu pula dengan mantel yang menyelimuti kedua kakinya. Padahal, sudah berlalu empat puluh enam tahun sejak saat itu.

Awalnya, Jabir berkeinginan untuk memindahkan makam ayahnya ke tempat lain. Namun, para sahabat Rasulullah SAW keberatan. Mereka berkata,

“Jangan melakukan perubahan sedikit pun dan jangan memindahkan mereka ke tempat lain. Hal itu karena tempat kubur mereka bisa dilewati oleh pipa sehingga bisa membahayakan.”

Mengenai kisah ini, Ibnu Sa’ad mengatakan,

“Kami mendapatkan cerita dari Amr bin Al-Haitsam Abu Qathan, dari Hisyam Ad-Dastawa’i, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Mayat para pahlawan yang gugur dalam Perang Uhud harus dibongkar ketika Khalifah Mu’awiyah membuat saluran mata air yang melewati tanah pekuburan mereka. Ketika kami bongkar, mayat-mayat mereka masih dalam keadaan utuh, padahal sudah berlangsung empat puluh tahun yang lalu. “

Ibnu Ishaq juga mengemukakan tentang kisah jasad Abdullah bin Amr yang tetap utuh ini, ia mengatakan,

“Aku mendapatkan cerita dari beberapa orang tua kaum Anshar. Mereka berkata, ‘Ketika Khalifah Mu’awiyah mengeluarkan kebijakan membuat mata air yang saluran pipanya harus melewati tanah pekuburan para pahlawan syahid yang gugur pada Perang Uhud, kami terpaksa melakukan pembongkaran terhadap kubur Amr bin Al-Jamuh dan Amr bin Abdullah Al-Anshari. Kami mendapati mayat mereka berdua masih utuh, termasuk kain kafan mereka yang masing-masing hanya berupa dua lembar selimut dan sepotong mantel. Sepertinya mereka baru saja dikubur kemarin’.”

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masyarakat Sambut Nabi Muhammad SAW saat Hijrah ke Madinah



Jakarta

Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah pada 622 M. Kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah disambut hangat sehingga Islam dapat berkembang dengan cepat di kota ini.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW terjadi setelah Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW, meninggal dunia. Hubungan kaum Quraisy dengan Nabi Muhammad SAW memburuk. Pihak Quraisy bahkan tidak segan membunuh Nabi Muhammad SAW.

Mengutip buku Sejarah Peradaban Islam karya Akhmad Saufi, Rasulullah SAW kemudian memutuskan untuk hijrah ke Yatsrib. Dakwah Rasulullah SAW sebelumnya sudah sampai dan diterima masyarakat Kota Yatsrib.


Nabi Muhammad SAW Tiba di Madinah

Dalam buku Sejarah Peradaban Islam Terlengkap karya Rizem Aizid, Yatsrib (Madinah) adalah tempat pertemuan dua kelompok besar Yahudi dan Anshar yang terdiri atas dua kabilah Aus dan Khazraj, ditambah kabilah-kabilah Mujahirin. Dengan demikian, Yatsrib menjadi titik pertemuan antar kabilah.

Hal inilah yang membuat ajaran Nabi Muhammad SAW mudah diterima di Yatsrib. Ditambah lagi, masyarakat Arab dan Yahudi di kota itu sudah sering mendengar hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, wahyu, hari kiamat, serta surga dan neraka. Istilah-istilah ini disampaikan dalam agama para nabi sebelumnya, jadi ketika Nabi Muhammad SAW mengajarkannya, masyarakat Madinah sudah tidak asing.

Merujuk buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW: Dari Sebelum Masa Kenabian hingga Sesudahnya karya Abdurrahman bin Abdul Karim, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslim lainnya tiba di Quba pada hari Senin tanggal 8 Rabiul Awal tahun ke-13 kenabian, yang dalam penanggalan Masehi bertepatan dengan 20 September 622.

Pada hari Jumat berikutnya, yakni tanggal 12 Rabiul Awal, beliau bertolak meninggalkan Quba dan memasuki Yatsrib. Di sana, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub.

