Tag Archives: makkah

Doa Masuk dan Keluar Kota Makkah: Arab, Latin dan Artinya


Jakarta

Menjejakkan kaki di Tanah Suci Makkah adalah impian bagi setiap umat Islam. Di sana, mereka berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji atau umrah.

Sebelum memasuki Makkah, ada doa khusus yang bisa dibaca sebagai bentuk penghormatan dan permohonan kepada Allah SWT. Doa ini berisi harapan agar perjalanan ibadah berjalan lancar, penuh berkah, dan diterima oleh Allah SWT.

Begitu pula saat hendak meninggalkan Makkah, doa dipanjatkan untuk mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan dalam menunaikan ibadah di Tanah Suci. Doa ini juga berisi permohonan agar amal ibadah diterima dan mendapat pahala yang berlipat ganda.


Doa Memasuki Makkah

Terdapat doa khusus yang bisa kita baca saat memasuki kota suci umat Islam ini. Dikutip dari buku Special Guide Book Traveling di Tanah Suci oleh H. Brilly El-Rasheed, berikut ini adalah doa memasuki Makkah:

اللَّهُمَّ هَذَا حَرَمُكَ وَأَمْنُكَ، فَحَرِمْ لَحْمِي وَدَمِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ وَ آمِنِيْ مِنْ عَذَابِكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ، وَاجْعَلْنِي مِنْ أَوْلِيَا بِكَ وَأَهْلِ طَاعَتِكَ، يَارَبَّ الْعَالَمِينَ

Arab Latin: Allahumma hadza haramuka wa amnuka, faharrim lahmi wadami wabasyari’alanna-ri wa amini min’adzabika yauma tab’atsu ibadaka, waj’ali min auliya bika wa ahli tha’atika ya rabbal ‘alamin.

Artinya: “Ya Allah, ini adalah tanah suci-Mu dan negeri yang aman-Mu. Lindungilah daging, darah, dan kulitku dari api neraka, serta jauhkanlah aku dari azab-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu. Masukkanlah aku ke dalam golongan kekasih-Mu dan orang-orang yang rajin serta taat kepada-Mu, wahai Rabb seluruh alam.”

Doa Meninggalkan Makkah

Selain ketika memasuki kota suci Makkah, ada juga doa yang bisa muslim amalkan ketika akan meninggalkan kota ini. Berikut ini adalah doa meninggalkan Makkah:

بسم الله اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَ اللهِ ، والحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلا قوَّةَ إِلا بِاللهِ العَلِي العَظِيمِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . اللَّهُمَّ إِيْمَانَا بِكَ وَتَصْدِيقاً بِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بِعَهْدِكَ وَاتَّبَاعاً لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . {إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ} يَا مُعِيْدُ أَعِدْنِي، يَا سَمِيْعُ أَسْمِعْنِي، يَا جَبَّارُ اجْبُرْنِي يَا سَتَارُ اسْتَرْنِي، يَا رَحْمَنُ ارْحَمْنِي، يَا رَدَّادُ ارْدُدْنِي إِلَى بَيْتِكَ هَذَا، وَارْزُقْنِيَ العَوْدَةَ ثُمَّ الْعَوْدَ كَرَّاتٍ بَعْدَ مَرَّاتٍ، تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَائِحُوْنَ لِرَبَّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ . اللَّهُمَّ احْفَظْني عَنْ عَيْنِي وَعَنْ يَسَارِيْ، وَمِنْ قُدَّامِيْ وَمِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَمِنْ فَوْقِي وَمِنْ تَحْتِي حَتَّى تَوَصَلَنِي إِلَى أَهْلِي وَبَلَدِي . اللَّهُمَّ هَوَنْ عَلَيْنَا السَّفَرَ وَأَطْوِ لَنَا بَعْدَ الْأَرْضِ اللَّهُمَّ اصْحَبْنَا فِي سَفَرِنَا وَاخْلُفْنَا فِي أَهْلِنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، وَ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ

Arab Latin: Bismillaahi allaahuakbar, subhaanallaah wal-hamdulillaah, walaa ilaaha illallaahu wallaahuakbar walaa haula walaa quwwata illaa billaahil-‘aliyyil-‘azhiim. Wasshalaatu was-salaamu ‘alaa Rasuulillaahi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Allaahumma iimaanaa bika watashdiiqan bikitaabika wawafaa’an bi ‘ahdika wattabaa’an lisunnati nabiyyika muhammadin shallallaahu ‘alaihi wasallam. Innalladzii faradha ‘alaikal qur’aana laraadduka ilaa ma’aad. Yaa Mu’iidu a’idnii, yaa samii’u asmi’nii yaa jabbarujburnii, yaa sataarustarnii, yaa rahmaanurhamnii, yaa raddaadurdudnii ilaa baitika haadzaa, warzuqniyal-‘audata tsummal-‘auda karraatin ba’da marraatin taa’ibuuna ‘aabiduuna saa’ihuuna lirabbanaa haamiduuna shodaqallaahu wa’dahu, wanashora ‘abdahu wahazamal-ahzaaba wahdahu. Allaahuumahfazhnii ‘an ‘aiinii wa ‘an yasaarii wa min quddaamii wa min waraa’i zhahrii wa min fauqii wa min tahtii hatta tawasholanii ilaa ahlii wa baladii. Allaahumma hawan ‘alainas-safara wa athwi lanaa ba’dal-ardhi. Allaahumma ashbahnaa fii safarinaa wakhlufnaa fii ahlinaa yaa arhamar-raahimiin, wa yaa rabbal-‘aalamiin.

Artinya: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Maha Suci Allah dan segala puji hanya untuk Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Rasulullah. Ya Allah, aku datang kemari karena iman kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu, memenuhi janji-Mu, dan mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad. Sesungguhnya Tuhan yang menurunkan al-Qur’an kepadamu akan memulangkanmu ke tempat kembali. Wahai Tuhan Yang Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke tempatku. Wahai Tuhan Yang Maha Mendengar, dengarlah permohonanku. Wahai Tuhan Yang Maha Memperbaiki, perbaikilah aku. Wahai Tuhan Yang Maha Pelindung, tutupilah aibku. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, sayangilah aku. Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke Ka’bah ini dan berilah aku rizki untuk mengulanginya berkali-kali, dalam keadaan bertaubat dan beribadah, menuju kepada-Mu sambil memuji. Allah Maha menepati janji-Nya, membantu hamba-hamba-Nya, dan menghancurkan musuh-musuh-Nya. Ya Allah, lindungilah aku dari kanan, kiri, depan, belakang, atas, dan bawah sampai Engkau mengembalikanku kepada keluarga dan tanah airku. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami, lipatkan bumi untuk kami. Ya Allah, sertailah kami dalam perjalanan, dan jagalah keluarga yang kami tinggalkan. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, wahai Tuhan Yang Memelihara seluruh alam.”

