Tag Archives: pengajian

Sederet Alasan MUI Keluarkan Fatwa Sound Horeg Haram



Jakarta

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan sound horeg. Fatwa tersebut dikeluarkan bukan tanpa alasan.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim KH Sholihin Hasan mengungkap MUI Jatim menerima surat permohonan fatwa dari masyarakat soal sound horeg yang dinilai banyak mudaratnya. Surat tersebut masuk pada 3 Juli 2025.

“Bahwa kami menerima laporan dan aduan dari masyarakat soal sound horeg yang banyak mudaratnya di tengah masyarakat,” kata Sholihin saat dikonfirmasi, Selasa (15/7/2025), dilansir detikJatim.


Masyarakat, kata Sholihin, minta MUI Jatim mengeluarkan fatwa terkait sound horeg. Mereka juga minta MUI Jatim bisa memberikan rekomendasi pemerintah soal pembatasan sound horeg.

“Bahwa telah terjadi pro dan kontra perihal keberadaan sound horeg di Jawa Timur dengan berbagai argumentasi masing-masing, bahkan perbedaan itu berpotensi menjurus pada konflik horisontal yang sangat merugikan,” jelasnya.

Tak hanya aduan dari masyarakat, MUI Jatim juga mendapat informasi adanya petisi penolakan sound horeg di Jawa Timur. Petisi tersebut telah ditandatangani 828 orang sejak 3 Juli lalu.

“Bahwa telah ada kelompok masyarakat yang menggalang petisi penolakan sound horeg di Jawa Timur yang ditandatangani oleh 828 orang per tanggal 3 Juli 2025. Oleh sebab itu, Komisi Fatwa MUI Jatim perlu menetapkan fatwa tentang penggunaan sound horeg,” tambahnya.

Sholihin menjelaskan, MUI Jatim menggandeng sejumlah pihak dalam menetapkan fatwa soal sound horeg. Di antaranya ahli kesehatan telinga, hidung, tenggorokan (THT), Pemprov Jatim, dan ahli desibel terkait volume suara. Semuanya sepakat sound horeg banyak mudaratnya.

Fatwa soal sound horeg tertuang dalam Fatwa MUI Jawa Timur Nomor: 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. Fatwa tersebut ditetapkan pada 12 Juli 2025.

Dilihat dari salinan fatwa, sound horeg hukumnya haram apabila digunakan dengan intensitas suara melebihi batas wajar sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan atau merusak fasilitas umum dan milik orang lain. Termasuk apabila diiringi joget dengan membuka aurat dan kemungkaran lain baik di satu lokasi maupun keliling pemukiman warga.

Selain itu, adu sound dihukumi haram mutlak karena menimbulkan mudarat atau kebisingan melebihi ambang batas dan berpotensi tabdzir dan idha’atul mal (menyia-nyiakan harta).

Sementara itu, sound horeg masih diperbolehkan asal dalam intensitas suara wajar untuk berbagai kegiatan positif seperti resepsi pernikahan, pengajian, sholawatan, dan lain-lain, serta bebas dari hal-hal yang diharamkan.

Selengkapnya baca di sini.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Tidak Melenceng dari Ajaran Islam



Jakarta

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi telah melakukan klarifikasi terkait kontroversi pengajian yang dipimpin oleh wanita berinisial PY alias Umi Cinta, yang sempat viral dengan sebutan ‘masuk surga bayar sejuta’.

Setelah mengadakan pertemuan langsung dengan Umi Cinta, MUI Kota Bekasi menegaskan bahwa pengajian tersebut tidak ditemukan indikasi penyimpangan dari ajaran Islam.

“Bahwa pengajian tersebut tidak ada indikasi melenceng dari ajaran Islam. Saya ulangi, pengajian tersebut tidak ada indikasi melenceng dari ajaran Islam,” kata Ketua MUI Kota Bekasi Saifuddin Siroj kepada wartawan, Kamis (14/8/2025) seperti dilansir dari detikNews.


Penghentian Sementara dan Pemindahan Lokasi

Saifuddin menjelaskan bahwa kegiatan pengajian yang biasanya dilakukan di rumah Umi Cinta untuk sementara waktu dihentikan. Hal ini dilakukan agar pihak penyelenggara dapat mengurus perizinan resmi dari warga setempat.

Pengajian tersebut rencananya akan dipindahkan ke Masjid Al-Muhajirin, Cimuning.

“Untuk sementara, pengajian yang dilaksanakan di rumah Ibu Putri ini dihentikan untuk selanjutnya meminta izin warga untuk mengurus perizinan terhadap warga,” tegas Saifuddin.

MUI Kota Bekasi bersama pihak kepolisian dan Pemerintah Kota Bekasi juga akan terus melakukan pendampingan selama proses ini berlangsung.

Alasan Warga Menolak Pengajian

Meski MUI tidak menemukan penyimpangan ajaran Islam, sebagian warga setempat tetap menyampaikan keberatan terhadap kegiatan tersebut. Saifuddin Siroj, mengungkap beberapa alasan penolakan yang berkembang di masyarakat, di antaranya:

1. Kegiatan Pengajian Tertutup

“Lagi kita selidiki fakta-fakta yang muncul di lapangan. Terutama ada timbul keresahan dari masyarakat sekitar masalah pelaksanaan pengajian yang agak aneh menurut mereka. Satu, mereka melaksanakan pengajian secara tertutup,” kata Saifuddin.

2. Jemaah Laki-laki dan Perempuan Digabung

Kegiatan yang mempertemukan jamaah laki-laki dan perempuan dalam satu waktu juga dianggap menimbulkan pertanyaan di kalangan warga.

