Tag Archives: nahdlatul

Bagaimana Ulama Menentukan 1 Muharram? Ini Metodenya


Jakarta

Tahun Baru Islam jatuh pada 1 Muharram. Penentuan 1 Muharram menggunakan beberapa metode, hal ini memungkinkan adanya perbedaan di sejumlah wilayah.

Kerajaan Arab Saudi menetapkan 1 Muharram 1447 H jatuh pada Kamis, 26 Juni 2025. Sementara itu, Indonesia baru memasuki Tahun Baru Islam pada Jumat, 27 Juni 2025.

“Mahkamah Agung hari ini mengeluarkan pernyataan yang mengumumkan bahwa Kamis, 26 Juni 2025, akan menandai hari pertama Muharram 1447 H,” lapor SPA, Rabu (25/6/2025).


Cara Ulama Menentukan 1 Muharram

Secara garis besar, ada dua metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Hijriah, termasuk 1 Muharram. Para ulama menggunakan metode hisab dan rukyat. Berikut penjelasannya.

1. Menggunakan Metode Hisab

Metode hisab adalah metode penentuan awal bulan berdasarkan perhitungan astronomi. Dijelaskan dalam buku Hisab & Rukyat karya Riza Afrian Mustaqim, penganut hisab bersandar pada surah Ar Rahman ayat 5 dan Yunus ayat 5 bahwa Allah SWT menahkikkan benda langit seperti Bulan dan Matahari berotasi pada orbitnya secara tetap sesuai ketentuan-Nya. Para ahli hisab memandang peredaran benda langit dapat diperhitungkan secara pasti dan memiliki akurasi yang baik.

Selain itu, penggunaan metode hisab juga mengacu hadits nabi yang memerintahkan penggenapan (istikmal) 30 hari.

Metode hisab digunakan dalam menyusun kalender Hijriah. Beberapa di antaranya Kalender Ummul Qura yang digunakan di Arab Saudi dan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang resmi digunakan PP Muhammadiyah mulai tahun ini.

2. Menggunakan Metode Rukyat

Para ulama juga menggunakan metode rukyat untuk menentukan awal bulan Kamariah. Dalam ilmu falak, rukyat merujuk pada pengamatan hilal setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Proses rukyatul hilal dilakukan secara langsung baik dengan mata telanjang maupun alat bantu optik.

Dalil penggunaan metode rukyat mengacu pada sejumlah hadits, salah satunya sabda Rasulullah SAW,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ عُبِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya; “Berpuasalah (Ramadan) karena melihat tanggal (1 Ramadan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadan) karena melihat tanggal (1 Syawal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”. (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)

Pemerintah Indonesia menggunakan metode ini dalam menentukan awal bulan Hijriah dengan tetap mempertimbangkan data hisab. Metode rukyat juga digunakan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU).

(kri/dvs)



Sumber : www.detik.com

PBNU Jalin Kolaborasi Strategis dengan Jerman, Perkuat Misi Kemanusiaan Global



Jakarta

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), baru saja bertemu dengan pejabat tinggi Pemerintah Jerman. Pertemuan itu membahas kerjasama di bidang kemanusiaan dunia.

Pejabat yang ditemui oleh Gus Yahya adalah Thomas Rachel. Thomas menjabat sebagai The Federal Government Commissioner for Freedom of Religion or Belief dalam Kabinet Kanselir Friedrich Merz.

Pertemuan berlangsung di Kantor Kementerian Luar Negeri Jerman, Berlin, pada Selasa, 7 Juli 2025, pukul 14.00 waktu setempat. Gus Yahya didampingi oleh Wakil Ketua Umum PBNU Amin Said Husni dan Penasihat Khusus Urusan Internasional H. Muhammad Kholil dalam kunjungan tersebut.


Kepada Thomas, Gus Yahya memaparkan secara rinci inisiatif Gerakan Global Religion of Twenty (R20). Gagasan ini dibentuk oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan diluncurkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 2022.

Beliau menjelaskan bahwa R20 berupaya menjadikan agama sebagai kekuatan pendorong solusi untuk tantangan global. Bukan justru sebagai sumber konflik.

R20 adalah ikhtiar NU agar agama-agama turut mengambil tanggung jawab dalam merumuskan solusi peradaban, bukan sekadar menjadi bagian dari masalah,” ujar Gus Yahya dalam dalam keterangan persnya.

Selain itu, Gus Yahya juga menyoroti konsensus kebangsaan Indonesia. Meliputi NKRI sebagai bentuk negara, Pancasila sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai dasar konstitusi, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip kebhinekaan-sebagai model inspiratif.

Menurut Gus Yahya, pengalaman Indonesia dalam merawat konsensus dapat menjadi contoh bagi komunitas internasional dalam membangun tatanan dunia yang lebih inklusif dan harmonis.

Inisiatif PBNU mendapat sambutan hangat dari Thomas Rachel. Sebagai tokoh yang dihormati di Jerman dan Eropa, Thomas mengungkapkan kekagumannya terhadap NU, yang ia sebut sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang teguh memperjuangkan toleransi, demokrasi, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Mengakhiri pertemuan, kedua belah pihak menegaskan komitmen kuat untuk berkolaborasi dalam proyek-proyek kemanusiaan. Harapan dapat mempererat jejaring global untuk membangun peradaban yang lebih adil dan damai di masa depan.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana



Jakarta

Rencana ceramah Dr. Zakir Naik di Stadion Gajayana, Kota Malang, yang dijadwalkan pada Kamis, 10 Juli 2025, memicu perhatian berbagai pihak. Beberapa elemen masyarakat menyatakan penolakan, sementara organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah justru memberikan tanggapan yang lebih bijak dan mengajak masyarakat untuk menyikapi dengan dewasa.

PCNU Malang Minta Ceramah Dikemas Secara Kondusif

Dikutip dari detikJatim, Kamis (10/7/2025) Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang, KH Isroqunnajah, menyampaikan pandangannya terkait agenda ceramah Dr. Zakir Naik. Ia menyayangkan pilihan lokasi yang diambil oleh panitia, yaitu di ruang terbuka. Menurutnya, ini berbeda dengan pola ceramah Dr. Zakir yang biasanya dilaksanakan di tempat tertutup.

KH Isroqunnajah, atau yang akrab disapa Gus Is, juga menyarankan agar sesi tanya jawab yang direncanakan berlangsung selama dua jam, sebaiknya dipangkas. Hal ini untuk menjaga suasana tetap kondusif, terutama karena penggunaan bahasa Inggris yang memerlukan penerjemah.


“Kami berharap sesi tanya jawab dilakukan dengan sistem seleksi pertanyaan yang ditulis dan dibacakan panitia agar tidak terjadi pernyataan yang keluar dari kendali,” jelasnya.

Meski memberikan sejumlah catatan, PCNU Kota Malang menegaskan bahwa mereka tidak menolak kehadiran Dr. Zakir Naik.

“Kami sudah meminta agar Dr Zakir Naik tidak menyindir agama lain supaya suasana tetap kondusif dan damai,” kata KH Isroqunnajah.

Ia menambahkan bahwa penting untuk memastikan acara ini tidak menimbulkan kegaduhan.

PCNU juga berharap ceramah bertema ‘Nabi Muhammad dalam Perspektif Kitab-Kitab Suci’ dapat menjadi sarana penguatan akidah umat Islam, tanpa menyinggung keyakinan lain.