Keistimewaan Kota Makkah

Kota Makkah memiliki kedudukan istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Dirangkum dari buku berjudul Makkah: Kota Suci yang Dirindukan Umat Oleh Rizem Aizid, berikut ini adalah keistimewaan Makkah:

  • Kota yang tidak akan dimasuki Dajjal
  • Amal baik dan buruk akan dilipatgandakan di Makkah
  • Tempat pertama dibangunnya rumah Allah, yaitu Masjidil Haram
  • Salat di Masjidil Haram lebih utama 100 ribu kali dibandingkan di masjid lainnya
  • Tempat yang paling utama untuk dikunjungi karena Makkah adalah kota suci umat Islam
  • Menjadi satu-satunya kota yang dijadikan sumpah oleh Allah, dalam surah At-Tin ayat 1-3: Artinya: “Demi (buah) tin dan (buah) zaitun, demi gunung Sinai, dan demi negeri (Makkah) yang aman ini”
  • Kota yang menjadi saksi awal peristiwa Isra’ Mi’raj
  • Tempat terbaik di bumi dalam hal spiritualitas, bahkan bangsa jin (iblis) pun tidak bisa memasuki Makkah
  • Kota yang didoakan oleh Nabi Ibrahim yang tertulis dalam Surat Ibrahim ayat 35-37 https://www.detik.com/hikmah/quran-online/at-tin
  • Kota yang dilarang untuk berperang
  • Kota yang dilindungi oleh Allah SWT dari kerusakan dan kepunahan populasinya. “Sesungguhnya tanah ini telah diharamkan oleh Allah SWT, sehingga tidak boleh ditebang tumbuhannya, tidak boleh diburu hewan buruannya, dan tidak boleh diambil (dipungut) satu pun barang yang hilang di sana, kecuali oleh orang yang mencari pemiliknya.” (HR al-Bukhari)

detikers juga bisa membaca doa-doa di Tanah Suci lainnya melalui Kumpulan Doa dan Zikir Ibadah Haji dari detikHikmah.

(hnh/rah)



Sumber : www.detik.com

Nama Ayah Nabi Muhammad dan Kisahnya Semasa Kecil



Jakarta

Ayah Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah bin Abdul Muthalib. Abdullah meninggal dunia saat istrinya, Aminah, mengandung Nabi Muhammad SAW yang baru berusia dua bulan.

Ayah Nabi Muhammad adalah anak dari Kepala Suku Quraisy yang terkenal dan berpengaruh pada saat itu di Mekah yaitu Abdul Muthalib. Meskipun meninggal di usia yang tergolong muda yaitu 25 tahun, beliau memiliki kisah hidup semasa kecil yang dapat dijadikan teladan.

Kisah Abdullah pada Masa Kecil

Menukil buku Kisah Keluarga Rasulullah SAW untuk Anak karya Nurul Idun dkk, semasa kecilnya, Abdullah merupakan anak yang dikenal jujur dan saleh. Padahal ia adalah anak dari pemimpin Quraisy yang sangat terkenal pada masa itu.


Abdullah dikenal juga sebagai seseorang yang mahir dalam memainkan pedang serta berburu. Selain itu, ia juga ahli dalam berniaga seperti mayoritas penduduk Makkah yang juga berniaga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Singkat cerita, nama Abdullah mulai tenar ketika berita tentang penyembelihannya oleh ayahandanya sendiri tersebar. Hal ini dikarenakan nazar yang dilakukan oleh ayahnya, Abdul Muthalib, kepada Allah.

Abdul Muthalib bernazar kepada Allah untuk diberikan kepadanya anak yang banyak dan bisa membantu menjaganya. Sebagai balasannya, nazar ini diniatkan dengan niat akan mengorbankan salah satu putranya jika memang permintaan Abdul Muthalib dikehendaki oleh Allah.

Allah SWT kemudian mengabulkan permintaan Abdul Muthalib tersebut dengan memberikannya anak yang banyak dan semua menjadi penjaganya. Oleh karena itu, nazar yang telah dijanjikan Abdul Muthalib ini harus dipenuhi.

Ketika mendengar berita ini, sontak penduduk Makkah yang sangat mengenal Abdullah ini menolak karena beberapa kekhawatiran. Ayah Nabi Muhammad sebagai pemilik salah satu nasab paling mulia di Makkah saat itu ditakutkan akan menjadi contoh yang ditiru masyarakat yaitu mengorbankan anaknya.

Para pembesar Quraisy sangat takut jika eksekusi ini terjadi maka akan menjadi budaya turun-temurun ke generasi selanjutnya. Oleh karena itu, para pembesar Quraisy berunding, berusaha membujuk, bahkan mencarikan solusi lain atas masalah ini.

Setelah melakukan musyawarah bersama, masalah nazar yang membawa nama Allah ini harus diselesaikan dengan cara yang cukup unik. Mereka mendatangi salah seorang peramal dan meminta nasihat kepada peramal itu.

Peramal memberikan nasihat agar mengundi nama Abdullah bersama nama unta. Jika nama unta yang terpilih maka Abdullah bisa terbebas dari nazar, sebaliknya jika nama Abdullah yang muncul maka setiap namanya dihargai sepuluh unta yang harus disembelih.

Setelah mendengar nasihat itu, akhirnya para pemimpin Quraisy sepakat untuk melakukannya. Melansir buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karangan Abdurrahman bin Abdul Karim, total sepuluh kali nama Abdullah keluar dari undian tersebut.

Pada undian ke sebelas akhirnya nama unta yang keluar menggantikan nama Abdullah yang keluar sepuluh kali berturut-turut. sepuluh dikali sepuluh adalah 100, artinya 100 unta harus disembelih untuk menggantikan Abdullah dari nazar ayahnya Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib menyetujui skema pengganti nazar ini dan menyembelih 100 ekor unta. Hasil sembelihan ini selanjutnya dibagikan kepada penduduk Makkah secara merata sebagai bentuk rasa syukur.

Akhir cerita, ayah Nabi Muhammad berhasil terbebas dari nazar penyembelihan dirinya. Abdullah selanjutnya tumbuh besar hingga dewasa dan memiliki putra kandung yang sangat disayangi seluruh umat Islam yaitu Nabi Muhammad SAW.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Sosok Sahabat Nabi yang Paling Kuat, Dulunya Preman Quraisy



Jakarta

Sosok sahabat Nabi SAW paling kuat adalah Umar bin Khattab. Ia adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Melansir buku Biografi 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga karya Sujai Fadil, Umar bin Khattab dijuluki Al-Faruq oleh Rasulullah SAW karena bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.