3. Isu Bayar Rp 1 Juta untuk Masuk Surga

Dugaan adanya pungutan Rp 1 juta untuk masuk surga masih dalam proses pendalaman oleh MUI.

4. Keberadaan Anjing di Lokasi

“Kemudian, katanya ada binatang anjing juga. Kita crosscheck ke lapangan insyaallah,” sebut Saifuddin.

Langkah MUI Jika Terbukti Melenceng

Saifuddin menegaskan bahwa jika nantinya ditemukan ajaran yang melenceng dari pokok-pokok ajaran Islam, MUI akan mengambil langkah tegas dengan merekomendasikan penutupan kegiatan tersebut.

“Kalau memang tidak terbukti yang disampaikan masyarakat, kita cari jalan keluar, antara lain mereka harus menempuh surat izin pendirian majelis taklim terlebih dahulu,” bebernya.

Selama proses pengurusan izin, kegiatan pengajian harus dihentikan sementara.

“Selama proses itu, mereka harus nonaktif dulu pengajiannya. Tapi kalau sudah masuk kategori pelanggaran pokok-pokok ajaran Islam, langsung kita rekomendasi agar ditutup,” lanjutnya.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

‘Masuk Surga Bayar Rp 1 Juta’, Umi Cinta Dipanggil MUI Hari Ini


Jakarta

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi turun tangan menelusuri dugaan ajaran sesat yang dilakukan oleh seorang wanita berinisial PY yang disapa Umi Cinta di Kelurahan Cikamuning, Kecamatan Mustikajaya. Kegiatan pengajian Umi Cinta menjadi sorotan setelah beredar kabar iming-iming masuk surga dengan membayar infak sebesar Rp 1 juta.

Ketua MUI Kota Bekasi, Saifuddin Siroj, membenarkan pihaknya telah melakukan penyelidikan awal. Menurutnya, MUI menerima laporan dari warga yang merasa resah dengan kegiatan tersebut.

Pihaknya telah mengirimkan panggilan kepada Umi Cinta pada Rabu (13/8/2025), namun ia mangkir. Oleh karena itu, MUI menjadwalkan ulang pemanggilan pada hari ini, Kamis (14/8).


“Besok langsung ke yang bersangkutan (Umi Cinta). Baru saksi dari masyarakat setempat,” kata Saifuddin saat dihubungi, Rabu (13/8/2025), dikutip dari detikNews.

Kegiatan Pengajian Dilakukan Tertutup dan Belum Berizin

Saifuddin memaparkan, ada beberapa kejanggalan yang membuat warga resah. Pertama, pengajian digelar secara tertutup. Kedua, peserta laki-laki dan perempuan dicampur dalam satu forum.

Dan yang paling mengkhawatirkan, adanya dugaan iming-iming masuk surga dengan membayar infak Rp 1 juta.

“Lagi kita selidiki fakta-fakta yang muncul di lapangan. Terutama ada timbul keresahan dari masyarakat sekitar masalah pelaksanaan pengajian yang agak aneh menurut mereka,” ujar Saifuddin.

Selain itu, ia juga menyebutkan adanya laporan mengenai keberadaan hewan anjing di lokasi pengajian. Pihaknya akan meng-crosscheck semua informasi ini langsung di lapangan.

Kegiatan Umi Cinta sendiri, menurut warga, telah berlangsung selama beberapa tahun setiap akhir pekan dan memiliki puluhan pengikut. Namun, pengajian ini disebut-sebut belum mengantongi izin dari pihak RT dan RW setempat.

MUI Akan Tutup Jika Ada Penyimpangan

Saifuddin menegaskan, MUI akan mengambil tindakan tegas jika menemukan adanya ajaran yang melenceng dari pokok-pokok ajaran Islam. Ia tak segan merekomendasikan agar kegiatan tersebut ditutup.

“Selama proses itu, mereka harus nonaktif dulu pengajiannya. Tapi kalau sudah masuk kategori pelanggaran pokok-pokok ajaran Islam, langsung kita rekomendasi agar ditutup,” tegasnya.

Namun, jika tidak terbukti ada penyimpangan, MUI akan memberikan solusi agar kelompok pengajian ini mengurus izin pendirian majelis taklim terlebih dahulu. Selama proses perizinan, kegiatan pengajian tersebut harus dihentikan sementara.

Diketahui, keresahan warga ini terekam dalam sebuah video amatir yang viral di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat sejumlah warga membubarkan kegiatan pengajian dan menyoraki para pengikut Umi Cinta yang keluar dari rumahnya.

Dugaan iming-iming masuk surga dengan bayaran infak Rp 1 juta ini mencuat setelah salah satu mantan pengikut Umi Cinta menceritakannya kepada warga.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Arti, Tanggal dan Hari Libur


Jakarta

Sebentar lagi umat Islam akan menyambut Maulid Nabi 2025. Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW itu akan jatuh pada pekan pertama September mendatang.

Perayaan Maulid Nabi bertepatan dengan bulan Rabiul Awal tepatnya pada tanggal 12. Berikut arti, jadwal tahun ini, dan ketetapan liburnya.


Arti Maulid Nabi Muhammad dan Sejarahnya

Maulid Nabi adalah tradisi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat muslim yang menurut sejumlah sumber dilakukan pada era Shalahuddin Al-Ayyubi.

Ada banyak versi terkait awal mula perayaan Maulid Nabi. Menurut buku Ahlussunnah Wal Jamaah karya A. Fatih Syuhud, Maulid Nabi dirayakan sejak berkuasanya Dinasti Fatimiyah di Mesir pada abad ke-4 Hijriah atau abad ke-12 Masehi. Ini merupakan pendapat Al-Muqrizi dalam Al-Khitat.

