Tag Archives: nusantara

Hukum Menikah Bulan Muharram, Boleh atau Dilarang?


Jakarta

Menikah merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam dan menjadi bagian penting dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, di tengah masyarakat, sering kali berkembang berbagai aturan tidak tertulis terkait waktu yang dianggap baik atau buruk untuk melangsungkan pernikahan.

Salah satunya adalah keyakinan bahwa menikah di bulan Muharram atau Suro akan membawa kesialan dan berbagai keburukan bagi pasangan pengantin. Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang pernikahan yang dilaksanakan di bulan Muharram ini?

Menikah di Bulan Muharram dalam Masyarakat

Memasuki Muharram 1447 Hijriah, salah satu persoalan menarik yang kerap menjadi perbincangan adalah soal pernikahan. Pasalnya, berkembang keyakinan di masyarakat bahwa menikah pada bulan ini pantang untuk dilakukan.


Di Nusantara, khususnya di Jawa, pemilihan waktu pernikahan memang mendapat perhatian yang sangat serius. Jika salah memilih waktu, hal-hal buruk atau negatif dipercaya akan menghantui kehidupan rumah tangga setelah akad nikah.

Salah satu kepercayaan yang paling dikenal luas adalah larangan menikah pada Bulan Suro atau Muharram. Tradisi ini sudah mengakar dalam budaya Jawa sejak masa lampau dan masih diyakini sebagian masyarakat hingga kini.

Dalam buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa karya Muhammad Sholikhin dijelaskan, sebenarnya kebiasaan tidak menikah pada Suro atau Muharram bukan didasari oleh dalil larangan agama. Melainkan lebih kepada sikap tidak berani melangsungkan hajatan besar di bulan tersebut.

Sebab, masyarakat Islam Jawa menganggap Suro sebagai bulan yang agung dan mulia, yaitu bulannya Gusti Allah. Dengan keyakinan itu, orang biasa merasa terlalu kecil atau lemah untuk menggelar perayaan, termasuk pernikahan, di waktu yang dianggap suci tersebut.

Dalam buku 79 Hadits Populer Lemah dan Palsu karya Rachmat Morado Sugiarto dijelaskan bahwa menikah pada bulan apa pun dibenarkan dan diperbolehkan.

Terkait keyakinan yang berkembang di masyarakat tentang larangan menikah pada bulan Muharram, khususnya pada hari kesepuluh atau hari Asyura, hal itu sejatinya tidak memiliki dasar dalil yang sahih. Tidak ada nash Al-Qur’an maupun hadits yang menetapkan larangan tersebut.

Dalam buku Indahnya Pernikahan & Rumahku, Surgaku karya Ade Saroni diterangkan bahwa tradisi dan larangan semacam ini ternyata sudah ada sejak masa jahiliah. Masyarakat Arab terdahulu sering meyakini waktu tertentu membawa kesialan atau keberuntungan.

Rasulullah SAW menyanggah keyakinan tersebut melalui sabdanya,

“Tidak ada (wabah yang menyebar dengan sendirinya, tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan tidak ada tanda kesialan pada bulan Shafar, menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari)

Hadits ini bertujuan menjelaskan bahwa anggapan suatu waktu dapat mempengaruhi nasib baik atau buruk dengan sendirinya adalah keliru. Semua kejadian di bumi terjadi atas kehendak Allah SWT yang telah ditetapkan sejak zaman azali.

Dalam ajaran syariat Islam, tidak ada konsep yang mengaitkan keburukan dengan waktu tertentu, baik itu hari maupun bulan. Keyakinan bahwa suatu peristiwa atau masa tertentu membawa kesialan dikenal sebagai thiyarah, sebagaimana dijelaskan dalam penelitian berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Menikah pada Bulan Muharram karya Erwan Azizi al-Hakim dari IAIN Jember.

Berbahaya sekali jika kita menyimpulkan suatu hal akan membawa nasib baik atau buruk tanpa dasar syariat. Sebab, hal ini bisa menjerumuskan pada dosa syirik, yaitu percaya kepada selain Allah dalam menentukan takdir dan kejadian di hidup kita.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Makna, Ragam Perayaan, dan Nilai Budaya


Jakarta

Setiap tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriyah, umat Islam di seluruh dunia memperingati hari istimewa yang dikenal dengan sebutan Hari Asyura. Di Indonesia, 10 Muharram bukan sekadar momentum keagamaan, tetapi juga telah berkembang menjadi sebuah tradisi budaya yang sarat nilai sosial dan spiritual.

Ragam tradisi yang hidup di tengah masyarakat Nusantara menunjukkan betapa kayanya khazanah Islam lokal yang berpadu dengan budaya daerah.

Makna 10 Muharram dalam Islam

Mengutip buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman, hari Asyura atau 10 Muharram memiliki banyak keutamaan dalam Islam. Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya untuk berpuasa di hari Asyura, sebagaimana sabda beliau:


“Puasa pada hari Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Tradisi 10 Muharram di Indonesia

Berikut beberapa tradisi unik yang digelar di berbagai daerah di Indonesia dalam rangka memperingati 10 Muharram:

1. Lebaran Anak Yatim (Idul Yatama)

Di banyak daerah seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, dan Banten, 10 Muharram dikenal sebagai Hari Raya Anak Yatim atau Lebaran Yatim.

Tradisi ini merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW,

“Barang siapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, Allah akan mengangkat derajatnya di surga sebanyak rambut yang diusap.”

Diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis walau statusnya dhaif, namun diamalkan dalam konteks sosial.

Masyarakat memanfaatkan momen ini untuk menyantuni anak yatim, mengadakan pengajian dan doa bersama serta memberikan hadiah dan bingkisan.

2. Bubur Asyura

Dikutip dari buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia karya Fitri Haryani Nasution, di beberapa wilayah seperti Minangkabau, Aceh, dan Kalimantan Selatan, masyarakat membuat makanan khas bernama Bubur Asyura. Bubur ini terbuat dari berbagai macam bahan seperti beras, kacang-kacangan, santan, dan rempah-rempah.

Tradisi ini diyakini sebagai simbol syukur atas keselamatan dan rezeki yang diberikan Allah. Pembuatan bubur dilakukan secara gotong royong di masjid atau mushala, lalu dibagikan kepada warga sekitar.

Di Aceh, acara ini disebut “Kanji Asyura”.
Di Sumatera Barat, dikenal sebagai “Bubur Syuro”.

3. Tabuik (Pariaman, Sumatera Barat)

Salah satu tradisi paling meriah dan ikonik dalam memperingati 10 Muharram di Indonesia adalah Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat. Tradisi ini berasal dari warisan budaya Islam yang mengalami akulturasi dengan masyarakat Minangkabau.

“Tabuik” merupakan prosesi arak-arakan menara berbentuk kuda bersayap yang disebut Buraq, menggambarkan peristiwa syahidnya Sayyidina Husain di Karbala. Tradisi ini mencerminkan rasa duka dan penghormatan terhadap cucu Nabi Muhammad SAW.

