Tag Archives: Nabi SAW

3 Doa sebelum Salam Sesuai Sunnah Rasulullah Mustajab


Jakarta

Doa sebelum salam merupakan bacaan yang dapat diamalkan muslim di penghujung salat. Sebagaimana diketahui, waktu penghujung salat tergolong mustajab.

Dari Abu Umamah RA bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Doa seperti apa yang paling didengar?” jawab Nabi SAW, “Doa di pertengahan malam terakhir dan di dubur salat wajib.” (HR Tirmidzi)

Menukil dari buku Tafsir Shalat oleh Ammi Nur Baits, makna dubur salat adalah penghujung salat. Sebab, dubur merupakan bagian dari sesuatu, hanya saja berada di ujung atau akhir. Dengan demikian, dalil di atas menganjurkan muslim untuk banyak berdoa sebelum salam ketika salat wajib.


Dalam kaitannya, ada beberapa doa yang bisa dibaca sebelum salam. Doa ini dapat disesuaikan dengan hajat atau kebutuhan seseorang saat memanjatkannya.

Doa sebelum Salam

Merujuk pada sumber yang sama, berikut beberapa doa sebelum salam yang bisa dibaca muslim.

1. Doa Rasulullah yang Diajarkan pada Abu Bakar Ash-Shiddiq

Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, bahwa beliau meminta kepada Rasulullah SAW, “Ajarkanlah kepadaku sebuah doa agar bisa aku baca dalam salatku,” Lalu Nabi SAW bersabda, “Ucapkanlah Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiira.” (Muttafaq alaih)

Berikut bacaan doa lengkapnya,

اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Arab latin: Allahumma innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, faghfir-lii maghfiratam min ‘indik, war- hamnii innaka antal ghafuurur rahiim

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Karena itu, ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

2. Doa Rasulullah antara Tasyahud dan Salam

Dari Ali bin Abi Thalib RA, beliau menceritakan cara salat Nabi SAW. Ali menjelaskan,

“Kemudian kalimat terakhir yang beliau baca antara tasyahud dan salam: Allahummaghfir-lii maa qaddamtu wamaa akh-khartu…” (HR Muslim)

Bacaan lengkapnya sebagai berikut,

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ

Arab latin: Allahummaghfirlii Maa Qaddamtu wa Maa Akh-khortu wa Maa Asrortu wa Maa A’lantu wa Maa Asroftu wa Maa Anta A’lamu Bihi Minni Antal-Muqaddimu wa Antal-Muakhkhiru Laa Ilaha Illa Anta.

Artinya: “Ya Allah! Ampunilah aku akan (dosaku) yang aku lewatkan dan yang aku akhirkan, apa yang aku rahasiakan dan yang aku tampakkan, yang aku lakukan secara berlebihan, serta apa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku, Engkau yang mendahulukan dan mengakhirkan, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR Muslim)

3. Doa agar Diberi Hisab yang Mudah

Doa sebelum salam lainnya berasal dari Aisyah RA, bacaan ini diamalkan agar muslim diberi hisab yang mudah.

“Dari Aisyah RA bahwa beliau pernah mendengar Nabi SAW membaca doa ini dalam salatnya.” (HR Ahmad)

Berikut bacaan doanya,

اللهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا

Arab latin: Allahumma haasibnii hisaabay yasiiraa

Artinya: “Ya Allah, hisablah aku dengan hisab yang mudah.”

Bacaan Tahiyat Akhir sebelum Salam

Selain doa-doa di atas, ada bacaan tahiyat akhir yang perlu diamalkan. Berikut bunyinya seperti dikutip dari kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 2 oleh Prof Wahbah Az Zuhaili terbitan Gema Insani.

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله

اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلَي مُحَمّدْ وعلى آلِ مُحَمَّد كَمَا صَلَّبْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلعَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد

Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibatul lillaah, Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh, Assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Waasyhadu anna Muhammadar rasuulullaah.

Allahhumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ‘alaa Ibraahim, wa ‘alaa aali Ibraahim. Wabaarik ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa baarakta ‘alaa Ibraahim, wa ‘alaa aali Ibraahim. Fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid.

Artinya: “Artinya: “Segala penghormatan, keberkahan, salawat dan kebaikan hanya bagi Allah. Semoga salam sejahtera selalu tercurahkan kepadamu wahai nabi, demikian pula rahmat Allah dan berkah-Nya dan semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah, berilah rahmat kepada Nabi Muhammad.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas keluarga Nabi Muhammad, seperti rahmat yang Engkau berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad beserta para keluarganya, seperti berkah yang Engkau berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya, Engkau lah Tuhan yang sangat terpuji lagi sangat mulia di seluruh alam.”

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Hadits 3 Golongan Manusia saat Berada di Padang Mahsyar, Seperti Apa?


Jakarta

Padang Mahsyar adalah tempat berkumpulnya seluruh manusia yang pernah hidup di muka bumi. Mereka akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya semasa hidup.

Allah SWT berfirman dalam surah Ibrahim ayat 48,

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْاَرْضُ غَيْرَ الْاَرْضِ وَالسَّمٰوٰتُ وَبَرَزُوْا لِلّٰهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ ٤٨


Artinya: “(yaitu) hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit. Mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”

Menukil dari buku Sang Pengatur Kehidupan yang ditulis Risa Anggraini, Nabi Muhammad SAW kelak menjadi orang yang paling sibuk di Padang Mahsyar. Sebab, dalam hadits dari Abu Hurairah RA dan Abu Hudzaifah RA diceritakan banyak manusia mendatangi nabi mereka untuk meminta syafaat masuk surga, namun mereka melimpahkannya kepada nabi-nabi lain hingga berujung di Rasulullah SAW.

Hadits 3 Golongan Manusia di Padang Mahsyar

Selain itu, manusia yang berkumpul di Padang Mahsyar juga akan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu yang berjalan dengan kendaraan, berjalan dengan kaki dan berjalan menggunakan wajah. Ini sesuai yang disebutkan dalam kitab Mukasyafatul Qulub oleh Imam Al-Ghazali yang diterjemahkan Jamaluddin.

Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Pada hari kiamat, manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar menjadi tiga golongan, yaitu kelompok yang berjalan berkendaraan, kelompok yang berjalan kaki, dan kelompok yang menggunakan wajahnya.”

Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka berjalan menggunakan wajah mereka?”

Rasulullah SAW menjawab, “Dia yang menciptakan mereka berjalan menggunakan kaki, juga bisa menciptakan mereka berjalan menggunakan wajah.”

Imam Ghazali menafsirkan hadits di atas tentang tabiat manusia terhadap pengingkaran akan sesuatu yang belum diketahuinya secara baik. Menurutnya, apabila manusia tidak pernah melihat ular berjalan dengan perut, tentu ia akan menyangkal kemungkinan berjalan menggunakan selain kaki.

Berjalan menggunakan kaki, lanjut Imam Ghazali, dianggap mustahil bagi orang yang tidak perna menyaksikannya. Demikian analogi Imam Ghazali tentang pengetahuan akan hari Kiamat.

Maka hendaknya manusia tidak mengingkari sesuatu yang berkaitan dengan keajaiban hari kiamat. Sebab, apa yang terjadi pada hari itu berbeda dengan analogi peristiwa di dunia.

Turut dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah terjemahan Nurdiana Hamdani terkait hadits golongan manusia saat berada di Padang Mahsyar. Dari Abu Dzar RA, Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya, manusia akan dikumpulkan pada hari kebangkitan dalam tiga kelompok: satu kelompok akan diberi makan, akan diberi pakaian, dan akan diberi tunggangan; kelompok yang lain akan berjalan dan berjuang (untuk hidup); dan para malaikat akan menyeret kelompok yang lainnya lagi dengan wajah mereka.”

Abu Dzar RA melanjutkan dengan bertanya, “Kami tahu yang dua, tetapi apa yang terjadi pada mereka yang berjalan dan berjuang (untuk hidup)?”

Nabi SAW bersabda, “Allah akan mengirimkan kematian kepada gunung-gunung, sampai tidak ada lagi gunung yang tersisa. Seseorang akan menukar kebunnya yang indah dengan seekor unta yang tidak lagi mengeluarkan susu, yang di atasnya terdapat al-qatab (apa yang ditempatkan pada punuk seekor unta dan di atas pengendaranya).” (HR At Thabrani)

Wallahu a’lam

tag
hikmah
padang mahsyar
hari kiamat
kiamat
doa dan hadits

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Rasulullah Beri Kunci agar Hidup Diliputi Pertolongan Allah



Jakarta

Setiap manusia akan diuji sesuai batas kemampuannya sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 286. Jika hidup terasa berat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar mendapat pertolongan Allah SWT.

Ibnu Rajab dalam kitab Jamiul Ulum Hikam fi Syarhi Haditsi Sayyidil Arab wal Ajm yang diterjemahkan Fadhli Bahri memaparkan hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan hal ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, Nabi SAW bersabda,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتِ : احْفَظِ اللَّهُ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهُ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَحَفْتِ الصُّحُفُ.


Artinya: “Hai anak muda, aku ajarkan beberapa kalimat kepadamu: jagalah Allah niscaya Allah menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau dapatkan Allah di depanmu, jika engkau minta mintalah kepada Allah, jika engkau minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah, ketahuilah jika seluruh umat sepakat untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu manfaat dengan sesuatu tersebut kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu, jika mereka sepakat untuk memberimu madzarat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu madzarat dengan sesuatu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu, pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR At-Tirmidzi dan ia mengatakannya hasan shahih)

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits serupa dari Hanasy ash-Shan’ani dari Ibnu Abbas dengan redaksi,

احْفَظِ اللَّهُ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّحَاءِ يَعْرِفُكَ فِي الشَّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنْ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Artinya: “Jagalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya di depanmu, kenali Allah pada saat makmur niscaya Allah kenal denganmu pada saat sulit, ketahuilah apa yang tidak engkau dapatkan tidak akan engkau dapatkan, dan apa yang mesti engkau dapatkan tidak akan terlepas darimu, ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama musibah dan bersama kesulitan ada kemudahan.”

Ibnu Rajab juga memaparkan hadits lain dengan redaksi yang lebih lengkap dari banyak jalur. Adapun, jalur yang paling shahih kata Ibnu Rajab adalah jalur Hanasy ash-Shan’ani yang diriwayatkan At-Tirmidzi.

Penjelasan Hadits

Hadits-hadits di atas, kata Ibnu Rajab, mengandung wasiat-wasiat luhur dan perkara penting hingga sebagian ulama yang merenungkannya terkagum-kagum.

Ibnu Rajab menjelaskan, maksud sabda Nabi SAW “Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu” adalah jagalah hukum-hukum Allah SWT, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Orang yang berbuat seperti ini termasuk orang-orang yang menjaga hukum-hukum Allah SWT yang dipuji melalui firman-Nya,

هٰذَا مَا تُوْعَدُوْنَ لِكُلِّ اَوَّابٍ حَفِيْظٍۚ ٣٢ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِ وَجَاۤءَ بِقَلْبٍ مُّنِيْبٍۙ ٣٣

Artinya: “(Dikatakan kepada mereka,) “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang bertobat lagi patuh. (Dialah) orang yang takut kepada Zat Yang Maha Pengasih (sekalipun) dia tidak melihat-Nya dan dia datang (menghadap Allah) dengan hati yang bertobat.” (QS Qaf: 32-33)

Di antara perintah Allah SWT yang wajib dijaga adalah salat dan thaharah (bersuci). Selain itu, Allah SWT juga memerintahkan hamba-Nya menjaga kepala dan perut sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

“Malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya ialah engkau menjaga kepala beserta apa yang dimuatnya dan menjaga perut beserta apa yang dikandungnya.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)

Namun, hadits tersebut dinilai dhaif.

Adapun, maksud penjagaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah menjaga kemaslahatan dunianya, seperti menjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Orang yang menjaga Allah SWT di masa muda dan kuat, maka Allah SWT akan menjaganya saat tua dan lemah.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com

Saat Nabi Adam Beri 40 Tahun Usianya kepada Nabi Daud, Ini Kisahnya



Jakarta

Nabi Daud AS termasuk nabi yang mendapat keberuntungan dalam hal umur. Menurut sebuah riwayat, ia mendapatkan tambahan umur dari Nabi Adam AS.