Berbeda dengan itu, Jalaluddin As-Suyuthi berpendapat orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi adalah Raja Muzhaffar Abu Sa’id Kukburi. Muzhaffar adalah penguasa kawasan Irbil pada era Shalahuddin Al-Ayyubi Pendapat ini senada dengan paparan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Nihayah. Sementara pendapat lain menyebut Shalahuddin Al-Ayyubilah orang yang pertama kali memperingati Maulid Nabi secara resmi.

Perayaan Maulid Nabi umumnya berisi kegiatan-kegiatan spiritual seperti pembacaan Al-Qur’an, pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, sholawat, zikir, dan pengajian. Selain itu, ada juga tradisi Maulid Nabi yang sarat akan nilai-nilai sosial-keagamaan.

Tanggal Maulid Nabi 2025

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 1 Rabiul Awal 1447 H akan jatuh pada Senin, 25 Agustus 2025 dan 12 Rabiul Awal 1447 H atau Maulid Nabi 2025 jatuh pada Jumat, 5 September 2025.

Libur Maulid Nabi: Jumat, 5 September 2025

Tanggal peringatan Maulid Nabi 2025 ditetapkan sebagai hari libur nasional. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 933/2025, 1/2025, dan 3/2025. SKB terbaru itu mengubah keputusan sebelumnya tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025.

Berdasarkan SKB tersebut, libur Maulid Nabi 2025 jatuh pada Jumat, 5 September 2025. Artinya, perayaan ini akan disambut libur akhir pekan. Masyarakat akan mendapat long weekend Maulid Nabi 2025 pada tanggal-tanggal berikut:

  • Jumat, 5 September 2025: Libur nasional Maulid Nabi Muhammad SAW
  • Sabtu, 6 September 2025: Libur akhir pekan
  • Minggu, 7 September 2025: Libur akhir pekan

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Tiga Klaster Utama Integrasi Pesantren (2)



Jakarta

Dalam membicarakan integrasi pesantren ke dalam sistem, saya pikir kita harus melihat secara akurat konfigurasi dari problematika yang dihadapi pesantren. Ada tiga kluster utama dalam konfigurasi ini.

Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan. Klaster ini mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan praktik pendidikan untuk mencapai tujuan-tujuan pesantren. Di dalamnya ada isu infrastruktur dan fasilitas pendidikan, kurikulum, pengasuhan (atau dalam istilah teknisnya, paedagogi), metode pendidikan, serta tata kelola lembaga. Semua ini merupakan elemen penting yang menentukan bagaimana pesantren berfungsi sebagai institusi pendidikan.

Kedua, pesantren sebagai pilar komunitas. Dalam konteks ini, pesantren bukan hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat kehidupan masyarakat. Pesantren sering kali menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas sosial, termasuk kegiatan keagamaan, ekonomi, hingga budaya.
Ketiga, pesantren dalam kaitannya dengan organisasi NU. Hal ini tidak bisa diabaikan, karena bagaimanapun juga NU sendiri didirikan sebagai ekstensi (perluasan) dari jaringan pesantren. Interaksi antara NU dan pesantren menjadi bagian penting dalam memahami tantangan yang dihadapi saat ini.


Klaster 1: Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan

Zaman berubah, teknologi berkembang, dan perubahan niscaya membawa tantangan-tantangan baru yang memerlukan kesiapan kita untuk menghadapinya. Munculnya tuntutan-tuntutan baru, yang tidak pernah kita jumpai di masa-masa awal pesantren, adalah dampak dari gelombang perubahan itu. Ada kebutuhan mendesak agar pesantren mendapatkan posisi setara dengan lembaga pendidikan lain. Ada harapan, yang menyerupai aspirasi, agar ijazah pesantren diakui dan bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan untuk mendaftar sebagai pegawai negeri sipil. Artinya, ada tekanan-tekanan yang mendorong

pesantren untuk berintegrasi ke dalam sistem pendidikan formal, untuk memenuhi standar- standar yang ditetapkan, demi mendapatkan pengakuan yang setara.
Masalah ini sebenarnya bukan hal baru. Dahulu, ada istilah mu’adalah (penyetaraan) yang mengharuskan pesantren mengajarkan beberapa mata pelajaran tambahan seperti matematika, kewarganegaraan, dan lain-lain. Ini hanyalah sebagian dari tantangan yang dihadapi pesantren sebagai penyedia pendidikan.
Masalah utama yang kita hadapi sekarang adalah bahwa sebagian besar-jika tidak semua- pesantren di Indonesia lahir dari inisiatif pribadi. Pesantren-pesantren ini didirikan berdasarkan gagasan, visi, dan kecenderungan pribadi dari para pendirinya, yaitu para kiai. Dengan kata lain, karakter sebuah pesantren sangat ditentukan oleh karakter pendirinya.

Pesantren Tebuireng, misalnya, menjadi sumber utama untuk mendapatkan sanad kitab-kitab hadis. Kiai Hasyim Asy’ari, pendirinya, adalah seorang musnid (pemegang sanad), sehingga banyak kiai dan santri yang belajar kepadanya untuk memperoleh sanad kitab-kitab hadis.

Pesantren Termas dikenal sebagai pusat keilmuan fikih. Santri dan kiai dari berbagai daerah datang ke Termas untuk menyempurnakan pembelajaran fikih mereka di bawah bimbingan Kiai Dimyati. Pesantren Kasingan Rembang adalah pusat pembelajaran ilmu alat (ilmu tata bahasa Arab). Pendiri dan pengajarnya, Kiai Cholil Harun, menjadi rujukan utama bagi santri yang ingin mendalami ilmu ini. Generasi santri pada masa itu, termasuk Kiai Ali Maksum, Kiai Hamid Pasuruan, dan Kiai Mahrus Ali, menyempurnakan pembelajaran mereka di pesantren ini.