Biografi Singkat Umar bin Khattab

Umar bin Khattab lahir di Makkah, Jazirah Arab pada 583 M. Ia wafat pada 25 Zulhijah atau 23 Hijriyah, tepatnya pada 3 November 644 M.


Letak makam Umar bin Khattab tepat di sebelah kiri makam Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi, Madinah. Umar bin Khattab memiliki gelar selain Al-Faruq yaitu Amirul Mukminin yang artinya pemimpin orang-orang yang beriman.

Masih dalam buku yang sama, juga menjelaskan mengenai profil dari Umar bin Khattab. Ia berasal dari bani Adi yang masih satu rumpun dari suku Quraisy dengan nama lengkap Umar bin al-Khattab bin Abdul Uzza.

Keluarga Umar bin Khattab termasuk dalam keluarga kelas menengah. Ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang sangat jarang sekali terjadi. Bukan hanya itu saja, Umar bin Khattab juga dikenal memiliki fisik yang kuat bahkan ia juga menjadi juara gulat di Makkah.

Umar bin Khattab tumbuh menjadi pemuda yang sangat disegani dan ditakuti pada masa itu. Ia memiliki watak yang keras hingga dijuluki sebagai “Singa Padang Pasir”. Ia termasuk pemuda yang amat keras dalam membela agama tradisional Arab yang saat itu masih menyembah berhala serta menjaga adat istiadat mereka.

Kebiasaan Umar bin Khattab sebelum Masuk Islam

Merangkum buku Akidah Akhlak karya Harjan Syuhada dan buku Biografi 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga karya Sujai Fadil dikisahkan bahwa sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab dikenal sangat gigih dalam membela agama nenek moyangnya.

Bahkan, ia dikenal sebagai peminum berat namun setelah menjadi muslim ia tidak lagi menyentuh alkohol (khamr) sama sekali, meskipun saat itu belum diturunkan larangan meminum khamr secara tegas. Umar bin Khattab dulu juga tidak membiarkan siapapun mengusik agama nenek moyangnya. Itulah mengapa ketika Rasulullah SAW mulai mendakwahkan Islam Umar bin Khattab menjadi salah satu yang sangat memusuhi Rasulullah SAW.

Dalam buku Umar bin Khathab RA karya Abdul Syukur al-Azizi turut dikatakan bahwa Umar bin Khattab dikenal sebagai jawara kota Makkah alias preman di kota itu. Pada masa mudanya, ia senang berkelahi dan menantang siapa pun yang berbeda pendapat dengannya.

Ia memiliki sifat temperamen, keras, arogan, dan mudah emosi. Ia juga dikenal sebagai pegulat yang biasa bertanding pada pekan tahunan Ukaz dan menyabet predikat jawara.

Kisah Umar bin Khattab Memeluk Islam

Pada waktu awal dakwah Islam di Makkah, bersama dengan Abdul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), Umar bin Khattab merupakan tokoh Quraisy yang sangat ditakuti oleh kaum Muslimin. Hingga pada puncak kebenciannya terhadap Rasulullah SAW ia mencoba untuk membuhun Nabi Muhammad SAW.

Namun, sebelum melaksanakan niatnya, dalam perjalanan ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah dan memberikan kabar bahwa saudara perempuan Umar bin Khattab telah memeluk Islam.

Karena kabar tersebut, Umar bin Khattab menjadi terkejut dan kembali ke rumah. Dalam riwayatnya, Umar bin Khattab menjumpai saudarinya yang kebetulan sedang membaca Al-Qur’an surah At-Thaha ayat 1-8. Hal ini membuatnya semakin marah dan memukul saudarinya.

Hingga ia merasa iba saat melihat saudarinya berdarah, ia kemudian meminta agar ia melihat bacaan tersebut. Hingga ia menjadi sangat terguncang saat melihat isi Al-Qur’an dan beberapa waktu setelah kejadian itu Umar bin Khattab akhirnya menyatakan masuk Islam dan membuat semua orang terkejut.

Hingga pada akhirnya, Umar bin Khattab masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW menjadi rasul selama enam tahun. Ia pun menjadi Khalifah setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Selama di bawah pemerintahan Umar bin Khattab kekuasaan Islam tumbuh sangat pesat.

Islam mengambil alih Mesopotamia dan Persia dari tangan Dinasti Sassanid, serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari Kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adidaya, yaitu Persia dan Romawi, namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam di bawah pimpinan Umar bin Khattab.

Umar bin Khattab juga melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat mengenai kebijakan publik termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

3 Kisah Nabi Muhammad di Bulan Ramadan



Jakarta

Bulan Ramadan merupakan bulan yang paling mulia bagi umat Islam, karena pada bulan ini berbagai berkah dan rahmat diberikan oleh Allah SWT. Bulan Ramadan juga sebagai saksi dari peristiwa besar dan penting yang dialami Nabi Muhammad SAW.

Salah satu kisah Nabi Muhammad SAW di bulan Ramadan adalah kala beliau menerima wahyu pertama dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril. Pendapat terkuat menyebut, peristiwa itu terjadi pada 17 Ramadan. Berikut selengkapnya.

Kisah Nabi Muhammad di Bulan Ramadan

1. Nabi Muhammad Menerima Wahyu Pertama

Deni Darmawan dalam buku Keajaiban Ramadan mengatakan bahwa Allah SWT menambahkan kemuliaan bulan Ramadan dengan menurunkan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah ad-Dukhan ayat 3,


اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ

Artinya: “Sesungguhnya Kami (mulai) menurunkannya pada malam yang diberkahi (Lailatulqadar). Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan.”

Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menerima wahyu dalam dua keadaan. Pertama, terdengar seperti suara lonceng yang berbunyi keras dan dikatakan bahwa ini cara paling berat bagi Rasulullah.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Muzammil ayat 5:

إِنَّا سَنُلْقِى عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

Artinya:” Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.”

Kedua, dikatakan bahwa Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW dalam keadaan seperti manusia biasa, menyerupai seorang laki-laki. Jibril mendatangi dengan berkata iqra` bismi rabbikallażī khalaq khalaqal-insāna min ‘alaq iqra` wa rabbukal-akram allażī ‘allama bil-qalam ‘allamal-insāna mā lam ya’lam (QS Al ‘Alaq: 1-5)

Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan secara sekaligus. Al-Qur’an itu dua kali diturunkan. Pertama, diturunkan secara sekaligus pada malam Lailatulqadar ke Baitul Izzah di langit dunia.

Kedua, diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Al-Qurtubi menukil riwayat dari Muqatil bin Hayyan bahwa menurut kesepakatan, Al-Qur’an turun langsung sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul Izzah di langit dunia dan secara berangsur-angsur diturunkan ke bumi.

