Tag Archives: nahdlatul ulama

Niat dan Tata Cara Mengirim Surah Al-Fatihah untuk Orang yang Sudah Meninggal


Jakarta

Mendoakan orang yang sudah meninggal adalah amalan yang terus dilakukan oleh banyak umat Islam. Salah satu caranya adalah membaca surah Al-Fatihah, lalu doa tersebut diniatkan untuk kebaikan orang yang telah wafat.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 10:

…رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ…


Artinya: “…Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu daripada kami…”

Ayat ini menunjukkan pentingnya mendoakan mereka yang telah lebih dulu pergi, agar mendapat ampunan dan rahmat dari Allah SWT.

Dalil mendoakan orang yang telah meninggal juga mengacu pada sejumlah hadits. Salah satunya seperti dijelaskan dalam kitab Fathul Qadir seperti dinukil NU Online, disebutkan bahwa membacakan surah Al-Ikhlas sebanyak sebelas kali di area pemakaman, lalu menghadiahkan pahalanya kepada para ahli kubur, bisa membawa pahala yang sangat besar.

Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ، ثُمَّ وَهْبَ أَجْرَهُ لِلأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ الأَجْرِ بِعَدَدِ الأَمْوَاتِ

Artinya: “Barang siapa melewati pemakaman kemudian ia membaca surah Al-Ikhlas sebanyak sebelas kali yang pahalanya dihibahkan kepada semua orang yang sudah meninggal dunia di pemakaman itu, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak jumlah orang yang dimakamkan di pemakaman itu.” (HR Sahabat Ali karramallahu wajhah)

Penjelasan lebih lanjut juga disampaikan oleh Syekh Ali Ma’shum, yang menyebutkan hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَأَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْت ثَوَابَ مَا قَرَأْت مِنْ كَلَامِك لِأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانُوا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

Artinya: “Barang siapa memasuki kompleks pemakaman kemudian ia membaca surah Al-Fatihah, lalu surah Al-Ikhlas, lalu surah At-Takatsur, kemudian ia mengatakan bahwa saya memberikan pahala bacaan tersebut kepada para ahli kubur dari kalangan orang mukmin laki-laki dan perempuan, maka mereka semua para ahli kubur akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT.”

Bacaan Niat Mengirim Surah Al-Fatihah

Doa berikut sering dibaca saat ziarah atau tahlilan sebagai pembuka sebelum membaca surah Al-Fatihah:

إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى سَيِّدِنَا مُحمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاٰلِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَأَوْلَادِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ الْفَــاتِحَةُ

Arab latin: Ila ḫadlratin-nabiyyil-musthafâ sayyidinâ Muḫammadin shallallahu ‘alaihi wa sallama wa âlihi wa azwâjihi wa awlâdihi wa dzurriyyâtihi al-fâtiḫah….

Artinya: “Kepada yang terhormat Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga, istri-istrinya, anak-anaknya, dan keturunannya. Bacaan Al-Fatihah ini kami tujukan kepada Allah dan pahalanya untuk mereka semua. Al-Fatihah…”

ثُمَّ إِلَى حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُصَنِّفِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَجَمِيْعِ الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ، خُصُوْصًا إِلَى سَيِّدِنَا الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجِيْلَانِي وَخُصُوْصًا إِلَى مُؤَسِّسِيْ جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ الْعُلَمَاءِ الْفَــاتِحَةُ

Arab latin: Tsumma ilâ ḫadlrati ikhwânihi minal-anbiya’i wal-mursalîn wal-auliya’i wasy-syuhadâ’i wash-shâlihîn wash-shaḫâbati wat tâbi’în wal-‘ulamâ’il-‘âmilîn wal-mushannifînal-mukhlishîn wa jamî’il-malâikatil-muqarrabîn, khusûshan ilâ sayyidinâsy-syaikh ‘abdil qâdir al-jîlânî wa khushûshan ilâ muassisî jam’iyyah Nahdlatil Ulama, al-fâtiḫah

Artinya: “Lalu kepada segenap saudara beliau dari kalangan pada nabi, rasul, wali, syuhada, orang-orang saleh, sahabat, tabi’in, ulama al-amilin (yang mengamalkan ilmunya), ulama penulis yang ikhlas, semua malaikat Muqarrabin, terkhusus kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan para pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Bacaan Al-Fatihah ini kami tujukan kepada Allah dan pahalanya untuk mereka semua. Al-Fatihah…”

Mengirimkan surah Al Fatihah untuk orang yang meninggal dunia adalah amaliah yang populer di kalangan masyarakat muslim Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama.

Tata Cara Mengirim Doa dan Bacaan untuk Orang yang Sudah Wafat

Berikut ini adalah langkah-langkah tata cara mengirim doa untuk orang meninggal, terutama dalam tradisi tahlilan, sebagaimana dijelaskan dalam buku Merayakan Khilafiyah Menuai Rahmat Ilahiah karya Zikri Darussamin dan Rahman M. Ag:

  1. Membuka dengan membaca surah Al-Fatihah.
  2. Membaca surah Yasin.
  3. Membaca surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas.
  4. Membaca beberapa ayat dari surah Al-Baqarah, yaitu ayat 1-5, 163, 255 (Ayat Kursi), dan 284.
  5. Mengucapkan istighfar.
  6. Melafalkan dzikir seperti tahlil (lā ilāha illallāh), takbir, tahmid, dan tasbih.
  7. Bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
  8. Membaca Asmaul Husna (99 Nama Allah).
  9. Ditutup dengan doa untuk arwah yang dituju.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Dorong RI Beri Penghargaan ke Tokoh Perdamaian Dunia, Menag: Kita Harus Go International



Jakarta

Menteri Agama Nasaruddin Umar menilai bahwa sudah saatnya bagi Indonesia memberikan penghargaan tingkat internasional kepada individu maupun kelompok yang berjasa bagi perdamaian dunia. Dengan begitu, RI tak hanya menerima pengakuan atau penghargaan.

“Jadi, jangan hanya kita menerima award, kita juga harus memberikan pengakuan, penghargaan,” terangnya setelah acara 2025 Human Fraternity Fellowship di Duta Besar Uni Emirat (UAE), Jakarta, Jumat (15/8/2025) malam, dikutip dari kantor berita Antara.


Pria yang juga menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal itu mengungkap pernyataan tersebut dalam merespons Zayed Award for Human Fraternity dari UAE yang diberikan kepada banyak organisasi serta tokoh dunia yang mendorong perdamaian hingga kerukunan umat beragama.

Menag menuturkan, nominasi yang banyak dan adanya penerima Zayed Award dari Indonesia yaitu organisasi Islam besar yang tak lain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, membuktikan kualitas SDM Indonesia di mata dunia. Dengan demikian, hal tersebut sepatutnya mendorong RI untuk membalas dan menghadirkan penghargaan serupa di tingkat dunia.

Terlebih, Indonesia menjadi negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Hal tersebut menjadi nilai tambah untuk memiliki penghargaan bergengsi bagi tokoh perdamaian.