Spesialisasi ini bisa berubah juga ketika generasi baru mengambil alih kepemimpinan pondok pesantren. Di Yogyakartakarta, Kiai Munawwir mendirikan Pesantren Krapyak sebagai pusat pengajaran Alquran. Namun, Kiai Ali Maksum, yang merupakan menantu Kiai Munawwir, mengembangkan pesantren dengan arah berbeda dari pendirinya.

Keragaman model pesantren ini secara jelas mencerminkan spesialisasi keilmuan para kiai pendirinya. Di masa lalu hal ini bukan masalah. Setiap pesantren berjalan sendiri, mengandalkan sumber daya internal, dengan para kiai di masing-masing pesantren menjalankan semua urusan. Reputasi dan karisma para kiai pendirinya menjadi jaminan tradisional yang kuat, yang membuat pesantren mereka tumbuh dan berkembang. Tebuireng dikenal karena keramat KH Hasyim Asy’ari, Krapyak karena KH Munawwir, dan Tambak Beras karena KH Wahab Hasbullah.

Santri datang dengan keyakinan bahwa mereka akan mendapat manfaat besar, baik dalam ilmu, rezeki, maupun keahlian tradisional seperti suwuk.
Pada masa itu pesantren juga mendapatkan dukungan kuat dari komunitas. Tokoh-tokoh kaya seperti Haji Hasan Gipo di Tebuireng dan Haji Zainal Mustofa di Rembang, misalnya, membantu operasional pesantren, sehingga kiai dapat memusatkan perhatian pada pendidikan

santri. Namun, tradisi ini memudar. Generasi baru kiai tidak selalu memiliki pengaruh spiritual atau karisma seperti pendahulunya, sehingga pesantren kehilangan daya tarik tradisionalnya tanpa ada sistem modern yang menggantikan sumber daya tarik itu. Banyak pesantren harus mandiri sepenuhnya dan mengandalkan sumber daya sendiri tanpa penyangga eksternal.

Akibatnya, beban pengelolaan semakin berat, dan peran kiai meluas menjadi manajer, bendahara, dan pencari dana, selain sebagai pendidik.
Bersamaan dengan itu, muncul tuntutan-tuntutan baru untuk menjadikan pesantren setara dengan institusi pendidikan modern. Tuntutan-tuntutan ini niscaya sulit dipenuhi tanpa ada standardisasi-dalam hal kurikulum, metode pengajaran, dan infrastruktur. Tidak ada aturan jelas tentang kapasitas kamar atau kompleks pesantren. Di pesantren-pesantren besar, misalnya, satu kamar kecil bisa menampung banyak santri-sesuatu yang di bawah standar dan bisa menimbulkan kekhawatiran.

Tidak adanya standardisasi, infrastruktur yang kurang memadai, dan ketergantungan pada “keramat” para pendirinya, itu semua merupakan sinyal kuat bahwa kita perlu merumuskan governing system yang menyeluruh. Harus ada ukuran keberhasilan pendidikan yang bisa diandalkan, harus ada “code of conduct” untuk menyelesaikan masalah internal pesantren, dan harus ada panduan yang memastikan kualitas pembelajaran tetap terjaga.

Tanpa governing system, pesantren akan kesulitan dalam proses transformasinya menuju integrasi dengan sistem pendidikan modern. Ia hanya akan bertahan, dan pelan-pelan digulung oleh gelombang perubahan.

Halaman selanjutnya : Klaster 2

Klaster 2: Pesantren sebagai Pilar Komunitas

Di samping menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan, ada idealisasi bahwa pesantren juga memikul tanggung jawab sosial terhadap komunitas di sekitarnya. Pesantren dianggap sebagai solusi untuk berbagai masalah di dalam masyarakat. Dan selama ini, sejak 1970-an, ada promosi tentang strategi sosial-ekonomi melalui pesantren. Gambaran ideal tentang pesantren yang semacam itu terus dipertahankan sampai sekarang. Pesantren diposisikan sebagai pusat jaringan yang strategis untuk mengatasi masalah-masalah komunitas, sehingga ketika pesantren diberdayakan, komunitas di sekitarnya juga ikut mendapatkan manfaat. Dengan dasar pertimbangan seperti itulah pemerintah mendorong pengembangan ekosistem ekonomi pesantren, yang tujuannya adalah memperkuat kemandirian ekonomi.

Secara konsep, tidak ada yang keliru dengan semua itu. Namun, idealisasi peran dan posisi pesantren ini, bagaimanapun, perlu dilihat secara lebih jernih. Dahulu, pesantren memiliki posisi yang sangat kuat di tengah komunitas karena konteks sosial dan sejarahnya. Pemimpin-

pemimpin pesantren saat itu berfungsi sebagai pemimpin komunitas, meneruskan tradisi dan struktur sosial masyarakat Nusantara yang sudah ada sejak zaman pra-Islam. Di masa itu, masyarakat Nusantara memiliki pemimpin-pemimpin komunitas, ialah mereka yang berjuluk Ki Ageng, yang berperan penting dalam mengelola kehidupan sosial, budaya, dan spiritual komunitas masing-masing.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, para misionaris Islam mulai mengisi posisi sebagai pemimpin komunitas. Para Ki Ageng yang semula Hindu atau Budha menjadi pemeluk Islam dan tetap memimpin komunitas, tetapi dalam kerangka Islam-sambil mempertahankan praktik-praktik tradisional seperti suwuk dan semacamnya. Hal ini mencerminkan proses transformasi sosial yang terjadi secara bertahap.