Dalam buku Al-Aabaa wal Abnaa fil Qur’anil Karim karya Adil Musthafa Abdul Halim dan diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Katani dan Fithriah Wardie mengungkap bahwa Nabi Daud AS masih keturunan Nabi Ibrahim AS dari anaknya, Nabi Ishaq AS.

Kepada Daud AS, Allah SWT mengistimewakannya dengan kenabian serta kerajaan. Dia mewahyukan Nabi Daud dengan kitab Zabur, yang diturunkan sebagai petunjuk bagi bani Israil dan penyempurna kitab sebelumnya, yakni Taurat kepada Nabi Musa AS.


Nabi Daud AS juga merupakan sosok hamba yang bertakwa, taat, dan rajin beribadah. Sehingga ia adalah panutan bagi bani Israil.

Sebagai seorang penguasa, Dia memberikan Daud AS kerajaan yang besar, bala tentara yang kuat, kebijaksanaan dan keadilan dalam memutuskan perkara berdasarkan hukum Allah SWT, serta kebaikan dan kepedulian kepada kaumnya.

Nabi Adam AS Berikan 40 Tahun Umurnya kepada Nabi Daud AS

Selain kenabian dan kerajaan, Allah SWT menganugerahkan pula Nabi Daud AS dengan umurnya yang 100 tahun. Perihal umur Nabi Daud AS ini berkaitan dengan riwayat penciptaan Nabi Adam AS yang dinukil dari Kitab Qashash Al-Anbiyaa’ karya Ibnu Katsir yang diterjemahkan oleh Saefullah MS.

Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Diceritakan, ketika Allah SWT mengeluarkan anak-anak keturunan Adam AS dari punggungnya, lalu ia melihat di antara mereka ada yang menjadi para nabi. Ia melihat di antara anak-anak keturunannya seorang laki-laki yang bagus bercahaya.

Kemudian Adam AS bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah dia?” Allah SWT menjawab, “Ia adalah anak keturunanmu yang bernama Daud.”

Adam AS kembali bertanya, “Wahai Tuhanku, berapa umurnya?” Allah SWT menjawab, “60 tahun.”

Adam AS berkata, “Wahai Tuhanku, tambahkanlah umurnya.” Allah SWT menjawab, “Tidak, Aku tidak akan menambah umurnya, kecuali Aku tambah umurnya dengan mengambil dari umurmu.”

Allah SWT menetapkan usia Adam AS mencapai 1000 tahun. Dari umurnya, Nabi Adam memohon agar diambil 40 tahun untuk ditambahkan kepada keturunannya itu, yakni Daud AS.

Saat tiba ajal Adam AS, malaikat maut datang kepadanya. Adam AS keheranan seraya bertanya, “Bukankah umurku masih tersisa empat puluh tahun lagi?”

Kala itu Nabi Adam AS lupa bila umurnya telah dikurangi karena untuk menambah umur salah satu keturunannya, Daud AS. Akan tetapi, kemudian Allah SWT menyempurnakan kembali umur Adam AS menjadi 1000 tahun, begitu pula dengan usia Daud AS yang 100 tahun.” (HR Ahmad)

Imam At-Tirmidzi turut meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Hurairah dengan redaksi yang serupa. Ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.

Sementara itu, dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Hatib bin Hibban dalam Kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah RA, jumlah umur yang ditetapkan untuk Nabi Daud AS adalah 40 tahun dan Nabi Adam AS memberikan 60 tahun jatah umurnya kepada Nabi Daud AS.

Malaikat Maut Datangi Rumah Nabi Daud AS

Ketika usia Nabi Daud AS telah mencapai batasnya, Rasulullah SAW juga menceritakan sebuah kisah mengenainya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

“Daud AS adalah seorang nabi yang memiliki kecemburuan sangat besar. Apabila beliau keluar rumah, beliau selalu mengunci pintu-pintu rumahnya, sehingga tidak seorang pun yang dapat masuk menemui keluarga (istrinya), hingga beliau kembali pulang.

Pada suatu hari, beliau keluar rumah dan beliau segera menutup pintu rumahnya. Istrinya melihat-lihat di dalam rumahnya. Kemudian ia mendapati seorang lelaki berada di dalamnya.

Lalu ia keheranan dan bertanya-tanya dalam hatinya), ‘Siapa yang ada di dalam rumah? Dari mana pria itu bisa masuk ke dalam rumah, padahal semua pintu sudah terkunci rapat? Sungguh, aku aku melaporkannya kepada (suamiku) Daud.’

Datanglah Nabi Daud AS di rumahnya, dan lelaki tadi berada di tengah rumahnya. Kemudian Daud AS bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’

Ia menjawab, ‘Aku adalah makhluk yang tidak takut sedikit pun kepada raja dan tidak ada suatu dinding pun yang dapat menghalangiku.’

Daud AS berkata, ‘Kalau begitu, engkau adalah malaikat maut. Selamat datang dengan perintah Allah yang engkau bawa.’ Tak lama kemudian, malaikat maut mencabut nyawa Daud AS.

Ketika Nabi Daud AS dimandikan dan dikafani, suasana berubah dengan munculnya matahari yang menyinarinya. Lalu, Sulaiman AS berkata kepada burung: ‘Naungilah (jenazah) Daud AS.’

Burung pun segera menaunginya, sehingga keadaan bumi menjadi terlihat gelap. Setelah itu, Sulaiman AS berkata kepada burung: ‘Lepaskan naungan kedua sayapmu,’

Abu Hurairah berujar, ‘Pada jenazah Rasulullah SAW juga diperlakukan hal yang sama oleh para burung. Ketika Rasulullah SAW wafat, saat itu tempat penguburan jenazah beliau dinaungi oleh seekor burung yang panjang sayapnya.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya)

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kala Nabi Musa Salahkan Nabi Adam karena Dikeluarkan dari Surga



Jakarta

Allah SWT mengeluarkan Nabi Adam AS dari surga hingga akhirnya seluruh anak keturunan Nabi Adam AS hidup di bumi. Menurut sebuah riwayat, Nabi Musa AS pernah menyalahkan Nabi Adam AS terkait hal ini.