Pada kesempatan yang sama, Menag juga memastikan agar Kementerian Agama memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berprestasi dalam mewujudkan perdamaian dunia.

“Ke depan, kita juga akan memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi, kita harus go international,” ungkap Menag Nasaruddin.

Wakil Presiden ke-13 Ma’ruf Amin yang juga menghadiri acara tersebut juga mendukung wacana pemberian penghargaan bagi tokoh perdamaian dunia.

“Orang berbuat baik kalau diberi penghargaan tentu semakin terdorong untuk berbuat lebih banyak lagi. Saya yakin banyak orang yang akan melakukan hal-hal baik,” terangnya.

Sebagai informasi, Zayed Award for Human Fraternity digelar untuk mengapresiasi individu dan entitas yang berkontribusi besar terhadap kemajuan peradaban manusia dan hidup berdampingan secara damai.

Penghargaan tersebut digagas pada 2019 untuk menandai penandatanganan “Piagam Persaudaraan Kemanusiaan” yang bersejarah oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Ahmed Al-Tayeb di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Pemenang Zayed Award akan mendapatkan hadiah senilai 1 juta dolar AS.

Organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menjadi penerima bersama penghargaan tersebut pada 2024. Sementara itu, Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri sempat diamanahi menjadi anggota dewan juri Zayed Award edisi 2024.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kapan Maulid Nabi 2025? Ini Jadwal Pemerintah, NU dan Muhammadiyah


Jakarta

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah momen penting yang diperingati oleh umat Islam. Perayaan ini merupakan wujud kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah SAW, yang telah membawa cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai tanggal pasti perayaan ini. Terutama karena adanya perbedaan metode penentuan kalender antara berbagai ormas Islam dan pemerintah.

Lantas, kapan Maulid Nabi 2025? Mari kita simak jadwal selengkapnya, baik menurut Pemerintah Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), maupun Muhammadiyah.


Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Berdasarkan kalender Hijriah dari Kementerian Agama, 1 Rabiul Awal 1447 H jatuh pada hari Senin, 25 Agustus 2025.

Jika dihitung, 12 Rabiul Awal jatuh pada Jumat, 5 September 2025. Artinya, tanggal tersebut adalah tanggal Maulid Nabi Muhammad SAW.

Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 933 Tahun 2025, Nomor 1 Tahun 2025, dan Nomor 3 Tahun 2025. Tanggal tersebut juga masuk dalam libur nasional.

Menurut Surat Keputusan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) Nomor 92/PB.08/A.II.01.13/13/08/2025, 1 Rabiul Awal 1447 H jatuh pada Senin, 25 Agustus 2025.

Artinya, peringatan Maulid Nabi 12 Rabiul Awal jatuh pada Jumat, 5 September 2025. Tanggal ini sama dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Berbeda dengan NU dan pemerintah, berdasarkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), Muhammadiyah menetapkan 1 Rabiul Awal pada Minggu, 24 Agustus 2025.

Artinya, peringatan Maulid Nabi jatuh pada Kamis 4 September 2025. Berbeda satu hari dengan kalender Pemerintah dan NU.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

8 Poin Seruan Kebangsaan PP ISNU: Aksi Damai


Jakarta

Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) menyampaikan 8 poin Seruan Kebangsaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyikapi dinamika kebangsaan dengan meningkatkan aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Seruan tersebut juga bertujuan menghindari jatuhnya lebih banyak korban.

“PP ISNU sebagai wadah para sarjana, akademisi, dan intelektual, menyampaikan Seruan Kebangsaan,” demikian bunyi rilis yang diterima detikHikmah pada Senin (1/9/2025).

Ketua Umum PP ISNU Prof Dr Kamaruddin Amin MA juga menegaskan agar masyarakat sama-sama mengawal isu terkini agar pengambil kebijakan bisa berfokus pada pemulihan ekonomi rakyat, memperkuat transparansi dan menguatkan etika publik dalam berbicara dan bertindak.


“Mari kita sama-sama mengawal agar pengambil kebijakan fokus pada pemulihan ekonomi rakyat, memperkuat transparansi, serta menguatkan etika publik baik dalam berbicara maupun bertindak. Dan menyerukan kepada sahabat sarjana dan insan kampus agar hadir sebagai pengawal moral kebangsaan, kebijakan pemerintah yang pro rakyat, dan kehidupan demokrasi yang damai serta menolak anarkisme,” ujar Kamaruddin.

Bersamaan dengan itu, Sekretaris Umum PP ISNU Wardi Taufik turut menambahkan bahwa ISNU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menyampaikan aspirasi dengan damai. Dengan begitu, pemerintah dan DPR bisa mendengar suara rakyat serta meninjau ulang kebijakan yang membebani masyarakat.

“ISNU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menyampaikan aspirasi secara damai, aparat menjaga keamanan dengan humanis, dan pemerintah bersama DPR mendengar suara rakyat dengan meninjau ulang kebijakan yang membebani serta melukai perasaan masyarakat,” terangnya.

8 Poin Seruan Kebangsaan yang Disampaikan PP ISNU

1. Seruan Mendengar Rakyat

Seruan yang pertama yaitu PP ISNU mendesak agar Pemerintah dan DPR RI mendengar aspirasi masyarakat secara serius sekaligus meninjau kembali kebijakan yang membebani dan melukai perasaan masyarakat. Hal itu termasuk rencana kenaikan tunjangan DPR, kebijakan pajak yang tak adil, serta sejumlah pos APBN yang tidak produktif.

2. Seruan Aspirasi Damai

PP ISNU mengajak seluruh sarjana, insan kampus serta elemen lainnya untuk saling mengawal penyampaian aspirasi agar dilakukan secara konstitusional, tertib, dan damai, serta menolak provokasi dan aksi anarkis yang bisa merusak persatuan nasional.

“Mari kita segera menatap kedepan. Jangan sampai rasa marah dan kekecewaan ini mengarah ke tindakan yang mengkhawatirkan: membuat kita saling marah dan kecewa terhadap satu sama lain. Apalagi saling menyakiti satu sama lain.” demikian bunyi Seruan Kebangsaan PP ISNU poin kedua.

3. Seruan Humanisme Aparat

Seruan Kebangsaan ketiga, PP ISNU meminta aparat keamanan (Polri dan TNI) menjaga keamanan dengan pendekatan yang terukur, humanis, dan dialogis, namun tetap tegas terhadap tindakan anarkis dan perusakan.

4. Seruan Pemulihan Ekonomi Rakyat

PP ISNU mendorong agar pemerintah memfokuskan kebijakan pada pemulihan dan pertumbuhan ekonomi rakyat, dengan prioritas pada penciptaan lapangan kerja, penguatan UMKM, dan stabilisasi harga kebutuhan pokok secara menyeluruh.

5. Seruan Jaga Persatuan

PP ISNU menolak segala bentuk provokası, terutama bernuansa SARA dan mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa. Para sarjana dan insan kampus harus hadir sebagai penopang nalar kritis sekaligus penjaga harmoni sosial.

“Kita ubah bara semangat untuk memperbaiki Indonesia menjadi energi yang mempersatukan, bukan energi yang memecah belah. Saling jaga satu sama lain. Mari kita jaga bersama Indonesia.” bunyi poin kelima dalam Seruan Kebangsaan PP ISNU.