4. Sedekah dan Zikir Bersama

Di berbagai daerah, umat Islam mengisi malam 10 Muharram dengan kegiatan zikir bersama, pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun Hijriyah, pengajian hingga shalawat dan tausiyah.

Misalnya di Madura dan Banyuwangi, malam 10 Muharram dikenal dengan kegiatan bancaan yakni doa bersama sambil makan hidangan bersama di mushala atau rumah warga.

5. Mandi Asyura

Di beberapa wilayah seperti Bima (NTB) dan sebagian kawasan pesisir, ada tradisi mandi bersama di sungai atau laut pada pagi hari 10 Muharram. Masyarakat percaya bahwa mandi pada hari itu membawa keberkahan dan mensucikan diri dari dosa.

Meskipun tidak ada dalil khusus yang mengajarkan mandi Asyura, namun selama tidak diyakini sebagai kewajiban syar’i dan dilakukan sebagai bagian dari budaya, maka para ulama membolehkan.

Mayoritas ulama membolehkan tradisi-tradisi lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Tradisi seperti menyantuni anak yatim, bersedekah, membuat bubur Asyura, atau mengadakan pengajian dinilai positif karena menguatkan solidaritas sosial, menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah dan keluarganya, serta menyemarakkan hari-hari Islam.

Namun, jika tradisi disertai dengan keyakinan yang bertentangan dengan akidah, seperti meyakini bahwa 10 Muharram adalah hari sial, melakukan ratapan berlebihan (niyahah), atau membuat ritual baru yang dianggap ibadah wajib, maka hal itu harus dihindari.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Kemenyan dalam Pandangan Islam, Benarkah Aromanya Disukai Nabi SAW?



Jakarta

Dalam masyarakat Indonesia, penggunaan menyan atau dupa sering kali menjadi polemik, terutama dalam konteks keislaman. Ada yang menganggap perbuatan tersebut sebagai syirik atau menyerupai amalan perdukunan.

Kemenyan adalah bahan aromatik yang berasal dari getah pohon tertentu. Dalam berbagai budaya, termasuk di Nusantara, kemenyan digunakan dalam ritual adat atau pengobatan tradisional. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap kemenyan?

Dikutip dari buku Ensiklopedi Upakara: Edisi Lengkap karya I Nyoman Jati, kemenyan adalah aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam dupa atau parfum. Kristal ini diolah dari pohon jenis Boswellia.


Secara bahasa, kemenyan adalah zat beraroma khas yang dibakar untuk menghasilkan asap harum. Dalam bahasa Arab, kemenyan dikenal dengan nama “al-bakhūr” atau “lubān”. Ada pula jenis kemenyan bernama “kundur” atau “lubān dzakar”, yang biasa digunakan dalam pengobatan Arab dan ruqyah.

Kemenyan memiliki sejarah panjang dalam berbagai peradaban, termasuk Mesir kuno, Yunani, India, hingga Arab. Di Timur Tengah, khususnya Jazirah Arab, membakar kemenyan adalah tradisi umum, terutama untuk mengharumkan rumah, pakaian, dan masjid.

Penggunaan Kemenyan dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam, kemenyan pernah disebut dalam beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa penggunaannya bukan hal asing bagi bangsa Arab, termasuk kaum muslimin. Dijelaskan dalam sebuah riwayat,

“Dahulu Nabi SAW mengharumkan dirinya dengan minyak wangi dan buhur (kemenyan), terutama pada hari Jumat.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar – sanadnya hasan)

Riwayat ini menunjukkan bahwa membakar kemenyan sebagai wewangian pernah dilakukan, bahkan oleh Rasulullah SAW. Namun tentu harus dipahami dalam konteks penggunaan yang dibenarkan, bukan dikaitkan dengan hal-hal mistik atau syirik.

Dalam buku Taudhihul Adillah 2 karya H Muhammad Syafi`i dijelaskan bahwa membakar dupa, mustika, setinggi kayu gaharu, kemenyan yang harum untuk megharumkan ruangan yang membawa ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik, ditinjau dari sudut ataupun agama.

Rasulullah SAW menyukai wangi-wangian, baik berupa minyak wangi, bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir RA, Nabi SAW bersabda,
“Apabila kamu mengukup (memberi wewangian) mayit, maka ganjilkanlah. ” (HR Ibnu Hibban dan Al Hakim)

Dan menurut riwayat Imam Ahmad, Dari Jabir RA, ia berkata, Nabi SAW bersabda,
“Apabila kamu mengukup mayit, maka ungkuplah tiga kali.” (HR Ahmad)

Dilansir dari NU Online, bahkan beberapa sahabat Nabi SAW berwasiat agar kain kafan mereka diukup,

أوصى أبوسعيد وابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم ان تجمر اكفنهم بالعود

Artinya: Abu Said, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra. Berwasiat agar kain-kain kafan mereka diukup dengan kayu gaharu Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda,

“Jauhkanlah masjid-masjid kamu dari anak-anak kamu, dari pertengkaran kamu, pendarahan kamu dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci.” (HR. Al-Thabrani).

Hadits-hadits tersebut menunjukkan betapa wangi-wangian adalah sesuatu yang telah menjadi tradisi di zaman Rasulullah SAW.

Hukum Membakar Kemenyan

Habib Novel Alaydrus dalam tayangan di YouTube channelnya yang berjudul Membakar Menyan (kemenyan), menjelaskan hukum membakar kemenyan dalam Islam. detikHikmah telah mendapat izin dari Habib Novel Alaydrus untuk mengutip isi tayangan ini. Dalam video, ia menjelaskan bahwa penggunaan kemenyan sebagai wangi-wangian adalah bagian dari sunnah.

“Menyan adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada bahan aromatik yang dibakar, menghasilkan asap yang beraroma khas. Dalam istilah modern, menyan bisa disamakan dengan aromaterapi, yaitu membakar bahan tertentu untuk menciptakan suasana harum,” jelas Habib Novel.

Lebih lanjut Habib Novel menjelaskan dalam bahasa Arab, istilah menyan dikenal sebagai “bukhūr” atau “ghāru” (gaharu). Rasulullah SAW dan para sahabat dikenal menyukai bau-bauan harum, terutama saat hendak salat atau menghadiri majelis.

Islam sangat menjunjung tinggi kebersihan dan keharuman. Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim)

Maka, jika seseorang membakar menyan atau dupa dengan niat untuk mengharumkan ruangan, menyegarkan suasana ibadah, atau mengikuti sunnah Nabi saw dalam menjaga kebersihan dan aroma tubuh, maka perbuatan itu tergolong mustahabb (disukai) bahkan sunnah.

Sayangnya, sebagian orang terburu-buru menuduh bahwa membakar menyan adalah perbuatan syirik. Padahal, tidak semua yang tampak serupa dengan ritual syirik otomatis dihukumi syirik. Yang menjadi ukuran dalam Islam adalah niat dan tujuan.