“Harapannya semakin bisa memperkokoh teologi kita orang Islam, dan kita menghindari kekecewaan siapapun, termasuk yang beragama lain,” tegasnya.

Muhammadiyah: Ajak Masyarakat Bersikap Dewasa

Sikap serupa juga disampaikan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang. Ketua Muhammadiyah Kota Malang, Abdul Haris, mengajak masyarakat untuk merespons ceramah ini dengan kedewasaan berpikir.

“Kita harus melihat kondisi dan situasi masyarakat saat ini. Jika masyarakat sudah dewasa dan terbuka, ceramah seperti ini tidak akan menjadi masalah. Sayangnya, kita belum sampai pada titik itu,” ujarnya

Lebih lanjut, Abdul Haris menilai materi ceramah Dr. Zakir dari sisi akademik sebenarnya tidak bermasalah. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga suasana damai dan tidak menjadikan perbedaan sebagai bahan olok-olok.

“Islam mengajarkan keberanian untuk terbuka. Yang penting bagi kita adalah saling terbuka dan saling toleransi, tanpa berasumsi negatif,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa toleransi membutuhkan keberanian untuk menerima keberagaman dalam kehidupan sosial.

“Toleransi adalah keberanian mengakui perbedaan. Kalau tidak berangkat dari situ, susah membangun toleransi. Biarkan perbedaan menjadi variasi yang memperkaya,” katanya.

“Yang kita butuhkan sekarang adalah kedewasaan berpikir dan keberanian untuk menentukan pilihan secara rasional,” sambungnya.

Sebagai informasi, rencananya ceramah Dr. Zakir Naik ini akan menjadi bagian dari Indonesia Lecture Tour 2025 dan berlangsung di Stadion Gajayana pada malam Kamis, 10 Juli 2025.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

PBNU Resmikan Dapur MBG di Cirebon, Targetkan 1.000 Titik di Pesantren NU



Cirebon

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meresmikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Pondok Pesantren Mualimin Mualimat, Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Program ini menjadi wujud komitmen PBNU dalam mendukung pemenuhan gizi santri dan pelajar di lingkungan lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama.

Dalam rilis yang diterima detikHikmah pada Sabtu (2/7/2025), Peresmian dapur MBG tersebut dihadiri langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), bersama jajaran pengurus PBNU, pimpinan Badan Gizi Nasional (BGN), dan pimpinan 13 pesantren mitra MBG yang turut meresmikan dapurnya pada kesempatan yang sama.


Adapun 13 pesantren dan yayasan pendidikan mitra MBG yang terlibat dalam peresmian ini antara lain:

  1. Ponpes Mualimin-Mualimat Babakan Ciwaringin, Cirebon
  2. Ponpes Abu Manshur, Cirebon
  3. Ponpes Sirajul Mukhlasin 2 Yajri, Magelang
  4. Ponpes Assalafiyah Mlangi, Yogyakarta
  5. Ponpes Ma’hadul Muta’allimin, Ngawi
  6. Ponpes Darussyifa Yaspida, Sukabumi
  7. Ponpes Duta Aswaja, Kudus
  8. Ponpes Krapyak Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
  9. Yayasan Pendidikan Azzam Abu Haidir Anshor, Labuhan Batu Utara
  10. Yayasan Mukti Khoiriyah, Banyumas
  11. Yayasan Al Musaddadiyah, Garut
  12. Yayasan Al Muhajirin, Purwakarta
  13. Ponpes Putra Putri Marsahaja, Riau

Dalam sambutannya, Gus Yahya menegaskan bahwa inisiatif pembangunan dapur MBG merupakan bentuk konkret dukungan PBNU terhadap program prioritas nasional di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, khususnya dalam mempercepat pemenuhan gizi anak-anak Indonesia.

“Di tahap awal ini, sebanyak 218 yayasan pesantren dan lembaga pendidikan di bawah naungan NU sudah mulai diproses oleh BGN,” ujar Gus Yahya.

Ia juga menambahkan, PBNU menargetkan pembangunan 1.000 dapur MBG yang tersebar di berbagai pesantren dan sekolah/madrasah NU di seluruh Indonesia. Dari sekitar 26 ribu pesantren serta lebih dari 10 ribu sekolah dan madrasah di lingkungan NU, setidaknya 426 pesantren dengan jumlah santri lebih dari 1.000 orang akan menjadi prioritas utama.

“Kami ingin memastikan setiap anak mendapatkan hak dasar atas gizi yang baik. Lewat program ini, kami berharap bisa mencetak generasi yang sehat, cerdas, dan unggul untuk masa depan bangsa,” ungkap Gus Yahya.

Peresmian 13 dapur MBG ini menjadi tonggak penting dalam mempercepat realisasi target 1.000 titik dapur MBG NU di seluruh Indonesia. Lewat inisiatif ini, PBNU ingin berperan aktif dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia sekaligus mendukung visi pemerintah dalam menciptakan generasi emas yang sehat dan kompetitif.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Kamaruddin Amin Kenang Momen Dilantik oleh Suryadharma Ali



Jakarta

Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Kamaruddin Amin, mengenang momen saat dirinya pertama kali dilantik menjadi pejabat di Kementerian Agama oleh almarhum Suryadharma Ali (SDA). Momen tersebut menjadi bagian penting dalam perjalanan kariernya, sekaligus meninggalkan kesan mendalam terhadap sosok SDA.

“Saya pertama kali dilantik oleh beliau di Kementerian Agama, waktu itu saya menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Itu salah satu momen yang sangat saya ingat,” ujar Kamaruddin saat ditemui di acara Halaqah Musyawarah Kerja Nasional dan Pelantikan Pengurus ISNU di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2026).

Kabar duka atas wafatnya Suryadharma Ali pada Kamis pagi (31/7/2025) membawa kesedihan tersendiri bagi Kamaruddin. Ia menyampaikan belasungkawa mendalam atas berpulangnya mantan Menteri Agama RI itu.

“Atas nama ISNU kami turut berduka sedalam-dalamnya. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Mari kita kirimkan Al-Fatihah untuk almarhum,” ucapnya.

Kamaruddin menyebut Suryadharma sebagai sosok yang disiplin dan penuh dedikasi. Menurutnya, almarhum tak hanya dikenal sebagai politisi dan aktivis, tetapi juga figur yang memiliki komitmen kuat terhadap kerukunan umat beragama.

“Beliau punya ide jalan santai kerukunan di seluruh Indonesia, dan saya beberapa kali mendampingi beliau ke daerah. Itu bukti perhatian besar beliau terhadap isu kerukunan antarumat beragama di Tanah Air,” kenangnya.

Karena kesibukan di acara ISNU, Kamaruddin mengaku belum sempat melayat ke rumah duka. Namun ia memastikan niat untuk datang secara pribadi bila waktunya memungkinkan.

Seperti diketahui, Kamaruddin Amin baru saja dilantik menjadi ketua umum ISNU periode 2025-2030.

“Kalau sempat, insya Allah saya akan ke sana,” ucapnya pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Kemenag itu.

Suryadharma Ali meninggal dunia di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (31/7/2025) pukul 04.25 WIB. Jenazahnya dimakamkan di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kapan Maulid Nabi 2025? Ini Jadwal Pemerintah, NU dan Muhammadiyah


Jakarta

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah momen penting yang diperingati oleh umat Islam. Perayaan ini merupakan wujud kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah SAW, yang telah membawa cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai tanggal pasti perayaan ini. Terutama karena adanya perbedaan metode penentuan kalender antara berbagai ormas Islam dan pemerintah.