6. Seruan Transparansi

PP ISNU mendorong pemerintahan yang transparan dan akuntabel, terutama dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi, serta perlunya pelibatan publik dalam proses perumusan kebijakan strategis.

7. Seruan Etika Elit

PP ISNU menyerukan pentingnya para elit dan pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan maupun sikap. Mari bersama-sama menjaga perasaan publik agar tidak memancing situasi yang tidak kondusif dan mengganggu stabilitas kebangsaan.

8. Seruan Dialog Publik

PP ISNU Menginstruksikan kader ISNU serta mengajak sahabat sarjana, insan kampus dan komunitas akademik untuk aktif membangun ruang dialog dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen bangsa, menjaga fasilitas umum, serta membantu masyarakat yang sedang mengalami kesulitan.

“Seruan Kebangsaan PP ISNU ini merupakan panggilan moral dan komitmen kebangsaan. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, membimbing setiap hati manusia Indonesia dan melindungi Bangsa kita tercinta.” demikian bunyi Seruan Kebangsaan PP ISNU.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Zakat Fitrah dengan Beras atau Uang, Mana yang Lebih Afdal?



Jakarta

Zakat fitrah pada masa Nabi SAW diketahui ditunaikan dengan makanan pokok. Sementara saat ini di Indonesia, banyak kaum muslim menunaikan zakat fitrah dengan uang yang nilainya seharga makanan pokok itu. Lalu, mana yang lebih utama?

Menukil buku Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, zakat fitrah adalah zakat jiwa yang wajib dikeluarkan atas setiap muslim, baik laki-laki dan perempuan, dewasa maupun anak kecil, orang merdeka atau hamba sahaya.

Yang menjadi dalil dasar disyariatkannya zakat fitrah adalah riwayat Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang besar dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, Darami, Malik & Ahmad)


Melalui riwayat di atas dapat diketahui apa yang diperintah Nabi SAW untuk dikeluarkan sebagai zakat fitrah. Yakni beliau menyuruh untuk mengeluarkan makanan kurma atau gandum sebanyak satu sha.

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam bukunya Al-Jami’ fil Fiqhi An-Nisa’ menjelaskan, yang ditunaikan sebagai zakat fitrah adalah makanan yang dianggap pokok dalam suatu negeri. Bisa berupa gandum, kurma, sya’ir, anggur, beras jagung dan sebagainya.

Sayyid Sabiq melalui bukunya turut menyebutkan bahwa yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok pada daerah setempat, yaitu kurma, gandum, anggur, dan lainnya.

Imam Ghazali juga melalui kitab Ihya Ulumiddin mengungkap padangannya, “Zakat fitrah wajib dikeluarkan dari jenis makanan pokok yang biasa dikonsumsi atau yang lebih baik dari itu.”

Adapun kurma dan gandum seperti pada hadits di atas bisa dikatakan merupakan makanan pokok pada kala itu, sehingga Rasul SAW mensyariatkan untuk mengeluarkan jenis makanan tersebut.

Zakat Fitrah, Ditunaikan dengan Beras atau Uang?

Di Indonesia sendiri, beras adalah makanan pokok mayoritas masyarakatnya. Jika mengambil pendapat ulama seperti penjelasan di atas, maka beras bisa dikeluarkan sebagai zakat fitrah karena merupakan makanan pokok.

Namun dalam praktik sekarang ini, banyak dari penduduk muslim Indonesia memilih mengeluarkan uang yang nilanya seharga makanan pokok sebagai zakat fitrah, lantaran dinilai lebih praktis. Apakah diperbolehkan?

Ahmad Sarwat, Lc dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat melampirkan sejumlah pendapat ulama terkait zakat fitrah dengan uang. Menurutnya, para ulama terbagi menjadi tiga pandangan:

1. Tidak Boleh dengan Uang

Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah sebagai tiga madzhab besar dapat disebut jumhur ulama. Mereka sepakat bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yakni dalam bentuk makanan pokok yang masih mentah.

Mereka berpemahaman, bila zakat fitrah ditunaikan dengan bentuk uang yang senilai maka zakat itu belum sah. Bahkan Imam Ahmad memandang hal ini menyalahi sunnah Rasul SAW, dan tidak sebagaimana yang diperintah olehnya.

Mereka yang tidak memperbolehkan zakat fitrah dengan uang mengambil riwayat Ibnu Umar di atas sebagai dalil, dan menambahkan penggalan firman Surat An-Nisa ayat 59: “Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya”. Sehingga maksudnya, apa yang diperintahkan oleh Nabi demikian, mesti ditunaikan demikian pula.

2. Boleh dengan Uang

Madzhab Hanafi membolehkan menunaikan zakat fitrah dengan uang yang senilai dengan bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Selain Hanafiyah, ada juga sejumlah ulama yang disebut memperbolehkan mengganti makanan pokok dengan uang senilai untuk zakat, yakni Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ishak dna Atha.

Abu Yusuf yang merupakan salah satu ulama Hanafiyah berpendapat, “Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang daripada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan kaum miskin.”

Adapun di Indonesia terdapat Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), sebuah lembaga resmi yang dibentuk pemerintah dan berwenang untuk mengelola zakat secara nasional.

Baznas sendiri mengacu pendapat salah satu ulama besar yakni Syekh Yusuf Qaradhawi, di mana memperbolehkan zakat fitrah dengan uang yang setara dengan satu sha. Untuk nominal uangnya, menyesuaikan harga makanan pokok seperti beras yang dikonsumsi.

Begitu juga dengan ormas Islam besar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya juga membolehkan menunaikan zakat fitrah dengan konversi uang yang senilai.

3. Pendapat Pertengahan

Ulama sekarang seperti Mahmud Syaltut dalamkitab Fatawa-nya mengemukakan, “Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan (zakat fitrah) bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, saya keluarkan uang (harganya).”

Jika ditanyakan mana yang lebih utama, antara membayar zakat fitrah dengan uang atau makanan pokok seperti beras, kita bisa mengutip penjelasan di atas, di mana menunaikan zakat fitrah dengan makanan pokok termasuk mengikuti sunnah Nabi SAW.

Selain itu, untuk detikers yang ingin mengetahui besaran zakat penghasilan dan zakat simpanan yang harus dikeluarkan bisa cek melalui kalkulator zakat di detikHikmah DI SINI ya.

Wallahu a’lam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Gerhana Matahari 2023 Kuatkan Konsep Hisab Hakiki Wujudul Hilal Muhammadiyah



Jakarta

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan awal 1 Syawal/Hari Raya Idul Fitri 1444 H jatuh pada 21 April 2023. Dalam menentukan penanggalan tersebut, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dari organisasi Islam (ormas) tersebut.

Melansir dari situs resmi Muhammadiyah, metode hisab yang mereka gunakan mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan. Metode ini dikenal dengan sebutan hisab hakiki.

Dalam metode tersebut, Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dulu daripada Bulan meskipun jarak waktunya hanya selang satu menit atau kurang. Ide tersebut dicetus oleh pakar falak Muhammadiyah, Wardan Diponingrat.