Hal tersebut diceritakan Imam Ibnu Katsir dalam Kitab Qashash Al-Anbiyaa’ dengan bersandar pada riwayat yang berasal dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda,

“Musa AS pernah mendebat Adam AS. Musa berkata kepada Adam, ‘Engkau telah mengeluarkan manusia dari surga hingga membuat mereka sengsara karena kesalahanmu.’ Adam menjawab, ‘Wahai Musa, engkau telah dipilih Allah dengan risalah dan kalam-Nya. Apakah engkau mencela diriku atas suatu hal yang telah ditulis Allah sebelum Dia menciptakan aku atau yang telah ditakdirkan Allah terhadap diriku sebelum Dia menciptakan aku?'” Rasulullah SAW bersabda, “Maka Adam dapat membantah argumentasi Musa.” (HR Bukhari)


Imam Muslim turut mengeluarkan riwayat tersebut. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits itu dari az-Zuhri, dari Hamid bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW.

Sementara itu, Imam Ahmad meriwayatkan dari A’masyi, dari Abu Salih, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda,

“Adam dan Musa pernah saling berdebat. Musa berkata kepada Adam, ‘Wahai Adam, engkau telah diciptakan Allah dengan tangan-Nya sendiri. Dia telah meniupkan roh-Nya ke dalam dirimu. Namun, engkau telah menyesatkan manusia dan mengeluarkan mereka dari surga.”

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Adam menjawab, ‘Adapun engkau Musa telah dipilih Allah dengan kalam-Nya. Apakah engkau mencela diriku atas suatu perbuatan yang tidak aku kerjakan? Padahal, Allah telah menetapkan hal itu atas diriku sebelum Dia menciptakan langit dan bumi?'” Beliau bersabda, “Akhirnya, Adam pun dapat membantah argumentasi Musa.” (HR Ahmad)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan redaksi yang lebih panjang. Dalam riwayat tersebut, Nabi Adam AS membantah argumentasi Nabi Musa AS dengan menanyakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepadanya, yakni Kitab Taurat.

Dikeluarkannya Nabi Adam AS dari surga termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 36. Allah SWT berfirman,

فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ

Artinya: ‘Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

Menurut hadits yang terdapat dalam Kitab Shahih Muslim, peristiwa tersebut terjadi pada hari Jumat. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sebaik-baik hari yang padanya matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan. Pada hari itu juga beliau dimasukkan ke surga dan pada hari itu pula beliau dikeluarkan dari surga.” (HR Muslim)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Umar bin Khattab Ingin Dimakamkan di Sisi Dua Sahabatnya



Jakarta

Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok sahabat nabi yang sekaligus pernah menjadi khalifah. Menjelang dirinya wafat, ia punya satu permintaan yang tak ada lagi lebih penting dari hal itu. Ini kisahnya!

Menukil Kitab Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, Umar bin Khattab memiliki julukan ‘Al-Faruq’. Ia juga diberi gelar ‘Amirul Mukminin’ saat menjabat sebagai khalifah yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW dalam persoalan kenegaraan.

Ketika memangku amanah menjadi khalifah, ia banyak menorehkan prestasi. Seperti berhasil menaklukkan banyak daerah di negeri Syam dan Irak, sehingga wilayah kekuasaan Islam meluas.


Selain itu, ia yang pertama kali membuat penanggalan Hijriah, mengumpulkan kaum muslim untuk salat Tarawih berjamaah, berkeliling untuk mengontrol rakyatnya, membentuk tentara resmi, hingga membuat undang-undang perpajakan.

Menjelang penghujung hayatnya, Umar bin Khattab sempat berdoa kepada Allah SWT untuk mengadu akan usianya yang senja dan kekuataannya yang melemah, sementara rakyatnya tersebar luas dan ia khawatir tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Sehingga berdoalah ia kepada Allah SWT supaya mewafatkannya dalam keadaan syahid dan bisa dikebumikan di Madinah. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Umar pernah berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu mendapatkan syahadah (mati syahid) di atas jalan-Mu dan wafat di tanah Nabi-Mu.”

Dan benar saja, Allah SWT yang Maha Mendengar mengabulkan doa Umar bin Khattab. Dirinya wafat setelah dibunuh oleh seorang budak Majusi.

Kisah Terbunuhnya Umar bin Khattab

Masih dari Kitab Bidayah wan Nihayah, Umar bin Khattab ditikam seorang hamba sahaya Majusi bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz, milik al-Mughirah bin Syu’bah.

Peristiwa penusukan terjadi pada waktu pagi, tepatnya tanggal 25 Dzulhijjah tahun 23 Hijriah, ketika dirinya memimpin salat Subuh berjamaah. Setelah kejadian, Umar tersungkur dan menunjuk Abdurrahman bin Auf agar menggantikannya menjadi imam salat.

Kemudian Abu Lu’lu’ah berlari ke belakang sambil menikam orang-orang yang dilaluinya. Sebanyak 13 orang terluka dan enam orang dari mereka tewas. Saat itu, ada seseorang yang melemparkan humus (baju panjang) kepada Abu Lu’lu’ah supaya ia terjerat. Tetapi Abu Lu’lu’ah terlanjur bunuh diri.

Darah Umar bin Khattab yang kala itu mengalir deras dari luka tusuk, membuat dirinya segera dibawa pulang ke rumah.

Ketika mengetahui bahwa seorang budak Majusi yang menikamnya, Umar berkata, “Semoga Allah memberikan kejelekan baginya, kami telah menyuruhnya suatu perkara yang baik.”

Kemudian Umar bin Khattab mewasiatkan agar penggantinya (seorang khalifah) dimusyawarahkan oleh enam orang yang Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka, yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Umar bin Khathab berwasiat kepada orang yang akan menggantikannya untuk berbuat yang terbaik kepada seluruh manusia dengan berbagai tingkatan mereka.

Akhirnya, Umar bin Khattab wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman itu. Ia dimakamkan pada hari Ahad, awal Muharram tahun 24 H.

Umar Minta Izin Dikebumikan di Sisi Dua Sahabatnya

Saat Umar bin Khattab dalam keadaan terluka berdarah-darah setelah peristiwa penikaman, dirinya menyuruh Abdullah bin Umar, putranya, untuk mendatangi Ummul Mukminin Aisyah di rumahnya.

