Tag Archives: Maimunah RA

Salat Tanpa Sajadah, Sah atau Tidak? Ini Penjelasan Ulama


Jakarta

Sajadah telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik salat bagi sebagian besar umat Muslim. Banyak yang merasa kurang nyaman atau bahkan tidak lengkap ibadahnya tanpa alas sujud ini.

Namun, apakah salat sah jika tidak menggunakan sajadah? Bagaimana sebenarnya pandangan ulama mengenai hal ini?

Fungsi Sajadah dan Hukum Penggunaannya

Pada dasarnya, sajadah adalah salah satu perangkat salat yang bertujuan untuk menjaga kebersihan dan kesucian tempat salat. Ini memastikan area sujud dan berdiri jemaah tetap bersih dari kotoran atau najis.


Mengenai hukum penggunaannya, ulama memiliki beberapa pandangan. Menukil buku 15 Konsultasi Syariah: Ambil Untung 100% Bolehkah? Karya Fahrudin, dkk, ada tiga hukum dalam penggunaan sajadah.

1. Haram secara mutlak: Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa penggunaan sajadah adalah haram dan membuat salat tidak sah. Namun, pandangan ini kurang populer.

2. Haram jika motif mengganggu kekhusyukan: Pendapat lain menyatakan bahwa sajadah haram digunakan jika memiliki motif yang dapat mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan salat.

3. Boleh (Mubah): Mayoritas ulama membolehkan penggunaan sajadah, tikar, atau alas suci lainnya. Pandangan ini didasarkan pada sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW, di antaranya:

  • Dari Maimunah RA, istri Nabi SAW, bahwa Rasulullah SAW sering salat beralaskan tikar kecil. “Adalah Rasulullah SAW seringkali salat dengan beralaskan khumrah (tikar kecil).” (HR Bukhari dan Muslim)
  • Ibnu Abbas RA pernah salat di atas permadani di Bashrah dan menyampaikan bahwa Rasulullah SAW juga sering salat di atas permadani. (HR Ibnu Majah)
  • Rasulullah SAW bahkan pernah membentangkan bajunya sebagai alas salat ketika cuaca sangat panas. (HR Bukhari dan Muslim)

Apakah Salat Sah Jika Tidak Pakai Sajadah?

Ya, salat tetap sah jika tidak menggunakan sajadah. Penggunaan sajadah bukanlah penentu sah atau tidaknya salat seseorang.

Jika ada pendapat yang mengharamkan sajadah secara mutlak atau yang melarang sajadah bermotif, maka tentu salat akan menjadi sah justru ketika tidak memakai sajadah.

Buya Yahya dalam video ceramahnya di kanal YouTube Al-Bahjah TV menegaskan, “Anda bisa salat di mana pun tanpa sajadah, sebab bumi Allah itu suci.” Beliau menambahkan bahwa di padang pasir, padang rumput, atau di mana saja, salat tanpa sajadah adalah sah. Ini menunjukkan kemudahan dalam beribadah.

Penting untuk diingat bahwa najis itu terbatas pada kotoran manusia, air kencing, atau sejenisnya. Tanah, rumput, atau debu di tempat umum yang bersih tidaklah najis.

Kapan Sebaiknya Menggunakan Sajadah?

Meskipun salat tanpa sajadah sah, ada situasi di mana penggunaan sajadah sangat dianjurkan. Jika tempat salat diperkirakan kotor, tidak suci, terlalu panas, terlalu dingin, atau berdebu, maka sajadah dapat menjadi alas yang membantu menjaga kenyamanan dan kebersihan. Terkadang, sajadah juga menjadi penyemangat tersendiri untuk mendirikan salat.

Ketentuan Tempat Salat

Sahnya salat tidak ditentukan oleh sajadah, melainkan oleh tempat dan syarat-syarat salat itu sendiri. Menurut Fahd Salem Bahammam dalam bukunya Shalat: Penjelasan Rinci tentang Hukum dan Tujuan Bersuci dan Shalat dalam Islam, ada beberapa ketentuan tempat salat yang harus diperhatikan:

  • Tidak mengganggu orang lain: Hindari salat di jalanan, koridor, atau tempat yang dapat menghambat aktivitas orang lain.
  • Tidak mengganggu kekhusyukan: Sebaiknya pilih tempat yang tenang, bebas dari gambar-gambar mencolok, suara gaduh, atau alunan musik yang dapat memecah konsentrasi.
  • Bukan tempat maksiat: Jauhi tempat-tempat yang identik dengan perbuatan maksiat seperti diskotek atau klub malam.