Berkenaan dengan itu, pada 20 April 2023 diketahui gerhana Matahari akan melintasi wilayah Indonesia. Uniknya, gerhana tersebut menguatkan konsep hisab hakiki wujudul hilal yang Muhammadiyah gunakan. Mengapa demikian?

Hubungan Antara Hakiki Wujudul Hilal dengan Gerhana Matahari 2023

Gerhana Matahari yang akan terjadi 20 April 2023 mendatang merupakan gerhana Matahari hibrida yang disebut sebagai gerhana langka serta unik. Fenomena tersebut tidak terjadi setiap tahun, terakhir kali gerhana muncul yakni 3 November 2013 lalu di Amerika Serikat.

Tahun ini, gerhana Matahari hibrida dapat disaksikan di Indonesia, tepatnya di laut Timor yang berada di sebelah Tenggara Pulau Timor. Ketika gerhana Matahari hibrida berlangsung, maka Matahari, Bulan, dan Bumi berada dalam satu garis lurus.

Posisi tersebut terjadi ketika Bulan baru, berarti saat Matahari dan Bulan mengalami konjungsi atau biasa dikenal dengan istilah ijtimak. Sementara itu, gerhana bulan terjadi ketika Matahari, Bumi, dan Bulan berada dalam satu garis lurus, biasanya terjadi saat bulan purnama.

Umumnya, apabila gerhana Matahari terjadi maka keesokan harinya sudah memasuki bulan baru kalender hijriah. Namun, ini tergantung kepada waktu terjadinya gerhana, jika fenomena berlangsung pagi sampai siang, maka keesokan harinya sudah masuk bulan baru karena tinggi hilal berada di atas ufuk. Sebaliknya, jika gerhana terjadi di sore hari, kemungkinan hilal masih di bawah ufuk dan esoknya belum masuk bulan baru.

Gerhana Matahari tahun ini terjadi di bulan Ramadan, hal ini akan menyita perhatian banyak masyarakat, terutama kaum muslimin. Bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah menjadi bulan yang banyak diperhatikan karena berkaitan dengan puasa wajib, Idul Fitri, serta Idul Adha.

Pada 29 Ramadan nanti yang bertepatan dengan 20 April 2023, tinggi hilal sebesar 2°21,39′ sudah cukup masuk kriteria hakiki wujudul hilal, sehingga keesokan harinya (21 April) sudah masuk bulan Syawal. Namun, bagi Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), kriteria tersebut belum mencukupi.

Kriteria MABIMS mensyaratkan tinggi hilal 3° dan elongasi 6,4°. Perbedaan inilah yang jadi penyebab Idul Fitri tidak jatuh secara serentak.

Kapan Lebaran Idul Fitri 2023?

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Lebaran Idul Fitri 2023 versi Muhammadiyah jatuh pada 21 April. Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) beserta Nahdlatul Ulama (NU) belum menetapkan tanggal pasti jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1444 H.

Nantinya, pemerintah akan menggelar sidang isbat untuk melakukan penetapan Lebaran 2023 secara resmi. Sidang isbat digelar pada 20 April mendatang, ini sesuai dengan pernyataan Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag, Kamaruddin Amin.

“InsyaAllah tanggal 29 Ramadan/20 April,” ujarnya, dikutip dari arsip detikHikmah.

Kemenag menggunakan metode rukyatul hilal yang berarti penentuan awal Ramadan serta Syawal berdasarkan pengamatan Bulan. Setelahnya, hilal akan diamati ketika Matahari tenggelam dengan mata telanjang atau alat bantu optik.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Gus Yahya dan Peradaban Tunggal



Jakarta

Menulis Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, tidak sulit. Memahami visinya tentang Nahdlatul Ulama (NU), tidak susah. Tidak rumit menjelaskan hasratnya soal bangun peradaban masa depan. Tidak sukar menerima caranya memaknai nilai Islam Aswaja An Nahdliyah. Sangat mudah memahami gagasan dia dalam menjaga NKRI. Dan, tidak sulit menerimanya sebagai sosok gigih penganjur hidup harmonis.

Kenapa ? Sebab, dengan cara dia berekspresi saja, kita sudah dibantu memahami cara hidup di dunia yang kian menyempit ini. Dunia nir sekat. Dunia yang lepas dari terminologi ruang dan waktu. Dunia di mana nilai luhur kemanusiaan mengalami “cross content” dalam semua keyakinan. Dunia di mana agama saling sapa dan saling isi dalam praktek dan amaliyah. Agama yang menjelma faktor kebahagiaan bersama. Agama yang mengglobal.

Visi Gus Yahya


Beginilah visi Gus Yahya…
Ia melihat gerak dunia mengarah pada satu wujud kampung raksasa. Tak ada lagi satu orang atau satu kelompok bisa mengasingkan diri dari yang lain. Setiap orang harus bersinggungan dan tinggal bersama di atas bumi yang kecil. Tidak lagi mungkin suatu peradaban tumbuh terpisah dari peradaban lain. Kini masyarakat dunia bergerak massif, tanpa bisa dibendung, mengarah pada terwujudnya satu peradaban tunggal.

Peradaban yang saling bercampur satu sama lain. Dalam keadaan seperti ini, maka isu tentang perbedaan jadi semakin krusial. Dulu orang bisa dengan mudah memelihara identitas sendiri walaupun berbeda dari yang lain, tanpa saling mengganggu. Mereka memang menciptakan ruang yang memungkinkan setiap kelompok hidup dan tumbuh terpisah dari yang lain. Itu dulu. Dulu sekali !

Dulu di Inggris tidak terbayangkan ada etnis “asing” jadi wali kota apalagi perdana menteri. Tiba-tiba, dalam dua dasawarsa terakhir, London memiliki wali kota dari etnis Pakistan dan Inggris punya perdana menteri keturunan India. Bagaimana mungkin semua terjadi ? Karena dunia saat ini cenderung mengarah pada satu kampung besar. Satu peradaban tunggal yang saling bercampur. Dan, isu perbedaan pun menjelma sesuatu yang krusial.

Orang yang dulu bisa nyaman memelihara cirinya sendiri tanpa terganggu dan memisahkan diri dari yang lain, sekarang tidak lagi. Orang yang dulu biasanya saling berpisah, kini harus bertemu. Dipaksa harus terlibat dalam urusan peradaban bersama ; dalam keadaan saling berbeda. Peradaban yang “dihidupi” bersama ini, butuh unsur-unsur yang dapat memelihara harmoni di tengah perbedaan azali.

Satu abad kemarin…
Jika satu kelompok aspirasi sosial politik tertentu bertemu kelompok lain, yang terjadi adalah konflik. Dalam kasus tertentu, berujung konfrontasi dan perang. Ketika globalisasi mulai berkembang, terbentuklah aliansi antara satu kelompok kepentingan dengan kelompok lain. Lahir persekutuan militer besar yang meniscayakan benturan di antara konsolidasi kekuatan militer internasional. Pecah Perang Dunia II.