Lantas, kapan Maulid Nabi 2025? Mari kita simak jadwal selengkapnya, baik menurut Pemerintah Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), maupun Muhammadiyah.


Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Berdasarkan kalender Hijriah dari Kementerian Agama, 1 Rabiul Awal 1447 H jatuh pada hari Senin, 25 Agustus 2025.

Jika dihitung, 12 Rabiul Awal jatuh pada Jumat, 5 September 2025. Artinya, tanggal tersebut adalah tanggal Maulid Nabi Muhammad SAW.

Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 933 Tahun 2025, Nomor 1 Tahun 2025, dan Nomor 3 Tahun 2025. Tanggal tersebut juga masuk dalam libur nasional.

Menurut Surat Keputusan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) Nomor 92/PB.08/A.II.01.13/13/08/2025, 1 Rabiul Awal 1447 H jatuh pada Senin, 25 Agustus 2025.

Artinya, peringatan Maulid Nabi 12 Rabiul Awal jatuh pada Jumat, 5 September 2025. Tanggal ini sama dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Berbeda dengan NU dan pemerintah, berdasarkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), Muhammadiyah menetapkan 1 Rabiul Awal pada Minggu, 24 Agustus 2025.

Artinya, peringatan Maulid Nabi jatuh pada Kamis 4 September 2025. Berbeda satu hari dengan kalender Pemerintah dan NU.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

8 Poin Seruan Kebangsaan PP ISNU: Aksi Damai


Jakarta

Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) menyampaikan 8 poin Seruan Kebangsaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyikapi dinamika kebangsaan dengan meningkatkan aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Seruan tersebut juga bertujuan menghindari jatuhnya lebih banyak korban.

“PP ISNU sebagai wadah para sarjana, akademisi, dan intelektual, menyampaikan Seruan Kebangsaan,” demikian bunyi rilis yang diterima detikHikmah pada Senin (1/9/2025).

Ketua Umum PP ISNU Prof Dr Kamaruddin Amin MA juga menegaskan agar masyarakat sama-sama mengawal isu terkini agar pengambil kebijakan bisa berfokus pada pemulihan ekonomi rakyat, memperkuat transparansi dan menguatkan etika publik dalam berbicara dan bertindak.


“Mari kita sama-sama mengawal agar pengambil kebijakan fokus pada pemulihan ekonomi rakyat, memperkuat transparansi, serta menguatkan etika publik baik dalam berbicara maupun bertindak. Dan menyerukan kepada sahabat sarjana dan insan kampus agar hadir sebagai pengawal moral kebangsaan, kebijakan pemerintah yang pro rakyat, dan kehidupan demokrasi yang damai serta menolak anarkisme,” ujar Kamaruddin.

Bersamaan dengan itu, Sekretaris Umum PP ISNU Wardi Taufik turut menambahkan bahwa ISNU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menyampaikan aspirasi dengan damai. Dengan begitu, pemerintah dan DPR bisa mendengar suara rakyat serta meninjau ulang kebijakan yang membebani masyarakat.

“ISNU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menyampaikan aspirasi secara damai, aparat menjaga keamanan dengan humanis, dan pemerintah bersama DPR mendengar suara rakyat dengan meninjau ulang kebijakan yang membebani serta melukai perasaan masyarakat,” terangnya.

8 Poin Seruan Kebangsaan yang Disampaikan PP ISNU

1. Seruan Mendengar Rakyat

Seruan yang pertama yaitu PP ISNU mendesak agar Pemerintah dan DPR RI mendengar aspirasi masyarakat secara serius sekaligus meninjau kembali kebijakan yang membebani dan melukai perasaan masyarakat. Hal itu termasuk rencana kenaikan tunjangan DPR, kebijakan pajak yang tak adil, serta sejumlah pos APBN yang tidak produktif.

2. Seruan Aspirasi Damai

PP ISNU mengajak seluruh sarjana, insan kampus serta elemen lainnya untuk saling mengawal penyampaian aspirasi agar dilakukan secara konstitusional, tertib, dan damai, serta menolak provokasi dan aksi anarkis yang bisa merusak persatuan nasional.

“Mari kita segera menatap kedepan. Jangan sampai rasa marah dan kekecewaan ini mengarah ke tindakan yang mengkhawatirkan: membuat kita saling marah dan kecewa terhadap satu sama lain. Apalagi saling menyakiti satu sama lain.” demikian bunyi Seruan Kebangsaan PP ISNU poin kedua.

3. Seruan Humanisme Aparat

Seruan Kebangsaan ketiga, PP ISNU meminta aparat keamanan (Polri dan TNI) menjaga keamanan dengan pendekatan yang terukur, humanis, dan dialogis, namun tetap tegas terhadap tindakan anarkis dan perusakan.

4. Seruan Pemulihan Ekonomi Rakyat

PP ISNU mendorong agar pemerintah memfokuskan kebijakan pada pemulihan dan pertumbuhan ekonomi rakyat, dengan prioritas pada penciptaan lapangan kerja, penguatan UMKM, dan stabilisasi harga kebutuhan pokok secara menyeluruh.

5. Seruan Jaga Persatuan

PP ISNU menolak segala bentuk provokası, terutama bernuansa SARA dan mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa. Para sarjana dan insan kampus harus hadir sebagai penopang nalar kritis sekaligus penjaga harmoni sosial.

“Kita ubah bara semangat untuk memperbaiki Indonesia menjadi energi yang mempersatukan, bukan energi yang memecah belah. Saling jaga satu sama lain. Mari kita jaga bersama Indonesia.” bunyi poin kelima dalam Seruan Kebangsaan PP ISNU.

6. Seruan Transparansi

PP ISNU mendorong pemerintahan yang transparan dan akuntabel, terutama dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi, serta perlunya pelibatan publik dalam proses perumusan kebijakan strategis.

7. Seruan Etika Elit

PP ISNU menyerukan pentingnya para elit dan pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan maupun sikap. Mari bersama-sama menjaga perasaan publik agar tidak memancing situasi yang tidak kondusif dan mengganggu stabilitas kebangsaan.

8. Seruan Dialog Publik

PP ISNU Menginstruksikan kader ISNU serta mengajak sahabat sarjana, insan kampus dan komunitas akademik untuk aktif membangun ruang dialog dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen bangsa, menjaga fasilitas umum, serta membantu masyarakat yang sedang mengalami kesulitan.

“Seruan Kebangsaan PP ISNU ini merupakan panggilan moral dan komitmen kebangsaan. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, membimbing setiap hati manusia Indonesia dan melindungi Bangsa kita tercinta.” demikian bunyi Seruan Kebangsaan PP ISNU.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Kata Muhammadiyah dan PBNU soal Usulan Dana Zakat untuk Makan Bergizi Gratis



Jakarta

Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin mengusulkan penggunaan dana zakat untuk melaksanakan program makan bergizi gratis (MBG). Usulan ini menuai tanggapan dari sejumlah pihak, termasuk ormas Islam.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai usulan dana zakat untuk membiayai program makan bergizi gratis perlu dibicarakan dengan pengelola lembaga zakat, infak, dan sedekah. Pembicaraan ini penting lantaran zakat memiliki unsur syar’i terkait golongan yang berhak menerimanya.