Umar berujar, “Berangkatlah engkau sekarang ke rumah Aisyah Ummul Mukminin dan katakan, ‘Umar bin Khattab menyampaikan salam kepadanya dan jangan kau katakan salam dari Amirul Mukminin. Sebab sejak hari ini, aku tidak lagi menjadi Amirul Mukminin, katakan kepadanya bahwa Umar bin Khattab minta izin agar dapat dimakamkan di samping dua sahabatnya.”

Maka pergilah Abdullah bin Umar ke rumah Aisyah, dan segera mengucapkan salam untuk izin masuk ke dalam. Ternyata didapati Aisyah sedang duduk menangis.

Abdullah bin Umar berkata, “Umar bin Khattab mengucapkan salam untukmu dan ia meminta izin agar dapat dikebumikan di sisi kedua sahabatnya.”

Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku menginginkan agar tempat tersebut menjadi tempatku kelak jika mati, tetapi hari ini aku harus mengalah untuk Umar bin Khattab.”

Ketika Abdullah bin Umar kembali, maka ada seorang yang mengatakan, “Lihatlah Abdullah bin Umar telah datang.” Kemudian Umar bin Khattab berkata, “Angkatlah aku.”

Salah seorang menyandarkan Umar bin Khattab ke tubuh anaknya, Abdullah bin Umar. Umar lalu bertanya kepada putranya, “Apa berita yang engkau bawa?” Ia menjawab, “Sebagaimana yang engkau inginkan, wahai Amirul Mukminin. Aisyah telah mengizinkan dirimu.”

Maka Umar berkata, “Alhamdulillah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain dari itu. Jika aku wafat maka bawalah jenazahku ke sana dan katakan, ‘Umar bin Khattab minta izin untuk dapat masuk.’ Jika ia (Aisyah) memberikan izin maka bawalah aku masuk, tetapi jika ia menolak, maka bawalah jenazahku ke pemakaman kaum muslimin.”

Tak lama Umar bin Khattab menemui ajalnya, maka kaum muslim yang hadir kala itu keluar membawa jenazahnya menuju rumah Aisyah. Abdullah bin Umar mengucapkan salam sambil berkata, ‘Umar bin Khattab meminta izin agar dapat masuk.”

Aisyah menjawab, “Bawalah ia masuk.” Kemudian jenazah Umar bin Khattab dibawa masuk dan dimakamkan di tempat itu bersama kedua sahabatnya, yakni Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Diketahui semasa hidupnya Umar bin Khattab sangat dekat dengan Nabi SAW, begitu juga bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah menuturkan kepada Umar, yang dinukil dari sumber yang sama:

“Demi Allah, aku merasa yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu dengan kedua sahabatmu (Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq). Aku banyak mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku berangkat bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku masuk bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku keluar bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.”

Akhirnya, Umar bin Khattab dikubur di kamar Nabi Muhammad SAW, di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah mendapat izin dari Ummul Mukminin, Aisyah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

6 Nabi yang Diabadikan sebagai Nama Surat Al-Qur’an, Siapa Saja?



Jakarta

Dari 114 surat yang termuat dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa nabi dan rasul yang diabadikan sebagai nama surat. Siapa saja?

Menukil buku Misteri Di Balik Penamaan Surat-Surat Al-Qur’an oleh Latifatul Umamah, para ulama terbagi menjadi dua pendapat mengenai penamaan surat Al-Qur’an. Jumhur ulama berpendapat bahwa surat Al-Qur’an ditentukan oleh Rasulullah SAW dan semuanya tercantum dalam hadits shahih.

Ibnu Jarir Ath-Thabari mengatakan, “Semua surat di Al-Qur’an memiliki nama yang diberikan oleh Nabi SAW.”


Syekh Sulaiman Al-Bajirami juga menuturkan, “Nama-nama surat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW. Karena nama-nama surat, urutan surat, dan urutan ayat-ayat, semuanya berdasarkan petunjuk beliau, atas bimbingan Jibril bahwa sistematika Al-Qur’an di Lauh Mahfudz adalah seperti itu.”

Sementara ulama lain berpandangan tidak semua surat Al-Qur’an dinamakan oleh Nabi SAW, lantaran sebagian nama surat merupakan hasil ijtihad para sahabat

Fatwa Lajnah Daimah menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya dalil dari Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa beliau memberi nama seluruh surat. Hanya saja, terdapat beberapa hadits shahih yang menyebutkan nama beberapa surat dari beliau, seperti Al-Baqarah dan Ali Imran. Sementara nama surat-surat lainnya, yang lebih dekat, itu dari para sahabat.”

Ahli Tafsir Quraish Shihab dalam bukunya M. Quraish Shihab Menjawab turut mengemukakan, “Nama-nama surat Al-Qur’an terkadang bersumber dari Allah SWT sendiri, atau Rasulullah SAW, atau para sahabat dan ulama.”

Lebih lanjut menurutnya, “Nama surat itu boleh jadi diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surat itu, baik di awal misal Surat Ar-Rahman dan Bara’ah. Di tengah maupun di akhir misal Surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Boleh jadi kata yang menjadi nama itu juga tidak terdapat dalam surat yang dinamainya, melainkan karena kandungan atau sifat suratnya.”

Untuk surat Al-Qur’an yang dinamakan karena kandungan atau isinya, seperti surat-surat yang diambil dari nama nabi dan rasul. Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an berpandangan:

“Ada surat-surat yang di dalamnya terdapat kisah-kisah para nabi, kemudian surat itu diberi nama dengan nama-nama mereka (para nabi), seperti Surat Nuh, Surat Hud, Surat Ibrahim, Surat Yunus, Surat Yusuf, dan Surat Muhammad.” ujarnya.

6 Surat yang Diambil dari Nama Para Nabi

Berdasarkan pendapat Jalaluddin as-Suyuthi pada penjelasan di atas terdapat 6 surat yang diambil dari nama nabi dan rasul. Ini penjelasannya yang dilansir dari Tafsir Tahlili Kementerian Agama (Kemenag).