Itu terjadi satu abad kemarin…

Pasca PD II, ada kesadaran di kalangan masyarakat internasional untuk menginisiasi satu tatanan baru. Tatanan yang bisa memaksa semua orang meski berbeda, untuk mengembangkan hasrat hidup berdampingan secara damai. Meski akhirnya lahir Piagam PBB pada tahun 1945, tapi sejarah mencatat ; bahwa konsesus internasional itu tidak serta merta membuat dunia jadi aman damai tanpa konflik.

Sampai hari ini, konflik di antara aspirasi politik dan ekonomi yang berbeda-beda masih muncul. Ada sejumlah kawasan yang masih bergolak karena konflik antarkepentingan. Menjadi tanggung jawab semua, untuk memikirkan bagaimana masyarakat manusia di masa depan, agar sungguh-sungguh mampu dapat mengembangkan kehidupan yang harmonis di antara perbedaan-perbedaan yang ada.

Jika tidak, maka konflik antarperbedaan itu akan berujung pada kehancuran umat manusia. Jika konflik itu dibiarkan dan potensi konflik diperbolehkan berkembang menjadi konflik-konflik yang aktual, maka tidak akan ada masa depan bagi dunia selain kehancuran bersama. Tak akan ada pemenang, yang ada adalah kekalahan untuk semua. Kekalahan yang akan bermuara para kehancuran semua.

Visi Gus Dur

Dalam konteks ini, Gus Yahya ingat pesan gurunya, Gus Dur. Presiden RI ke-4 itu mengingatkan ; “tidak ada cara lebih baik untuk membantu Islam selain dengan menolong kemanusiaan seluruhnya”. Jika setiap muslim hanya “terobsesi” memenangkan agamanya, lalu mengabaikan apalagi menganggap yang lain sebagai rintangan, maka Islam tidak akan benar-benar mencapai kemaslahatan ‘ammah.

Dalam konteks kawasan, Indonesia sebagai pemegang presidensi ASEAN, telah mengumumkan proposal agenda besar ; Asean sebagai pusat pertumbuhan/epicentrum of growth. Memang pendekatannya agak “economic heavy”. Namun dari sisi lain, Gus Yahya lewat Nahdlatul Ulama (NU), mengajak para agamawan kawasan untuk berpikir tentang skenario-skenario, mungkin bukan yang terbaik, tapi yang dapat menemukan akar konflik-konflik laten di kawasan.

Dan di antara potensi yang bisa menjadi hambatan bagi agenda membangun “epicentrum of growth” itu adalah potensi konflik. Sebab, di samping menjadi satu kawasan dengan potensi ekonomi besar, Asean juga merupakan kawasan dengan heterogenitas luar biasa. ASEAN diisi oleh masyarakat yang sangat beragam. Jumlah muslim bisa yang terbesar di Indonesia tapi jadi minoritas di negara Asean tertentu. Begitu juga dengan penganut agama lain.

Demikian pula di kawasan Indo Pasific. Jumlah muslim yang terbesar di Indonesia, justeru minoritas di India. Padahal skala minoritas di India, bisa menjadi angka amat besar di negara dan kawasan lain. Kalau di Indonesia terdapat sekitar 250 juta populasi muslim, maka di India sekitar 200 juta. Diprediksi, tahun 2050, populasi Muslim di India akan lebih banyak daripada di Indonesia dan jadi minoritas di tengah penduduk India yang melampaui angka 1,5 miliar.

Sementara dalam konteks Indo Pasific–kawasan Samudera Hindia dan sekitar Samudera Pasifik (mulai India sampai dengan Filiphina sampai dengan Australia), populasi penganut Buddha, lebih dominan. Diperkirakan terdapat sekitar 43 persen penduduk Pasifik beragama Buddha. Lebih banyak dari populasi muslim, satu angka di bawahnya : 42 persen. “Ini data yang saya sendiri belum lama dapat. Selebihnya ini yang lain-lain. Kristen dan lain-lain,” ujar Gus Yahya.

Diingatkan Gus Yahya, ketika berpikir tentang agenda ekonomi dan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi, dalam realitasnya akan terdapat variabel lain yang campur aduk. Termasuk variabel-variabel berupa perbedaan budaya dan agama. Maka ketika berpikir tentang strategi untuk membangun epicentrum pertumbuhan, pengaruh luasannya akan berimbas ke seluruh kawasan Indo-Pasifik.

Terutama variabel heterogenitas masyarakat ASEAN dan Indo-Pasifik yang berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik sehingga bisa menghambat agenda epicentrum of growth. Dari kawasan ini NU mencoba menawarkan satu sumbangan yang mungkin berguna bagi pergulatan ASEAN dalam membangun epicentrum of growth, dengan memperhatikan dan berpikir tentang variabel di luar variabel ekonomi.

Visi Asoka

Dalam balutan heteroginitasnya, masyarakat kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik memiliki warisan dan peradaban yang beririsan. Mereka mengadopsi satu karakter, satu warna budaya yang sama. Ini semua bermula dari abad ke-3 SM. Alkisah, di India, bertahta seorang raja besar bernama Asoka. Setelah separuh masa kekuasaan dihabiskan dalam perang dan pembantaian yang luar biasa, Asoka berbalik menjadi raja yang mempromosikan toleransi dan harmoni.

Hebatnya, kampanye untuk toleransi dan harmoni itu, dilakukan Asoka dalam skala yang luar biasa luas dengan pengerahan kapasitas besar-besaran sehingga mencapai ke ujung-ujung Indo-Pasifik. Salah satunya tercatat hingga Nusantara. Dan salah satunya melahirkan kerajaan besar, yakni Sriwijaya di Palembang. Palembang menjadi salah satu basis dan aktor peradaban yang sangat kuat dari kampanye toleransi dan harmoni produk Raja Asoka.

Ketika memperingati Harlah NU ke-99, Gus Yahya sengaja memilih Palembang. Salah satu alasannya ; Palembang pewaris dari Sriwijaya. Sriwijaya ini adalah bagian peradaban paling kuat dalam sejarah Nusantara dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dan harmoni. Sriwijaya berhasil mempersatukan sebagian besar Nuantara dan ini merupakan inisiatif berskala peradaban yang dilakukan di kawasan negara kepulauan ini.

Kejayaan itu bertahan selama 7 abad ; dari abad ke-7 sampai abad ke-14. Dan, mewariskan nilai-nilai budaya dan peradaban secara sangat dalam di tengah masyarakat. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, adalah nilai-nilai adiluhung yang diadopsi Majapahit dari warisan Sriwijaya. Majapahit adalah kerajaan besar di Nusantara yang mengalami kontroversi perbedaan agama, khususnya di lingkungan kekuasaan.

Sejarah mencatat, di lingkaran terdalam keluarga keraton, di samping memeluk agama Buddha, sebagian yang lain memeluk agama Hindu. Perbedaan anutan keyakinan itu dapat diselesaikan, begitu Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma, dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”, tidak ada kebenaran yang terbelah, dan jika sudah “benar” maka ia pasti satu. Jika masih terbelah, berarti belum satu.