“Jika niatnya untuk mengharumkan ruangan sehingga orang lebih khusyuk dalam berdoa, agar para malaikat senang, maka itu sunnah yang pernah dianjurkan. Maka jangan dikatakan orang yang bakar menyan telah berbuat musyrik, dia telah menyekutukan Allah. Di mana letak menyekutukan Allah? Tidak ada, karena niatnya adalah untuk mengagungkan sunnah Nabi Muhammad SAW agar harum wangi dan khusuk.” jelas Habib Novel.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Lirik Syair Walisongo, Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim


Jakarta

Walisongo adalah sebutan bagi sembilan tokoh ulama besar yang berperan penting dalam proses penyebaran Islam di Pulau Jawa pada abad ke-14 hingga abad ke-16 Masehi. Mereka bukan hanya penyebar agama, tetapi juga reformis sosial, pendidik, dan pembangun budaya Islam yang harmonis dengan nilai-nilai lokal.

Salah satu dari Walisongo adalah Sunan Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim. Ia dikenal sebagai pelopor dakwah Islam di tanah Jawa dan merupakan salah satu tokoh utama dalam jajaran Walisongo. Dikutip dari buku Sejarah Wali Songo karya Zulham Farobi, kiprah beliau dalam menyebarkan ajaran Islam dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan telah menginspirasi banyak generasi.

Salah satu bentuk penghormatan masyarakat terhadap jasa beliau adalah melalui lantunan sholawat yang memuji keagungan akhlak dan perjuangannya.


Lirik Sholawat Walisongo Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim

Dilansir dari arsip detikHikmah, berikut lirik syair lengkap sholawat Walisongo Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim:

Ya rasulullah salamun alaik
Ya rafiassyani waddaroji
Atfatayyajii rotal alaamii
Ya uhailaljuudi walkaromii… walkaromii…

Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim
Sunan Ampel Raden Rahmat
Sunan Giri Muhammad Ainul Yaqin
Sunan Bonang Maulana Maqdum
Sunan Drajat Raden Qosim
Sunan Kalijogo Raden Syahid
Sunan Muria Raden Umar
Sunan Kudus Ja’far Shodiq
Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah

Ya rasulullah salamun alaik
Ya rafiassyani waddaroji
Atfatayyajii rotal alaamii
Ya uhailaljuudi walkaromii… walkaromii…

Sunan Gresik kondang ngelmu dagange
Sunan Ampel falsafah mah limone
Sunan Giri tembang dolalane
Sunan Bonang musisi gamelane
Sunan Drajat pepali pitune
Sunan Kalijogo wayangane
Sunan Muria ngemu tradisine
Sunan Kudus gede toleransine
Sunan Gunung Jati politike

Ayo podo… eling saklawase
Ya rasulullah salamun alaik
Ya rafiassyani waddaroji
Atfatayyajii rotal alaamii
Ya uhailaljuudi walkaromii… walkaromii…

Terjemahan Lirik Arab

يَارَسُوْلَ اللهِ سَلَامٌ عَلَيْكَ , يَارَفِيْعَ الشَّانِ وَالدَّرَجِ
Yaa rosuulallaah salaamun ‘alaik, yaa rofî’assyaani waddaroji.

Artinya: Wahai utusan Allah semoga keselamatan tetap padamu, wahai yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi.

عَـطْفَةً يَّاجِـيْرَةَ الْعَلَمِ , يَااُهَيْلَ الْجُوْدِ وَالْكَـرَمِ
Athfatan yaa jiirotal alami, yaa uhailal juudi wal karomi.

Artinya: Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga, wahai ahli dermawan dan pemurah hati.

Asal-usul dan Makna Walisongo

Dikutip dari buku Wali Songo: 9 Sunan karya Sri Sumaryoto, secara bahasa, “Wali” berarti orang yang dekat dengan Allah atau kekasih Allah. Sedangkan “Songo” dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Maka Wali Songo merujuk pada sembilan wali Allah yang menyebarkan Islam di Jawa.

Namun, Walisongo bukan berarti hanya ada sembilan ulama sepanjang waktu, melainkan jumlah itu merujuk pada sembilan orang ulama dalam satu periode tertentu.

Sebelum kedatangan Walisongo, masyarakat Jawa telah mengenal ajaran Hindu dan Buddha selama berabad-abad. Proses penyebaran Islam tidak terjadi dalam semalam, melainkan secara bertahap melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, dan dakwah.

Para pedagang muslim dari Gujarat, Arab, Persia, dan Tiongkok telah membuka jalan bagi penyebaran Islam, tetapi Walisongo-lah yang kemudian memantapkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa.

Daftar dan Profil Singkat Wali Songo

Dirangkum dari buku Walisongo: Sebuah Biografi karya Asti Musman, berikut daftar dan profil singkat Walisongo:

1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Tempat berdakwah: Gresik, Jawa Timur
Wafat: 1419 M
Peran: Wali pertama yang menyebarkan Islam secara sistematis di Jawa. Mendekati masyarakat lewat pertanian, pengobatan, dan perdagangan.

2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Tempat berdakwah: Ampel Denta, Surabaya
Wafat: 1481 M
Peran: Mendirikan pesantren pertama di Jawa. Ayah dari Sunan Bonang dan mertua dari Raden Patah. Pemikir utama dalam menyusun strategi dakwah Walisongo.

3. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Tempat berdakwah: Tuban
Wafat: 1525 M
Peran: Putra Sunan Ampel. Menggunakan pendekatan seni budaya (gamelan, tembang) untuk menyebarkan Islam.

4. Sunan Drajat (Raden Qosim)

Tempat berdakwah: Lamongan
Wafat: Sekitar 1522 M
Peran: Mengajarkan pentingnya sosial kemasyarakatan dan menolong sesama. Dakwahnya sangat menekankan akhlak dan kesejahteraan.

5. Sunan Kudus (Ja’far Shodiq)

Tempat berdakwah: Kudus
Wafat: 1550 M
Peran: Pendiri Masjid Menara Kudus. Dakwah dengan pendekatan toleransi, bahkan bangunan masjid mengadopsi arsitektur Hindu-Buddha.

6. Sunan Kalijaga (Raden Said)

Tempat berdakwah: Demak, Kadilangu
Wafat: Sekitar 1570 M
Peran: Wali yang paling populer karena dakwahnya sangat akulturatif. Menggunakan wayang, tembang Jawa, dan seni rakyat.

7. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Tempat berdakwah: Gunung Muria, Jawa Tengah
Wafat: Sekitar abad ke-16
Peran: Putra Sunan Kalijaga. Mendekati masyarakat pedesaan. Mengajarkan Islam lewat budaya tani, kesenian, dan pendidikan akhlak.

8. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Tempat berdakwah: Cirebon, Banten
Wafat: 1570 M
Peran: Tokoh penting dalam pendirian Kesultanan Cirebon dan Banten. Dakwahnya meluas hingga pesisir utara Jawa Barat.