1.Surat Yunus

Merupakan surat ke-10 dan terdiri dari 109 ayat. Termasuk golongan surat Makkiyah, yang mana diturunkan setelah Surat Al-Isra dan sebelum Surat Hud. Dinamakan surat ‘Yunus’ lantaran surat ini mengisahkan Nabi Yunus AS bersama pengikutnya yang punya keteguhan iman dalam ayat 98-100.

2. Surat Hud

Adalah surat ke-11 dalam urutan mushaf Al-Qur’an. Terdiri dari 123 ayat dan tergolong surat Makkiyah yakni diwahyukan sesudah Surat Yunus. Dinamakan surat ‘Hud’ karena berisi riwayat Nabi Hud AS di dalamnya pada ayat 50-60.

3. Surat Yusuf

Terdiri dari 111 ayat dan berada di urutan ke-12 dalam susunan surat Al-Qur’an. Termasuk Makkiyah karena diturunkan sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah. Dinamakan surat ‘Yusuf’ lantaran hampir seluruh isinya mengenai kisah Nabi Yusuf AS.

4. Surat Ibrahim

Berada di urutan ke-14 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Terdapat 52 ayat dan surat ini tergolong Makkiyah. Dinamakan surat ‘Ibrahim’ karena mengandung kisah doa Nabi Ibrahim AS pada ayat 35-40. Isi doanya antara lain perihal permohonan agar kelak keturunannya adalah orang yang mendirikan sholat, dijauhkan dari penyembahan berhala, dan supaya wilayah Makkah dan sekitarnya menjadi daerah aman dan makmur.

5. Surat Muhammad

Merupakan surat ke-47 dalam mushaf Al-Qur’an.Terdiri dari 38 ayat dan termasuk golongan Madaniyah. Dinamakan ‘Muhammad’ karena diambil dari kata tersebut dalam ayat 2. Surat ini menjelaskan bahwa Allah SWT membandingkan antara hasil yang didapat orang yang percaya akan apa yang diturunkan kepada Nabi SAW dan apa yang diperoleh orang yang tidak percaya kepadanya.

6. Surat Nuh

Terdiri dari 28 ayat dan merupakan surat Makkiyah. Dinamakan surat ‘Nuh’ karena seluruh isi ayatnya mengisahkan dakwah Nabi Nuh AS.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pendeta Buhaira ketika Melihat Tanda Kenabian Nabi Muhammad SAW



Jakarta

Ketika Muhammad SAW masih belia dan belum diangkat sebagai utusan Allah SWT, beliau pernah bertemu dengan seorang pendeta yang melihat tanda kenabian pada dirinya. Bagaimana kisahnya?

Ibnu Ishaq dalam As-Sirah an-Nabawiyyah yang diterjemahkan Ali Nurdin, menceritakan sebuah riwayat mengenai pendeta (rahib) asal Bushra, Syam bernama Buhaira yang mengetahui kenabian Muhammad saat berjumpa dengannya.

Kisah bermula ketika Abu Thalib, paman Nabi SAW, hendak berangkat ke Syam bersama kafilah dagang. Saat persiapan keberangkatan, Muhammad SAW yang berusia belia ingin ikut. Umur beliau sekitar sembilan, atau sepuluh, atau dua belas, berdasarkan riwayat yang berbeda.


Hati Abu Thalib pun luluh. Ia berkata kurang lebih, “Demi Allah, aku akan membawanya pergi. Ia tidak akan berpisah denganku dan aku juga takkan meninggalkannya.” Setelahnya ia pergi dengan membawa keponakannya itu.

Tibalah rombongan dagang di Bushra, wilayah Syam. Di sana dikenal seorang pendeta yang senang menyendiri dan tak pernah keluar dari biaranya sejak menjadi diangkat rahib. Ia menjadi rujukan ilmu bagi pemeluk ajaran Nasrani, dan mereka mempelajari ilmu agama darinya. Namanya Buhaira.

Banyak dari kalangan dagang Quraisy yang kerap mampir di tempat itu. Tetapi pendeta Buhaira tak pernah bicara dengan mereka, bahkan menampakkan diri sekali pun, kepada mereka.

Pada tahun itu, saat kafilah dagang Abu Thalib menepi di dekat biara, Buhaira telah menyiapkan banyak hidangan. Diduga karena sesuatu yang ia lihat dari dalam biara. Di mana ada yang meyakini bahwa saat Muhammad SAW berjalan di antara rombongan, ia melihat ada awan yang menaungi kawanan itu.

Mereka pun singgah dan bernaung di bawah pohon terletak dekat biara. Buhaira sekali lagi menyaksikan awan menaungi pohon tersebut, dan dahan-dahannya merunduk di atas Muhammad SAW sehingga beliau bisa berteduh.

Kemudian Buhaira turun dari biaranya, dan mengutus seseorang untuk menemui kelompok dagang itu seraya berpesan, “Saudara-saudara Quraisy, aku sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Aku ingin kalian semua hadir tanpa kecuali; anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, ataupun orang merdeka.”

Seorang dari rombongan terheran dan bertanya, “Demi Allah, wahai Buhaira, hari ini engkau benar-benar berbeda. Apa yang kau lakukan pada kami? Kami sudah sering melewati tempatmu, tetapi hari ini mengapa sikapmu berbeda?”

Buhaira menjawab, “Engkau benar. Apa yang kau katakan memang sesuai dengan kenyataan. Namun, kalian semua adalah tamuku. Aku ingin menghormati kalian dan membuat makanan untuk kalian. Karena itu, kuharap kalian semua memakannya.”

Akhirnya seluruh kafilah dagang berkumpul di biara. Dan hanya Muhammad SAW yang tidak ikut lantaran usianya masih anak-anak. Beliau memilih untuk menunggu dan menjaga di dekat tunggangan mereka di bawah pohon itu.

Ketika Buhaira mengamati mereka, ia tidak menemukan sifat-sifat yang dilihatnya tadi dalam rombongan. Maka ia mengatakan, “Saudara-saudara Quraisy, tak boleh ada seorang pun yang tertinggal dari menyantap makanan yang kupersiapkan.”

Mereka berujar, “Wahai Buhaira, tidak seorang pun tertinggal untuk mendatangimu, kecuali seorang anak yang paling muda usianya. Ia tetap berada di kendaraan.”