Seiring waktu, ketika Islam semakin berkembang di Nusantara, hubungan dengan pusat-pusat Islam di luar negeri, terutama Timur Tengah, semakin lancar. Akses
terhadap elemen-elemen akademis dalam tradisi Islam juga meningkat. Pembukaan Terusan Suez memudahkan perjalanan ke Timur Tengah, memungkinkan lebih banyak orang untuk belajar di sana, dan membawa kembali pengetahuan mereka ke Nusantara. Dari sini, muncul pesantren-pesantren yang mulai berfokus pada pendidikan akademis.

Awalnya, orang datang ke pesantren untuk mencari kesaktian, bukan sekadar untuk belajar agama. Namun, seiring waktu, kurikulum pesantren berkembang mencakup fikih, ilmu alat, dan bidang-bidang keilmuan lainnya. Salah satu tonggak penting adalah generasi Kiai Nawawi Banten, yang membawa elemen-elemen akademis ke dalam tradisi pesantren. Ulama-ulama pada masa itu bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga akademisi yang berdedikasi penuh pada ilmu pengetahuan.
Kiai-kiai seperti Kiai Hasyim Asy’ari adalah contoh akademisi sejati. Mereka tidak hanya mendalami ilmu secara intensif, tetapi juga menjalani laku spiritual yang mendalam. Dedikasi mereka terhadap ilmu bahkan melebihi akademisi modern. Namun, selain sebagai intelektual, kiai-kiai ini juga menjalankan fungsi sosial di tengah komunitasnya. Mereka tidak hanya menjadi guru, tetapi juga pemimpin yang mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat, sesuai dengan tradisi lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Belakangan, pesantren semakin banyak menyerap elemen-elemen akademis sehingga aktivitas pengajaran akademis menjadi semakin dominan. Hal ini menyebabkan para kiai lebih sibuk dengan kegiatan di dalam pesantren, yang secara alami mengurangi intensitas keterlibatan mereka dengan komunitas.
Saya masih ingat, KH Ali Maksum dulu sangat dikenal oleh semua orang. Dia sering berjalan menyambangi teman-temannya di kampung, hal yang tampaknya sulit dilakukan oleh kiai-kiai sekarang. Perubahan ini menyentuh aspek kepemimpinan sosial yang dulunya merupakan bagian tradisional dari fungsi kiai. Kiai-kiai dahulu sangat efektif dalam menggerakkan komunitas.

Ketika Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad untuk membantu perang Surabaya, fatwa itu menjadi panggilan yang luar biasa. Semua orang merespons, bukan hanya yang tinggal di wilayah sekitar, tetapi juga mereka yang di Cirebon, Temanggung, dan daerah lainnya. Mereka datang dengan membawa semangat, hanya berbekal doa dan kesiapan untuk mati melawan sekutu. Korban perang saat itu sangat besar-di Malang, dalam satu hari korban mencapai lebih dari 16.000 orang, sementara perang Surabaya berlangsung dari September hingga November.

Pertanyaannya, apakah kiai-kiai hari ini masih memiliki daya panggil seperti itu? Apakah intensitas keterlibatan mereka dengan komunitas masih terjaga seperti dulu? Sampai generasi ayah saya, saya masih melihat bagaimana pekerjaan utama kiai adalah menemui tamu. Setiap hari, rumah kiai penuh dengan orang-orang yang datang dengan berbagai hajat.

Kiai Wahab Hasbullah, meskipun menjadi Rais Aam dan sering bolak-balik Jakarta-Jombang, tetap mempertahankan intensitas keterlibatannya dengan masyarakat. Ketika kembali ke Jombang, Mbah Wahab melayani tamu dari pagi hingga sore, memenuhi berbagai hajat-mulai dari doa, suwuk, hingga membantu mencarikan pasangan untuk menikah. Pernah suatu ketika, ada anak muda menemuinya, duduk di ruangan tempat Mbah Wahab menerima tamu, dan tetap tidak pulang sampai semua tamu lain sudah pamit.

“Anda dari mana?” tanya Kiai Wahab. “Dari sini,” kata si anak muda.

“Siapa namanya?”

“Adib. Adib bin Wahab Hasbullah.”

Ternyata anak muda itu putranya sendiri, dan Mbah Wahab tidak mengenalinya karena terlalu sibuk menerima tamu seharian. Situasi sekarang sudah jauh berbeda. Apakah kiai-kiai masa kini masih memiliki tamu sebanyak itu? Apakah mereka masih punya waktu untuk memenuhi berbagai hajat masyarakat?
Jadi, kita harus melihat ini dengan jernih. Asumsi-asumsi lama yang melandasi idealisasi peran kiai perlu dikaji ulang. Apakah model seperti itu masih relevan dengan kondisi saat ini?

Mungkin itu salah satu yang harus kita relakan lepas ketika kita berupaya mengejar standar- standar baru, seperti peningkatan mutu pendidikan di pesantren, yang jelas membutuhkan konsentrasi penuh dari para kiai, termasuk alokasi waktu yang lebih besar.

Halaman selanjutnya: Klaster 3

Klaster 3: Kaitan antara Pesantren dan NU

Hal ini tidak bisa diabaikan, karena bagaimanapun NU didirikan sebagai ekstensi dari jaringan pesantren. Interaksi antara NU dan pesantren menjadi bagian penting dalam memahami tantangan yang harus kita hadapi saat ini.

Pada masa awal, pesantren identik dengan NU. Pesantren-pesantren yang didirikan belakangan bisa dikatakan hanya meniru pola tersebut. Maka, komunitas-komunitas yang tergabung dalam jaringan pesantren semakin terkonsolidasi di dalam NU, dan lingkaran konstituensinya pun meluas. Bahkan bukan hanya mereka yang terlibat langsung dengan pesantren, orang-orang yang pernah berinteraksi dengan pesantren pun turut mengidentifikasi diri dengan NU sebagai payung besar bagi dunia pesantren.