Dikatakan, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang beriman dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah SWT.

2. Nabi Muhammad Memenangkan Perang Badar

Mustafa Murrad dalam buku ‘Umar ibn al-Khaththab sebagaimana diterjemahkan Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Lulu M. Sunman mengisahkan bahwa Perang Badar terjadi pada suatu senja di hari ke-8 bulan Ramadan tahun ke-2 Hijriah. Umat Islam meninggalkan rumah mereka dan menyatakan ikut membela Rasulullah SAW melawan kaum Quraisy.

Suara gemuruh dan ringkik kuda bercampur aduk dengan suara pedang, tombak, perisai yang silih beradu. Debu lembah berpasir Badar membumbung meliut-liut bersamaan dengan muncratan darah.

Perang dahsyat itu akhirnya dimenangkan oleh pasukan Muhammad SAW. Mereka berhasil memukul mundur dan menjadikan pasukan Makkah terpecah dan lari kocar-kacir. Dari Perang Badar inilah, umat Islam memperoleh kemenangan pertamanya sekaligus menjadi tonggak eksistensi dakwah Islam.

Hal itu dapat dibuktikan dengan kekuatan umat Islam yang setelah lebih dari tiga belas tahun ditindas oleh kaum Quraisy akhirnya menang. Tentu saja kemenangan ini mendorong umat Islam untuk semakin mengukuhkan dakwah dan meraih kemenangan-kemenangan berikutnya.

3. Nabi Muhammad Melakukan Pembebasan Kota Makkah

Masih dalam buku yang sama diceritakan, hingga tahun ke-8 Hijriah, pasukan muslim telah beberapa kali memenangkan pertempuran hingga membuat pengaruh agama Islam kian meluas. Sementara, kaum Quraisy kian melemah, bahkan beberapa klan Arab banyak yang bergabung dengan pasukan Nabi Muhammad SAW dan memeluk agama Islam.

Traktat perdamaian dan gencatan senjata Hudaibiyah, yang semula ditandatangani pihak umat Islam dan Quraisy, pada akhirnya dilanggar oleh pihak Quraisy ketika mereka mempersenjatai klan Bakr untuk menyerang Khuza’ah yang memilih bergabung dengan pasukan muslim.

Pada hari kesembilan bulan Ramadan, matahari yang mulai merangkak menuju titik kulminasi Kota Madinah tampak bersiap. Sepuluh ribu orang tampak berbaris dan panas yang memanggang dan perut perih karena puasa tidak menyurutkan semangat mereka.

Setelah memanjatkan doa dan berkhotbah sebentar, Rasulullah SAW kemudian memimpin pasukan itu bergerak menuju Makkah. Ketika sampai di perbatasan Rasulullah SAW meminta untuk menyalakan api di atas bukit-bukit yang mengelilingi Makkah.

Penduduk Makkah ketakutan melihat besarnya pasukan Nabi Muhammad SAW dan menganggap bahwa ribuan obor itu akan membakar kota mereka. Kalangan Quraisy pun tak mampu menghadapi pasukan tersebut dan mereka hanya bisa pasrah.

Hingga tiba memasuki kota Makkah dengan penuh wibawa dan tanpa adanya perlawanan serta pertumpahan darah. Mula-mula, Beliau memasuki pelataran Ka’bah, bertawaf, mencium hajar aswad, bersembahyang di Ka’bah, dan menghancurkan ratusan patung dewa-dewa Arab di sekitar rumah ibadah itu.

Setelah itu Rasulullah SAW pun menerima baiat sumpah setia dari penduduk Makkah. Tak lebih dari dua tahun kemudian, sejumlah utusan klan tiba dari seluruh penjuru semenanjung Arab untuk menyatakan bergabung dengan Nabi Muhammad SAW. Pada tahun ini pula (10H/632M), Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji yang terakhir.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Putri Rasulullah SAW yang Jalani Cinta Beda Agama



Jakarta

Kisah cinta beda agama sudah terjadi sejak zaman nabi. Salah satu putri Rasulullah SAW pun pernah mengalaminya.

Putri Rasulullah SAW yang mengalami cinta beda agama adalah Zainab RA. Sayyidah Zainab menikah dengan Abul Ash bin Rabi’. Dalam Kelengkapan Tarikh Muhammad SAW karya Moenawar Chalil disebutkan, Abul Ash bin Rabi’ adalah salah seorang pemuka Quraisy.

Melansir buku Rumah Tangga Seindah Surga karya Ukasyah Habibu Ahmad, cinta putri Rasulullah SAW ini sangatlah dalam dan keduanya saling mencintai. Namun, perbedaan keyakinan sempat memisahkan keduanya.


Setelah turunnya wahyu kenabian kepada Rasulullah SAW, Abul Ash tetap kukuh pada kepercayaan nenek moyangnya. Ia tetap menyembah berhala, sebagaimana orang-orang kafir Quraisy.

Pertemuan Zainab dan Abul Ash

Zainab RA adalah putri sulung dari Rasulullah SAW dari pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid RA. Saat itu, Zainab dilahirkan saat Rasulullah SAW berusia 30 tahun atau sekitar 23 tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.

Sebagai anak pertama, Zainab RA terbiasa untuk membantu dan meringankan tugas ibunya dalam urusan rumah tangga serta mengasuh adik-adiknya. Dari kebiasaan inilah, ia belajar hidup dalam kesabaran dan keteguhan.

Sementara itu, Abul Ash bin Rabi’ bin Abdil Uzza bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf bin Qushay al-Qurasyi merupakan pemuda terhormat dengan kekayaan melimpah. Ia merupakan putra Halah bin Khuwailid yang tak lain merupakan saudara Khadijah RA. Dengan kata lain, Abul Ash merupakan keponakan dari Khadijah RA.

Setelah dewasa, Abul Ash menjadi seorang pemuda yang kaya, rupawan, dan mempesona. Kehidupannya bergelimang kenikmatan hingga setelah cukup usia ia menikahi Zainab RA. Pernikahan ini berlangsung sebelum masa kenabian Rasulullah SAW.

Kisah Perjuangan Cinta Zainab dan Abul Ash

Merangkum dalam buku Rumah Tangga Seindah Surga karya Ukasyah Habibu Ahmad dan buku Kisah Nabi Muhammad SAW karya Yoyok Rahayu Basuki, hingga pada akhirnya Rasulullah SAW memutuskan untuk hijrah dan Zainab RA tidak diperbolehkan oleh sang suami dan keluarganya untuk meninggalkan Makkah.

Bahkan hingga Perang Badar meletus, Zainab RA menjadi satu-satunya muslimah yang tinggal bersama kafir Quraisy di Makkah.