Nabi Muhammad SAW tiba di Kota Yastrib pada Jumat siang. Saat itu beliau langsung menggelar salat Jumat untuk pertama kalinya. Dalam khutbahnya, beliau menyampaikan pujian dan rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus mengajak masyarakat untuk bertakwa dan berjihad di jalan-Nya.

Sambutan Masyarakat Madinah pada Nabi Muhammad SAW

Selesai melaksanakan salat Jumat, Nabi Muhammad SAW memasuki Kota Madinah dan masyarakat Madinah menyambut beliau dengan perasaan bahagia. Sejak saat itu, para sahabat Nabi SAW terbagi menjadi dua, yakni kelompok Muhajirin (para sahabat yang berhijrah ke Madinah) dan Anshar (para penduduk asli Kota Yatsrib). Kedua kelompok ini sama-sama para sahabat Rasulullah SAW.

Setelah tiba di Kota Yatsrib, kemudian kota itu disebut Madinah an-Nabi yang maknanya kota Nabi Muhammad SAW. Mulai saat itu, Yatsrib dikenal dengan Kota Madinah hingga saat ini.

Di Kota Madinah, masyarakat setempat berbondong-bondong memeluk agama Islam. Jumlah umat Islam di Madinah bertambah secara signifikan sehingga menjadi peluang bagi Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan pemerintahan Islam pertama.

Awal pemerintahan Islam di Madinah diawali dengan tiga hal yakni pembangunan masjid, persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar, serta perjanjian kerja sama antara muslim dan nonmuslim.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW terus berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada semua penduduk di Madinah, termasuk kepada masyarakat Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala.

Proses dakwah Nabi Muhammad SAW tidak selalu berjalan mulus karena tetap ada yang menolak secara diam-diam. Di antara yang menolak adalah kaum Yahudi yang sejak awal menolak kedatangan Nabi SAW. Mereka menduga posisi mereka akan bergeser.

Meskipun menolak ajaran Islam, kaum Yahudi melakukan penolakan secara diam-diam karena mereka tidak berani berterus terang untuk menentang Nabi dan umat Islam yang saat itu menjadi mayoritas.

Tujuan Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah

Masih merujuk buku karya Riziem Aizid, ada dua tujuan Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah:

1. Menyelamatkan diri dan umat Islam dari tekanan, ancaman, serta kekerasan kaum kafir Quraisy. Bahkan, pada waktu Nabi Muhammad SAW meninggalkan rumah beliau di Makkah untuk berhijrah ke Yatsrib, rumah beliau sudah dikepung oleh kaum Quraisy yang bermaksud membunuh beliau.

2. Agar memperoleh keamanan serta kebebasan dalam berdakwah dan beribadah, sehingga dapat meningkatkan usaha-usaha Nabi Muhammad SAW dalam berjihad di jalan Allah SWT untuk menegakkan dan meninggikan agama-Nya (Islam).

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah ketika Rasulullah Dihina oleh Orang di Sekitarnya


Jakarta

Sepanjang perjalanan dakwahnya, Rasulullah SAW menghadapi berbagai tantangan berat, mulai dari penolakan, penghinaan, hingga kekerasan. Meskipun demikian, beliau tetap tegar dalam menyampaikan wahyu dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran.

Tidak hanya cobaan dalam dakwahnya saja, di kehidupan sehari-hari pun, beliau harus menghadapi hinaan dan perlakuan buruk dari sebagian orang di sekitarnya. Namun, Rasulullah SAW selalu bisa mengendalikan dirinya, tidak membalas dengan kebencian, dan justru mendoakan kebaikan bagi mereka.

Dari kesabaran dan kerendahan hati beliau ini akhirnya meluluhkan hati banyak orang, bahkan sebagian di antara penghina beliau membalikkan hati mereka untuk mengikuti ajaran Islam.


Seperti dua kisah ketika Rasulullah dihina oleh umatnya berikut ini. Sebagaimana dikutip dari buku Kisah Orang-orang Sabar yang distulis oleh Nasiruddin.