Kini, afinitas masyarakat terhadap NU telah berkembang menjadi sangat luas dan semakin sulit untuk didefinisikan. Data terbaru survei menunjukkan bahwa pada 2024, sebanyak 57,6% populasi Indonesia mengaku berafiliasi dengan NU. Sebelumnya, survei LSI pada 2023 menunjukkan angka serupa, yaitu 56,9%. Angka ini mencerminkan identifikasi diri, di mana masyarakat secara eksplisit menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari NU. Perubahan ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan data tahun 2005, di mana hanya 27% yang mengaku NU. Dalam kurun waktu 18 tahun, angka ini melonjak hingga lebih dari dua kali lipat.
Data ini mengejutkan, dan, sebagai fenomena, ini luar biasa. Pertanyaan besarnya, apa dasar dari pengakuan ini?

Pada generasi sebelumnya, seseorang mengaku NU karena alasan yang jelas: Mereka belajar langsung di pesantren. Mereka terhubung langsung dengan tradisi pesantren, belajar dari kiai- kiai yang memiliki kedalaman ilmu. Namun, pada generasi sekarang, khususnya generasi Z, ada banyak yang secara sadar mengaku sebagai bagian dari NU, meskipun mereka tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pesantren. Ini perkembangan yang sangat menarik untuk ditelusuri.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena ini. Salah satu faktor penting adalah berkembangnya model forum-forum atau platform-platform komunikasi publik yang diasosiasikan dengan NU. Sebelum reformasi, pengajian umum hampir selalu diselenggarakan di lingkungan pesantren, dan platform komunikasi publiknya terhubung erat dengan para kiai pesantren. Pengajian besar diadakan di pesantren-pesantren seperti Tebuireng, Ploso, atau Situbondo. Komunikatornya para kiai yang benar-benar alim, memiliki pengetahuan mendalam, dan dihormati.

Setelah reformasi, platform komunikasi publik meluas dan menjadi lebih beragam. Pengajian- pengajian tidak lagi terbatas di pesantren, tetapi melibatkan banyak ruang publik di luar pesantren. Komunikatornya pun bukan lagi semata-mata kiai yang terhubung dengan pesantren,

tetapi juga individu-individu dengan latar belakang yang lebih longgar. Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, platform-platform ini terus berkembang
dan menarik perhatian banyak orang.

Kini, siapa saja yang memiliki citra sebagai komunikator agama dapat memanfaatkan platform ini untuk membangun kepemimpinan agama, selama pendekatannya dirancang dengan baik.

Platform-platform ini sering kali melibatkan elemen optik dan teknis yang dihitung dengan cermat oleh tim event organizer (EO). Dengan pendekatan ini, orang yang sebelumnya tidak dikenal bisa tiba-tiba menjadi tokoh besar di dunia agama melalui proyeksi citra yang dibangun secara artifisial. Fenomena ini sering kali dinisbatkan kepada NU, karena pesantren-yang memiliki hubungan historis dengan NU-biasanya menjadi sumber utama kegiatan semacam ini. Akibatnya, platform-platform ini menarik konstituen yang kemudian juga mengidentifikasi diri mereka dengan NU.

Perkembangan ini membawa dampak besar. NU kini tidak lagi sekadar identik dengan pesantren secara eksklusif, tetapi menjadi lebih inklusif, mencakup berbagai kalangan yang mungkin tidak pernah merasakan pengalaman langsung belajar di pesantren, tetapi tetap merasa terhubung dengan nilai-nilai NU. Banyak orang merasa menjadi bagian dari NU karena mengikuti tokoh- tokoh populer yang muncul di panggung-panggung besar atau platform digital.

Platform-platform baru itu telah menciptakan standar identifikasi yang semakin longgar dan jauh dari akar tradisional NU. Di satu sisi, fenomena ini menguatkan posisi NU sebagai payung besar bagi umat Islam di Indonesia, tetapi, di sisi lain, ia menghadirkan tantangan bagi NU dalam menjaga identitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Jika NU tidak melakukan upaya untuk mendistilasi, menjernihkan kembali identifikasi terhadap organisasi ini, NU berisiko kehilangan esensinya. Definisi tentang apa itu NU akan terus bergeser dan menjadi semakin kabur, atau justru NU-nya yang terbawa mengikuti arus besar platform populer.

Masalah lainnya adalah bahwa pesantren, yang memiliki hubungan erat dengan NU, kini telah menjadi bagian dari sistem kenegaraan melalui Undang-Undang Pesantren. Undang-undang ini membawa pesantren ke dalam domain politik dengan segala implikasinya, seperti pengelolaan anggaran, distribusi sumber daya, dan regulasi oleh Kementerian Agama. Hal ini menciptakan tantangan baru bagi NU, karena kepentingan pesantren tidak dapat dipisahkan dari kepentingan NU.
Konsekuensi dari masuknya pesantren ke dalam domain politik ini adalah pesantren menjadi bagian dari dinamika yang lebih kompleks, termasuk dalam soal wewenang dan distribusi sumber daya. Dalam situasi ini, NU harus memastikan bahwa pesantren tetap bisa

mempertahankan esensinya sebagai lembaga pendidikan agama yang independen, sekaligus mampu beradaptasi dengan sistem politik yang ada.
Apa yang seharusnya dilakukan NU dalam menghadapi dinamika ini? Ada dua pilihan utama. Pilihan pertama, bertarung secara politik. Pilihan ini berarti NU harus bertarung habis-habisan untuk memperebutkan sumber daya dan simpul-simpul kebijakan dalam pemerintahan, sebagai turunan dari diberlakukannya Undang-Undang Pesantren. Namun, jika ini yang dipilih, dampaknya sangat besar, karena NU harus melakukan konsolidasi politik yang masif. Dengan basis konstituen yang lebih dari separuh populasi Indonesia, sentimen membela NU akan menjadi kekuatan yang sangat besar dan dapat mengancam kekuatan politik lainnya.
Konsolidasi seperti ini memiliki risiko besar bagi keutuhan bangsa. Jika NU memobilisasi politik berbasis identitas, bangsa ini berpotensi terbelah menjadi dua kelompok: yang NU dan yang bukan NU. Ini akan menjadi ancaman besar yang bisa membawa bencana bagi Indonesia.