9. Sunan Giri (Raden Paku)

Tempat berdakwah: Gresik
Wafat: 1506 M
Peran: Ulama dan pendidik ulung. Mendirikan pesantren Giri Kedaton. Fatwa dan pendapatnya menjadi rujukan ulama di seluruh Nusantara.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hukum Memperingatinya



Jakarta

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir Rasulullah SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah. Bagaimana sejarah peringatan hari ini dan hukumnya secara syariat?

Peringatan ini dipahami sebagai bentuk kecintaan umat Islam kepada Rasulullah SAW dengan mengenang perjalanan hidup, perjuangan, serta ajaran beliau.


Sejarah Peringatan Maulid

Dikutip dari buku Ahlussunnah Wal Jamaah (Edisi Revisi 2022): Islam Wasathiyah, Tasamuh, Cinta Damai karya A. Fatih Syuhud, Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah mengadakan perayaan khusus untuk kelahirannya. Di masa para sahabat pun tidak ada yang merayakan hari kelahiran Rasulullah SAW.

Meski demikian, Rasulullah SAW menunjukkan rasa syukur atas kelahiran itu dengan berpuasa setiap hari Senin. Dalam hadits riwayat Muslim, beliau bersabda,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

Artinya: “Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu pula aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.” (HR Muslim)

Hadits ini sering dijadikan dasar bahwa memperingati hari kelahiran Nabi dalam bentuk ibadah atau syukur adalah sesuatu yang memiliki pijakan.

Beberapa catatan menyebutkan bahwa tradisi ini mulai dikenal luas pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya melalui pengaruh Khaizuran binti ‘Atha. Ia mendorong masyarakat untuk memperingati kelahiran Nabi di Madinah maupun Makkah. Sementara itu, Dinasti Fatimiyah di Mesir juga dikenal sebagai salah satu pihak yang secara resmi mengadakan perayaan Maulid.

Selain itu, Salahuddin al-Ayyubi (w. 1193 M) juga disebut berperan dalam mempopulerkan Maulid untuk membangkitkan semangat umat Islam melawan Perang Salib, dengan mengingat kembali perjuangan Rasulullah SAW.

Makna Maulid Nabi Muhammad SAW

Mengutip buku Kisah Maulid Nabi Muhammad SAW: Awal Muhammad Akhir Muhammad Jilid 1 yang ditulis Abu Nur Ahmad al-Khafi Anwar bin Shabri Shaleh Anwar, peringatan Maulid Nabi SAW bukanlah sekadar perayaan lahiriah, melainkan momentum untuk memperdalam kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Dengan membaca sholawat, tilawah Al-Qur’an, serta mendengarkan kisah perjalanan hidup beliau, umat Islam diingatkan untuk meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad SAW.

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١

Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Dengan demikian, inti dari peringatan Maulid adalah meneguhkan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta menghidupkan kembali semangat untuk meneladani beliau.

Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hukum Maulid

Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai hukum memperingati Maulid Nabi.

Pendapat yang Membolehkan (Bid’ah Hasanah)

Sebagian besar ulama, khususnya dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, membolehkan peringatan Maulid selama diisi dengan amalan yang baik. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi fil Fiqh wa ‘Ulumit Tafsir wal Hadits wal Ushul wa Sairil Funun menegaskan:

“Hukum asal pelaksanaan Maulid Nabi, yang mana perayaan ini adalah berkumpulnya manusia, membaca Al-Qur’an, membaca kisah-kisah Nabi Muhammad pada permulaan perintah nabi, serta kejadian-kejadian luar biasa saat beliau dilahirkan, kemudian mereka menikmati hidangan yang disajikan dan kembali pulang ke rumah masing-masing tanpa ada tambahan lainnya merupakan perbuatan baru (bid’ah) yang dinilai baik (hasanah). Orang yang merayakannya akan mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat pemuliaan terhadap keagungan nabi dan menunjukkan kebahagiaan atas kelahirannya yang mulia.”

Pendapat yang Menolak

Sebagian ulama lain menolak Maulid dengan alasan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun para sahabat. Mereka berpegang pada kaidah bahwa setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah yang sesat, sebagaimana hadits Nabi SAW:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Artinya: “Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Menurut kelompok ini, cinta kepada Nabi cukup diwujudkan dengan melaksanakan sunnah-sunnahnya, tanpa perlu membuat acara khusus yang tidak pernah dicontohkan.

Tradisi Maulid di Nusantara

Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi berkembang menjadi bagian dari tradisi keagamaan dan budaya. Setiap daerah memiliki cara khas, seperti Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta, Muludan di Cirebon, serta Baayun Maulid di Kalimantan Selatan. Tradisi-tradisi tersebut memadukan nilai keagamaan dengan budaya lokal, sehingga memperkuat ikatan sosial masyarakat muslim.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

4 Faktor yang Mendorong Berkembangnya Islam di Indonesia



Jakarta

Agama Islam masuk dan mulai berkembang di Indonesia sejak dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan India. Faktor yang mendorong berkembangnya Islam di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal.

Masuknya Islam ke Indonesia–yang pada saat itu Nusantara–lewat para pedagang tersebut mengacu pada teori Gujarat. Teori ini meyakini bahwa hubungan Indonesia dan India sudah lama terjalin. Hal ini turut dijelaskan Snouck Hurgronje dalam buku ‘L’Arabie et Les Indes Néerlandaises atau Revue de L’Histoire des Religions.

Wandi dalam buku Sejarah Peradaban Islam yang mengutip dari Candrasasmita mengatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai melalui enam cara berikut:


1. Perdagangan. Jalur perdagangan ini satu-satunya jalan yang paling memungkinkan, karena lalu lintas perdagangan sejak abad ke-7 hingga 16 M. Jalur ini dimanfaatkan karena sangat strategis sehingga proses islamisasi lebih mudah terlaksana.

2. Perkawinan. Para pedagang muslim memiliki status yang lebih baik jika dibandingkan dengan mayoritas penduduk pribumi, sehingga para pedagang atau bahkan saudagar muslim yang menetap di Indonesia akhirnya menikah dengan penduduk pribumi. Sebelum menikah, biasanya pribumi diislamkan terlebih dahulu.

3. Tasawuf. Para pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan agama bercampur dengan kebudayaan yang telah masyarakat kenal sebelumnya. Para mubaligh ini juga mahir dalam ilmu kebatinan dan pengobatan. Dengan cara dan jalur inilah Islam menyebar dengan cara menyentuh dan memberi kesan damai.

4. Pendidikan. Dalam penyebaran agama Islam juga dilakukan melalui jalur pendidikan yakni pesantren meskipun dalam arti yang lebih sederhana. Di pesantren atau pondok, para kiai dan guru mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Dari sinilah santri-santri yang telah menamatkan juga turut menyebarkan agama Islam.

5. Kesenian. Penyebaran dakwah agama Islam juga dilakukan melalui bidang kesenian. Pada saat itu kesenian sudah dikenal dekat oleh masyarakat setempat misalnya saja di Jawa, media utamanya adalah wayang, dalam hal ini Sunan Kalijaga adalah salah satu sunan yang ahli memainkan wayang.