Kisah ketika Rasulullah Dihina Pengemis Buta

Di sudut pasar Madinah, terdapat seorang pengemis Yahudi yang buta. Setiap hari, ia selalu mencela Nabi Muhammad SAW di depan orang-orang yang melintas, dengan mengatakan “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.” Berulang kali ia katakan ucapan buruk ini.

Namun, setiap pagi, Rasulullah SAW tetap mendekatinya, membawa makanan, dan menyuapinya tanpa berkata sepatah kata pun, meskipun pengemis itu terus menghinanya. Rasulullah melakukan hal ini dengan penuh kesabaran, bahkan hingga menjelang wafatnya.

Setelah Rasulullah wafat, pengemis buta tersebut tidak lagi menerima makanan setiap pagi. Suatu hari, Abu Bakar RA bertanya kepada putrinya, Aisyah RA, “Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja.”

“Apakah itu?” tanya Abu bakar RA.

“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.

Keesokan harinya, Abu Bakar RA mendatangi pengemis tersebut dan memberinya makanan. Saat Abu Bakar mulai menyuapinya, pengemis itu marah dan berteriak, “Siapakah kamu?”

Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa.”

Pengemis itu menyangkal, “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,”

“Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Mendengar hal itu, Abu Bakar RA pun menangis dan berkata, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Rasulullah SAW.”

Setelah mendengar penjelasan tersebut, pengemis buta itu pun menangis. Ia menyadari kesalahannya selama ini, yang telah menghinakan Rasulullah tanpa tahu betapa mulianya beliau. “Benarkah demikian?, tanya pengemis itu.

“Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pemah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.”

Pengemis itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar RA, mengakui kekeliruannya, dan memeluk Islam. Kesabaran Rasulullah SAW memang tidak terbatas dan tanpa pandang bulu walaupun kepada seorang pengemis buta Yahudi yang selalu mencemooh beliau.

Kisah ketika Rasulullah Diludahi Wanita Tua

Tidak hanya satu saja kisah ketika Rasulullah dihina oleh umatnya. Bahkan, ada seorang wanita tua yang berani mencerca Rasulullah SAW. Setiap kali beliau melintas di depan rumahnya, wanita tersebut meludahi beliau dengan air liurnya, “Cuh, cuh, cuh.” Peristiwa ini terjadi berulang kali, bahkan setiap hari.

Suatu kali, ketika Rasulullah melewati rumah wanita itu, ia tidak meludahinya seperti biasanya, bahkan rumahnya pun tampak kosong. Rasulullah SAW pun mempertanyakan wanita si peludah tadi.

Karena penasaran, Rasulullah SAW lantas bertanya kepada seseorang, “Wahai Fulan, tahukah engkau, di manakah wanita pemilik rumah ini, yang setiap kali aku lewat selalu meludahiku?”

Orang yang ditanya merasa heran mengapa Rasulullah justru menunjukkan rasa penasaran, bukannya merasa senang. Namun, orang tersebut tidak terlalu memikirkannya dan segera menjawab pertanyaan beliau, “Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa si wanita yang biasa meludahimu sudah beberapa hari terbaring sakit?”

Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW hanya mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Ka’bah untuk beribadah dan memohon kepada Allah SWT.

Setelah kembali dari ibadah, Rasulullah SAW datang untuk menjenguk wanita yang biasa meludahinya. Begitu mengetahui bahwa orang yang setiap hari dia ludahi justru datang menjenguk, wanita itu lantas menangis.

“Duhai, betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan penuh haru, wanita itu pun bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”

Rasulullah menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau sudah mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya.”

Mendengar ucapan bijak dari manusia utusan Allah SWT ini, si wanita menangis dalam hati. Dadanya terasa sesak, dan tenggorokannya seperti tercekik. Setelah beberapa saat mengatur napas, akhirnya ia bisa berbicara dengan lega, “Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.” Kemudian, wanita itu mengikrarkan dua kalimat syahadat.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com