Potensi terburuknya, kita akan mengalami situasi serupa dengan yang terjadi di India, di mana RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) memobilisasi identitas Hindu untuk kepentingan politik. Ketika mereka menjadi mayoritas yang dominan, dampaknya adalah represi terhadap minoritas. Jika NU mengikuti pola ini, hasil akhirnya bisa menjadi fasisme. Semangat identitas yang dipompa untuk mobilisasi politik akan menciptakan perilaku sosial yang intoleran dan diskriminatif, dan itu membahayakan bagi tatanan sosial dan politik Indonesia.

Pilihan kedua adalah universalisasi pesantren. Pilihan ini berfokus pada upaya menjadikan pesantren sebagai tema kepentingan universal. Ia bukan hanya milik NU. Artinya, NU tidak perlu bertarung untuk menguasai kebijakan atau sumber daya pesantren. Selama pemerintah memastikan proses governing system atas pesantren dilakukan secara adil dan transparan, NU tidak perlu terlibat dalam perebutan sumber daya. Kuncinya adalah standar regulasi dan kebijakan yang jelas dan adil.

Universalisasi ini menghilangkan potensi konflik politik berbasis identitas. Pesantren akan dilihat sebagai bagian dari warisan bangsa yang universal, dan santri adalah aset nasional yang melampaui batas kelompok. Bahkan, jika memungkinkan, konsep NU itu sendiri bisa diuniversalkan sehingga NU menjadi entitas inklusif yang aman dan nyaman bagi semua orang.

Dalam konteks ini, khidmah NU harus diarahkan kepada pelayanan yang inklusif, melayani semua orang tanpa memandang latar belakang mereka. Tidak perlu hanya memprioritaskan orang NU; sebaliknya, NU harus fokus meningkatkan kapasitas ekonomi seluruh rakyat. Jika kapasitas ekonomi rakyat meningkat, maka orang NU-yang jumlahnya lebih dari separuh populasi-akan otomatis merasakan manfaatnya.

Dalam konteks ini, saya pribadi tidak setuju dengan gagasan untuk mendorong kemandirian NU yang hanya menguntungkan internal NU. Fokusnya harus pada kebijakan negara yang menyentuh seluruh rakyat. Jika rakyat terurus, NU juga akan terurus. Tentu, ada kebutuhan mendesak untuk mencari solusi bagi pengurus NU agar memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai kegiatan organisasi. Namun, selebihnya, biarlah menjadi bagian dari kebijakan negara yang inklusif.
Pilihan ini bukan sekadar keputusan teknis, tetapi mencerminkan visi besar NU dalam mempertahankan perannya sebagai penjaga keutuhan bangsa sekaligus pelayan umat. Maka, universalisasi adalah jalan terbaik. Dengan ini, NU tidak hanya menjaga persatuan bangsa, tetapi juga memperkuat identitasnya sebagai organisasi yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama.

KH. Yahya Cholil Staquf

Penulis adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Jemaah Umrah Indonesia Didominasi Masyarakat Menengah di Pedesaan



Jakarta

Ibadah umrah masih menjadi pilihan populer di kalangan masyarakat Indonesia. Jemaahnya tidak hanya berasal dari perkotaan, tetapi juga didominasi oleh masyarakat menengah yang tinggal di pedesaan.

“Saat ini, semua orang bisa melakukan direct order, memesan melalui digital, tetapi ini dilakukan oleh orang-orang yang sudah kosmopolit, yang tinggal di kota, sudah sering bepergian ke luar negeri sendiri,” kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Hilman Latief, dikutip dari laman Kemenag (8/2/2025).

“Namun, karakteristik dan demografi jemaah umrah di Indonesia masih didominasi oleh masyarakat menengah yang juga tinggal di desa-desa, kelompok pengajian, majelis taklim, dan lain-lain. Jadi, kita tidak bisa sepenuhnya melepas, harus jelas desainnya, dan kita juga ingin menjaga agar calon jemaah umrah terlindungi dan dilayani dengan baik,” bebernya.


Saat ini, Pemerintah Arab Saudi sedang melakukan transformasi digital besar-besaran dalam bidang haji dan umrah. Hilman menekankan bahwa perubahan ini harus disikapi dengan bijak oleh jemaah umrah serta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

“Regulasi-regulasinya terus berkembang, masa berlaku visa sudah mulai di-extend (diperpanjang), kebijakan haji pun demikian. Sehingga perlu adanya perlindungan kepada jemaah untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” ungkap Hilman.

Hilman kembali mengingatkan tentang konsep 5 Pasti Umrah dari Kementerian Agama:

  1. Pastikan travel umrahnya berizin.
  2. Pastikan jadwalnya.
  3. Pastikan penerbangannya.
  4. Pastikan hotelnya.
  5. Pastikan visanya.

“Konsep ini sudah kita dengungkan bertahun-tahun. Ini berdasarkan fakta bahwa sebagian travel kita masih belum memiliki izin, bahkan tidak mampu menunjukkan komitmennya kepada jemaah, karena mungkin ketidaksiapan dan lain-lain,” papar Hilman.