Selanjutnya, dalam setiap lakon yang dimainkan ia menyelipkan kisah-kisah yang berkaitan dengan agama Islam. Cara ini menjadi sangat efektif karena para penonton tidak merasa terpaksa untuk mengikuti dakwah dan ajaran yang telah disebarkan melalui media wayang.

6. Politik dan Kekuasaan. Di beberapa kepulauan misalnya Maluku dan di Sulawesi, kebanyakan para penduduk masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu, sehingga peran dan partisipasi raja sangat membantu proses Islamisasi di daerah tersebut. Sehingga hal ini juga dimanfaatkan oleh para penyebar agama Islam.

Faktor yang Mendorong Berkembangnya Islam di Indonesia

Masih dalam buku yang sama, dijelaskan pula mengenai faktor yang mendorong perkembangan masyarakat Islam antara lain:

  1. Hubungan baik antara para saudagar pembawa ajaran Islam dengan pemerintah atau penguasa setempat
  2. Para saudagar tidak pernah mencampuri urusan politik
  3. Para saudagar muslim lebih dahulu mempraktekkan ajaran agama pada dirinya sendiri dalam berinteraksi dengan masyarakat setempat
  4. Tidak ada proses secara paksaan dalam dakwah dan untuk menerima agama Islam

Faktor-faktor tersebut lambat laun menarik kegemaran dari penduduk setempat untuk menganut agama Islam dengan suka hati.

Selain itu, faktor yang mendorong berkembangnya Islam di Indonesia adalah ajaran Islam yang sederhana dan mudah dimengerti, Islam tidak mengenal kasta, dan adanya akulturasi budaya. Hal ini dijelaskan dalam buku Sejarah Islam Nusantara karya Rizem Aizid.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Peta Masalah Dunia Pesantren (1)



Jakarta

Pada masanya, pesantren adalah tonggak penting dalam dunia pendidikan dan pembentukan karakter di Nusantara. Sekarang, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah pesantren mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan era modern tanpa kehilangan jati dirinya? Inilah titik mula dari upaya memahami dan mengatasi persoalan mendasar yang dihadapi pesantren hari ini.

Tema utama pesantren saat ini, dan sekaligus permasalahan utamanya, adalah bagaimana institusi pendidikan ini bertransformasi dari model tradisional menuju integrasi dengan sistem global modern. Untuk membahas urusan ini lebih lanjut, kita tampaknya perlu terlebih dulu menjernihkan cara pandang kita. Salah satu yang perlu dikritisi adalah pandangan bahwa pesantren dimarginalisasi secara sengaja oleh negara. Pemikiran seperti ini mengandung bias seolah-olah pesantren sudah “mengutangi” negara dan sekarang menagih pengakuan.

Faktanya, marginalisasi pesantren bukanlah sesuatu yang sepenuhnya disengaja. Hal ini lebih merupakan dampak dari proses transformasi peradaban menuju konstruksi modern. Kita tahu bahwa pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional yang kita pelihara hingga sekarang, tumbuh dari tradisi lokal yang khas Nusantara. Model seperti ini tidak ditemukan di belahan dunia Islam lainnya, seperti Timur Tengah, Persia, Asia Selatan, atau Afrika. Pesantren betul- betul merupakan produk budaya lokal Nusantara yang lahir dari struktur sosial, budaya, dan politik yang unik di wilayah ini.


Sebelum era kolonial, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada tersedia. Ia menjadi pusat pembelajaran bagi berbagai lapisan masyarakat, menjadi tempat tujuan bagi siapa saja untuk mendapatkan pendidikan akademik dan intelektual. Bahkan anak-anak bangsawan dan putra raja dari seluruh Nusantara menimba ilmu di pesantren.

Namun, ketika masyarakat tradisional Nusantara mulai bersentuhan dengan kekuatan kolonial Eropa, pesantren, bersama elemen tradisional lainnya, perlahan-lahan tergeser. Struktur sosial dan budaya tradisional digantikan oleh konstruksi modern yang diperkenalkan oleh kolonialisme. Bukan hanya pesantren yang mengalami hal ini, tetapi juga lembaga tradisional seperti keraton.

Proses ini membuat pesantren terlihat lambat dalam beradaptasi ke dalam sistem modern. Salah satu alasannya adalah resistensi pesantren terhadap apa pun yang berasal dari kekuatan kolonial. Pada masa penjajahan, pesantren-pesantren, bersama elemen lain dari masyarakat pribumi,

berperan aktif dalam melawan apa saja yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Gerakan seperti Taman Siswa di Yogyakarta, yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara, merupakan contoh nyata perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.

Keraton Yogyakarta juga mengambil inisiatif serupa dengan mengirim seorang santri bernama Muhammad Darwis ke Mekkah untuk belajar modernisasi pendidikan dari Syekh Khatib al- Minangkabawi. Sepulangnya, Darwis, yang kemudian dikenal sebagai Haji Ahmad Dahlan, mendirikan Muhammadiyah untuk mendorong modernisasi pendidikan dengan tetap mempertahankan konten lokal, sehingga tidak harus hanyut ke dalam konten yang disediakan oleh kolonial.
Memahami konteks kesejarahan ini membantu kita melihat problematika pesantren sebagai bagian dari proses transformasi yang kompleks. Langkah ke depan memerlukan upaya untuk menjembatani tradisi pesantren dengan tuntutan zaman modern tanpa kehilangan akar budaya lokalnya.

Transformasi Pesantren: Realitas dalam Konteks Globalisasi

Salah satu ciri khas pesantren sejak masa kolonial adalah etos perlawanan terhadap sistem modern yang diperkenalkan oleh kekuatan kolonial. Meskipun perlawanan ini berlangsung lama, pada akhirnya, pesantren tidak mampu sepenuhnya menghindari dampak dominasi kekuasaan kolonial, yang memiliki sumber daya besar.

Sekolah modern seperti Muhammadiyah, misalnya, awalnya hanya mengadopsi struktur formal pendidikan modern dengan tetap mempertahankan konten lokal yang dirancang oleh para aktivisnya. Namun, seiring waktu, sistem pendidikan Muhammadiyah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang bercorak modern sepenuhnya. Di sisi lain, pesantren tradisional lebih memilih untuk sepenuhnya menolak sistem pendidikan kolonial. Pada masa kakek saya, misalnya, bersekolah di sekolah Belanda adalah sesuatu yang aib. Akibatnya, kalangan pesantren tradisional tertinggal dalam pendidikan formal.

Hingga 1945, anak-anak pesantren tradisional hampir tidak ada yang bersekolah. Sementara itu, dari kalangan lain, tokoh seperti Sumitro Djojohadikusumo-ayah Presiden Prabowo-sudah meraih gelar doktor ekonomi dari universitas di Amerika. Kondisi ini menciptakan kesenjangan besar dalam pendidikan formal antara pesantren dan kelompok masyarakat lainnya.

