Tag Archives: makruh

Bolehkah Menahan Kentut saat Salat?


Jakarta

Bagi umat Islam, salat adalah pilar agama yang sangat penting. Melaksanakannya dengan khusyuk dan sempurna adalah dambaan setiap muslim.

Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami hukum-hukum salat. Termasuk soal menahan kentut, demi memastikan salat kita diterima oleh Allah SWT.

Lantas, bagaimana hukumnya? Bolehkan menahan kentut saat salat?


Hukum Menahan Kentut Saat Salat

Menurut Saleh bin Al Fauzan dalam buku Ringkasan Fiqih Islam, makruh hukumnya bagi seseorang untuk salat dalam kondisi terganggu oleh sesuatu yang menyusahkan. Ini termasuk merasa kepanasan, kedinginan, menahan kencing, menahan buang air besar, menahan kentut, lapar, atau haus.

Mengapa? Karena kondisi-kondisi tersebut dapat menghilangkan kekhusyukan dalam ibadah salat. Hal ini juga didukung oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

Artinya: “Tak ada salat ketika makanan telah dihidangkan. Begitu pula tak ada salat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR Muslim dalam Shahih Muslim Kitab Ash-Shalat)

Frasa “tidak ada salat” dalam hadits ini dijelaskan berarti tidak sempurnanya salat seseorang. Jadi, makruh hukumnya bagi orang yang menahan kencing, buang air besar, termasuk kentut, saat salat.

Makruh sendiri artinya tak haram dikerjakan, tapi lebih baik untuk ditinggalkan. Alasan utama mengapa ini makruh adalah karena menahan kentut dapat mengganggu pikiran, sehingga menghilangkan kesempurnaan dan kekhusyukan dalam mendirikan ibadah salat.

Batalkah Salah Jika Menahan Kentut?

Mengutip buku Populer Tapi Keliru karya Adil Fathi Abdillah, hal-hal yang dapat menghilangkan kekhusyukan salat secara keseluruhan tidak otomatis membatalkan salat. Menurut mayoritas ulama, keadaan menahan kentut saat salat tidak membatalkan salat.

Yang perlu ditekankan di sini adalah pentingnya salat tanpa gangguan. Meskipun salatnya sah, orang yang salat sambil menahan kentut, kencing, atau buang air besar, tidak akan bisa menyempurnakan pahalanya seperti orang yang khusyuk dalam salatnya.

Jadi, salat orang yang menahan kencing, buang air besar, atau kentut, hukumnya makruh. Namun salatnya tetap sah.

Oleh karena itu, sangat disarankan untuk menyelesaikan urusan buang air kecil atau besar sebelum memulai salat. Seorang muslim sebaiknya memastikan diri dalam kondisi paling nyaman dan tenang agar tidak merasa ingin kentut saat mendirikan salat.

Dengan begitu, salat bisa dikerjakan dengan khusyuk dan tenang, tanpa rasa was-was, dan pahalanya pun bisa sempurna.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Rasulullah Larang Duduk di Antara Tempat Teduh dan Terik


Jakarta

Terdapat sebuah riwayat yang melarang seorang muslim duduk di antara tempat teduh dan terik matahari. Lantas, mengapa ada larangan tersebut?

Disebutkan dalam kitab At-taujiih wa irsyaadun nafsi minal Qur’aanil karim was-Sunnatin Nabawiyyah karya Musfir bin Said Az-Zahrani yang diterjemahkan Sari Narulita dan Miftahul Jannah, Rasulullah SAW melarang seseorang duduk di antara tempat teduh (bayangan) dan terik panas karena itu tempatnya setan.

Hal tersebut bersandar pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu di bawah sinar matahari lalu kau terkena bayangan hingga sebagian terkena matahari dan sebagiannya di bawah bayangan (tempat teduh), maka hendaknya ia bangun.”


Selain larangan duduk di antara tempat teduh dan terik, terdapat juga sebuah riwayat yang melarang seseorang tidur di kondisi tempat tersebut. Dari Barra’ bin Azib, Rasulullah SAW bersabda,

“Jika kau akan mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah untuk salat, kemudian berbaringlah di sisi kanan dan ucapkanlah, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepada-Mu, dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu, dan aku serahkan permasalahan kepada-Mu, dan aku sandarkan punggungku kepada-Mu, takut dan memohon kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung dan tempat mengadu kecuali kepada-Mu. Aku beriman dengan kitab-Mu yang Engkau turunkan, dan nabi-Mu yang Engkau utus, dan jadikanlah mereka kalam terakhirmu, maka jika aku meninggal dari malam-Mu, aku meninggal dengan fitrah’.” (HR Bukhari Muslim)

Diterangkan oleh Jamil bin Habib Al-Luwaihiq dalam bukunya berjudul Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fikih Islam, menyikapi larangan tegas tersebut, ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa hukumnya makruh.

Pada kitab Mushannaf Ibnu Syaibah, Sa’id bin Al-Musayyab berkata, “Bagian tepi naungan adalah tempat tidur setan.” Lalu, Ibnu Umar juga mengatakan jika duduk di antara tempat teduh dan terik matahari sama dengan menduduki tempat duduk setan.

Akan tetapi, Nabi SAW menyebutkan alasan secara tertulis, yaitu ‘merupakan tempat duduk setan’. Yang paling utama adalah mengambil alasan sebagaimana telah ditetapkan oleh penetap syariat itu sendiri.

Munculnya masalah di sini adalah dari aspek penetapan illah-nya oleh Rasulullah SAW ketika melarang bahwa tempat tersebut adalah tempat duduk setan. Apalagi terdapat perintah untuk wajib berdiri tentunya jika tetap duduk maka sebuah hal yang dilarang. Hal ini membuat larangan tersebut kemudian dihukumi haram.

Pendapat Ulama soal Larangan Duduk di Antara Tempat Teduh dan Terik

Masih merujuk sumber yang sama, sebagian ulama memberikan alasan mengapa ada larangan duduk di antara tempat teduh dan terik matahari.

Mereka mengatakan jika seseorang duduk di antara tempat teduh dan terik matahari akan membahayakan badan, karena jika manusia duduk di tempat dengan kondisi tersebut bisa mengacaukan kerja sirkulasi dalam tubuh sebab mengalami dua keadaan yang memberikan pengaruh yang saling bertentangan.

Ketika seseorang duduk di antara tempat teduh dan terik, Rasulullah SAW mengajarkan untuk meletakkan salah satu tangannya di atas tangan lain. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, ia berkata,

“Aku menyaksikan Rasulullah SAW duduk di beranda Ka’bah sebagian tubuhnya di bawah naungan dan sebagian yang lain di bawah panas terik matahari dengan meletakkan salah satu tangannya di atas yang lain.” (HR Al-Baihaqi)

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com