“Sebaiknya dibicarakan dengan Badan Amil Zakat Nasional, kemudian lembaga-lembaga zakat yang dikelola oleh ormas,” kata Haedar di sela-sela forum Tanwir Aisyiah di Hotel Tavia Heritage, Jakarta, Rabu (15/1/2025), dikutip dari CNN Indonesia.


Haedar tidak mempersoalkan adanya usulan tersebut selama untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun, kata dia, perlu pembicaraan lebih jauh terkait manajemen dan capaiannya jika usulan itu mau ditindaklanjuti.

“Badan Amil Zakat punya regulasi sendiri untuk dana yang digunakan. Karena menyangkut pertanggungjawaban dana umat. Jadi soal seperti itu tidak cukup dengan gagasan, tapi dibicarakan lewat berbagai pihak yang terkait. Nah itu yang harus dibicarakan,” kata dia.

Tanggapan PBNU

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf turut merespons usulan pendanaan makan bergizi gratis dengan uang zakat. Menurutnya, hal ini perlu kajian lanjut karena penerima zakat sudah ada aturannya dalam syariat.

“Zakat harus dikaji lagi yang nerima siapa dulu nih? Kalau dikhususkan untuk anak-anak miskin itu bisa, kalau umum dan untuk semua orang nah ini untuk zakat ini harus lebih hati-hati,” katanya usai jumpa pers penandatanganan nota kesepahaman pendirian Pusat Komunitas Tangguh dan Kewirausahaan Sosial di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (13/1/2025), dilansir NU Online.

Gus Yahya, sapaannya, memandang pemerintah perlu mengkaji secara serius target penerima manfaat dari lembaga zakat, infak, dan sedekah untuk program makan bergizi gratis.

“Ini harus diterima oleh kelompok-kelompok spesifik yang di dalam wacana MBG sebagai asnaf (penerima zakat) yang menjadi target yang diperbolehkan menerima zakat,” jelasnya.

Selain zakat, Gus Yahya melihat adanya potensi penggunaan infak dan sedekah untuk membiayai program tersebut, mengingat aturan infak dan sedekah lebih longgar ketimbang zakat.

Pihaknya sendiri telah menginstruksikan kepada Lembaga Amil, Zakat, Infak, dan Shodaqoh NU (LAZISNU) untuk ikut serta mengembangkan program pemanfaatan dana yang tujuannya kurang lebih seperti makan bergizi gratis.

Terkait kerja sama, Gus Yahya mengaku masih menjalin komunikasi intens dengan pihak penyedia makan bergizi gratis, seperti Badan Gizi Nasional dan pihak pemerintah terkait.

“Nanti ada dua area kerja yang bisa kita tangani, tentu pengadaan makan gratis itu sendiri, artinya masaknya (dan) membaginya kepada siswa dan santri. Dan juga (Penyediaan) mulai dari bahan-bahannya yang melibatkan UKM di lingkungan NU,” terangnya.

Diberitakan sebelumnya, Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin mendorong pendanaan makan bergizi gratis melibatkan masyarakat. Dia mengusulkan menggunakan dana zakat untuk membiayai program tersebut.

“Saya sih melihat ada DNA dari negara kita, DNA dari masyarakat Indonesia itu kan dermawan, gotong royong. Nah, kenapa nggak ini justru kita manfaatkan juga,” Sultan kepada wartawan di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1/2025), dilansir detikNews.

“Contoh, bagaimana kita menstimulus agar masyarakat umum pun terlibat di program makan bergizi gratis ini. Di antaranya adalah saya kemarin juga berpikir kenapa nggak ya zakat kita yang luar biasa besarnya juga kita mau libatkan ke sana, itu salah satu contoh,” katanya.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Tiga Klaster Utama Integrasi Pesantren (2)



Jakarta

Dalam membicarakan integrasi pesantren ke dalam sistem, saya pikir kita harus melihat secara akurat konfigurasi dari problematika yang dihadapi pesantren. Ada tiga kluster utama dalam konfigurasi ini.

Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan. Klaster ini mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan praktik pendidikan untuk mencapai tujuan-tujuan pesantren. Di dalamnya ada isu infrastruktur dan fasilitas pendidikan, kurikulum, pengasuhan (atau dalam istilah teknisnya, paedagogi), metode pendidikan, serta tata kelola lembaga. Semua ini merupakan elemen penting yang menentukan bagaimana pesantren berfungsi sebagai institusi pendidikan.

Kedua, pesantren sebagai pilar komunitas. Dalam konteks ini, pesantren bukan hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat kehidupan masyarakat. Pesantren sering kali menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas sosial, termasuk kegiatan keagamaan, ekonomi, hingga budaya.
Ketiga, pesantren dalam kaitannya dengan organisasi NU. Hal ini tidak bisa diabaikan, karena bagaimanapun juga NU sendiri didirikan sebagai ekstensi (perluasan) dari jaringan pesantren. Interaksi antara NU dan pesantren menjadi bagian penting dalam memahami tantangan yang dihadapi saat ini.


Klaster 1: Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan

Zaman berubah, teknologi berkembang, dan perubahan niscaya membawa tantangan-tantangan baru yang memerlukan kesiapan kita untuk menghadapinya. Munculnya tuntutan-tuntutan baru, yang tidak pernah kita jumpai di masa-masa awal pesantren, adalah dampak dari gelombang perubahan itu. Ada kebutuhan mendesak agar pesantren mendapatkan posisi setara dengan lembaga pendidikan lain. Ada harapan, yang menyerupai aspirasi, agar ijazah pesantren diakui dan bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan untuk mendaftar sebagai pegawai negeri sipil. Artinya, ada tekanan-tekanan yang mendorong

pesantren untuk berintegrasi ke dalam sistem pendidikan formal, untuk memenuhi standar- standar yang ditetapkan, demi mendapatkan pengakuan yang setara.
Masalah ini sebenarnya bukan hal baru. Dahulu, ada istilah mu’adalah (penyetaraan) yang mengharuskan pesantren mengajarkan beberapa mata pelajaran tambahan seperti matematika, kewarganegaraan, dan lain-lain. Ini hanyalah sebagian dari tantangan yang dihadapi pesantren sebagai penyedia pendidikan.
Masalah utama yang kita hadapi sekarang adalah bahwa sebagian besar-jika tidak semua- pesantren di Indonesia lahir dari inisiatif pribadi. Pesantren-pesantren ini didirikan berdasarkan gagasan, visi, dan kecenderungan pribadi dari para pendirinya, yaitu para kiai. Dengan kata lain, karakter sebuah pesantren sangat ditentukan oleh karakter pendirinya.

Pesantren Tebuireng, misalnya, menjadi sumber utama untuk mendapatkan sanad kitab-kitab hadis. Kiai Hasyim Asy’ari, pendirinya, adalah seorang musnid (pemegang sanad), sehingga banyak kiai dan santri yang belajar kepadanya untuk memperoleh sanad kitab-kitab hadis.

Pesantren Termas dikenal sebagai pusat keilmuan fikih. Santri dan kiai dari berbagai daerah datang ke Termas untuk menyempurnakan pembelajaran fikih mereka di bawah bimbingan Kiai Dimyati. Pesantren Kasingan Rembang adalah pusat pembelajaran ilmu alat (ilmu tata bahasa Arab). Pendiri dan pengajarnya, Kiai Cholil Harun, menjadi rujukan utama bagi santri yang ingin mendalami ilmu ini. Generasi santri pada masa itu, termasuk Kiai Ali Maksum, Kiai Hamid Pasuruan, dan Kiai Mahrus Ali, menyempurnakan pembelajaran mereka di pesantren ini.