Baru pada tahun 1960-an, anak-anak dari pesantren tradisional mulai mengenyam pendidikan formal dengan susah payah. Namun, mereka tetap menghadapi kendala, termasuk warisan mentalitas yang sulit sepenuhnya beradaptasi dengan sistem modern. Kiai Ali Maksum,

misalnya, seorang intelektual pesantren terkemuka, mengaku tidak kerasan mengajar di IAIN, semata-mata karena setiap hari harus berangkat ke kampus mengenakan celana panjang.

Kalangan pesantren baru mulai menghasilkan lulusan sarjana pada pertengahan tahun 1970-an- sarjana lulusan IAIN. Sebelumnya, hanya sedikit sekali orang NU yang mencapai gelar sarjana, sementara kalangan modernis sudah lebih dahulu menempati ruang akademik dan intelektual.

Ini beberapa hal yang menurut saya perlu menjadi bagian dari perspektif untuk memahami masalah pesantren dengan lebih jernih. Kita harus berhati-hati agar tidak salah arah, karena jika kita tidak jernih dalam merumuskan masalah dan salah arah ini terus berlanjut, penyelesaiannya akan semakin jauh dari akar masalah. Hanya karena kita bangga terhadap pesantren, tidak berarti bahwa pesantren harus otomatis dianggap sebagai solusi alternatif dalam segala hal. Dunia sudah berubah, dan kita berada di era globalisasi. Tidak ada pilihan lain selain mengintegrasikan diri ke dalam sistem global. Kita melihat Arab Saudi melakukannya. Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyesuaikan diri dengan sistem global. Pesantren pun perlu memikirkan posisinya dalam konteks global ini.

Transformasi dari model tradisional menuju integrasi ke dalam sistem global yang modern inilah akar dari banyak keluhan yang kita dengar, yang kemudian melahirkan tuntutan-tuntutan afirmasi dan pengakuan. Kita mendengar keluhan bahwa lulusan pesantren sulit diterima di perguruan tinggi negeri. Lalu muncul Undang-Undang Pesantren, sebuah produk yang dipicu oleh desakan pesantren untuk meminta afirmasi, menuntut pengakuan, dan menagih janji pemerintah. Sampai-sampai ada kebijakan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran tanpa tes bagi hafiz Quran. Ini jelas tidak relevan, dan hal-hal semacam ini lahir dari cara berpikir yang tidak menyentuh akar masalah-pada kekeliruan membaca peta masalah.

Persoalannya bukan pada afirmasi, melainkan pada bagaimana sistem tradisional dapat diintegrasikan ke dalam sistem modern. Suka atau tidak, kita harus memikirkan bagaimana pesantren bisa menyelaraskan praktik tradisionalnya dengan tuntutan sistem pendidikan modern. Ini mencakup tidak hanya sistem pendidikan nasional, tetapi juga sistem global yang semakin terstandar dengan ukuran-ukuran internasional, seperti World University Rankings (WUR) dan lain sebagainya. Globalisasi, bagaimanapun, telah membawa sistem pendidikan ke arah yang mengutamakan standar global, bukan sekadar relevansi lokal.

Transformasi pesantren ke dalam sistem modern tentu membawa konsekuensi logis: ada hal-hal yang bisa didapatkan sebagai insentif integrasi, namun ada juga yang harus dilepaskan atau direlakan hilang. Tantangan utamanya adalah menentukan mana yang harus dipertahankan, dan bagaimana pesantren bisa berintegrasi dengan sistem modern tanpa kehilangan jati diri dan memperoleh manfaat darinya.

Masalah utama pesantren hari ini adalah bagaimana proses transformasi itu dilakukan. Ada masalah-masalah sampingan, misalnya represi politik di masa Orde Baru. Meski itu pernah terjadi, masalah utamanya tetap pada integrasi sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem global. Ini memerlukan visi yang jelas dan pendekatan yang strategis, agar pesantren dapat terus berkembang tanpa kehilangan identitasnya dalam menjawab tantangan zaman.

KH. Yahya Cholil Staquf
Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Operasional Haji 2024 Selesai, Komisi VIII DPR RI Puji Layanan Kemenag



Jakarta

Penyelenggaraan ibadah haji 1445H/2024 M dinilai sukses terlaksana. Kementerian Agama (Kemenag) mendapat apresiasi dari banyak pihak, termasuk dari Komisi VIII DPR RI.

MY Esti Wijayanti, anggota Komisi VIII DPR RI melemparkan tanggapan positif atas penyelenggaraan ibadah haji 2024.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menilai layanan haji yang diberikan Kemenag sangat luar biasa. Apresiasi ini disampaikan Esti saat menghadiri Tasyakuran Kesuksesan Penyelenggaraan Haji 2024 di Yogyakarta.


“Pelayanan penyelenggaraan haji yang disuguhkan Kemenag sudah sangat luar biasa,” tutur Esti Wijayanti seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima detikHikmah, Selasa (23/7/2024)

Esti menyampaikan apresiasi ini setelah mendengar kisah perjalanan haji para jemaah asal Indonesia. Dari kesaksian para jemaah ini, Esti menyimpulkan bahwa penyelenggaraan operasional haji 1445 H /2024 M berjalan dengan baik.

Esti juga turut memuji hidangan yang disajikan untuk jemaah Indonesia yakni hidangan bercita rasa Nusantara. “Saya juga mendengar bahwa konsumsi untuk jemaah sesuai citarasa Indonesia,” lanjut Esti.

Dalam kesempatan ini hadir pula Kepala Kanwil Kemenag Daerah Istimewa Yogyakarta Ahmad Bahiej serta Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah Kanwil Kemenag DIY Aidi Johansyah.

Senada dengan Esti, apresiasi dan pujian untuk Kemenag juga disampaikan Kakanwil Ahmad Bahiej. Ia mengungkapkan terimakasih kepada Menteri Agama dan segenap jajaran.

“Alhamdulillah, terimakasih Gus Men Yaqut Cholil Qoumas dan segenap jajaran khususnya para petugas haji Indonesia. Penyelenggaraan haji tahun ini berjalan sangat baik, sukses dan lancar. Semoga seluruh jemaah haji Indonesia menggapai kemabruran,” kata Ahmad Bahiej.

Operasional pemulangan jemaah haji ke Tanah Air telah berakhir pada Senin, 22 Juli 2024. Pada musim haji tahun ini, tercatat jemaah haji reguler yang wafat berjumlah 461 orang.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Doa Upacara 17 Agustus dari Kemenag RI 2024, Berisi Permohonan dan Rasa Syukur


Jakarta

Doa upacara 17 Agustus dari Kemenag RI bisa dijadikan referensi muslim lainnya. Umumnya, pembacaan doa termasuk ke dalam susunan upacara bendera HUT RI.

Isi dari doa upacara 17 Agustus biasanya berupa ungkapan syukur serta permohonan kesejahteraan bagi seluruh bangsa dan negara. Doa juga digunakan sebagai momen refleksi dan penghormatan.

Doa Upacara 17 Agustus 2024 dari Kemenag RI

Melansir dari laman Kementerian Agama, berikut doa upacara 17 Agustus 2024 yang bisa diamalkan oleh muslim.


بسمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ حَمْدَ الشَّاكِرِينَ حَمْدَ النَّاعِمِينَ حَمْدًا يُوافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِيءُ مَزِيدَهُ يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لجلال وجهك الْكَرِيمِ وَعَظِيمٍ سُلْطَانِكَ اللهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينِ

Ya Allah Tuhan Yang Maha Rahman Keharibaan-Mu kami melangitkan syukur, doa dan harapan Pagi ini kami semua hadir mengikuti HUT Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke tujuh puluh sembilan Semoga Engkau senantiasa karuniakan Rahmat dan keberkahan Rakyat dan pemimpin dalam kesatuan batin dan saling mendoakan

Ya Allah Tuhan Yang Maha Mengilhami Alangkah indah nan gemah ripah negeri yang kami diami Di bulan Agustus ini kemerdekaannya ke 79 kami peringati Atas Rahmat, berkah karunia-Mu, mampukan kami menyukuri Pancarkan ma’unah-Mu agar kami lanjut membangun negeri Mengafirmasi semua ilmu pengalaman dan potensi yang dimiliki

Ya Allah, Tuhan Yang semua doa dan harapan bertumpu Muliakan para pahlawan dan tokoh bangsa kami kini dan terdahulu Semoga dalam Ridha-Mu, rakyat dan pemimpin kami bertemu Berikhtiar sungguh, membangun bangsa, bahu membahu Menyongsong Nusantara Baru Indonesia Maju

Ya Allah, Tuhan Pelimpah Anugerah

Hanya kepada-Mu kami bertawakkal, pasrah dan berserah Dengan wajah tertunduk dan tangan tertengadah Sertailah bangsa kami dalam melangkah dan menentukan arah Semoga semua cita dan ikhtiar terjelma dan terukir indah di Tangan-Mu semua yang sulit terwujud menjadi mudah

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Kumpulan Doa Upacara 17 Agustus 2024 Versi Lain

Berikut beberapa doa upacara 17 Agustus versi lainnya yang dirangkum dari arsip detikHikmah.

1. Doa Upacara 17 Agustus Versi Pertama

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih,
Kami, para pemimpin dan rakyat bangsa ini, pada pagi hari ini, merendahkan diri sambil mengangkat tangan, mempersembahkan pujian dan rasa syukur kepada-Mu.

Kami bersyukur atas 79 tahun kemerdekaan yang telah Engkau berikan kepada bangsa dan negara kami, serta segala karunia yang Engkau curahkan di Tanah Air kami.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang,
Berikanlah kami petunjuk agar perayaan kemerdekaan ini dapat memperkuat persatuan dan kesatuan kami. Karuniakan kami kejernihan hati dan pikiran untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai panduan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah,
Negara kami memiliki cita-cita yang tinggi, permudahlah kami dalam mencapainya.
Lindungilah tanah air kami dari segala bencana dan marabahaya.
Perkuatlah rasa cinta kami terhadap Tanah Air, kembangkan toleransi, solidaritas, dan gotong royong di antara kami, agar cita-cita Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh dapat segera tercapai.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa,
Jangan biarkan kami merasa sendiri dan tak berdaya.
Berikan kami petunjuk dan kekuatan untuk membawa negeri ini menuju kemajuan.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun,
Ampunilah segala dosa kami,
Dosa orangtua dan guru-guru kami.
Ampuni juga para tokoh dan pemimpin bangsa kami.
Terimalah amal dan perjuangan para syuhada bangsa kami,
Yang telah mengorbankan jiwa, raga, darah, dan air mata demi kemerdekaan negara ini,
Tempatkan mereka di surga-Mu dan muliakan posisi mereka di sisi-Mu.

Ya Allah,
Kami selalu berharap atas rahmat-Mu yang melimpah,
Kami selalu memohon keampunan-Mu yang luas,
Semoga Engkau mengabulkan doa-doa kami.

Aamiin

2. Doa Upacara 17 Agustus Versi Kedua

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuat, kami memuji-Mu dengan segala hormat dan rasa syukur atas segala nikmat dan karunia yang telah Engkau berikan. Kami bersyukur atas nikmat kemerdekaan yang ke-79 untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga rahmat, bantuan, dan berkah-Mu selalu menyertai kami, bangsa Indonesia.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Abadi, bangkitkanlah semangat perjuangan di hati setiap anak bangsa. Agar kami semua bersemangat untuk membangun dan melayani tanah air, menyumbangkan karya dan mencetak prestasi, serta menggunakan seluruh kemampuan kami untuk memajukan negara.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Hidup, nyalakanlah api semangat juang yang tidak pernah padam dalam diri kami. Berikanlah kami kemampuan dan pengetahuan yang memadai. Tanamkan kesadaran untuk selalu menghargai prinsip-prinsip kehidupan yang kami anut. Semoga kami selalu dapat menikmati udara kebebasan ini.

3. Doa Upacara 17 Agustus Versi Ketiga

Bismillah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya.

Ya Allah, Tuhan kami,
Wahai Sang Keindahan yang menciptakan segala yang indah,
Wahai Sang Pencipta yang memberikan segala karunia,
Wahai Sang Pemurah yang telah memberi kami negeri yang sangat indah,
dan bangsa yang mencintai keindahan.

Ya Allah yang telah memberikan kami kemerdekaan yang indah,
Demi nama-nama-Mu yang Maha Indah,
Demi sifat-sifat-Mu yang Maha Suci,
Demi ciptaan-ciptaan-Mu yang penuh keindahan,

Karuniakanlah kepada kami, para pemimpin kami, dan bangsa kami, kepekaan untuk menangkap dan mensyukuri keindahan karunia-Mu
Keindahan dari merdeka dan kemerdekaan,
Keindahan dalam hidup dan kehidupan,
Keindahan dalam kemanusiaan,
Keindahan dalam bekerja dan pekerjaan,
Keindahan dalam kesederhanaan,
Keindahan dalam kasih sayang,
Keindahan dalam kebijaksanaan dan keadilan,
Keindahan dalam rasa malu dan kesadaran diri,
Keindahan dalam hak dan kerendahan hati,
Keindahan dalam tanggung jawab dan harga diri.

Karuniakanlah kepada kami, para pemimpin kami, dan bangsa kami,
Kemampuan untuk mensyukuri nikmat karunia-Mu dengan sikap-sikap indah yang Engkau ridhai.

Selamatkanlah jiwa kami dari noda-noda yang mencoreng martabat kami,
Pimpinlah kami, para pemimpin kami, dan bangsa kami
di jalan yang indah menuju cita-cita kemerdekaan yang indah.

Kuatkanlah kami secara fisik dan mental, untuk melawan godaan-godaan keindahan palsu,
yang menjauhkan kami dari keindahan sejati kemanusiaan dan kemerdekaan kami.

Bebaskanlah kami dari segala bentuk penjajahan, termasuk dari diri kami sendiri,
Kokohkanlah jiwa dan raga kami untuk menjaga keindahan negeri kami.