“Kita bisa melihat display tampilan dari satu peradaban besar yang pasti akan berguna, apabila kita kapitalisasi sebagai satu strategi untuk membangun kawasan ASEAN Indo-Pasifik ini. Karena dalam catatan sejarah masyarakat di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik, dulu pernah mengalami satu kesatuan peradaban yang dibangun di atas basis nilai-nilai toleransi dan harmoni dulunya,” ajak Gus Yahya.

Visi Asean

Untuk memetakan potensi yang bisa mendorong lahirnya harmoni di kawasan Asean, maka perlu dilakukan identifikasi nilai-nilai yang dipegang bersama. Walaupun, misalnya yang satu muslim, satu Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, tapi di antara yang berbeda ini ada nilai-nilai yang disetuju semua kelomlok. Misalnya terkait nilai-nilai tentang kasih sayang, keadilan dan nilai tentang ikatan keluarga.

Selanjutnya, mengidentifikasi nilai- nilai yang harus dikembangkan agar jadi pendorong untuk tidak lagi berkonflik satu sama lain. Jika dianggap urgen, maka perlu rekontekstualisasi nilai-nilai tersebut dengan mengadaptasi, serta membuat penyesuaian terhadap nilai-nilai yang lama yang sekian lama mendorong konflik. Ini hal-hal yang merupakan ilustrasi dari kemauan dan kemungkinan.

Ini bisa dilakukan, untuk membuat penyesuaian dalam tataran nilai-nilai, agar semua umat manusia bisa hidup berdampingan secara damai. Membangun konsolidasi untuk harmoni di tengah perbedaan, sudah dilakukan. Selanjutnya, melakukan kapitalisasi untuk mencapai dan membangun strategi yang lebih kuat ke depan. Nilai-nilai ini adalah alat mengonsolidasikan satu basis konstituensi masyarakat di ASEAN dan Indo-Pasifik. (*)

Ishaq Zubaedi Raqib*
Jurnalis Senior
Ketua LTN — Lembaga Infokom dan Publikasi PBNU

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Peta Masalah Dunia Pesantren (1)



Jakarta

Pada masanya, pesantren adalah tonggak penting dalam dunia pendidikan dan pembentukan karakter di Nusantara. Sekarang, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah pesantren mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan era modern tanpa kehilangan jati dirinya? Inilah titik mula dari upaya memahami dan mengatasi persoalan mendasar yang dihadapi pesantren hari ini.

Tema utama pesantren saat ini, dan sekaligus permasalahan utamanya, adalah bagaimana institusi pendidikan ini bertransformasi dari model tradisional menuju integrasi dengan sistem global modern. Untuk membahas urusan ini lebih lanjut, kita tampaknya perlu terlebih dulu menjernihkan cara pandang kita. Salah satu yang perlu dikritisi adalah pandangan bahwa pesantren dimarginalisasi secara sengaja oleh negara. Pemikiran seperti ini mengandung bias seolah-olah pesantren sudah “mengutangi” negara dan sekarang menagih pengakuan.

Faktanya, marginalisasi pesantren bukanlah sesuatu yang sepenuhnya disengaja. Hal ini lebih merupakan dampak dari proses transformasi peradaban menuju konstruksi modern. Kita tahu bahwa pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional yang kita pelihara hingga sekarang, tumbuh dari tradisi lokal yang khas Nusantara. Model seperti ini tidak ditemukan di belahan dunia Islam lainnya, seperti Timur Tengah, Persia, Asia Selatan, atau Afrika. Pesantren betul- betul merupakan produk budaya lokal Nusantara yang lahir dari struktur sosial, budaya, dan politik yang unik di wilayah ini.


Sebelum era kolonial, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada tersedia. Ia menjadi pusat pembelajaran bagi berbagai lapisan masyarakat, menjadi tempat tujuan bagi siapa saja untuk mendapatkan pendidikan akademik dan intelektual. Bahkan anak-anak bangsawan dan putra raja dari seluruh Nusantara menimba ilmu di pesantren.

Namun, ketika masyarakat tradisional Nusantara mulai bersentuhan dengan kekuatan kolonial Eropa, pesantren, bersama elemen tradisional lainnya, perlahan-lahan tergeser. Struktur sosial dan budaya tradisional digantikan oleh konstruksi modern yang diperkenalkan oleh kolonialisme. Bukan hanya pesantren yang mengalami hal ini, tetapi juga lembaga tradisional seperti keraton.

Proses ini membuat pesantren terlihat lambat dalam beradaptasi ke dalam sistem modern. Salah satu alasannya adalah resistensi pesantren terhadap apa pun yang berasal dari kekuatan kolonial. Pada masa penjajahan, pesantren-pesantren, bersama elemen lain dari masyarakat pribumi,

berperan aktif dalam melawan apa saja yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Gerakan seperti Taman Siswa di Yogyakarta, yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara, merupakan contoh nyata perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.

Keraton Yogyakarta juga mengambil inisiatif serupa dengan mengirim seorang santri bernama Muhammad Darwis ke Mekkah untuk belajar modernisasi pendidikan dari Syekh Khatib al- Minangkabawi. Sepulangnya, Darwis, yang kemudian dikenal sebagai Haji Ahmad Dahlan, mendirikan Muhammadiyah untuk mendorong modernisasi pendidikan dengan tetap mempertahankan konten lokal, sehingga tidak harus hanyut ke dalam konten yang disediakan oleh kolonial.
Memahami konteks kesejarahan ini membantu kita melihat problematika pesantren sebagai bagian dari proses transformasi yang kompleks. Langkah ke depan memerlukan upaya untuk menjembatani tradisi pesantren dengan tuntutan zaman modern tanpa kehilangan akar budaya lokalnya.

Transformasi Pesantren: Realitas dalam Konteks Globalisasi

Salah satu ciri khas pesantren sejak masa kolonial adalah etos perlawanan terhadap sistem modern yang diperkenalkan oleh kekuatan kolonial. Meskipun perlawanan ini berlangsung lama, pada akhirnya, pesantren tidak mampu sepenuhnya menghindari dampak dominasi kekuasaan kolonial, yang memiliki sumber daya besar.

Sekolah modern seperti Muhammadiyah, misalnya, awalnya hanya mengadopsi struktur formal pendidikan modern dengan tetap mempertahankan konten lokal yang dirancang oleh para aktivisnya. Namun, seiring waktu, sistem pendidikan Muhammadiyah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang bercorak modern sepenuhnya. Di sisi lain, pesantren tradisional lebih memilih untuk sepenuhnya menolak sistem pendidikan kolonial. Pada masa kakek saya, misalnya, bersekolah di sekolah Belanda adalah sesuatu yang aib. Akibatnya, kalangan pesantren tradisional tertinggal dalam pendidikan formal.

Hingga 1945, anak-anak pesantren tradisional hampir tidak ada yang bersekolah. Sementara itu, dari kalangan lain, tokoh seperti Sumitro Djojohadikusumo-ayah Presiden Prabowo-sudah meraih gelar doktor ekonomi dari universitas di Amerika. Kondisi ini menciptakan kesenjangan besar dalam pendidikan formal antara pesantren dan kelompok masyarakat lainnya.