Spesialisasi ini bisa berubah juga ketika generasi baru mengambil alih kepemimpinan pondok pesantren. Di Yogyakartakarta, Kiai Munawwir mendirikan Pesantren Krapyak sebagai pusat pengajaran Alquran. Namun, Kiai Ali Maksum, yang merupakan menantu Kiai Munawwir, mengembangkan pesantren dengan arah berbeda dari pendirinya.

Keragaman model pesantren ini secara jelas mencerminkan spesialisasi keilmuan para kiai pendirinya. Di masa lalu hal ini bukan masalah. Setiap pesantren berjalan sendiri, mengandalkan sumber daya internal, dengan para kiai di masing-masing pesantren menjalankan semua urusan. Reputasi dan karisma para kiai pendirinya menjadi jaminan tradisional yang kuat, yang membuat pesantren mereka tumbuh dan berkembang. Tebuireng dikenal karena keramat KH Hasyim Asy’ari, Krapyak karena KH Munawwir, dan Tambak Beras karena KH Wahab Hasbullah.

Santri datang dengan keyakinan bahwa mereka akan mendapat manfaat besar, baik dalam ilmu, rezeki, maupun keahlian tradisional seperti suwuk.
Pada masa itu pesantren juga mendapatkan dukungan kuat dari komunitas. Tokoh-tokoh kaya seperti Haji Hasan Gipo di Tebuireng dan Haji Zainal Mustofa di Rembang, misalnya, membantu operasional pesantren, sehingga kiai dapat memusatkan perhatian pada pendidikan

santri. Namun, tradisi ini memudar. Generasi baru kiai tidak selalu memiliki pengaruh spiritual atau karisma seperti pendahulunya, sehingga pesantren kehilangan daya tarik tradisionalnya tanpa ada sistem modern yang menggantikan sumber daya tarik itu. Banyak pesantren harus mandiri sepenuhnya dan mengandalkan sumber daya sendiri tanpa penyangga eksternal.

Akibatnya, beban pengelolaan semakin berat, dan peran kiai meluas menjadi manajer, bendahara, dan pencari dana, selain sebagai pendidik.
Bersamaan dengan itu, muncul tuntutan-tuntutan baru untuk menjadikan pesantren setara dengan institusi pendidikan modern. Tuntutan-tuntutan ini niscaya sulit dipenuhi tanpa ada standardisasi-dalam hal kurikulum, metode pengajaran, dan infrastruktur. Tidak ada aturan jelas tentang kapasitas kamar atau kompleks pesantren. Di pesantren-pesantren besar, misalnya, satu kamar kecil bisa menampung banyak santri-sesuatu yang di bawah standar dan bisa menimbulkan kekhawatiran.

Tidak adanya standardisasi, infrastruktur yang kurang memadai, dan ketergantungan pada “keramat” para pendirinya, itu semua merupakan sinyal kuat bahwa kita perlu merumuskan governing system yang menyeluruh. Harus ada ukuran keberhasilan pendidikan yang bisa diandalkan, harus ada “code of conduct” untuk menyelesaikan masalah internal pesantren, dan harus ada panduan yang memastikan kualitas pembelajaran tetap terjaga.

Tanpa governing system, pesantren akan kesulitan dalam proses transformasinya menuju integrasi dengan sistem pendidikan modern. Ia hanya akan bertahan, dan pelan-pelan digulung oleh gelombang perubahan.

Halaman selanjutnya : Klaster 2

Klaster 2: Pesantren sebagai Pilar Komunitas

Di samping menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan, ada idealisasi bahwa pesantren juga memikul tanggung jawab sosial terhadap komunitas di sekitarnya. Pesantren dianggap sebagai solusi untuk berbagai masalah di dalam masyarakat. Dan selama ini, sejak 1970-an, ada promosi tentang strategi sosial-ekonomi melalui pesantren. Gambaran ideal tentang pesantren yang semacam itu terus dipertahankan sampai sekarang. Pesantren diposisikan sebagai pusat jaringan yang strategis untuk mengatasi masalah-masalah komunitas, sehingga ketika pesantren diberdayakan, komunitas di sekitarnya juga ikut mendapatkan manfaat. Dengan dasar pertimbangan seperti itulah pemerintah mendorong pengembangan ekosistem ekonomi pesantren, yang tujuannya adalah memperkuat kemandirian ekonomi.

Secara konsep, tidak ada yang keliru dengan semua itu. Namun, idealisasi peran dan posisi pesantren ini, bagaimanapun, perlu dilihat secara lebih jernih. Dahulu, pesantren memiliki posisi yang sangat kuat di tengah komunitas karena konteks sosial dan sejarahnya. Pemimpin-

pemimpin pesantren saat itu berfungsi sebagai pemimpin komunitas, meneruskan tradisi dan struktur sosial masyarakat Nusantara yang sudah ada sejak zaman pra-Islam. Di masa itu, masyarakat Nusantara memiliki pemimpin-pemimpin komunitas, ialah mereka yang berjuluk Ki Ageng, yang berperan penting dalam mengelola kehidupan sosial, budaya, dan spiritual komunitas masing-masing.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, para misionaris Islam mulai mengisi posisi sebagai pemimpin komunitas. Para Ki Ageng yang semula Hindu atau Budha menjadi pemeluk Islam dan tetap memimpin komunitas, tetapi dalam kerangka Islam-sambil mempertahankan praktik-praktik tradisional seperti suwuk dan semacamnya. Hal ini mencerminkan proses transformasi sosial yang terjadi secara bertahap.

Seiring waktu, ketika Islam semakin berkembang di Nusantara, hubungan dengan pusat-pusat Islam di luar negeri, terutama Timur Tengah, semakin lancar. Akses
terhadap elemen-elemen akademis dalam tradisi Islam juga meningkat. Pembukaan Terusan Suez memudahkan perjalanan ke Timur Tengah, memungkinkan lebih banyak orang untuk belajar di sana, dan membawa kembali pengetahuan mereka ke Nusantara. Dari sini, muncul pesantren-pesantren yang mulai berfokus pada pendidikan akademis.

Awalnya, orang datang ke pesantren untuk mencari kesaktian, bukan sekadar untuk belajar agama. Namun, seiring waktu, kurikulum pesantren berkembang mencakup fikih, ilmu alat, dan bidang-bidang keilmuan lainnya. Salah satu tonggak penting adalah generasi Kiai Nawawi Banten, yang membawa elemen-elemen akademis ke dalam tradisi pesantren. Ulama-ulama pada masa itu bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga akademisi yang berdedikasi penuh pada ilmu pengetahuan.
Kiai-kiai seperti Kiai Hasyim Asy’ari adalah contoh akademisi sejati. Mereka tidak hanya mendalami ilmu secara intensif, tetapi juga menjalani laku spiritual yang mendalam. Dedikasi mereka terhadap ilmu bahkan melebihi akademisi modern. Namun, selain sebagai intelektual, kiai-kiai ini juga menjalankan fungsi sosial di tengah komunitasnya. Mereka tidak hanya menjadi guru, tetapi juga pemimpin yang mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat, sesuai dengan tradisi lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Belakangan, pesantren semakin banyak menyerap elemen-elemen akademis sehingga aktivitas pengajaran akademis menjadi semakin dominan. Hal ini menyebabkan para kiai lebih sibuk dengan kegiatan di dalam pesantren, yang secara alami mengurangi intensitas keterlibatan mereka dengan komunitas.
Saya masih ingat, KH Ali Maksum dulu sangat dikenal oleh semua orang. Dia sering berjalan menyambangi teman-temannya di kampung, hal yang tampaknya sulit dilakukan oleh kiai-kiai sekarang. Perubahan ini menyentuh aspek kepemimpinan sosial yang dulunya merupakan bagian tradisional dari fungsi kiai. Kiai-kiai dahulu sangat efektif dalam menggerakkan komunitas.