Ya Nuur, Wahai Cahaya atas segala cahaya,
Biarkan cahayaMu memancar pada pandangan, pendengaran, perkataan, hati, pikiran kami,
dan di sekeliling kami-atas, bawah, kanan, kiri, dan dalam diri kami.

Pancarkanlah cahaya-Mu, ya Maha Cahaya,
Agar kami dapat memahami dan menghargai keindahan ciptaan-Mu,
Dapat menghindari jalan sesat setan,
Dan mengikuti keindahan dan kebenaran, serta menghindari kebatilan dan kebohongan.

Pancarkan cahaya-Mu, ya Maha Cahaya,
Hilangkan segala kegelapan dari batin kami.

Ya Allah, kami berdoa dengan menyebut nama-nama-Mu yang indah,
sebagaimana yang Engkau perintahkan,
Maka kabulkanlah doa kami, sebagaimana yang Engkau janjikan.

Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

4. Doa Upacara 17 Agustus Versi Keempat

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ * حَمْدًا شَاكِرِينَ حَمْدًا يُوَافِي نِعْمَهُ وَيُكَافِي مَزِيْدَهُ * * يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الْكَرِيمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Tunggal,
Kami, seluruh bangsa Indonesia, dengan rendah hati mengucap syukur kepada-Mu. Engkau adalah Pencipta dari seluruh alam semesta, Penguasa segala yang ada, dan Penentu dari segala sesuatu. Karena itu, kami menyerahkan diri hanya kepada-Mu dan meminta pertolongan-Mu.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang,
Berikan rahmat dan karunia-Mu kepada kami, bangsa Indonesia, yang hari ini kembali memperingati hari kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia. Semoga kasih sayang-Mu tercurah kepada kami sehingga kami dapat mengisi kemerdekaan ini menuju negeri yang adil dan makmur di bawah Ridho-Mu.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemersatu,
Buatlah peringatan upacara proklamasi kemerdekaan ini menjadi momen yang memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa kami. Lindungi bangsa kami dari prasangka buruk, pertikaian, dan perpecahan.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana,
Masih panjang perjalanan perjuangan bangsa kami dan sejarah kami, oleh karena itu lindungilah kami dari fitnah dan marabahaya. Kuatkan tekad kami dalam membangun negara dan bangsa agar kami menjadi bangsa yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, adil, makmur, dan sejahtera.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun,
Ampunilah dosa-dosa kami, dosa orang tua kami, para pemimpin dan pejuang kami. Terimalah amal dan perjuangan mereka, karena Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Kabulkanlah doa dan permohonan kami, agar kami termasuk dalam golongan hamba-hamba-Mu yang beruntung.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

5. Doa Upacara 17 Agustus Versi Kelima

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * حَمْدًا شَاكِرِينَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِي مَزِيْدَهُ * سُلطانك يَا رَبُّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلالِ وَجْهِكَ الْكَرِيمِ وَعَظيم . اللَّهُمْ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
Dengan kerendahan hati, kami seluruh bangsa Indonesia bersujud dan mengucapkan syukur kepada-Mu. Engkau adalah Sang Pencipta alam semesta ini, Pengatur segala yang ada di dalamnya, dan Engkau yang telah membebaskan kami dari penjajahan serta menganugerahkan kemerdekaan kepada negeri ini. Oleh karena itu, hanya kepada-Mu kami berserah diri dan memohon pertolongan.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang,
Atas segala rahmat dan karunia-Mu, pada hari ini kami bangsa Indonesia kembali memperingati detik-detik proklamasi kemerdekaan yang ke-68. Dengan semangat kemerdekaan, berikanlah kami kekuatan untuk mengisi kemerdekaan ini, membangun bangsa dan negara demi mewujudkan negeri yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila di bawah naungan Ridho-Mu.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana,
Perjuangan bangsa kami belum selesai, perjalanan sejarah kami masih panjang. Maka, jauhkanlah bangsa dan negara ini dari fitnah dan bahaya, hindarkan kami dari perpecahan dan permusuhan. Teguhkan tekad kami untuk membangun negara dan bangsa menjadi bangsa yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, makmur, adil, dan sejahtera, Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemersatu,
Jadikanlah detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini sebagai momentum untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa kami, jauhkan kami dari perselisihan dan perpecahan. Limpahkanlah karunia-Mu, baik yang datang dari langit maupun dari bumi.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun dan Pengabul Doa,
Ampunilah dosa-dosa kami, dosa ibu bapak kami, guru-guru kami, para pemimpin kami, dan pendahulu kami. Terimalah amal dan perjuangan kami. Kabulkanlah permohonan dan doa kami, Engkau Maha Pengampun dan Pengabul Doa.

الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ* افي ربنا آتنا سُبْحَانَ رَبَّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ * وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ * وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

6. Doa Upacara 17 Agustus Versi Keenam

حَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدَ الشَّاكِرِيْنَ حَمْدَ النَّاعِمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَ يُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ
يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍوَعَلَى آَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ،

Ya Allah Tuhan Yang Maha Mulia
Kami semua menyanjung-Mu dengan segala puja
Sebagai ungkapan syukur atas amat agungnya karunia
Nikmat kemerdekaan ke 79 Negara Kesatuan Republik Indonesia
Semoga Rahmat dan berkah-Mu abadi menyertai kami semua

Ya Allah Tuhan Yang Maha Mengilhami
Bangkitkanlah semangat juang seluruh anak negeri
Untuk membangun dan mengabdi ibu pertiwi
Mempersembahkan karya dan mengukir prestasi
Mengerahkan daya dan kemampuan membangun negeri

Ya Allah Tuhan Yang Maha Menyatukan
Hindarkan kami dari permusuhan dan perpecahan
Jauhkan kami dari saling menghina dan merendahkan
Masukkan kami dalam pemeliharaan-Mu yang tak terlenakan
Sehingga terpelihara persatuan dan persaudaraan

Ya Allah, Tuhan Penebar Cinta
Satukanlah hati dan pikiran seluruh anak bangsa ini dengan ikatan cinta
Cinta para pemimpin kepada segenap rakyatnya
Cinta segenap rakyat kepada para pemimpinnya
Cinta sesama saudara sebangsa
Cinta sesama umat manusia

Ya Allah Tuhan Yang Maha Mengampuni
Ampunilah dosa dan kesalahan kami,
Ampuni pula orang tua dan guru kami,
Ampunilah seluruh tokoh bangsa dan pemimpin kami
Ampuni dan muliakanlah para pahlawan kami

Ya Allah Tuhan tempat semua permohonan tertuju
Hanya kepada-Mu semua doa dan cita bertumpu
Semoga dalam Ridha-Mu pemimpin dan rakyat bertemu
Berikhtiar membangun bangsa bahu membahu
Semoga terus melaju untuk Indonesia Maju

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Itulah doa upacara 17 Agustus dari Kemenag RI dan beberapa versi lainnya yang bisa dijadikan referensi. Semoga bermanfaat.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com