Syarat Sah Salat

Abu Sakhi dalam Buku Praktis Panduan Sholat Wajib-Sunnah menuturkan syarat sah salat yang harus dipenuhi:

  1. Bersuci: Wajib berwudu, tayamum, atau mandi junub sebelum salat.
  2. Mengetahui waktu salat: Salat harus dilakukan pada waktunya yang telah ditentukan. Jika dilakukan sebelum waktunya, salat tersebut tidak sah dan wajib diulangi.
  3. Menutup aurat: Seluruh aurat harus tertutup sempurna selama salat.
  4. Menghadap kiblat: Salat wajib dilakukan dengan menghadap ke arah kiblat (Ka’bah di Mekah).

Etika dalam Menggunakan dan Memberi Sajadah

Buya Yahya juga mengingatkan tentang etika dalam penggunaan sajadah, terutama saat memberikannya kepada orang lain:

  • Kebersihan dan kenyamanan: Pastikan sajadah yang diberikan bersih dan layak pakai. Hindari memberikan sajadah yang kotor, berbau, atau memiliki bekas-bekas yang tidak nyaman bagi orang lain.
  • Motif yang tidak mengganggu: Sajadah dengan gambar atau motif yang terlalu ramai sebaiknya dihindari, karena dapat mengganggu kekhusyukan salat.
  • Ukuran yang proporsional: Sajadah yang terlalu besar hingga menghalangi jalan orang lain juga perlu diperhatikan.

Intinya, kemudahan dalam beribadah salat adalah salah satu prinsip utama dalam Islam. Jangan sampai kerumitan yang tidak perlu, seperti keharusan menggunakan sajadah, menghalangi seseorang untuk menunaikan salat.

detikHikmah telah mendapatkan izin dari Tim Al Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya di channel tersebut.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Sayyidah Maimunah, Istri yang Terakhir Dinikahi Rasulullah



Jakarta

Sayyidah Maimunah merupakan istri terakhir yang dinikahi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menikahi Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyah di Sarif dan membangun rumah tangga dengannya di sana. Disebutkan bahwa Sarif berjarak 7 mil dari Kota Makkah.

Disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya Kelengkapan Tarikh Rasulullah, Maimunah adalah bibi (dari pihak ibu) Abdullah bin Abbas. Ibunya Abdullah (yang bernama Ummul Fadhl binti Al-Harits) adalah bibi (dari pihak ibu) Khalid bin Al-Walid.

Nasab dan nama asli Maimunah binti Harits sesungguhnya adalah Barrah binti Harits bin Huzn bin Bujair bin Hazm bin Ruwaibah bin Abdillah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyyah. Saudari kandungnya adalah Ummul Fadhal Lubabah al-Kubra binti Harits, istri Abbas bin Abdul Muthalib dan ibu dari anak-anak Abbas.


Ia adalah wanita pertama yang beriman sesudah Khadijah. Adapun Ummul Fadhal sendiri adalah wanita yang dikenang oleh Islam sebagai orang yang telah menyerang Abu Lahab yang menjadi musuh Allah, musuh Rasulullah, dan tentunya musuh Islam.

Pernikahan Sayyidah Maimunah dengan Rasulullah SAW

Sebelumnya, Barrah binti Harits menikah dengan Abu Raham bin Abdil ‘Uzza al-‘Amiri yang kemudian meninggal ketika Barrah berusia 26 tahun. Hal ini disebutkan dalam buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam oleh Bassam Muhammad Hamami, bahwa setelah tahun-tahun berlalu, Rasulullah dan sahabat meninggalkan Kota Mekkah untuk hijrah ke Madinah, hingga terjadi Perjanjian Hudaibiyah.