Ketika Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad untuk membantu perang Surabaya, fatwa itu menjadi panggilan yang luar biasa. Semua orang merespons, bukan hanya yang tinggal di wilayah sekitar, tetapi juga mereka yang di Cirebon, Temanggung, dan daerah lainnya. Mereka datang dengan membawa semangat, hanya berbekal doa dan kesiapan untuk mati melawan sekutu. Korban perang saat itu sangat besar-di Malang, dalam satu hari korban mencapai lebih dari 16.000 orang, sementara perang Surabaya berlangsung dari September hingga November.

Pertanyaannya, apakah kiai-kiai hari ini masih memiliki daya panggil seperti itu? Apakah intensitas keterlibatan mereka dengan komunitas masih terjaga seperti dulu? Sampai generasi ayah saya, saya masih melihat bagaimana pekerjaan utama kiai adalah menemui tamu. Setiap hari, rumah kiai penuh dengan orang-orang yang datang dengan berbagai hajat.

Kiai Wahab Hasbullah, meskipun menjadi Rais Aam dan sering bolak-balik Jakarta-Jombang, tetap mempertahankan intensitas keterlibatannya dengan masyarakat. Ketika kembali ke Jombang, Mbah Wahab melayani tamu dari pagi hingga sore, memenuhi berbagai hajat-mulai dari doa, suwuk, hingga membantu mencarikan pasangan untuk menikah. Pernah suatu ketika, ada anak muda menemuinya, duduk di ruangan tempat Mbah Wahab menerima tamu, dan tetap tidak pulang sampai semua tamu lain sudah pamit.

“Anda dari mana?” tanya Kiai Wahab. “Dari sini,” kata si anak muda.

“Siapa namanya?”

“Adib. Adib bin Wahab Hasbullah.”

Ternyata anak muda itu putranya sendiri, dan Mbah Wahab tidak mengenalinya karena terlalu sibuk menerima tamu seharian. Situasi sekarang sudah jauh berbeda. Apakah kiai-kiai masa kini masih memiliki tamu sebanyak itu? Apakah mereka masih punya waktu untuk memenuhi berbagai hajat masyarakat?
Jadi, kita harus melihat ini dengan jernih. Asumsi-asumsi lama yang melandasi idealisasi peran kiai perlu dikaji ulang. Apakah model seperti itu masih relevan dengan kondisi saat ini?

Mungkin itu salah satu yang harus kita relakan lepas ketika kita berupaya mengejar standar- standar baru, seperti peningkatan mutu pendidikan di pesantren, yang jelas membutuhkan konsentrasi penuh dari para kiai, termasuk alokasi waktu yang lebih besar.

Halaman selanjutnya: Klaster 3

Klaster 3: Kaitan antara Pesantren dan NU

Hal ini tidak bisa diabaikan, karena bagaimanapun NU didirikan sebagai ekstensi dari jaringan pesantren. Interaksi antara NU dan pesantren menjadi bagian penting dalam memahami tantangan yang harus kita hadapi saat ini.

Pada masa awal, pesantren identik dengan NU. Pesantren-pesantren yang didirikan belakangan bisa dikatakan hanya meniru pola tersebut. Maka, komunitas-komunitas yang tergabung dalam jaringan pesantren semakin terkonsolidasi di dalam NU, dan lingkaran konstituensinya pun meluas. Bahkan bukan hanya mereka yang terlibat langsung dengan pesantren, orang-orang yang pernah berinteraksi dengan pesantren pun turut mengidentifikasi diri dengan NU sebagai payung besar bagi dunia pesantren.

Kini, afinitas masyarakat terhadap NU telah berkembang menjadi sangat luas dan semakin sulit untuk didefinisikan. Data terbaru survei menunjukkan bahwa pada 2024, sebanyak 57,6% populasi Indonesia mengaku berafiliasi dengan NU. Sebelumnya, survei LSI pada 2023 menunjukkan angka serupa, yaitu 56,9%. Angka ini mencerminkan identifikasi diri, di mana masyarakat secara eksplisit menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari NU. Perubahan ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan data tahun 2005, di mana hanya 27% yang mengaku NU. Dalam kurun waktu 18 tahun, angka ini melonjak hingga lebih dari dua kali lipat.
Data ini mengejutkan, dan, sebagai fenomena, ini luar biasa. Pertanyaan besarnya, apa dasar dari pengakuan ini?

Pada generasi sebelumnya, seseorang mengaku NU karena alasan yang jelas: Mereka belajar langsung di pesantren. Mereka terhubung langsung dengan tradisi pesantren, belajar dari kiai- kiai yang memiliki kedalaman ilmu. Namun, pada generasi sekarang, khususnya generasi Z, ada banyak yang secara sadar mengaku sebagai bagian dari NU, meskipun mereka tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pesantren. Ini perkembangan yang sangat menarik untuk ditelusuri.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena ini. Salah satu faktor penting adalah berkembangnya model forum-forum atau platform-platform komunikasi publik yang diasosiasikan dengan NU. Sebelum reformasi, pengajian umum hampir selalu diselenggarakan di lingkungan pesantren, dan platform komunikasi publiknya terhubung erat dengan para kiai pesantren. Pengajian besar diadakan di pesantren-pesantren seperti Tebuireng, Ploso, atau Situbondo. Komunikatornya para kiai yang benar-benar alim, memiliki pengetahuan mendalam, dan dihormati.

Setelah reformasi, platform komunikasi publik meluas dan menjadi lebih beragam. Pengajian- pengajian tidak lagi terbatas di pesantren, tetapi melibatkan banyak ruang publik di luar pesantren. Komunikatornya pun bukan lagi semata-mata kiai yang terhubung dengan pesantren,

tetapi juga individu-individu dengan latar belakang yang lebih longgar. Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, platform-platform ini terus berkembang
dan menarik perhatian banyak orang.

Kini, siapa saja yang memiliki citra sebagai komunikator agama dapat memanfaatkan platform ini untuk membangun kepemimpinan agama, selama pendekatannya dirancang dengan baik.

Platform-platform ini sering kali melibatkan elemen optik dan teknis yang dihitung dengan cermat oleh tim event organizer (EO). Dengan pendekatan ini, orang yang sebelumnya tidak dikenal bisa tiba-tiba menjadi tokoh besar di dunia agama melalui proyeksi citra yang dibangun secara artifisial. Fenomena ini sering kali dinisbatkan kepada NU, karena pesantren-yang memiliki hubungan historis dengan NU-biasanya menjadi sumber utama kegiatan semacam ini. Akibatnya, platform-platform ini menarik konstituen yang kemudian juga mengidentifikasi diri mereka dengan NU.