Buhaira berkata, “Jangan lakukan hal itu, ajaklah anak itu. Ia harus ikut bersama kalian menyantap makanan ini.”

Seorang dari mereka mengucap, “Demi Lata dan Uzza, betapa aib bagi kami jika putra Abdullah bin Abdil Muththalib tidak ikut menyantap bersama kami.”

Orang itu pun keluar untuk memanggil Muhammad SAW, dan diajaklah beliau agar bergabung bersama rombongan.

Lantas Buhaira memperhatikan Muhammad SAW secara diam-diam. Ia mengamati seluruh tubuhnya anak belia tersebut, hingga ia mendapati tanda kenabian pada diri Muhammad SAW kecil.

Setelah menyantap makanan, rombongan dagang itu berpencar. Kemudian Buhaira mendekati Muhammad SAW sambil bertanya, “Nak, demi Lata dan Uzza aku akan bertanya kepadamu, dan engkau harus menjawab pertanyaanku.”

Mendengar rahib itu mengucap nama berhala “Lata dan Uzza”, Muhammad SAW menjawab, “Janganlah engkau bertanya kepadaku atas nama Lata dan Uzza. Demi Allah, tidak ada yang paling kubenci selain keduanya.”

Buhaira berkata, “Demi Allah, hendaknya engkau menjawab pertanyaan-pertanyaanku.” Muhammad SAW menjawab, “Silakan bertanya.”

Pendeta itu pun menanyakan segala hal yang ingin diketahuinya. Muhammad SAW menjawab semua pertanyaannya, dan ternyata jawaban yang diberikannya sesuai dengan sifat-sifat kenabian.

Akhirnya Buhaira memeriksa punggung Muhammad SAW. Ia menyaksikan ada stempel kenabian antara kedua bahunya seperti bekas bekam, persis di tempat yang diketahuinya.

Setelah mencermati Muhammad SAW selesai, Buhaira bertanya kepada Abu Thalib. Ia bertanya, “Anak siapa ini?” Abu Thalib menjawab, “Dia anakku.”

Buhaira menentang, “Ia bukan anakmu. Tidak mungkin anak ini punya seorang ayah yang masih hidup.” Abu Thalib membenarkan, “Memang, ia anak saudaraku.”

Buhaira bertanya kembali, “Apa yang dilakukan ayahnya?” Abu Thalib mengatakan, “Ia sudah meninggal saat ibunya mengandung anak ini.”

Rahib itu berujar, “Engkau benar. Sebaiknya engkau segera membawa keponakanmu ini kembali ke negerimu. Dan berhati-hatilah terhadap orang Yahudi.”

“Demi Allah, kalau sampai mereka melihat anak ini dan mengetahui apa yang kuketahui, mereka akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya. Sungguh, keponakanmu ini akan memiliki kedudukan yang agung. Sekarang, pulanglah cepat-cepat ke negerimu.” ungkap Buhaira.

Selesainya urusan dagang di Syam, Abu Thalib langsung membawa Muhammad SAW pulang ke Makkah.

Dikatakan ada tiga orang Ahli Kitab; Zurair, Tammam, dan Daris menyaksikan Muhammad SAW sebagaimana yang dilihat oleh Buhaira ketika perjalanannya bersama Abu Thalib. Dan mereka pun menginginkan Muhammad SAW, tetapi Buhaira mencegahnya sembari mengingatkan mereka akan Allah SWT. Kemudian mereka membiarkannya.

Begitulah Muhammad SAW yang kemudian tumbuh menjadi pemuda yang berada dalam perlindungan dan pemeliharaan Allah SWT. Dia memeliharanya dari noda kaum jahiliyah karena menghendaki kehormatan dan kerasulan untuknya kelak di masa dewasa.

Beliau menjadi orang yang baik kepribadiannya, bagus akhlaknya, mulia garis keturunannya, tinggi kesantunannya, benar bicaranya, agung amanahnya, dan paling jauh dari kekejian dan perangai tercela. Hal itu merupakan bentuk penyucian dan penghormatan. Sehingga tak heran Muhammad SAW diberi gelar Al-Amin (orang terpercaya).

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Pingsan saat Puasa, Siapakah Dia?



Jakarta

Qais bin Shirmah Al-Anshari namanya. Sahabat Rasulullah SAW yang satu ini berasal dari golongan kaum Anshar.

Kala itu pada bulan Ramadan, suhu udara di Madinah sangat terik. Sampai-sampai, panas Matahari terasa seperti menyengat tubuh.

Setelah selesai bekerja tepat pada waktu berbuka, Qais pulang ke rumah dan bertanya kepada sang istri, “Apa kita punya makanan?”


Si istri yang tidak berpuasa karena tengah haid, menjawab Qais dengan perasaan sedih bahwa tidak ada makanan di rumah. Merasa tak tega, ia berkata “Tunggulah sebentar, aku akan mencarikan makanan untukmu,”

Dikisahkan dalam buku Pesona Ibadah Nabi oleh Ahmad Rofi’ Usmani, sang istri lalu pergi mencari makanan untuk Qais. Merasa lelah setelah seharian bekerja, Qais pun tertidur pulas.

Sekembalinya si istri membawa makanan, ia merasa tak tega membangunkan suaminya yang tengah terlelap karena seharian bekerja. Akhirnya, tidurlah Qais semalaman tanpa berbuka.

Walau begitu, keesokan harinya Qais tetap berpuasa. Alhasil, pada tengah hari dirinya jatuh pingsan karena belum makan dan minum sejak kemarin.

Peristiwa tersebut lantas sampai ke telinga Rasulullah SAW. Lalu turunlah surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Arab latin: Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, ‘alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba ‘alaikum wa ‘afā ‘angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum ‘ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la’allahum yattaqụn

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa,”

Mengutip dari buku Bekal Ramadhan dan Idhul Fitri 2 oleh Saiyid Mahadhir Lc MA, pada ayat tersebut dijelaskan terkait benang putih dan benang hitam. Maksud dari kata benang ialah gelapnya malam dan terangnya siang atau fajar.