Baru pada tahun 1960-an, anak-anak dari pesantren tradisional mulai mengenyam pendidikan formal dengan susah payah. Namun, mereka tetap menghadapi kendala, termasuk warisan mentalitas yang sulit sepenuhnya beradaptasi dengan sistem modern. Kiai Ali Maksum,

misalnya, seorang intelektual pesantren terkemuka, mengaku tidak kerasan mengajar di IAIN, semata-mata karena setiap hari harus berangkat ke kampus mengenakan celana panjang.

Kalangan pesantren baru mulai menghasilkan lulusan sarjana pada pertengahan tahun 1970-an- sarjana lulusan IAIN. Sebelumnya, hanya sedikit sekali orang NU yang mencapai gelar sarjana, sementara kalangan modernis sudah lebih dahulu menempati ruang akademik dan intelektual.

Ini beberapa hal yang menurut saya perlu menjadi bagian dari perspektif untuk memahami masalah pesantren dengan lebih jernih. Kita harus berhati-hati agar tidak salah arah, karena jika kita tidak jernih dalam merumuskan masalah dan salah arah ini terus berlanjut, penyelesaiannya akan semakin jauh dari akar masalah. Hanya karena kita bangga terhadap pesantren, tidak berarti bahwa pesantren harus otomatis dianggap sebagai solusi alternatif dalam segala hal. Dunia sudah berubah, dan kita berada di era globalisasi. Tidak ada pilihan lain selain mengintegrasikan diri ke dalam sistem global. Kita melihat Arab Saudi melakukannya. Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyesuaikan diri dengan sistem global. Pesantren pun perlu memikirkan posisinya dalam konteks global ini.

Transformasi dari model tradisional menuju integrasi ke dalam sistem global yang modern inilah akar dari banyak keluhan yang kita dengar, yang kemudian melahirkan tuntutan-tuntutan afirmasi dan pengakuan. Kita mendengar keluhan bahwa lulusan pesantren sulit diterima di perguruan tinggi negeri. Lalu muncul Undang-Undang Pesantren, sebuah produk yang dipicu oleh desakan pesantren untuk meminta afirmasi, menuntut pengakuan, dan menagih janji pemerintah. Sampai-sampai ada kebijakan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran tanpa tes bagi hafiz Quran. Ini jelas tidak relevan, dan hal-hal semacam ini lahir dari cara berpikir yang tidak menyentuh akar masalah-pada kekeliruan membaca peta masalah.

Persoalannya bukan pada afirmasi, melainkan pada bagaimana sistem tradisional dapat diintegrasikan ke dalam sistem modern. Suka atau tidak, kita harus memikirkan bagaimana pesantren bisa menyelaraskan praktik tradisionalnya dengan tuntutan sistem pendidikan modern. Ini mencakup tidak hanya sistem pendidikan nasional, tetapi juga sistem global yang semakin terstandar dengan ukuran-ukuran internasional, seperti World University Rankings (WUR) dan lain sebagainya. Globalisasi, bagaimanapun, telah membawa sistem pendidikan ke arah yang mengutamakan standar global, bukan sekadar relevansi lokal.

Transformasi pesantren ke dalam sistem modern tentu membawa konsekuensi logis: ada hal-hal yang bisa didapatkan sebagai insentif integrasi, namun ada juga yang harus dilepaskan atau direlakan hilang. Tantangan utamanya adalah menentukan mana yang harus dipertahankan, dan bagaimana pesantren bisa berintegrasi dengan sistem modern tanpa kehilangan jati diri dan memperoleh manfaat darinya.

Masalah utama pesantren hari ini adalah bagaimana proses transformasi itu dilakukan. Ada masalah-masalah sampingan, misalnya represi politik di masa Orde Baru. Meski itu pernah terjadi, masalah utamanya tetap pada integrasi sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem global. Ini memerlukan visi yang jelas dan pendekatan yang strategis, agar pesantren dapat terus berkembang tanpa kehilangan identitasnya dalam menjawab tantangan zaman.

KH. Yahya Cholil Staquf
Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Moderasi NU di Tengah Negara dan Netizen



Jakarta

Nahdlatul Ulama (NU) di usia 102 tahun berada dalam situasi yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Seiring dinamika perkembangan zaman, tantangan dan persoalan yang dihadapi kian kompleks. Terlebih, di era digital ini, dialektika NU, merujuk judul buku Indonesianis asal Prancis Andreé Feillard (1999), tak hanya NU vis a vis Negara, kini bertambah menjadi NU vis a vis netizen (internet citizen) atau warga internet.

Hubungan NU dan negara senantiasa mengalami dinamika dari waktu ke waktu. Situasi itu dipengaruhi oleh sikap negara terhadap NU dan sebaliknya bagaimana NU meresponsnya. Dinamika tersebut merupakan hal yang lumrah dalam interaksi sosial dari dua entitas yang berbeda. Sejarah perjalanan NU dimulai sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan orde reformasi dengan enam presiden, menggambarkan dinamika dimaksud.

Menariknya, saat ini tata kelola hubungan NU bertambah dengan pola relasi dengan netizen yang cukup dominan. Data “We Are Social” pada 2024 sebanyak 185,3 juta pengguna internet dengan akses pengguna media sosial sebanyak 139 juta. Angka yang patut menjadi perhatian siapa saja yang berada di ruang publik, tak terkecuali bagi NU.


NU, dengan demikian, menjadi objek terbuka, yang dapat dibaca dan dinilai oleh siapapun melalui platform digital. Pada poin ini, dalam membangun skema relasi NU versus netizen tak bisa diberlakukan secara konvensional seperti dalam relasi NU versus negara. Dibutuhkan kejelian dalam mendayung di atas lautan netizen.

NU vis a vis Negara

Diskusi tentang hubungan NU dengan negara menjadi tema yang senantiasa relevan dan menarik dari waktu ke waktu. Hal ini tidak terlepas dari posisi dan eksistensi NU yang menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis keagamaan terbesar di Indonesia. Pandangan dan sikap NU, pada titik tertentu, memengaruhi dinamika politik kebangsaan dan kenegaraan.

Faktor demokrasi sebagai pilihan dalam pengelolaan pemerintahan di Indonesia sejak reformasi 1998 silam, juga memberi pengaruh dalam merumuskan format ideal relasi NU dan negara. Situasi yang jauh berbeda selama era orde baru, 32 tahun lamanya.

Dalam konteks tersebut pembagian skema relasi negara versus civil society oleh Simone Chambers dan Jefrey Kopstein (2008: 364) dalam The Oxford Handbook of Political Theory membagi enam skema relasi negara versus civil society, yakni masyarakat sipil terpisah dari negara, masyarakat sipil melawan negara, masyarakat sipil mendukung negara, masyarakat sipil dalam dialog dengan negara, masyarakat sipil dalam kemitraan negara, serta masyarakat sipil di luar negara.

Pembagian skema tersebut didasari pada praktik pengalaman di sejumlah negara dengan latar belakangnya. Dalam konteks relasi NU dan Negara, skema masyarakat sipil dalam dialog dengan negara (civil society in dialogue with the state) menjadi pilihan yang moderat. Membayangkan NU melawan negara, tentu pandangan yang insinuatif di tengah demokratisasi yang sedang berjalan saat ini.