Kemudian, Rasulullah pun memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap pergi ke Mekkah demi menunaikan haji dan umrah. Beliau duduk di atas untanya yang diikuti oleh dua ribu penunggang kuda dari kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah melaksanakan thawaf dan doa, Rasulullah menunaikan sholat dua rakaat di sisi Maqam Ibrahim.

Sementara itu, saudari Ummul Fadhal, Asma’ binti ‘Umais dan Sulma binti ‘Umair yang merupakan saudari-saudari Maimunah membisikkan isi hati mereka kepada saudainya tentang keinginannya untuk menjadi istri Rasulullah.

Ummul Fadhal segera pergi untuk menceritakan tentang gejolak jiwa dan keinginan Barrah kepada Abbas, suaminya. Abbas pun segera pergi menemui keponakannya, Muhammad, menawarkan agar beliau menikahi Barrah yang telah merelakan diri untuk beliau.

Di saat itu, Allah pun menurunkan firman-Nya yakni Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 50,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّآ اَحْلَلْنَا لَكَ اَزْوَاجَكَ الّٰتِيْٓ اٰتَيْتَ اُجُوْرَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ مِمَّآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلَيْكَ وَبَنٰتِ عَمِّكَ وَبَنٰتِ عَمّٰتِكَ وَبَنٰتِ خَالِكَ وَبَنٰتِ خٰلٰتِكَ الّٰتِيْ هَاجَرْنَ مَعَكَۗ وَامْرَاَةً مُّؤْمِنَةً اِنْ وَّهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ اِنْ اَرَادَ النَّبِيُّ اَنْ يَّسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۗ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْٓ اَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُوْنَ عَلَيْكَ حَرَجٌۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Artinya: Wahai Nabi (Muhammad) sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki dari apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dianugerahkan Allah untukmu dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukminat yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin (yang lain). Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Abbas pun kembali menemui Barrah dengan wajah yang berseri. Rasulullah kemudian menikahi Barrah pada bulan Syawal 7 Hijriah. Beliau segera membawa istrinya pulang ke Madinah dan mengganti namanya menjadi Maimunah. Hal itu karena pernikahan Rasulullah dengan Barrah berlangsung dalam kesempatan yang penuh rahmat dan indah.

Kebaikan Sayyidah Maimunah

Kebaikan Sayyidah Maimunah RA diakui oleh Sayyidah Aisyah RA. Ukasyah Habibu Ahmad dalam bukunya The Golden Stories of Ummahatul Mukminin menuliskan bahwa Sayyidah Aisyah RA berkata, “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.”

Dalam catatan sejarah Islam beserta kitab-kitab sirah, tidak terdapat bukti satupun peristiwa atau perselisihan yang terjadi di antara Maimunah RA dengan salah seorang ummul mukminin, terlebih pertengkaran di dalam rumah tangga Rasulullah SAW.

Selepas Rasulullah SAW wafat, Sayyidah Maimunah RA masih hidup dalam waktu yang panjang, yakni hingga lima puluh tahun kemudian. Selama masa hidupnya tersebut, ia tetap menjadi seorang wanita shalihah yang turut menyampaikan dakwah Rasulullah SAW.

Ia juga selalu mengenang mendiang suaminya dengan memanjatkan doa-doa. Sayyidah Maimunah RA wafat pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, yaitu pada tahun ke-61 setelah hijrah, di sekitar usianya yang ke-80 tahun.

Saat itu, Sayyidah Maimunah RA sedang dalam perjalanan kembali dari haji. Di suatu tempat dekat dengan daerah Saraf, Maimunah RA merasakan bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang ia sampaikan.

Abdullah bin Abbas turut mensholatinya, ia pun juga termasuk ke dalam orang yang memakamkannya bersama Yazid bin Al-Asham, Abdullah bin Syaddad, dan Abdullah Al-Khaulani.

Itulah kisah dari Sayyidah Maimunah, istri terakhir yang dinikahi oleh baginda Rasulullah SAW. Semoga cuplikan dari kehidupannya yang senantiasa mendukung dan menjunjung tinggi Rasulullah dapat menjadi contoh bagi umat muslim agar semakin mencintai Rasul utusan Allah.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com