Pada saat itu Abul Ash turut serta dalam pertempuran untuk memerang kaum muslimin dan mertuanya, Rasulullah SAW.

Peperangan tersebut jelas membuat Zainab RA merasa gelisah. Bagaimana tidak, saat itu sang suami berada di pihak musuh yang melawan ayahandanya padahal keduanya merupakan orang yang sangat dicintai oleh Zainab RA.

Zainab RA hanya bisa berdoa semoga Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, namun ia juga berharap suaminya dijauhkan dari bahaya dan mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam.

Pada akhirnya, kaum muslimin memenangkan peperangan dan Abul Ash menjadi salah satu tawanan. Ia digiring menuju Madinah dan Rasulullah SAW mewajibkan setiap tawanan menebus diri mereka jika ingin bebas.

Rasulullah SAW menetapkan uang tebusan antara 1.000-4.000 dirham sesuai dengan kedudukan dan kekayaan para tawanan di kaumnya.

Akhirnya, Zainab RA mengirimkan uang tebusan dan sebuah kalung pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah SAW melihat Zainab RA beserta dengan kalung tersebut beliau terharu, air mata pun menetes di pipi beliau.

Melihat duka Rasulullah SAW, para sahabat setuju untuk membebaskan Abul Ash bin Rabi’ tanpa harus membayar tebusan. Kemudian Rasulullah SAW mengembalikan kalung tersebut dan meminta Abul Ash untuk menceraikan Zainab RA.

Pada dasarnya, menurut hukum Islam seorang wanita mukmin tidak boleh menikahi laki-laki kafir. Abul Ash yang mendengarnya kemudian menyetujui hal tersebut. Ketika kembali ke Makkah keluarga Abul Ash berkata, “Biarlah engkau menceraikan istrimu itu, dan kami akan mencarikan bagimu gadis yang jauh lebih cantik daripadanya.”

Namun, Abul Ash sangat mencintai Zainab sehingga ia berkata, “Di suku Quraisy tidak ada gadis yang dapat menandingi istriku.” Meskipun dihalang-halangi orang Quraisy pada akhirnya Abul Ash melepaskan Zainab ke Madinah.

Hingga di tengah perjalanan, beberapa orang Quraisy mengganggu unta Zainab RA sehingga putri Rasulullah SAW tersebut jatuh. Pada saat itu, Zainab tengah mengandung karena hal tersebut ia harus kehilangan bayinya karena keguguran.

Disebutkan dalam buku 40 Putri Terhebat, Bunda Terkuat karya Tethy Ezokanzo setelah kejadian itu Zainab RA terus sakit-sakitan dan lukanya sulit untuk diobati. Hingga pada akhirnya, Abul Ash diberi hidayah oleh Allah SWT dan masuk Islam.

Ia menyusul Zainab RA pada tahun ke 7 Hijriah. Rasulullah SAW sangat senang menerima menantunya kembali. Zainab RA pun bahagia, hari-hari terakhir hidupnya ditemani suami tercinta, hingga akhirnya wafat pada tahun 8 Hijriah.

Demikianlah cerita dari Zainab RA, putri Rasulullah SAW yang pernah mengalami cinta beda agama dengan salah seorang Quraisy, penyembah berhala.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Akhir dari Kisah Cinta Beda Agama Putri Rasulullah



Jakarta

Putri sulung Rasulullah SAW dan Khadijah RA, Zainab RA, menikah dengan seorang lelaki kafir Quraisy, Abul Ash bin Rabi’. Keduanya menjalani cinta beda agama sejak Zainab RA memeluk Islam mengikuti sang ayah.

Kisah cinta beda agama yang dijalani Zainab RA ini sampai membuat Rasulullah SAW iba melihat perjuangan dan ketulusan cinta putrinya kepada Abul Ash. Menurut Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakputri, Abul Ash merupakan putra bibi Zainab RA yang bernama Halah binti Khuwailid.

Sejak kecil, Abul Ash sudah bergaul dengan Zainab RA seperti bergaul dengan saudara sendiri. Abul Ash diasuh oleh Khadijah RA dengan kasih sayang seperti anak kandung sendiri. Ia diizinkan keluar-masuk rumah Rasulullah SAW seperti rumah sendiri, sebagaimana diceritakan dalam buku Rumah Tangga Seindah Surga karya Ukasyah Habibu Ahmad.


Setelah dewasa, Abul Ash menjadi pemuda kaya, rupawan, dan mempesona bagi setiap orang yang memandangnya. Sebagai bangsawan, ia juga termasuk kaum Quraisy yang mewarisi bakat dan keterampilan berdagang. Banyak masyarakat Makkah yang menyetor harta mereka kepada Abul Ash untuk diperdagangkan.

Abul Ash kemudian menikahi Zainab RA. Pernikahan ini berlangsung sebelum masa kenabian atau sebelum turunnya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW.

Kegelisahan Sayyidah Zainab kala Perang Badar

Singkat cerita, setelah mendapat wahyu kenabian, Zainab RA masuk Islam di tangan ayahnya. Ia tetap tinggal bersama suaminya, Abul Ash. Ketika itu, suami dan keluarganya masih dalam kemusyrikan, sebagaimana diceritakan Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal dalam Ummu Al-Mukminin Khadijah binti Khuwailid: Al-Mitslu Al-A’la li Nisa’i Al-‘Alamin.

Usai menjalani dakwah yang sangat sulit di Makkah, Rasulullah SAW memutuskan hijrah. Pada saat itu, Zainab RA tidak diperbolehkan oleh Abul Ash dan keluarganya meninggalkan Makkah.

Hingga Perang Badar meletus, Zainab RA menjadi satu-satunya muslimah yang tinggal bersama kafir Quraisy di Makkah.

Pada saat itu, Abul Ash turut serta dalam pertempuran untuk memerangi kaum muslimin dan mertuanya, Rasulullah SAW.

Peperangan tersebut jelas membuat Zainab RA merasa gelisah. Bagaimana tidak, saat itu sang suami berada di pihak musuh yang melawan ayahnya, padahal keduanya merupakan orang yang sangat dicintai Zainab RA.

Zainab RA hanya bisa berdoa semoga Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, namun ia juga berharap suaminya dijauhkan dari bahaya dan mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam.

Pada akhirnya, kaum muslimin memenangkan peperangan dan Abul Ash menjadi salah satu tawanan. Ia digiring menuju Madinah dan Rasulullah SAW mewajibkan setiap tawanan menebus diri mereka jika ingin bebas.

Rasulullah SAW menetapkan uang tebusan antara 1.000-4.000 dirham sesuai dengan kedudukan dan kekayaan para tawanan di kaumnya.