Terkait kesehatan jemaah umrah, Hilman menegaskan akan menstandarisasi kebijakan asuransi travel untuk perjalanan umrah.

“Jadi, jika ada jemaah yang sakit, setiap travel dapat memberikan pelayanan yang sama baiknya,” tukasnya.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Bacaan Doa Kafaratul Majelis, Dalil, Hikmah, dan Adab-adabnya


Jakarta

Doa kafaratul majelis adalah doa yang dibaca untuk menutup majelis. Doa ini memiliki kandungan yang agung sehingga bermanfaat besar jika dibaca setelah selesai bermajelis.

Simak bacaan doa kafaratul majelis berikut ini, dari tulisan Arab, latin, dan artinya, lengkap dengan dalil, hikmah membaca, serta adab-adab dalam bermajelis.

Bacaan Doa Kafaratul Majelis dan Artinya

Dikutip dari buku Doa Sehari-hari untuk Muslim Cilik (2018) yang disusun Wylvera W, berikut ini doa kafaratul majelis, mulai dari tulisan Arab, latin, dan artinya:


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Subhaanakallaahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta astaghfiruka waatuubu ilaik

Artinya:

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau, aku memohon pengampunan-Mu dan bertobat kepada-Mu.”

Dalil Membaca Doa Kafaratul Majelis

Membaca doa kafaratul majelis menjadi sunnah karena selalu dilakukan Rasulullah saat mengakhiri majelis. Hal ini seperti diriwayatkan para sahabat dan sejumlah hadits.

Dikutip dari buku 354 Sunnah Nabi Sehari-hari (2015) oleh Dr. Raghib As-Sirjani, diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang duduk pada sebuah tempat lalu dia tidak berzikir kepada Allah di situ maka hal itu akan menjadi tirah (penyesalan) baginya.

Barangsiapa yang berjalan pada sebuah jalan lalu dia tidak berzikir kepada Allah di situ maka hal itu akan menjadi tirah (penyesalan).

Barangsiapa yang beranjak menuju tempat tidurnya lalu dia tidak berdzikir kepada Allah maka hal itu akan menjadi penyesalan baginya.”

Riwayat selanjutnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

“Tidaklah satu kaum berdiri dari satu majlis dan mereka tidak berdzikir di dalamnya melainkan seperti bangkai keledai dan mereka akan menyesalinya.”

Dalam buku Doa-Doa Rasulullah SAW (2003) oleh Ibnu Taimiyah, disebutkan pula beberapa riwayat mengenai membaca doa kafaratul majelis. Dari Abu Hurairah RA, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa duduk di suatu majelis, kemudian di dalamnya banyak kegaduhan, lalu ia membaca doa berikut sebelum meninggalkan majelisnya: ‘Subhaanaka Allahumma wabihamdika asyhadu an laa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaika’, niscaya akan diampuni apa-apa yang terjadi di majelis tersebut.” (At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan- shahih.”)

Abu Hurairah juga meriwayatkan, apabila Rasulullah meninggalkan majelis, maka beliau berdoa dengan doa kafaratul majelis.

Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah: “wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan sebuah perkataan atau ucapan yang belum pernah engkau ucapkan sebelumnya,” Rasulullah bersabda, “itu merupakan penebus dosa dari apa yang telah kita lakukan dalam majelis.”

Hikmah Membaca Doa Kafaratul Majelis

Dari sejumlah dalil bermajelis, maka terdapat sejumlah hikmah dan fadhilah yang dapat diperoleh dari membaca doa kafaratul majelis tersebut:

  • Bentuk zikir kepada Allah, sehingga kita selalu mengingat Allah SWT kapan pun.
  • Menambal segala kekurangan yang disampaikan di majelis.
  • Penebus dosa selama berada di majelis.

Adab-adab Bermajelis

Dilansir dari buku Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (2021) oleh Prof. Dr. Ridhahani, M. Pd., ada enam adab dalam bermajelis yang dapat Anda terapkan, yakni sebagai berikut:

1. Bersalaman dengan orang yang ada di majelis

Sesuai HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya, yang berbunyi: “Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian saling berjabat tangan, kecuali Allah mengampuni keduanya sebelum mereka berpisah.”

2. Duduk sejajar dengan jemaah lain, bukan di tengah-tengah

Dengan duduk sejajar dengan jemaah yang lain, maka hal tersebut lebih sopan, karena kita tidak membelakangi mereka. Jika kita duduk di tengah, maka kita akan membelakangi sebagian jemaah.

3. Tidak duduk di antara dua orang yang sudah duduk terlebih dahulu

“Tidak halal bagi seseorang memisahkan dua orang, kecuali atas izin keduanya.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud).

4. Jangan berbisik-bisik dengan orang ketiga tanpa melibatkan orang kedua

“Apabila kalian bertiga, janganlah dua orang di antara kalian berbisik-bisik tanpa mengajak orang yang ketiga. Karena hal itu akan membuatnya terluka” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

5. Berhak kembali ke tempat duduk semula sesaat setelah meninggalkan majelis

“Apabila salah seorang di antara kalian meninggalkan majelis, kemudian kembali lagi, ia berhak atas tempat duduk sebelumnya”.

6. Membaca doa kafaratul majelis

Terakhir adalah membaca doa kafaratul majelis sebagai penebus dosa dari apa yang telah kita lakukan dalam majelis.

Demikian tadi telah kita ketahui bacaan doa kafaratul majelis, lengkap dengan dalil, hikmah, dan adab-adab dalam bermajelis. Semoga bermanfaat.

(bai/inf)



Sumber : www.detik.com