Perkembangan ini membawa dampak besar. NU kini tidak lagi sekadar identik dengan pesantren secara eksklusif, tetapi menjadi lebih inklusif, mencakup berbagai kalangan yang mungkin tidak pernah merasakan pengalaman langsung belajar di pesantren, tetapi tetap merasa terhubung dengan nilai-nilai NU. Banyak orang merasa menjadi bagian dari NU karena mengikuti tokoh- tokoh populer yang muncul di panggung-panggung besar atau platform digital.

Platform-platform baru itu telah menciptakan standar identifikasi yang semakin longgar dan jauh dari akar tradisional NU. Di satu sisi, fenomena ini menguatkan posisi NU sebagai payung besar bagi umat Islam di Indonesia, tetapi, di sisi lain, ia menghadirkan tantangan bagi NU dalam menjaga identitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Jika NU tidak melakukan upaya untuk mendistilasi, menjernihkan kembali identifikasi terhadap organisasi ini, NU berisiko kehilangan esensinya. Definisi tentang apa itu NU akan terus bergeser dan menjadi semakin kabur, atau justru NU-nya yang terbawa mengikuti arus besar platform populer.

Masalah lainnya adalah bahwa pesantren, yang memiliki hubungan erat dengan NU, kini telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan melalui Undang-Undang Pesantren. Undang-undang ini membawa pesantren ke dalam domain politik dengan segala implikasinya, seperti pengelolaan anggaran, distribusi sumber daya, dan regulasi oleh Kementerian Agama. Hal ini menciptakan tantangan baru bagi NU, karena kepentingan pesantren tidak dapat dipisahkan dari kepentingan NU.
Konsekuensi dari masuknya pesantren ke dalam domain politik ini adalah pesantren menjadi bagian dari dinamika yang lebih kompleks, termasuk dalam soal wewenang dan distribusi sumber daya. Dalam situasi ini, NU harus memastikan bahwa pesantren tetap bisa

mempertahankan esensinya sebagai lembaga pendidikan agama yang independen, sekaligus mampu beradaptasi dengan sistem politik yang ada.
Apa yang seharusnya dilakukan NU dalam menghadapi dinamika ini? Ada dua pilihan utama. Pilihan pertama, bertarung secara politik. Pilihan ini berarti NU harus bertarung habis-habisan untuk memperebutkan sumber daya dan simpul-simpul kebijakan dalam pemerintahan, sebagai turunan dari diberlakukannya Undang-Undang Pesantren. Namun, jika ini yang dipilih, dampaknya sangat besar, karena NU harus melakukan konsolidasi politik yang masif. Dengan basis konstituen yang lebih dari separuh populasi Indonesia, sentimen membela NU akan menjadi kekuatan yang sangat besar dan dapat mengancam kekuatan politik lainnya.
Konsolidasi seperti ini memiliki risiko besar bagi keutuhan bangsa. Jika NU memobilisasi politik berbasis identitas, bangsa ini berpotensi terbelah menjadi dua kelompok: yang NU dan yang bukan NU. Ini akan menjadi ancaman besar yang bisa membawa bencana bagi Indonesia.

Potensi terburuknya, kita akan mengalami situasi serupa dengan yang terjadi di India, di mana RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) memobilisasi identitas Hindu untuk kepentingan politik. Ketika mereka menjadi mayoritas yang dominan, dampaknya adalah represi terhadap minoritas. Jika NU mengikuti pola ini, hasil akhirnya bisa menjadi fasisme. Semangat identitas yang dipompa untuk mobilisasi politik akan menciptakan perilaku sosial yang intoleran dan diskriminatif, dan itu membahayakan bagi tatanan sosial dan politik Indonesia.

Pilihan kedua adalah universalisasi pesantren. Pilihan ini berfokus pada upaya menjadikan pesantren sebagai tema kepentingan universal. Ia bukan hanya milik NU. Artinya, NU tidak perlu bertarung untuk menguasai kebijakan atau sumber daya pesantren. Selama pemerintah memastikan proses governing system atas pesantren dilakukan secara adil dan transparan, NU tidak perlu terlibat dalam perebutan sumber daya. Kuncinya adalah standar regulasi dan kebijakan yang jelas dan adil.

Universalisasi ini menghilangkan potensi konflik politik berbasis identitas. Pesantren akan dilihat sebagai bagian dari warisan bangsa yang universal, dan santri adalah aset nasional yang melampaui batas kelompok. Bahkan, jika memungkinkan, konsep NU itu sendiri bisa diuniversalkan sehingga NU menjadi entitas inklusif yang aman dan nyaman bagi semua orang.

Dalam konteks ini, khidmah NU harus diarahkan kepada pelayanan yang inklusif, melayani semua orang tanpa memandang latar belakang mereka. Tidak perlu hanya memprioritaskan orang NU; sebaliknya, NU harus fokus meningkatkan kapasitas ekonomi seluruh rakyat. Jika kapasitas ekonomi rakyat meningkat, maka orang NU-yang jumlahnya lebih dari separuh populasi-akan otomatis merasakan manfaatnya.

Dalam konteks ini, saya pribadi tidak setuju dengan gagasan untuk mendorong kemandirian NU yang hanya menguntungkan internal NU. Fokusnya harus pada kebijakan negara yang menyentuh seluruh rakyat. Jika rakyat terurus, NU juga akan terurus. Tentu, ada kebutuhan mendesak untuk mencari solusi bagi pengurus NU agar memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai kegiatan organisasi. Namun, selebihnya, biarlah menjadi bagian dari kebijakan negara yang inklusif.
Pilihan ini bukan sekadar keputusan teknis, tetapi mencerminkan visi besar NU dalam mempertahankan perannya sebagai penjaga keutuhan bangsa sekaligus pelayan umat. Maka, universalisasi adalah jalan terbaik. Dengan ini, NU tidak hanya menjaga persatuan bangsa, tetapi juga memperkuat identitasnya sebagai organisasi yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama.

KH. Yahya Cholil Staquf

Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Governing System: Prasyarat Transformasi Pesantren (3)



Jakarta

Jumlah pesantren di Indonesia saat ini mencapai sekitar 42.000, menurut data Kementerian Agama. Lonjakan ini terjadi setelah lahirnya Undang-Undang Pesantren tahun 2019, yang mencatat kenaikan dari 30.000 menjadi lebih dari 42.000 pesantren dalam kurun lima tahun. Namun, pertumbuhan ini tidak dibarengi dengan pengelolaan sistematis. Mayoritas pesantren hidup dengan inisiatif masing-masing, tanpa sistem pengelolaan terpusat, tanpa standar, dan tanpa regulasi yang jelas.

Hingga kini, tidak ada sistem tata kelola yang memastikan pesantren berjalan sesuai dengan standar tertentu. Undang-undang tersebut lebih sering dimanfaatkan untuk membagi-bagi anggaran daripada menciptakan sistem pengelolaan yang terpadu.

Salah satu masalah utama dalam pengelolaan pesantren di Indonesia adalah ketiadaan governing system yang terstruktur. Sistem ini sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis tradisi, dapat berjalan sesuai dengan standar yang menjamin kualitas operasional dan hasil pendidikannya.


Pentingnya Standar dan Regulasi


Governing system memerlukan standar-standar yang jelas di berbagai aspek pesantren, yang mencakup:

1. Standar Infrastruktur

Pesantren membutuhkan regulasi yang menentukan kapasitas ideal setiap fasilitas, seperti ukuran kamar santri dan jumlah penghuni per kamar. Tanpa standar ini, kualitas

kehidupan di pesantren tidak dapat terjamin, terutama di pesantren-pesantren dengan fasilitas terbatas.