Akhirnya, Zainab RA mengirimkan uang tebusan dan sebuah kalung pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah SAW melihat Zainab RA beserta dengan kalung tersebut beliau terharu, air mata pun menetes di pipi beliau.

Melihat duka Rasulullah SAW, para sahabat setuju untuk membebaskan Abul Ash bin Rabi’ tanpa harus membayar tebusan. Kemudian Rasulullah SAW mengembalikan kalung tersebut dan meminta Abul Ash untuk menceraikan Zainab RA.

Sayyidah Zainab Sempat Berpisah dengan Abul Ash

Abul Ash kemudian menyetujui permintaan Rasulullah SAW agar menceraikan Zainab RA. Begitu kembali ke Makkah, keluarga Abul Ash juga menyetujui hal tersebut.

Mereka berkata, “Biarlah engkau menceraikan istrimu itu, dan kami akan mencarikan bagimu gadis yang jauh lebih cantik daripadanya.”

Namun, Abul Ash sangat mencintai Zainab RA sehingga ia berkata, “Di suku Quraisy tidak ada gadis yang dapat menandingi istriku.”

Meskipun dihalang-halangi orang Quraisy, pada akhirnya Abul Ash melepaskan Zainab RA ke Madinah. Di tengah perjalanan, beberapa orang Quraisy mengganggu unta Zainab RA dan membuatnya terjatuh. Putri Rasulullah SAW yang saat itu tengah mengandung akhirnya harus kehilangan bayinya karena keguguran.

Abul Ash Akhirnya Memeluk Islam

Setibanya di Madinah, Zainab RA dikabarkan masih sakit-sakitan dan lukanya sulit diobati. Hingga pada suatu ketika, Abul Ash akhirnya mendapat hidayah dari Allah SWT dan ia pun masuk Islam. Abul Ash kemudian menyusul Zainab RA pada tahun ke-7 Hijriah.

Rasulullah SAW amat senang menerima menantunya kembali. Zainab RA pun bahagia di sisa-sisa hidupnya bersama suami tercinta. Hingga akhirnya, Zainab RA wafat pada awal tahun 8 Hijriah di Madinah.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Paman Nabi Muhammad yang Merawat dan Mengajaknya Berdagang



Yogyakarta

Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad yang mengasuh dan merawatnya selepas meninggalnya sang kakek, Abdul Muththalib. Abu Thalib juga menjadi sosok yang mengajak dan mengajari Nabi Muhammad untuk berdagang, berikut kisahnya.

Nabi Muhammad di Bawah Asuhan Sang Paman

Diceritakan dalam buku Sirah Nabawiyah oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Nabi Muhammad SAW dulunya lahir tanpa seorang ayah. Beliau juga hanya diasuh oleh ibu kandungnya dalam waktu yang sangat singkat.

Dalam tradisi bangsa Arab saat itu, anak yang baru lahir tidak boleh disusui oleh ibunya sehingga mereka mencari wanita yang bisa menyusui anaknya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penyakit yang bisa menjalar di daerah perkotaan serta agar tubuh bayi menjadi kuat.


Pada usia enam tahun, Nabi Muhammad SAW baru diserahkan kembali kepada ibunda kandungnya. Tatkala perjalanan pulang dari makam ayahnya di Kota Yatsrib, ibunda Nabi, Siti Aminah, jatuh sakit dan meninggal dunia di kota Abwa’ yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW telah menjadi seorang yatim piatu di usianya yang keenam tahun. Kemudian ia hidup bersama kakeknya, Abdul Muthalib, di kota Makkah. Namun, Allah SWT berkehendak lain. Di usia delapan tahun, Abdul Muthalib wafat dan Muhammad kecil kembali kehilangan kasih sayang dari kakek tercintanya.

Sepeninggalan kakeknya, Abdul Muththalib, Nabi Muhammad SAW dirawat oleh pamannya, Abu Thalib. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan sebelumnya untuk menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayah beliau.

Abu Thalib melaksanakan hak pengasuhan anak saudaranya dengan sepenuh hati dan menganggap Nabi Muhammad seperti anaknya sendiri. Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri.

Sikap Abu Thalib tetap sama hingga Nabi Muhammad berusia lebih dari empat puluh tahun. Beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela beliau.

Abu Thalib Mengajak Nabi Muhammad Berdagang ke Syiria dan Bertemu dengan Bahira

Mengutip dari buku Muhammad di Makkah dan Madinah karya Tabari, suatu hari Abu Thalib melakukan perjalanan dagang ke Syiria dengan kelompok Quraisy. Ketika semua persiapannya telah selesai dan siap untuk pergi, Rasulullah SAW tidak mau ditinggal oleh pamannya.

Abu Thalib yang merasa kasihan padanya lalu berkata, “Sungguh, aku akan membawanya bersamaku dan kita tidak boleh saling terpisah.”

Abu Thalib mengajak Nabi Muhammad pergi berdagang bersamanya ke Syiria di usianya yang masih sembilan tahun. Tatkala rombongan pedagang berhenti di Bushra, Syria, di sana terdapat seorang rahib bernama Bahira yang tinggal dalam biaranya.

Di dalam biara tersebut, ada seorang biarawan beragama Kristen yang memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda kenabian yang tertulis dalam kitab terdahulu. Saat rombongan pedagang tersebut berhenti di biaranya dan singgah di sana, Bahira menyiapkan hidangan yang banyak.

Bahira dapat melihat Rasulullah SAW yang selalu dipayungi oleh awan sehingga membuatnya terlihat mencolok di antara orang-orang dalam rombongannya. Ketika melihat Rasulullah SAW dari dekat, Bahira mengamati beliau dengan sungguh-sungguh. Ciri-ciri fisik pada diri Nabi Muhammad benar-benar persis dengan yang tertulis dalam kitabnya.

Seusai rombongan tersebut selesai makan, rahib itu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang hal-hal yang telah terjadi, baik ketika beliau sedang terjaga maupun sedang tidur. Ketika mengamati punggung Rasulullah SAW, Bahira dapat melihat tanda (cincin) kenabian di antara kedua pundak beliau.

Bahira pun bertanya kepada Abu Thalib paman Rasulullah SAW, “Apa hubungan anak laki-laki ini denganmu?”

Abu thalib menjawab, “Anakku.”

“Ia bukan anakmu. Ayah anak itu tidak mungkin masih hidup” ucap Bahira.

“Ia anak saudara laki-lakiku,” terang Abu Thalib.

Bahira lalu bertanya kembali, “Apa yang terjadi pada ayahnya?”

“Ayahnya meninggal ketika ia masih ada di dalam kandungan ibunya,” jawab Abu Thalib.