Hal tersebut dikatakan oleh salah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Adi bin Hatim RA, ia bertanya kepada Nabi SAW mengenai maksud dari benang putih dan benang hitam pada surah Al Baqarah ayat 187, beliau bersabda: “(Bukan) akan tetapi ia adalah gelapnya malam dan terangnya siang (fajar).” (HR Bukhari)

Pada zaman itu, puasa Ramadan baru diwajibkan sehingga belum ada ketentuan jelas terkait batasan-batasan kapan diperbolehkan makan-minum serta kapan tidak boleh. Sebagian sahabat yang berpuasa bahkan tertidur sebelum berbuka hingga sepanjang malam.

Ada juga yang tertidur lelap sampai-sampai tidak melaksanakan sahur, namun tetap harus puasa keesokan harinya, seperti yang dialami oleh Qais ibn Shirmah. Dengan demikian, turunnya surah Al Baqarah ayat 187 menjadi pedoman bagi kaum muslimin menjalankan puasa Ramadan.

Terlebih, pada ayat tersebut dijelaskan mengenai waktu berpuasa Ramadan, yaitu dari terbit fajar hingga terbenamnya Matahari.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Julaibib, Sahabat Nabi yang Dirindukan Bidadari Surga



Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki seorang sahabat yang tak begitu terkenal namun ia dirindukan bidadari-bidadari surga. Ia bernama Julaibib.

Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam Kitab Mausu’ah min Akhlaq Rasulillah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, menurut riwayat Abu Barzah Al-Aslami, Julaibib adalah pria dari kalangan Anshar dan seorang dari sahabat nabi.

Julaibib termasuk sahabat nabi yang mulia. Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi karya Muhammad Nasrulloh, pernah suatu ketika Rasulullah SAW menanyakan kepada Julaibib kenapa ia tidak menikah.


Julaibib mengatakan dirinya tidak yakin akan ada wanita yang mau menikah dengannya. Sebab, ia tahu bahwa dirinya bukanlah pria bernasab, tidak rupawan, dan tidak memiliki harta.

Kisah mengenai Julaibib sebagai sahabat yang dirindukan bidadari surga ini turut diceritakan dalam buku Tarbiyah Cinta Imam Al-Ghazali karya Yon Machmudi dkk.

Dikatakan, Julaibib merupakan nama yang tidak biasa di kalangan bangsa Arab, namanya juga tidak lengkap dan tidak bernasab. Julaibib terlahir tanpa tahu siapa kedua orang tuanya.

Semua orang pun tak tahu atau tak mau tahu tentang dia, tentang nasabnya, atau dari suku apa ia berasal.

Tampilan fisiknya membuat tak ada yang mau berdekat-dekatan dengannya. Wajahnya jelek, posturnya pendek dan bungkuk, kulitnya hitam, miskin, pakaiannya lusuh, dan kakinya pecah-pecah karena tak beralas.

Julaibib adalah orang yang tidak diharapkan. Namun, bila Allah SWT berkehendak menurunkan kasih sayang-Nya, tak ada yang kuasa menghalanginya.

Allah SWT memuliakan Julaibib dengan hidayah, yang semula hina di antara penduduk bumi menjadi mulia di antara penduduk langit.

Julaibib selalu berada di shaf terdepan dalam salat dan jihad. Meski kebanyakan orang tetap menganggapnya tiada, tapi tidak dengan Rasulullah SAW yang selalu menunjukkan perhatian dan cinta kepada umatnya.

Julaibib yang tinggal di selasar Masjid Nabawi suatu hari ditegur oleh Rasulullah SAW, “Julaibib, tidakkah engkau menikah?” lembut suara Nabi SAW memekarkan bunga jiwa Julaibib.

“Siapakah orangnya, ya Nabi, yang mau menikahkan anaknya dengan diriku ini?” Julaibib menjawab dengan senyuman. Tidak ada kesan ia menyesali dan menyalahkan takdir. Rasulullah juga tersenyum, dan ia kembali menanyakan hal yang sama kepada Julaibib hingga tiga hari berturut-turut.

Pada hari ketiga itulah Rasulullah SAW mengajak Julaibib ke rumah salah satu pemimpin Anshar. Betapa bahagianya tuan rumah menerima kunjungan kehormatan dari sang Nabi Allah SWT.

“Aku ingin menikahkan putri kalian,” kata Rasulullah SAW kepada pemilik rumah.

“Masya Allah, alangkah indah dan berkahnya. Duhai betapa kehadiranmu akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami”, si wali mengira bahwa Rasulullah akan meminang anak gadisnya.

“Bukan untukku,” aku pinang putrimu untuk Julaibib” kata Rasulullah SAW.

Ayah sang gadis tentu sangat terkejut mendengarnya, sedang istrinya berseru, “Dengan Julaibib? Bagaimana mungkin? Julaibib yang jelek dan hitam, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah, tidak! Tidak akan pernah anak kita menikah dengannya!”

Sementara itu, anak gadisnya yang mendengar percakapan mereka dari balik tirai angkat bicara. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan segalanya.

Ia menerima pinangan dari Rasulullah SAW dan setuju untuk menikah dengan Julaibib. Cintanya kepada Allah SWT ditunjukkan dengan taat dan patuh kepada Rasul-Nya.

Namun, kebersamaan pasangan ini tidak berlangsung lama. Julaibib harus gugur saat berperang dan Rasulullah SAW sangat kehilangan.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” kata Rasulullah SAW usai pertempuran.

“Tidak, ya Rasulullah,” serempak para sahabat menjawab.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” kata Rasulullah SAW bertanya lagi. Wajahnya mulai memerah.

“Tidak, ya Rasulullah,” Sebagian sahabat menjawab dengan ragu dan was-was, beberapa melihat sekeliling dan memastikan tidak kehilangan seseorang.

Terdengar helaan nafas yang berat, “Aku kehilangan Julaibib, carilah Julaibib!” kata beliau.

Para sahabat tersadar dengan sosok yang dicari Rasulullah SAW, akhirnya mereka menemukan Julaibib. Ia gugur penuh luka, di sekitarnya terdapat tujuh musuh yang telah ia bunuh. Rasulullah SAW dengan tangannya sendiri mengkafani Julaibib dan mensalatinya.

Julaibib telah lama dirindukan oleh para bidadari surga, meski di dunia ia memiliki istri yang salihah. Julaibib lebih diperhatikan oleh penduduk langit daripada penduduk bumi.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com