2. Standar Kurikulum


Kurikulum harus memiliki keseimbangan antara tradisi keilmuan pesantren dan kebutuhan modern. Hal ini penting agar lulusan pesantren tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga mampu bersaing di dunia yang semakin global.

3. Standar Sumber Daya Manusia

Kualitas tenaga pendidik dan pengelola pesantren harus diatur dengan standar tertentu. Guru atau kiai yang mengajar perlu memiliki kompetensi yang memadai, baik dalam ilmu agama maupun metode pengajaran.

4. Standar Tata Kelola

Pengelolaan pesantren harus memiliki aturan yang mengatur bagaimana lembaga tersebut dikelola, termasuk transparansi keuangan, administrasi, dan pengambilan keputusan.
Tanpa standar-standar ini, kualitas pendidikan di pesantren menjadi tidak terukur, dan hasilnya sulit untuk dipertanggungjawabkan secara logis.

Transformasi pesantren adalah soal negosiasi antara mempertahankan elemen tradisional yang menjadi identitas pesantren dengan mengadopsi elemen modern yang diperlukan untuk integrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Elemen tradisional seperti pola pengajaran kitab kuning, hubungan personal antara kiai dan santri, serta pendekatan pendidikan berbasis spiritualitas harus tetap dijaga. Namun, elemen-elemen ini perlu diselaraskan dengan kebutuhan modern, seperti akses teknologi, kurikulum nasional, dan sertifikasi pendidikan.

Proses ini tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri oleh setiap pesantren. Negara, melalui undang-undang yang telah dibuat, memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan sistem pengelolaan yang memadai bagi pesantren.

Undang-Undang Pesantren yang telah disahkan bukan hanya simbol politik atau kebijakan yang bersifat seremonial. Undang-undang ini membawa konsekuensi besar: negara harus membangun state-of-the-art bagi governing system untuk pesantren. Tanpa itu, undang-undang hanya akan menjadi gimmick (siasat akal-akalan) politik tanpa dampak nyata bagi pengelolaan pesantren.

Lahirnya Majelis Masyayikh di bawah undang-undang tersebut menunjukkan upaya untuk mengatur kualitas keilmuan di pesantren. Namun, hingga kini tidak ada standar yang jelas tentang bagaimana kriteria anggota majelis ini ditentukan atau apa indikator keberhasilannya. Hal ini menunjukkan kurangnya perencanaan dalam implementasi kebijakan terkait pesantren.

Peran NU dan Organisasi Keagamaan

NU, sebagai salah satu organisasi terbesar yang menaungi pesantren, memiliki peran penting sebagai penyangga. Namun, tanggung jawab utama untuk membangun sistem pengelolaan pesantren ada di tangan pemerintah. Pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk parlemen dan lembaga terkait lainnya, untuk merancang dan menerapkan sistem yang terintegrasi.

Tanpa governing system, pesantren akan terus berjalan tanpa arah yang jelas. Standar dan regulasi diperlukan untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan pesantren di era modern. Negara harus mengambil peran utama dalam membangun sistem ini, bukan sekadar membuat undang- undang, tetapi juga memastikan implementasi yang efektif. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis tradisi, membutuhkan dukungan sistemik agar dapat terus berkontribusi pada pembangunan bangsa dan mampu menghadapi tantangan global.

Tanpa adanya sistem pengelolaan yang jelas, tidak mungkin pesantren-pesantren, yang jumlahnya begitu banyak dan telah berdiri lama, dapat berfungsi secara optimal. Dahulu, saya sering berpikir bagaimana Nahdlatul Ulama (NU) bisa membangun sistem pengelolaan yang baik untuk pesantren-pesantren di bawah naungannya. Namun sekarang, dengan adanya undang- undang, peran utama dalam membangun sistem pengelolaan ini sebenarnya berada pada pemerintah, bukan NU. NU hanya dapat berperan sebagai pendukung. Pemerintah, bersama lembaga legislatif, yudikatif, dan cabang-cabang kekuasaan lainnya, harus bertanggung jawab membangun sistem tersebut.

Tantangan Infrastruktur dan Psikologi Anak Didik

Ketika kita membahas pesantren, berbagai masalah yang muncul tidak akan pernah menemukan solusi jika pendekatannya hanya soal afirmasi atau soal menjaga nama baik. Masalah utama terletak pada governing system pesantren yang saat ini sangat lemah. Tidak adanya standar, regulasi, atau pengawasan membuat aktivitas di pesantren berjalan secara alami-dalam arti sesuka hati atau tanpa aturan yang jelas. Kondisi ini membuka celah bagi berbagai persoalan serius.

Salah satu isu mendesak adalah soal perundungan, baik fisik maupun seksual, yang marak terjadi di pesantren. Masalah ini muncul karena pesantren tidak memiliki sistem pengelolaan yang memadai. Tanpa regulasi dan pengawasan yang ketat, kasus-kasus seperti ini akan terus terjadi. Peningkatan kasus yang dilaporkan akhir-akhir ini bukan berarti masalahnya baru muncul, tetapi karena semakin banyak korban yang berani melapor. Faktanya, permasalahan ini sudah ada sejak lama.

Mari kita pikirkan bagaimana kita bisa mengelola anak-anak usia remaja yang tinggal bersama di satu tempat selama bertahun-tahun dengan infrastruktur yang tidak memadai. Psikologi dan kebutuhan fisik anak-anak usia remaja tentu berbeda. Dalam banyak pesantren, mereka tinggal dalam kondisi yang sangat jauh dari layak.

Misalnya, kamar tidur di pesantren sering kali hanya cukup untuk menyimpan barang-barang mereka. Satu kamar bisa dihuni oleh 60-70 orang, yang jelas tidak memungkinkan mereka tidur di sana. Akibatnya, mereka tidur di masjid, emper kelas, atau tempat-tempat lain secara tidak teratur. Bayangkan dampaknya jika pola hidup seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun.
Ini masalah besar yang memerlukan perhatian serius. Infrastruktur yang tidak memadai menciptakan lingkungan yang tidak kondusif, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental. Tanpa perubahan signifikan, kita hanya akan memperbesar risiko munculnya masalah-masalah baru, termasuk kasus-kasus perundungan.

Solusi dari semua ini adalah membangun governing system yang sesuai untuk pesantren. Tanpa sistem yang jelas, standar operasional, dan regulasi yang ketat, semua perdebatan hanya akan berputar di tempat. Pesantren harus dikelola dengan cara yang profesional, mencakup pengawasan yang memadai, peningkatan kualitas infrastruktur, dan perhatian khusus terhadap kesejahteraan anak didik.

Masalah ini bukan hanya tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga tentang pesantren sebagai tempat tinggal dan pembentukan karakter generasi muda. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan sistem pengelolaan yang tidak hanya mencakup aspek akademis, tetapi juga mencakup aspek-aspek kehidupan sehari-hari para santri. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung perkembangan mereka secara menyeluruh.

Hanya dengan pendekatan yang berbasis sistem, kita dapat menyelesaikan masalah-masalah mendasar di pesantren. Upaya ini harus menjadi prioritas jika kita benar-benar ingin menjadikan pesantren sebagai tempat yang layak dan bermartabat bagi generasi mendatang.

KH. Yahya Cholil Staquf

Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com