“Kamu mengatakan hal yang sebenarnya. Bawa anak itu kembali ke negaramu dan jadilah pelindungnya dari kaum Yahudi. Sebab, demi Tuhan, jika mereka melihatnya dan mengenali apa yang aku temukan pada dirinya, mereka akan berusaha membinasakannya. Hal-hal luar biasa tersimpan dalam diri anak ini. Maka, segeralah bawa ia kembali ke negaramu,” kata Bahira.

Hal tersebut lantas membuat Abu Thalib segera membawa Nabi Muhammad SAW kembali ke kota Makkah. Sejak saat itulah, Abu Thalib menjadi sosok paman yang selalu melindungi Nabi Muhammad dan membelanya tatkala mendapat perlawanan dari kafir Quraisy.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya



Jakarta

Sahabat nabi adalah orang-orang terpilih yang memiliki beragam kisah dan tentunya dekat dengan Rasulullah SAW. Salah satu kisah yang diabadikan ini adalah sebuah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya.

Kisah ini banyak dituliskan, salah satunya adalah bersumber dari buku Beli Surga dengan Al Qur’an karya Ridhoul Wahidi dan M. Syukron Maksum. Sahabat nabi yang dimaksud adalah Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim.

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya

Kisah ini sejatinya diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ia bercerita, saat itu, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk menyerang suatu kaum yang memusuhi kaum muslimin.


Ketika Rasulullah tidak mendapatkan berita perkembangan keadaan pasukannya tersebut, lalu beliau bersabda, “Andaikan ada orang yang dapat mencari kabar tentang mereka dan memberitahukannya kepada kami.”

Beberapa saat kemudian datanglah seseorang dan mengabarkan bahwa muslim utusan beliau telah meraih kemenangan dalam penyerangan itu. Setelahnya, saat pasukan kaum muslimin pulang dari peperangan menuju Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat menyambut mereka di dekat Madinah.

Sesampai dekat Madinah, pemimpin pasukan, Zaid bin Haritsah turun dari untanya dan mencium tangan Rasulullah. Rasulullah SAW kemudian merangkul dan seraya mencium kepalanya.

Lalu, Zaid diikuti oleh Abdullah bin Rawahah dan Qois bin Ashim. Nabi Muhammad SAW merangkul mereka berdua.

Selanjutnya, seluruh pasukan berkumpul di depan Rasulullah SAW. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab salam mereka. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Ceritakanlah apa yang terjadi selama bepergian kepada saudara-saudara kalian yang berada di sini, agar Aku memberikan kesaksian dari apa-apa yang kalian ucapkan, karena Jibril telah memberitahukan kepadaku tentang kebenaran yang kalian ucapkan.”

Salah seorang pasukan kemudian menjawab, “Ya Rasulullah, ketika kami berada di dekat pasukan lawan, kami mengutus seorang mata-mata dari pihak mereka agar memberitahukan kepada pasukan kami mengenai kondisi dan jumlah mereka. Kemudian mata-mata tersebut menemui kami dan berkata, ‘Jumlah mereka seribu orang’, sedangkan jumlah kami dua ribu orang.”

“Namun yang seribu pasukan lawan itu hanya menunggu di luar benteng kota. Sedangkan yang tiga ribu menunggu di jantung kota. Mereka sengaja menggunakan tipu daya dengan berbohong bahwa kekuatan mereka hanya seribu tentara supaya kami berani melawan mereka dan memenangkan pertempuran.”

Cerita itu pun berlanjut, pasukan musuh di dalam kota kemudian menutup pintu gerbangnya, pasukan muslim kemudian menanti di luar. Ketika malam telah tiba, mereka tiba-tiba membuka pintu gerbang di kala pasukan muslim lelap tidur.

Namun, hal itu terkecuali Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim yang sedang sibuk mengerjakan salat malam dan membaca Al-Qur’an di empat sudut perkemahan.

Di dalam kondisi yang gelap gulita itu, para musuh menyerang kaum muslim dan mereka menghujani mereka dengan panah hingga mereka tidak mampu menghalau karena gelapnya malam. Di tengah kekacauan tersebut, tiba-tiba kaum muslim tersebut melihat cahaya yang datangnya dari pembaca Al-Qur’an.

Cahaya seperti api mereka saksikan keluar dari mulut Qais bin Ashim, dan keluar cahaya seperti bintang kejora keluar dari mulut Qatadah bin Nu’man. Lalu, dari mulut Abdullah bin Rawahah keluar sinar seperti cahaya rembulan dan keluar sinar seperti cahaya Matahari dari mulut zaid bin Haritsah.

Keempat cahaya itulah yang menerangi muslim dan membuat gelapnya malam berubah seperti hari masih siang. Akan tetapi musuh kaum muslim tetap melihat seakan masih dalam keadaan kegelapan.

Sang panglima perang, Zaid bin Haritsah, kemudian memimpin pasukan muslim memasuki daerah lawan. Pasukan muslim dapat mengepung, membunuh sebagian mereka dan menawan mereka. Selanjutnya mereka mampu memasuki jantung kota dan mengumpulkan ghanimah perang.

“Wahai Rasulullah, yang membuat kami sangat heran adalah cahaya yang keluar dari keempat sahabat tersebut, dan kami tidak melihatnya sebelumnya. Cahaya dari mulut mereka itu mampu menerangi kami sehingga kami menang dan menebarkan kegelapan bagi musuh-musuh.” terang salah satu pasukan itu.

Begitulah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya yang diduga karena keempat sahabat tersebut adalah pembaca Al-Qur’an yang taat beribadah kepada Allah SWT. Wallahua’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Penjarahan Hajar Aswad hingga Sempat Hilang 22 Tahun



Jakarta

Hajar Aswad adalah objek istimewa bagi umat Islam yang berada di salahh satu sudut Ka’bah. Di balik keistimewaannya, mungkin tidak banyak muslim yang mengetahui bahwa Hajar Aswad pernah dijarah dalam sejarahnya.

Hajar Aswad sendiri memiliki salah satu keistimewaan yakni sebagai batu yang dicium Rasulullah SAW ketika sedang melaksanakan thawaf. Sunnah ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu, yang berbunyi sebagai berikut.

لَمْ أَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ


Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW beristilam (menyentuh) Rukun Yamani dan Hajar Aswad setiap kali beliau thawaf,” (HR Muttafaq ‘alaih)

Kisah Penjarahan Hajar Aswad

Hajar Aswad adalah batu hitam dan suci yang diyakini berasal dari surga. Lokasinya berada di sudut tenggara Ka’bah, kira-kira 1,5 meter dari permukaan lantai.

Awalnya berwarna putih, lebih putih daripada salju. Namun, kini menjadi hitam kemerah-merahan dan sebagian kekuning-kuningan. Dari Ibnu ‘Abbas RA, Rasulullah SAW mengatakan, menghitamnya Hajar Aswad seiring dengan dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia.

نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ

Artinya: “Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih bahkan lebih putih daripada susu pada awalnya. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam.” (HR At Tirmidzi)

Dikutip dari buku Kamus Pintar Agama Islam tulisan Syarif Yahya, setelah Nabi Adam wafat, batu ini disimpan di pegunungan Abu Qubais, Makkah, lalu dikeluarkan oleh Malaikat Jibril ketika Ibrahim dan Ismail membangun Ka’bah.

Pada 930 M/317 H, Hajar Aswad pernah dijarah oleh kaum Qaramitah atau Waramatian yang menyerang Makkah dan dibawa ke Kota Qatif di Bahrain. Qarmatian adalah salah satu kelompok syiah dengan Abu Tahir Al Qarmuti sebagai pemimpinnya.

Pada awal mulanya, Abu Tahir dan pengikutnya datang dari Bahrain menuju Makkah tepat sebelum waktu pelaksanaan haji. Namun, mereka ditolak masuk ke wilayah Makkah oleh penduduknya.

Sebagaimana yang dituliskan dalam situs Archyde, kelompok Qarmatian bahkan berpura-pura untuk menunaikan haji agar dibolehkan masuk ke Makkah. Berdasarkan catatan sejarah, Abu Tahir membawa sekitar 600 penunggang kuda dan 900 pasukan berjalan.

Kedok itu pada akhirnya dapat membuat kelompok Qarmatian berhasil menduduki Kota Makkah berikut mencabut Hajar Aswad dari tempatnya secara paksa. Pencurian tersebut dilakukan mereka dalam rangka menjarah barang-barang berharga yang ada di Ka’bah.

Sebab itu, kelompok Qarmatian juga merampas harta orang-orang di Ka’bah, merobek kiswah atau penutup Ka’bah, melepas pintu Ka’bah, hingga mengambil talang emasnya dan hampir semua yang bisa dibawa oleh mereka.

Abu Tahir memerintahkan pasukannya untuk menyimpan Hajar Aswad tersebut ke Masjid al Dirar yang terletak di ibu kota baru negara mereka, al Hasa di Bahrain. Hajar Aswad pun diketahui dijarah dan disimpan di sana selama 22 tahun.

Sebagaimana dikisahkan oleh Sejarawan Ottoman, Qutb al Din, dalam tulisannya tahun 1857, Abu Tahir hendak menjadikan masjid tersebut sebagai tempat suci dan memindahkan aktivitas Ka’bah ke Masjid al Dirar tersebut alias menjadi pusat ibadah umat muslim dunia. Namun, mimpinya tidak sempat terealisasikan hingga akhirnya ia wafat.

“Pemimpin Qarmatian, Abu Tahir al-Qarmati, meletakkan Hajar Aswad di masjidnya sendiri, Masjid al-Dirar, dengan maksud mengalihkan haji dari Makkah. Namun, ini gagal,” tulis Qutb al Din yang dikutip dari World Bulletin.

Setelah dinasti sekte ini runtuh, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula pada 339 H, setelah hilang selama 22 tahun. Hajar Aswad dikembalikan dalam kondisi rusak dengan keretakan yang membaginya menjadi tujuh bagian. Untuk menjaga bentuknya, penjaga Ka’bah pun membingkai Hajar Aswad dengan perak seperti yang dapat dilihat saat ini.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq, Sakit di Ujung Ajalnya



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq termasuk dalam golongan orang-orang pertama yang masuk surga dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Berikut kisah wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai orang yang meneruskan perjuangan Rasulullah SAW.

Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama umat Islam yang menggantikan kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dijelaskan oleh buku 10 Kisah Pahlawan Surga Cerita Anak Shaleh & Cerdas karya Abu Zein, Abu Bakar menjadi pemimpin yang disepakati oleh muslim saat itu sebagai pemimpin yang jauh lebih baik dari semua orang.

Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan dedikasi yang tinggi. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, terjadi perlawanan dari beberapa penduduk, namun Abu Bakar dengan bijaksana berhasil meredakan pertikaian di antara mereka. Dia juga melawan mereka yang menolak membayar zakat.


Salah satu tugas terbesar yang dilakukan Abu Bakar adalah mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an. Dia dibantu oleh para sahabatnya, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit.

Lembaran-lembaran tersebut disimpan di rumah Ummul Mukminin, Hafshah. Kemudian, pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, lembaran-lembaran tersebut digabungkan menjadi sebuah kitab seperti yang sering kita baca sekarang.

Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Rasulullah SAW, pernah mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, karena dialah yang memiliki kontribusi terbesar dalam pengumpulan Al-Qur’an.”

Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, sama seperti Rasulullah SAW. Wafatnya Abu Bakar terjadi pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah, tepatnya hari Senin malam.

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Dijelaskan oleh Rizem Zaid dalam bukunya yang berjudul The Great Sahaba, wafatnya Abu Bakar disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Terdapat cerita bahwa penyakit yang ia alami adalah karena keracunan.

Menurut cerita tersebut, orang-orang Yahudi diduga memasukkan racun ke dalam makanan Abu Bakar yang kemudian membuatnya jatuh sakit dan akhirnya mengakibatkan kematiannya.

Ketika Abu Bakar memakan makanan beracun tersebut, ia didampingi oleh Attab bin Usaid. Selain itu, Al-Harits bin Kaldah juga ada di sana, tetapi ia hanya sedikit makan, sehingga racun tidak langsung berdampak padanya.

Lama waktu antara memakan makanan beracun itu dan munculnya reaksi racun tersebut dikatakan satu tahun. Attab wafat di Makkah pada hari yang sama dengan wafatnya Abu Bakar di Madinah.

Namun, terdapat juga versi lain mengenai penyebab wafatnya Abu Bakar. Menurut riwayat yang kuat dan diceritakan oleh Aisyah RA dalam buku Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash Shiddiq oleh Muhammad Husain Haikal, penyakit Abu Bakar disebabkan oleh mandi malam saat musim dingin yang membuatnya demam dan panas selama 15 hari.

Karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk menjadi imam, Abu Bakar meminta Umar bin Khattab untuk menggantikannya.

Saat penyakitnya semakin parah dan Abu Bakar berada di dekat ajalnya, seseorang menawarkan pengobatan kepadanya. Namun, Abu Bakar menolak tawaran tersebut.

Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Abu Bakar mengatakan bahwa ia telah melihat Allah SWT dan Dia berkata, “Sesungguhnya, Aku akan melakukan apa yang Aku kehendaki.”

Hingga akhirnya, Abu Bakar Radhiyallahu anhu meninggal dengan damai. Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com