Latar belakang sistem demokrasi yang dipilih Indonesia, dibutuhkan ruang dialog yang kreatif dan kritis antara publik dengan negara. Ruang publik yang direpresentasikan melalui masyarakat sipil menjadi pendulum penting dalam proses demokratisasi di sebuah negara.

Chambers dan Kopstein, dengan mengutip Habermas, menyebutkan kendati jaminan kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan syarat mutlak di ruang publik, namun hal tersebut tidaklah cukup. Menurut dia, terdapat tanggung jawab masyarakat sipil untuk menghadirkan ruang publik yang harus senantiasa dijaga.
Pada poin ini, NU dapat menjadi jangkar penting yang merepresentasikan masyarakat sipil untuk membangun dialog dengan negara. Posisi NU rekat tapi tidak lekat. Pada titik tertentu, NU menjadi penyambung suara masyarakat dalam perumusan kebijakan negara yang memiliki makna aspirasi bahkan koreksi. Posisi NU tentu tidak lekat dengan negara, karena memang entitas yang berbeda dengan negara.

Pada tataran praksis, NU berkolaborasi dengan negara, khususnya dalam urusan pemberdayaan masyarakat yang notabene merupakan area garapan NU. Posisi NU menjadi bagian penting dalam supporting system negara dalam penguatan masyarakat di akar rumput untuk kemaslahatan bersama.

NU vis a vis netizen

Di sisi lain, arena digital menjadi lapangan yang relatif baru bagi NU. Meski belakangan NU dan para jamaahnya cukup atraktif dalam berselancar di arena ini. Tak sedikit platform digital dilahirkan oleh NU dan badan otonom di lingkungan NU.

Di luar soal responsivitas dan adaptabilitas NU terhadap digital, perkara lain yang tak kalah penting adalah soal percakapan publik mengenai NU di ranah digital. Respons cepat publik terhadap pandangan, sikap, maupun pilihan posisi NU-termasuk tokoh yang terafiliasi dengan NU-di ruang publik menjadi objek yang kerap didiskusikan oleh publik, bahkan memantik perdebatan.

Terminologi populer di lingkungan NU seperti sami’na wa atha’na tentu tidak berlaku dalam percakapan netizen di ruang digital. Bahkan, terminologi su’ al-adab saat mengomentari pandangan, tindakan, maupun pilihan NU dan aktivisnya juga tak berlaku dalam norma di digital. Publik sangat bebas memberi anotasi terhadap NU. Begitulah norma yang terjadi di ruang digital. Pada poin ini, etika dalam bermedia sosial sangat relevan untuk dipedomani sebagaimana Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017.

Pada titik ini, tak lagi relevan untuk sibuk mencari tahu siapa sesungguhnya aktor invisible hand yang menggerakkan narasi pejoratif terhadap NU di ruang digital. Karena bisa saja, narasi publik juga lahir atas dasar common sense atau pandangan umum. Jadi, tidak mesti pandangan yang muncul digerakkan oleh pihak yang tidak suka dengan NU.

Dalam konteks inilah, sikap moderat jemaah dan jam’iyyah NU di ruang digital menjadi relevan dan kontekstual untuk dipedomani. Sikap tengah (i’tidal), objektif, dan didasari pada common good yang tak jarang beririsan dengan common sense dalam merespons tema dan persoalan publik diharapkan dapat menghindari lahirnya polemik yang tak perlu di ruang digital.

Sikap ini juga didasari pada spirit “Resolusi Jihad” Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yakni semata-mata dalam konteks “mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka”. Selamat harlah ke-102 NU, bekerja bersama untuk maslahat Indonesia!

Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pengurus LPTNU PBNU

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Doa Salat Tarawih dan Witir Lengkap NU Bacaan Arab dan Latin


Jakarta

Salat Tarawih adalah ibadah sunah pada bulan Ramadan yang diikuti dengan salat witir. Salat Tarawih dan witir biasa dikerjakan oleh seluruh umat Islam di Indonesia, tidak terkecuali Nahdlatul Ulama (NU). Berikut bacaan doa salat Tarawih dan witir lengkap NU.

Dikutip dari buku Keutamaan 19 Shalat Sunnah karya Yunus, salat Tarawih memiliki banyak keutamaan. Salah satu keutamaan salat Tarawih yaitu diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Adapun dikutip dari Buku Pintar Salat, Doa, dan Zikir Sesuai Tuntunan Rasulullah karya Darul Insan, keutamaan salat witir dijelaskan dalam sebuah hadits.


Kharijah bin Khudzafah al-Adawi berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah yang Mahamulia lagi Mahaperkasa telah membekali kalian dengan satu salat, di mana ia lebih baik bagi kalian daripada binatang yang paling bagus, yaitu salat witir. Dan Dia menjadikannya untuk kalian antara salat Isya sampai terbit fajar.” (HR Abu Dawud)

Jumlah Rakaat Salat Tarawih dan Witir NU

Kalangan Nahdlatul Utama atau NU biasa mengerjakan salat Tarawih 20 rakaat dilanjut witir 3 rakaat. Dinukil dari buku Jihad Kebangsaan dan Kemanusiaan Nahdlatul Utama karya Jamal Ma’mur Asmani, NU menganut sistem bermazhab dalam menjalankan ajaran Islam. Salah satu mazhab yang diikuti NU yaitu mazhab Syafi’i.

Adapun dikutip dari buku Masalah Garis Perbatasan Nahdlatul Ulama karya Cholil Nafis, ulama Syafi’iyyah di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa salat Tarawih berjumlah 20 rakaat.

“Salat Tarawih hukumnya sunnah, 20 rakaat dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadan. Karena ada hadits: Barangsiapa melaksanakan (salat Tarawih) di malam Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu diampuni. Setiap dua rakaat harus salam. Jika salat Tarawih 4 rakaat dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fath al Mu’in, Baikrut: Dar al Fikr, juz I, halaman 360).

Doa Salat Tarawih NU

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ، وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ، وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ، وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِي الْاٰخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ، وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ، وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْن، وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا، ذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هٰذِهِ لَيْلَةِ الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاٰلِه وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Allâhummaj’alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shalâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ’ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu’ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’i râdlîn. Wa lin na’mâ’i syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn. Wa ‘alâ sariirl karâmati qâ’idîn. Wa bi hûrun ‘in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha’âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka’sin min ma’în. Ma’al ladzîna an’amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman. Allâhummaj’alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su’adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj’alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma’în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Artinya: “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara salat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan sahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Bacaan doa salat Tarawih NU tersebut dinukil dari laman NU Online dan terdapat dalam buku Panduan Sholat untuk Perempuan karya Nurul Jazimah.

Doa Salat Witir NU

Dikutip dari Kumpulan Doa & Dzikir Ramadhan karya Ammi Nur Bait, berikut bacaan doa salat witir.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Allahumma inni a’udzu bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak bisa menyebut semua pujian kepada-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com